Chapter 23²
Malam itu, bulan sudah menggantung anggun di angkasa. Di antara gelapnya latar langit, remang bintang, dan arakan awan. Salju sudah berhenti turun, tapi suhu udara masih belum menghangat. Membuat malam bagai penyiksaan untuk Ren. Ia beberapa kali bersin sembari merapatkan syal dan mantelnya. Bahkan, ia hampir saja terjatuh di undakan tangga tanah yang terlingkupi es. Walaupun barisan orang di depannya sudah mencairkan es dengan elemen mereka, tetap saja tanah tak akan kering dari air saat itu juga.
"Ren kau baik-baik saja?" Lunar--yang ikut serta dalam misi malam ini-- menoleh dari balik bahu yang terselubung bulu dari mantelnya. Maniknya berkilat terkena cahaya lampu.
Ren tersenyum, lebih mirip senyum kecut yang menyelubungi ketidakbaik-baikannya. "Hanya kedinginan," katanya.
"Aku akan mempersilakan mantelku untukmu jika kau mau," kata Lunar hendak melepas mantelnya. Namun, Ren segera menepuk bahunya. Ia menggeleng. Bukan dirinya yang keberatan, tapi lirikan Edmud di depan sana membuat Ren bergidik--dia jelas keberatan. Ren juga tahu, laki-laki itu tak terlalu suka Lunar menempel padanya.
"Tak perlu." Ren rasa ia tersenyum kurang meyakinkan, tapi dilihatnya Lunar hanya mengangguk--mengurungkan niatnya melepas mantel--lantas menghadapkan pandangannya kembali ke depan.
Ren menegakkan wajah. Maniknya menyisir ke depan. Ke arah orang-otang yang berjalan di pijakan tangga yang lebih rendah darinya. Kedelapan orang di antara rombongan ini adalah pemilik elemen dewa. Yah, peran mereka akan sangat penting malam ini. Gael bilang, letak kristal kendali barrier AirStreet Caste berada di antara kristal kendali delapan barrier utama--delapan tiang penyangga barrier utama. Dan dirinya juga dengar, jumlah kristal kendali itu ratusan. Ada beberapa kristal kendali vital juga kristal kendali paling utama yang hanya diketahui pemilik elemen dewa. Jadi, tanpa mereka, Ren yakin misi malam ini akan jadi sangat kacau. Apalagi, kalau mimpi buruk tentang selubung barrier yang mengisolasi Benua Shappire dari dunia luar benar-benar pecah.
Menengadah, Ren menatap hamparan langit. Gelap, sebagaimana cerminan malam. Ia penasaran, apa yang ada di luar sana? Maksudnya, dunia di luar Benua Shappire. Sungguhkah itu tempat yang dipenuhi perang dan kudeta? Masihkah hal itu terjadi di luar sana, sedangkan Shappire memasuki fase-fase modernisasi. Ayolah, perang itu terdengar kuno di tempat ini.
"Barrier kendali sun yang rusak atau tak lagi di tempatnya akan merusak seluruh mekanisme barrier utama," gumama Ren pelan selagi pandangannya belum beralih pada langit. Ia menggigit bibir, mengingat sosok Edgar yang kembali muncul petang tadi. Ia bahkan tak menyangka, laki-laki itu muncul di muka jendelanya. Mengambang di udara, mengabaikan gravitasi yang ada. Penampilannya masih sama seperti biasa, lengkap dengan jubah panjang hitam yang tudungnya terbuka. Bukan hanya datang untuk mengecek keadaan Ren seperti biasa, tapi Edgar juga datang untuk membebankan tugas padanya. Tugas yang tak tahu harus Ren terima atau tolak. "Cari kristal kendali utama sun. Ambilah. Seluruh barrier di Shappire akan kehilangan keseimbangannya dan hancur perlahan."
Sorot lampu yang benderang menusuk retina mata Ren. Gadis itu menegakkan wajahnya. Jantungnya bergejolak. Bukan lagi hamparan rumput dengan bunga edelweis yang tertutup butiran putih, tapi kuil barrier tampak berdiri gagah di depannya. Letaknya masih di dalam kompleks AirStreet, tapi ini pertama kali Ren melihat rupanya. Bangunan itu dibangun tinggi dengan pilar-pilar yang berpendar biru, hijau, kuning, dan merah. Di tepi jalan masuk, berdiri delapan patung para pemilik elemen dewa pertama yang membangun barrier Shappire. Para dark dan light pertama yang mau saling berjabat tangan. Mereka yang akhirnya menumbuhkan bibit perdamaian antara bangsa terang dan gelap. Ren terperangah, patung-patung itu berpendar dengan cahaya sewarna simbol elemen mereka masing-masing.
Langkah Ren terhenti di depan patung dengan pendar cahaya keemasan. Ravish Wolfheart. Sun yang digambarkan dengan sosok laki-laki beramput panjang. Dalam eposnya, dikisahkan bahwa ia sosok laki-laki dengan rambut keemasan. Maniknya sewarna cahaya matahari dal setajam elang. Di dahinya, terpatri simbol matahari. Menawan dan sangat berkarisna. Ren pernah melihat lukisan sebagai ilustrasi sosoknya. Tercetak dalam salah satu buku tentang kisah kepahlawanan delapan pilar barrier.
"Ravish Wolfheart," kata Lunar semangat, "dia salah satu idolaku."
"Yeah." Ren mengangguk. "Ia keren, bukan?"
Lunar mengangguk antusias. Namun, wajahnya berubah masam. "Sayang sekali," katanya, "ia wafat saat usianya masih sangat muda."
"Itulah mengapa dikatakan seorang sun tidak pernah hidup lama. Usia mereka relatif pendek," sela seseorang yang berdiri di belakang mereka.
Saat menoleh, Ren menemukan sesosok perempuan dengan surai gelap. Maniknya biru gelap, seperti laut yang sangat dalam, tidak terjamah. Nightmarish Sky? batin Ren bertanya-tanya. Ini kali pertama ia bertemu langsung dengannya. Sang langit dari sisi gelap. Ren tak menyangka, perempuan itu sangat cantik. Oh, kapan kali ia mengatakan seorang pemilik element of god tidak menawan? Ia bahkan tak yakin dirinya punya setengah sun dengan sosoknya yang tak terlihat berkharisma.
"Nightmarish," kata Lunar.
"Tolong jangan tinggalkan kata sky-nya," kata perempuan itu sembari tersenyum masam, "aku tak semenyeramkan itu."
"Oh, jangan bilang kau mau mencomblangkan dirimu lagi dengan Sky," ujar Lunar sembari bersedekap. Bibirnya terangkat sebelah.
Perempuan nightmarish sky itu tertawa sembari menepuk-nepuk punggung Lunar. "Memangnya kenapa?" Ia kembali menyelanya dengan tawa. "Kami kan sama-sama sky."
"Kalian tak cocok sama sekali," cibir Lunar kembali membuat perempuan itu tertawa.
"Oh, ngomong-ngomong." Pandangan perempuan itu beralih pada Ren. "Namaku Marisha Equele. Salam kenal. Aku mendengar tentangmu dari Lunar. Kurasa dia senang menemukan seorang teman baru." Ia menyikut pinggang Lunar hingga gadis itu meringis dan balik mencubit.
"S-salam kenal." Ren tersenyum canggung.
"Kalian," panggil Gael, "apa yang kalian tunggu. Cepat masuk sebelum hari semakin malam."
"Baik."
Saat Ren memijak ke dalam kuil. Pendar-pendar cahaya benderang dari kristal-kristal kendali menyambutnya. Ren terperangah. Kristal-kristal itu mengambang di atas permukaan air dalam kolam luas yang ditumbuhi lotus biru dengan daun-daun lebar. Air di dalam kolam memantulkan cahaya barrier kendali dengan sangat mengagumkan. Membuat Ren merasa berdiri di tengah-tengah taman lentera. Terang dan tak bercela.
"Bagaimana cara menyalakan barrier dengan kristal kendali?" Ren menatap Marisha di sisinya.
Marisha tersenyum. "Lihat tempat itu," katanya menunjuk lantai bundar yang berdiri di tepi kolam. Ada satu kristal tertanam pada bunga lotus biru yang direndam dalam bejana. Bejana itu berdiri tepat di atas meja batu. Di tepian kolam, jika dihitung, ada delapan lantai bundar. Dan jika dilihat dari atas, daerah tepian kolam berbentuk heksagonal. "Di dalam bunga lotus itu ada sebuah kristal yang disebut kristal penghantar. Begini, kristal penghantar menghubungkan elemen kami dengan kristal kendali, kristal kendali menghubungkan kristal penghantar dengan kristal vital, dan kristal vital bertugas menyebarkan elemen kami ke seluruh penjuru Shappire. Dan elemen itulah yang menjadi selubung barrier."
Ren tak mengerti seutuhnya. Anggap saja dengan mengalirkan elemen ke kristal penghantar dan kristal yang jumlahannya puluhan ini--entah bagaimana--mengubah elemen menjadi barrier pelindung.
"Kalian, para pilar barrier, harap menempati posisi kalian." Gael berkata tak jauh dari Ren. Laki-laki itu sudah menyingsingkan lengan bajunya, entah untuk apa.
"Ayo mulai bekerja." Marisha menepuk pundak Ren sebelum akhirnya pergi ke tempatnya. Ia membelai-belai lotus dalam bejana dengan wajah senang, seolah baru saja bertemu kawan lama.
"Cepat lepas sepatumu dan masuk ke air." Gael mendesis ke arah Ren kala gadis itu malah diam mematung memperhatikan Marisha dan yang lainnya. Ia begitu terpukau melihat kristal-kristal kendali berpendar makin terang. Mengilaukan warna-warna berbeda tiap kristalnya. Ini pertama kali ia melihatnya dan dadanya bergejolak.
Karena merasa yang lain sudah masuk ke air, dengan berat hati, Ren melepas sepatu, mantel, serta syalnha. Mengurungkan keinginannya untuk melihat-lihat. Rasa ingin tahunya benar-benar kalah dengan tugas. Apalagi kalau tukang perintahnya adalah Gael.
"Beri tanda kami jika kami mendekati kristal vital." Gael bicara ke arah para pemilik elemen dewa yang berdiri di tempat mereka. "Dan kalian." Ia beralih menatap anah buahnya yang mulai menceburkan diri ke kolam. "Jauhi kristal vital. Tak ada yang tahu bagaimana rupa kristal barrier AirStreet Caste. Maka, carilah kristal yang pendarannya tidak wajar. Mereka akan membimbing kita." Semuanya mengangguk mengerti dan segera berpencar. Menelusuri kolam yang di atasnya mengambang kristal-kristal kendali dengan warna dan bentuk yang berbeda-beda.
Ren baru saja masuk ke dalam air dan tubuhnya sudah otomatis mengigil. Kolamnya tak begitu dalam, tapi air yang menggenang sampai pinggang membuatnya sulit bergerak. Gadis itu mengamati kristal satu per satu. Ia mendengkus. Apa akan ada hasil? Dengan kristal kendali sebanyak itu, apa kristal barrier AirStreet Caste akan ditemukan dengan mudah? Ren pun penasaran, mengapa kristal kendali sebanyak ini? Apa karena jangkauannya terlampau luas?
"Ren, kau ada di dekat kristal kendali vital sky. Menyingkir dari sana."
Ren terentak mendengar suara Vier dari tepi kolam. Gadis itu menghela napas. Penglihatannya sama sekali tak berguna. Semua yang ditampilkan kristal-kristal itu tak ada yang janggal. Pencarian masih terus berlanjut, padahal kaki Ren sudah serasa membeku di bawah sana. Airnya seperti menusuk-nusuk kulit. Ia berjalan bersusah payah ke arah Gael yang tengah menajamkan penglihatannya.
"Berhenti di sana!" seruan Gael membuat Ren refleks berhenti. Gadis itu bergeming dengan wajah kebingungan. "Jangan rusak lotus biru itu. Kau tahu, bukan, lotus biru hanya tumbuh di tempat ini."
Ren mengangguk paham. Sayang sekali kalau bunga-bunga lotus dengan kilau kebiruannya tak lagi dapat ditemui. "Apa Kakak menemukan sesuatu? Penglihatanku sama sekali tak berguna."
Gael menatap Ren sejenak. "Kau hanya perlu mencari," katanya sembari mengalihkan pandangannya dari Ren.
Menghela napas berat, Ren mengedarkan pandang. Bagaimana mungkin ia dapat menemukan kristal barrier AirStreet Caste di kolam seluas ini? Ditambah, suhu kolamnya terasa makin beku setiap detiknya. Buku jari gadis itu pun sudah memucat dan berkerut. Akan lebih nyaman jika sekarang ia berbaring di kamarnya. Minum cokelat hangat atau teh dengan Musa. Namun, apa daya, toh ini permintaan Gael. Ia tak akan menolak. Terlalu banyak budi yang harus ia balas.
Merasa Gael sudah kembali melintasi genangan air dalam kolam, Ren ikut kembali berjalan. Menyibak air entah ke mana. Matanya sudah agak lelah, hingga akhirnya ia memilih mencari kristal itu secara manual--tanpa kekuatan hoffan-nya. Kepala Ren seperti terhantam sesuatu saat melintasi kepungan kristal kendali berwarna merah. Ia mengedarkan pandang dan menemukan kristal kendali seukuran telapak tangannya berpendar keemasan. Kontras sekali dengan pendaran merah di sekitarnya. Entah kenapa, ia merasa janggal dengan kristal itu. Bukan kristal kendali sun.
Saat Ren berjalan mendekat, teriakan Rise menghentikannya. "Ren, hindari tempat itu. Itu kristal vital sun."
Ren mengernyit. Bukannya meragukan Rise, tapi betul-betul ada yang mengganjal hatinya. Seolah ada yang berbisik padanya tentang kejanggalan kristal itu. "Bagaimana kau yakin?" Bukannya menjauh, Ren malah bertanya.
Rise terhentak mendengar pertanyaan Ren. "Tentu saja aku yakin," katanya, "pendaran dan aura sun-nya lebih terasa dari yang lainnya."
"Bukankah ada yang janggal dari kristal ini?"
Saat Ren melanjutkan keinginanannya untuk mendekat, bukan lagi teriakan Rise yang ia dengar, tapi suara melengking Lya. "Jangan main-main, Ren! Dengarkan perkataan Rise!"
Tapi tubuh Ren tak mau menurut. Ia terus melangkah, mengabaikan makian Lya dan fokus orang-orang yang beralih ke arahnya. Gael pun tampak tak nyaman hingga ia berjalan cepat-cepat ke arahnya. Melintasi genangan air susah payah, hendak menghentikannya.
Ren mengulurkan tangan. Meletakkan telapak tangannya di atas kristal kendali kecil itu. Matanya terpejam. "Tak ada kehangatan," gumamnya. Dari semua kristal kendali, Ren lebih senang berada di dekat kristal kendali sun. Ia selalu berpendar lebih terang dan menghangat, seolah menyambut dirinya. Namun, yang satu ini, Ren tak merasakan kehangatannya. Seolah pendarannya hanya pendaran kosong. Bagaimana Rise menganggapnya kristal kendali vital sun? Memang, auranya terasa seperti sun, tapi kehangatannya janggal.
"Ren, ada masalah apa?" Gael menyingkirkan telapak tangan Ren dari kristal dan menatapnya dengan tatapan, "jangan main-main!"
"Ini bukan kristal kendali sun," ungkap Ren membuat dahi Gael berkerut dalam.
"Kau meragukan Sun?"
"Bukan seperti itu," sanggah Ren tak suka. Ia menggeretakkan giginya geram. Hanya karena ia bukan sun yang berdiri di depan kristal penghantar, tak ada yang mempercayainya. Bahkan tatapan dan kasak-kusuk orang di sekitarnya makin membuatnya kesal. Mereka seolah berkata, "memangnya kau siapa? Ahli kristal barrier?"
"Lanjutkan pencarian dan jangan sentuh kristal sembarangan."
"Kak, dengarkan aku!" Ren mencegah Gael untuk berbalik. "Kau bilang cari kristal dengan pendaran janggal. Bagiku, ini adalah satu-satunya kristal yang janggal. Apalagi, lihatlah, bukankah kristalnya terlalu kecil?"
Seseorang melepas gengaman tangan Ren pada Gael dengan kasar. Ren menatapnya, dan ia mendapati seorang perempuan dengan mata terpincing marah. "Kau tak bisa mendengar perintah dengan baik, ya?" Ucapannya terdengar sarkastik. Mengingatkan Ren kembali, bahwa perempuan itu adalah Edith Grissham, wakil ketua OSIS. Tukang sembur yang garangnya tiada tara.
"T-tidak." Ren menggigit bibir bawahnya. Tatapan orang di sekitar kian memperberat tengkuknya, ia tertunduk. "A-aku hanya--"
"Apa? Kau ingin menjadi sok jagoan?" tanya Edith sinis, "atau kau harus diberi pelajaran tata krama tentang sikap pada atasan?"
Rasa kesal dan marah menyeruak di dada Ren. Berontak dan sesak rasanya. Karena marah yang tertahan, sejenak pikirannya tak terkendali. Tanpa sadar, ia mengambil paksa kristal kendali barrier yang dirasanya janggal itu, membuat semua orang di sekitarnya tersentak dengan napas tertahan.
"Ren, apa yang kaulakukaan!?"
Ren tersadar mendangar suara lantang Vier. Suara bernada murka yang jarang sekali ia tunjukkan. Bahu Ren gemetar, ia tak percaya dirinya mengambil paksa kristal itu. Saat ia menatap kristal kendali di telapak tangannya yang memucat, warnanya berubah kelabu. Tanpa cahaya, kehidupan, apalagi kehangatan.
"Letakkan kembali ke tempatnya!"
Dengan murka, Edith hendak merebut kristal barrier dari tangan Ren. Namun, refleks Ren malah membuatnya terpeleset lantai dasar kolam yang licin. Ia merasakan punggungnya terhantam air dan tubuhnya tertelan buih. Rasa dingin sekonyong-konyong menjalari seluruh bagian tubuh. Membekukan, seolah akan membunuhnya. Susah payah, ia bangun dan mengeluarkan kepalanya dari dalam air dengan napas tersengal. Tubuhnya kuyup dengan rasa dingin yang tak terperi. Saat ia menegadah, Edith menatapnya dengan tatapan membunuh. "Kau...," geramnya.
"Gael, lihat ini!" Seseorang berteriak dari tepi kolam. "Aplikasi AirStreet Caste baru saja mengalami eror. Mungkin itu kristal yang benar."
Amarah Edith mereda mendengarnya. Ia mengurungkan niatnya untuk memberi sedikit hukuman pada Ren. Ia berdecih sebelum berbalik dan mengambil langkah kesal.
"Berikan padaku." Gael mengulurkan tangannya, meminta kristal yang masih tergenggam kuat di tangan Ren. "Rise," panggilnya kemudian, "apa ada masalah dengan barrier sun?"
Ren beralih menatap wajah Rise yang meninggalkan bekas pucat. Ia merasa bersalah. Bukan bermaksud menakutinya.
"T-tidak, kurasa."
"Kerja bagus," puji Gael tanpa ekspresi. Ia bersegera ke tepi kolam. Diikuti Ren yang berjalan terseok. Tubuhnya sudah kuyup, dan rasa-rasanya ia akan demam. Namun, ia sangat bersyukur, tak ada sesuatu yang buruk terjadi. Gerak hatinya tak menimbulkan masalah berarti untuk barrier, walaupun cukup sembrono dan tak dapat dipertanggungjawabkan.
Di tepi kolam, selama Gael dan yang lainnya menghancurkan kristal barrier AirStreet Caste, Ren susah payah naik ke tepian yang kering. Tak ayal, kolamnya serasa makin dingin saja. Tak ada yang peduli saat ia menggigil di tepi kolam. Bahkan, tak ada yang menoleh saat ia beberapa kali bersin. Apa ini sanksi karena aku bertingkah sembrono tadi? Ren tersenyum masam. Sebelum akhirnya ia mendapati Rise dengan wajah yang sedikit pucat. Ia mungkin sangat ketakutan karena Ren mencabut kristal sembarangan.
"Rise," panggil Ren dengan bahu yang gemetar menahan dingin. "Maafkan aku. Aku tak bermaksud--"
"Tak apa," potong Rise paham. Sudah Ren duga, dia gadis ramah yang pemaaf. Walaupun Ren sungguhan mengacaukan kendali barrier sun, ia yakin Rise tak akan dendam padanya. Itu bukanlah gayanya.
"Istirahatlah sebentar dan keringkan tubuh kalian. Sehabis itu kita akan kembali ke asrama," perintah Gael langsung dituruti yang lainnya.
Ren berjalan susah payah--dengan tubuh menggigil dan kepala berdenyut--ke arah mantel dan syalnya. Mungkin, ia juga butuh handuk dan baju ganti. Kaos wol lengan panjangnya sudah tak lagi layak dipakai. Apalagi dengan suhu di luar yang beku. Rambutnya yang panjang dan tergerai juga ikut kuyup. Mebebani kepala, tengkuk, serta punggungnya. Ia mendecak. Memang seharusnya ia punya rambut pendek saja. Ia makin kesal saat helaian anak rambutnya menetes membasahi mantel dan juga syalnya. Sekarang, bagaimana caranya ia menghangatkan diri? Ia tak mungkin melepas bajunya sekarang. "Untuk sementara saja," bisiknya sembari menyelimuti diri dengan mantel. Sama sekali tak berubah. Bukan tubuhnya yang kering atau menghangat, mantelnya malah ikut kuyup.
Saat dirinya mulai merasa putus asa dan merutuk, mantel lain menyelubunginya dari belakang. Ren terhentak dan menolehkan kepalanya cepat. Di belakanya, Vier berjongkok untuk menyamai tingginya dalam posisi bersimpuh. Mantel sudah tak lagi membalut tubuhnya, tapi beralih menyelubungi tubuh Ren. Ren meringis. Ternyata laki-laki itu masih punya empati.
"Kau akan kedinginan," kata Ren rendah. Suaranya terhalang oleh geretakan giginya.
"Aku terlahir saat badai salju dan hidup selama belasan tahun di negara terdingin. Aku tak akan mati kedinginan," jawabnya menohok Ren. Memangnya siapa yang kini butuh mantel dan selimut? "Kau butuh handuk."
"Ya," jawab Ren ditengah gigilan. Pandangannya memburam. "Mungkin juga sedikit angkutan," lanjutnya lemah sebelum akhirnya semua penglihatan menggelap dan inderanya mati.
Selamat malam.
Lilin aroma terapi yang wangi dan menenangkan, kasur yang nyaman, selimut yang hangat, serta rasa nyaman yang entah di mana, membuat Ren enggan membuka mata. Ia tak pernah ingat kamar asramanya punya wangi macam ini. Mungkin ia setengah bermimpi. Ia mengingat-ingat lagi kejadian lalu dengan mata masih terpejam. Kenapa dirinya berakhir dengan terbaring di kasur? Ah, ya dia ingat. Ia pingsan karena diserang demam dadakan semalam. Kalau dipikir lagi, apa semua kerepotan gara-gara ia pingsan di sembarang tempat dan dalam keadaan kuyup? Bagus sekali Ren, kau menambah kesanmu makin buruk.
Ren memaksa matanya terbuka. Dari tempatnya berbaring, ia disambut ruangan serba biru yang hangat. Dindingnya tak tampak seperti tembok semen atau batu biasa. Itu karena ia berkilat-kilat seperti kristal atau es yang memantulkan cahaya lampu. Pualam di bawah sama mengherankannya, tampak bening dengan motif buih-buih air yang membeku--seolah memang terbuat dari es. Saat menengadah, Ren dihadapkan lampu gantung yang berbentuk simbol delapan elemen dewa. Di mana ia sekarang? Tempat yang asing dan benar-benar bukan tempat sembarangan. Ia makin enggan beranjak saat menyadari punggungnya terbentur kasur empuk dan terbalut selimut tebal yang hangat. Terlampau nyaman untuk ditinggalkan.
Mengerang pelan, Ren menggulingkan tubuhnya ke samping. Lantas mendudukan dirinya di tepi ranjang. Kepalanya masih berdenyut walau tak separah semalam, penglihatanya juga belum sempurna. Mungkin karena terlalu lelah mencari semalam. Bagus sekali, tubuhnya benar-benar seperti daun kering. Kaku dan sangat rawan. Itulah mengapa aku begitu lemah.
Saat hendak beranjak berdiri, pintu di sisi ruangan terbuka. Perempuan dengan baju terusan dan jubah musim dingin sewarna salju masuk. Pakaiannya tampak tak asing di mata Ren. Ah, mungkin dia salah satu dari penjaga kuil barrier. Kemarin Ren melihat orang-orang berpakaian serupa saat memasuki kuil. Apa aku masih di kuil. Perempuan itu tersenyum ramah saat mendapati Ren sudah terbangun.
"Syukurlah Anda sudah sadar. Apa ada keluhan?" tanyanya sembari membaringkan tubuh Ren lagi. Seolah mengisyaratkan gadis itu belum boleh ke mana-mana.
"Hanya sedikit pusing," jawab Ren pelan.
Perempuan itu menyumpalkan termometer ke mulut Ren dan mencabutnya beberapa detik kemudian. "Suhu tubuh Anda sudah turun. Mungkin, istirahat seharian akan membuat Anda baikkan."
Ren hanya mengangguk lemah. Tak lama, perempuan lain dengan pakaian serupa masuk dengan baki logam di tangannya. Uap menari-nari dari mangkuk keramik di dalamnya. Aromanya kelihatan seperti bau-bau obat herbal atau tanaman apalah itu.
"Saya juga menyarankan Anda menghabiskan bubur herbal itu segera. Saya akan menemani Anda."
Selepas meletakkan baki di pangkuan Ren, perempuan itu keluar tanpa mengatakan apa-apa. Dan yang satunya lagi duduk di samping Ren. Seolah memastikan Ren memakan buburnya. Ren pikir rasa bubur itu seenak baunya. Salah besar. Ia hampir muntah dalam satu suapan.
"Mungkin rasanya tak enak, tapi jangan dimuntahkan," kata perempuan itu memperhatikan wajah Ren yang pucat, seperti orang keracunan.
Satu mangkuk kecil bubur herbal tak pernah Ren bayangkan menjadi penyiksaan. Ia tak dapat memuntahkannya dengan kurang ajar. Lagi pula, dirinya hanya menumpang dan dilayani dengan baik di sini. Walaupun Ren sendiri kurang tahu di manakah ia sekarang.
Satu suapan tersisa Ren masukkan dalam mulutnya pelan. Berharap tak akan membuatnya kembali mual. Belum selesai ia menelannya, perempuan tadi berpamitan pergi dan membawa baki dengan mangkuk yang sudah kosong. Berbarengan dengan terbukanya pintu, Ren lihat Vier masuk. Ia menatap Ren sesaat.
Ren tak peduli apa yang dilakukan Vier di sana. Yang terpenting sekarang adalah menelan bubur di mulutnya dengan selamat. Tapi rasa makanan yang aneh itu kembali membuatnya mual dan ingin muntah. Ren tersentak saat Vier tiba-tiba membekap mulutnya dan berkata, "Telan. Aku tak mau tempatku kotor." Menurut, dengan susah payah, Ren menelannya. Ia lantas menyambar gelas di nakas. Meminumnya hingga habis tak bersisa. Berharap rasa aneh bubur herbalnya menghilang.
"Kau harus diajarkan tata cara makan yang baik, ya."
"Ngomong-ngomong," kata Ren, mengabaikan sindiran Vier, "aku di mana?"
Vier menghela napas dan duduk di tepi ranjang. "Tempat yang sama sejak semalam," jawabnya.
"Ada kamar di kuil ya?" Ren mengedarkan pandang. Ia tak dapat mengalihkan fokusnya dari lantai yang mengilap dan dindingnya yang berkilat-kilat.
"Kau pikir para pilar barrier tak butuh istirahat, ya?" cetus Vier ketus. "Ada banyak hal yang dilakukan di kuil. Bahkan, sejak lahir kami sudah ditakdirkan untuk mengabdi, menjaga barrier Shappire tetap ada." Manik laki-laki itu bergerak-gerak, menatap langit-langit yang penuh goretan mandala dengan simbol-simbol elemen. "Rasanya juga tak ada waktu untuk takhta," lanjutnya setengah berbisik.
"Jadi," kata Ren, "aku di mana?" Ia bertanya tanpa peduli apa yang diutarakan Vier.
Vier mendecak. "Kamar yang diperuntukkan untuk sky. Terus terang saja, ini kamarku di sini."
Ren tersenyum kecut. Keberuntungan apa sih yang mengitari laki-laki itu. Bagaimana bisa ia mendapatkan semua fasilitas nyaman yang lebih dari dibutuhkannya. Yah, itulah bedanya Vier dan dirinya. Ia memang terlahir alami sebagai bangsawan dan pemilik potensi. Bukannya seorang dari panti asuhan dengan potensi yang terpendam sangat dalam. Ren mengerang pelan. Ia membalikkan tubuh, membelakangi Vier. Lantas, menenggelamkan dirinya dalam selimut. Mungkin sebaiknya tidur saja daripada bicara hal tak perlu pada Vier.
"Vier," panggil Ren yang hanya disahut dehaman oleh laki-laki itu, "aku ingin pulang."
Ren mendengar Vier beranjak berdiri. "Kau akan kembali besok. Saat demammu sudah benar-benar turun," jawabnya, "istirahatlah."
Pintu tertutup. Mengisyaratkan pada Ren, Vier tak lagi ada di sana. Tak lagi satu ruangan dengannya. Mata gadis itu kembali terpejam. "Aku ingin pulang ke rumah. Ke kehidupanku yang dulu," bisiknya diiringi luruh air mata dari pelupuk. Sebelum akhirnya ia kembali terlelap.
A/N:
Mungkin Lin menarik kata-katanya untuk enggak up bulan ini(?)
Hmhm ... Kayaknya gitu 😅
Entah, sejak didera hypervigilance beberapa malam lalu, akhirnya Lin bisa tidur tanpa beban. Dan kesibukan rasanya menurun drastis dari sebelumnya. Dan yah, dua hari ini Lin nulis dengan lancar jaya. Syalalala....
Intinya, semoga kalian gak kapok 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top