Chapter 22²


Ren menghela napasnya yang terasa sesak. Paru-parunya terasa menyempit saat ia mengulas ingatan ngeri yang dijelajahnya, menceritakan semua pada Vier dan Gael. Menyimpan masalahmu sendiri tak akan menyelesaikan semuanya, katanya dalam hati. Mengingat kata-kata Vier. Pada akhirnya, ia membebankan seluruh kepercayaannya pada Vier dan sedikit untuk Gael. Anggap saja mereka dapat membantu.

"Hanya sampai di situ?" tanya Vier memastikan tak ada yang terlewat dari cerita Ren.

Ren mengangguk. "Ya, hanya itu." Ia menggosok lengannya yang merinding, lantas menyelimuti diri dengan mantel Vier.

Jelas semua ini masih berupa teka-teki. Puzzle yang keping lainnya masih berpencar, teracak dan butuh bantuan, atau semacam kunci. Ren sendiri tak terlalu pintar menafsirkan teka-teki, terlebih cerita rumpang. Kesimpulan darinya hanya akan berbuah menjadi jawaban tak masuk akal yang mengocok perut. Mengesalkan.

"Kedengarannya itu tragedi yang besar." Gael bergumam. Ia menyadarkan tubuhnya pada rak kayu, ikut berpikir. "Sebuah kastil yang hancur, seharusnya itu tercatat dalam sejarah baru-baru ini."

Vier manggut-manggut. "Mungkin hanya perlu beberapa kunci," katanya, "apa kau ingat seperti apa tempatmu berpijak saat itu?"

Ren berpikir kembali. Yang terlintas di pikirannya hanya asap hitam yang membumbung, ubin yang menghitam, dinding-dinding runtuh, dan langit yang kelabu. Tak ada ciri spesifik yang dapat membantu. Pandangannya sangat terbatas. Ia sama sekali tak bisa berpaling dari perannya sebagai gadis kecil yang tak berdaya.

"Sama sekali tak membantu." Ren mendecak putus asa. Apa ini akan jadi teka-teki seumur hidupku?

"Kau ingat wajah ibumu?" Gael bertanya. Matanya memincing ingin tahu.

"Ya," jawab Ren, "wajahnya terlihat masih muda. Rambutnya berwarna cokelat mengilat yang beraroma manis. Matanya seperti batu topaz kuning, indah sekali."

Gael berpikir sejenak. "Seorang hoffan ya." Ia lantas beranjak ke sisi rak kayu. Tepat di sana, sebuah kotak kayu berdiri. Ren tak pernah tahu ada kotak macam itu berdiri di sana. Gael memunggahnya, mengeluarkan sekumpulan buku-buku sangat tebal dan terselaput debu. "Jika itu berhubungan dengan hoffan, mungkin saja akan tercatat dalam catatan tragedi hoffan," katanya kemudian.

Ren memerhatikan Gael dengan dahi berkerut dalam. Ia baru dengar tentang catatan semacam itu. Tapi catatan macam itu kedengaran lumrah. Toh, banyak sekali tragedi dalam lingkup kehidupan klan hoffan. Yang terbesar dan paling terkenal adalah kejadian seratus tahun lalu. Saat para hoffan dibantai tanpa alasan. Menyisihkan seperlima dari semua yang ada. Mengerikan.

"Nah," kata Gael, "kira-kira tahun berapa itu?"

Ren menengadahkan kepala, menerawang ke atas langit-langit. "Kupikir usiaku berkisar 6 tahunan.

"Sembilan tahun lalu ya." Gael beranjak dari tempanya memunggah kotak kayu. Ia meletakkan sebuah buku tebal ke atas meja. Debunya bertebaran, membuat Ren bersin beberapa kali. "Bantu aku mencarinya. Mungkin ini bisa jadi salah satu kuncinya."

Ren hanya mengangguk dan ikut menyimak tiap tragedi hoffan yang terurut. Entah bagaimana bisa Gael memiliki begitu banyak dokunen penting tentang hoffan. Tapi, yang pasti, semua ini sungguh membantu Ren. Beruntung sekali Vier dekat dengan laki-laki itu. Ah, tidak. Ren yang beruntung di sini. Semua orang tetap saja punya dua sisi takdir, seumpama mata koin. Apa pun itu, semuanya adalah sebuah kesatuan yang runtut.

Beberapa waktu berlalu. Senja sudah lewat dan waktu makan malam hampir saja tiba. Namun, belum ada kunci yang mereka dapatkan. Sepanjang sore menyisir catatan tragedi hoffan sama sekali tak membuahkan hasil.

"Kita lanjutkan saja pencarian ini besok," kata Gael mengakhiri kegiatan mencarinya, "Madam Xane akan marah jika kita tak terlihat di ruang makan dengan alasan macam ini."

Ren mendengkus pasrah. Mungkin bukan saat ini ia tahu jawabannya. Barang kali lain waktu. Yah, setidaknya sedikit mengesampingkan ingatan kalung topaz, ia bisa fokus memikirkan ingatan lain. Apa ini artinya Edgar bohong? Memikirkan itu malah membuat kepalanya pening. Ia hanya berharap tak bertemu Edgar sementara waktu atau semuanya akan berantakan. Setidak-tidaknya ia tahu

maksud dari ingatan mengerikan itu. Berhubungan atau tidaknya dengan ingatan dari kalung topaz, pikirkan saja nanti.

Paginya, saat matahari belum juga tampak di ujung cakrawala, Ren terbangun. Ia terbangun terlalu dini. Musa yang biasanya bangun paling duluan pun masih tenggelam di dalam selimutnya. Suasana kamar benar-benar senyap. Lampu-lampu tidur sewarna dedaunan maple masih menyala. Kelambu tebal di sisi tempat tidur juga masih tertutup rapat. Bahkan ia tak yakin, ayam jantan sudah bangun sepagi ini.

Ren tidur kurang nyeyak akhir-akhir ini. Hatinya benar-benar reasah. Di saat bersamaan, Edgar tak lagi sering menampakkan dirinya. Ren bahkan tak tahu, masihkan ia membuntutinya ke mana pun. Apa ada masalah hingga ia tak menemuinya lagi. Atau jangan-jangan ia tahu Ren mengkhianatinya dengan bercerita dengan Vier? Gadis itu berguling tak nyaman, menarik selimut hingga menutupi bahu. Biasanya ia akan berharap Edgar tak menghampirinya, tapi mengapa kali ini rasanya lain. Ada yang janggal kalau laki-laki itu tak muncul. Apa ada suatu masalah?

Semuanya membingungkan. Tak ada yang benar-benar Ren mengerti. Ingatan yang teracak dan tak terbaca. Memusingkan dengan segala ketidakjelasannya. Seorang dark yang tiba-tiba datang padanya. Mengaku berada di pihaknya, memberi ingatan yang tak dapat dijamin kebenarannya. Sang Precious menghilang. Seolah dulunya ia hanya bagian dari imajinasi Ren semata--yang kini telah memudar dan hilang. Sebuah ingatan mengerikan menghentak dan mengalutkan hatinya. Sosok ibunda yang terasa tak asing dan peristiwa yang tak ia ingat jelas. Bukankah semua ini membuatnya hampir gila?

Ren kembali berguling ke sisi lain. Ia meremas dadanya yang sesak. Sampai kapan ini akan berlangsung? Semua petunjuk yang ingin ia gali sejak pertama kali mendengar cerita bunda Isha, pengurus panti asuhan--tentang kisah gadis kecil malang yang ditemukan di hutan--menguap tanpa makna. Ia tak lagi ingin. Setelah digali dan diusut, semuanya malah makin kabur dan membuat kepalanya akan meledak sewaktu-waktu. Ren juga tahu, orang-orang di sekitarnya akan membantunya. Namun, cukupkah mereka menemukan jawaban? Apa yang bisa dilakukan Vier? Dia cukup cerdas, tapi mana bisa menebak ingatan Ren yang tak jelas itu. Terutama yang tak dapat dimengertinya. Gael? Dia hoffan, tapi dia tak punya kemampuan membaca ingatan yang sudah hilang. Apa yang bisa ia baca?

Apakah semuanya akan gelap, atau takdir masa lalu akan membukakakn pintu untuk Ren?

Ren sempat terlelap lagi, dan terbangun saat matahari sudah naik agak tinggi. Hari ini libur untuk kelas dan ujian benar-benar telah selesai. Dan mulai besok, akan ada kelas dansa dadakan. Sebagai persiapan atas pesta dansa sebagai penutup semester dua. Kesibukan AirStreet benar-benar tidak akan reda.

"Ren, bangun dari sana dan ayo pergi sarapan!" Musa menarik selimut Ren halus.

Gadis yang dibangunkannya mengerang pelan, sebelum akhirnya duduk sembari mengucek kedua matanya. Ia memendarkan pandangannya sesaat. Sudah sepi. Entah dirasuki apa Anne yang susah bangun di hari libut itu sudah tak lagi di ranjangnya.

"Ke mana Anne." Ren bangun dan membereskan tempat tidurnya yang masih berantakan.

"Cecil dan Eva menariknya keluar beberapa jam lalu. Mereka buru-buru seperti sedang kebakaran jenggot. Entahlah, aku tak mengerti isi kepala mereka."

Ren beranjak, membersihkan diri, lantas berpakaian kemas. Selepasnya Musa menariknya keluar kamar. Ini hari libur. Mungkin, akan banyak orang bangun kesiangan di ruang makan. Di hari libur, semuanya memiliki jam sarapan abstrak. Membuat pengurus bagian makanan merutuk. Tidak terjadwal. Sama sekali tak terlihat seperti bangsawan! Masa bodoh.

Seperti yang Ren duga, ruang makan masih ramai walaupun ia bangun kesiangan. Padahal matahari sudah mulai tinggi dan kala tak bisa dikatakan pagi lagi. Gadis itu mengedarkan pandang dan menemukan ketiga biang rusuh tengah duduk di bangku ujung. Posisinya sangat jauh dan tidak strategis. Mimpi apa mereka sampai mau duduk di bangku itu?

"Apa yang kalian bicarakan sampai setegang itu?" Musa meletakkan bakinya di meja mereka. Manik cokelatnya menyisir, membaca air muka trio biang rusuh.

Ren ikut meletakkan bakinya, lantas duduk. "Apa kalian menutupi sesuatu dari kami?" Ia mengetukkan sendoknya dengan mangkuk hingga menimbulkan dentingan kecil.

Wajah Cecil, Eva, dan Anne memucat. Seolah dugaan Ren ada benarnya. Mereka berpandangan, berkomunikasi lewat mata yang terbaca, "bagaimana ini?" Bertanya satu sama lain dengan menyimpan jawaban sama yang tak perlu lagi mereka pertanyakan. "Tak tahu."

Mata Musa memincing. "Jadi," katanya, "ada yang kalian sembunyikan dari kami? Apa itu?"

Mereka bertiga masih bungkam. Enggan mengatakan yang sesungguhnya. Ren penasaran. Apa yang membuat mereka seenggan itu mengatakannya? Apa itu sebuah hal menalukan, atau hal yang membuat Musa kesal?

Cecil membuka mulut, lantas bicara dengan suara kecil yang lebih mirip cicitan, "Maafkan kami, Ren."

Ren menahan sendoknya, membatalkan niat untuk menyuap. "Kenapa minta maaf padaku?" Ia mengedikkan bahu.

Mereka tak bersegera menyambut pertanyaan Ren. Malahan, semakin lama saling menatap satu sama lain. Bertingkah janggal. Mengetuk-etuk jari ke meja, menggigit bibir, dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Gelagat mereka membuat mata Musa makin menyipit.

"Masalah apa lagi yang kalian lakukan?"

Cecil berdiri spontan, membuat semuanya terkejut. "Maafkan kami, Ren! Kau jadi korban taruhan kami dan Ribbon," katanya cepat seolah kata-kata itu sudah tak bisa lagi ditahan.

Eva dan Anne membelalak, lantas membuang muka dari Ren dan Musa di hadapannya. "Maaf," kata mereka lemah.

Sedangkan Ren dan Musa saling berpandangan tak paham.

"Ya, ya. Minta maafnya sampai situ saja. Ini sudah waktunya eksekusi."

Semua pandangan beralih pada sosok nyentrik yang baru saja datang. Ribbon. Suaranya sudah membuat telinga mereka berdengung, dibawakan dengan nada tinggi, penuh percaya diri, dan sumbang. Ia juga datang bersama rombongannya yang serupa pengikut ajaran sesat. Kelompok fanatik yang mau untungnya saja. Ren lebih geli lagi dengan penampilannya. Ia mengenakan baju ketat, sekali pun musim dingin tak membuat sweternya sedikit tebal atau menutup bentuk tubuhnya. Rambutnya yang ikal diikat twin tail tinggi, dijejali jepitan pita merah--pita yang menjadi ikon seorang Ribbon. Anting berpermata lazuardi besar berayun-ayun di telingannya. Kelihatan sekali ia memamerkan batu permata itu.

"Eksekusi?" Ren menatap ketiga biang rusuh yang enggan menatapnya.

"Oh, temanmu yang baik itu belum memberi tahumu selengkapnya," ujar Ribbon sembari meperhatikan kuku jarinya yang dipoles warna-warni.

"Apa yang kalian lakukan?" Musa menatap tajam ke arah trio biang rusuh. Manik cokelatnya berkilat, seakan siap melumat ketiganya.

"Well," kata Ribbon, "biar aku menjelaskannya." Ia menawarkan sembari menjereng senyum. "Jadi begini, kami mengadakan taruhan lewat AirStreet Caste. Tantangannya, siapa yang pada waktu  ditentukan berada di kasta lebih tinggi dari lainnya, dia yang menang. Dan yang kalah harus menerima hukuman," jelasnya dengan wajah bangga.

"Apa hubungannya dengan Ren?" Musa menyela, tak tahan dengan ekspresi menggelikan Ribbon. Tak perlu mempertanyakan siapa pemenangnya, ini sudah jelas. Trio biang rusuh itu terlampau bodoh dan selalu termakan emosi--mengambil jalan-jalan berkerikil yang tak mungkin mereka bisa lalui. Ceroboh dan kadang merugikan orang lain.

"Aku meminta menjadikannya taruhan. Aku bebas menjatuhkan apa saja pada gadis mungil kalian jika aku menang. Dan yeah, mereka bertiga setuju." Ribbon mengarahkan jari telunjuk ke arah Cecil, Eva, dan Anne sembari menggerakkannya melingkar. "Dengan keuntungan mereka tak akan dapat hukuman."

Ren terhentak, lantas menatap ketiga temannya dengan kedutan di dahi--mempertanyakan kebenaran dari perkataan Ribbon. Namun, mereka bertiga hanya terdiam. Berpaling dan menghindari tatapan Ren yang seumpama menjadikan mereka tersangka.

"Jadi, ayo! Eksekusi akan segera dilaksanakan."

Ribbon memberi isyarat pada dua teman terdekatnya dengan jari. Mereka berdua lantas mengangguk dan menarik Ren untuk berdiri. Musa yang tak terima menghalau mereka, ikut berdiri lantas menyingkirkan tangan-tangan mereka yang hendak membawa Ren.

"Mana bisa seperti itu! Kita butuh perjanjian konkret untuk hal semacam ini." Wajah Musa merah padam. Matanya berkilat marah. Ren tak pernah melihat ekspresi Musa yang macam itu. Ia selalu terlihat tenang dan tegas, tipikal yang tak akan mudah marah.

"Oh, tentu saja." Ribbon menyeringai. Ia mengutik gadged-nya, lantas menghadapkannya dengan tatapan puas. "Ini resmi dan sesuai dengan peraturan perjanjian AirStreet Caste. Mereka bertiga juga sudah menandatanganinya."

Musa terdiam. Amarahnya sudah sampai di ubun-ubun, ia hampir tak mampu bicara lagi. Mereka bertiga sungguh keterlaluan. Ingin rasanya melempar mereka ke seberang perbatasan. Mengutuk mereka hingga tak dapat lagi kembali ke sisi terang. Tertelan kekelaman dan menjadi budak kegelapan. Selamanya!

"Pegangi dia agar tak menganggu," tutur Ribbon, memerintahkan anak buahnya--yang suka rela ada di sisinya--untuk menahan Musa. Lantas menitah yang lainnya ke luar ruang makan.

Bagai tontonang gratis, banyak orang berkumpul. Tak hanya sekadar berkumpul, tapi menonton Ribbon dan anak buahnya yang menggiring Ren seumpama seorang psakitan. Saling berbisik-bisik. Ada yang menatapnya kasihan, memandangnya dengan seringaian tipis, atau bersikap tak peduli. Intinya, tak akan ada yang tiba-tiba menjadi pahlawan kesiangan untuk menolong Ren dari pemangsa buas bernama Ribbon. Dalah hati, Ren merutuk, mengumpat. Di mana ia bisa marah sebebas-bebasnya, memuntahkan seluruh cela dan keluhannya. Namun, rasanya malah akan meledak saat dirinya tak berdaya di keadaan sesungguhnya. Ia membiarkan dirinya digiring Ribbon dan pengikutnya ke luar ruang makan. Membiarkan orang-orang menatapnya dengan makna beragam. Padahal aku tak melakukan apa-apa. Kenapa mereka lakukan ini padaku. Ren menggigit bibir, menurut saja saat Ribbon menyuruhnya berdiri di dekat dinding.

"Berkumpulah kemari, Semuanya!" seru Ribbon dengan suara nyaring yang membuat telinga Ren ngilu mendengarnya. Beberapa orang yang tadinya tak peduli ikut memperhatikan. "Hari ini aku akan menjatuhkan eksekusi, sesuai perjanjian resmi yang terdaftar pada tantangan AirStreet Caste. Dan dia di sini akan membayar kekalahan ketiga penantangku," lanjutnya bangga.

Ada yang bersorak-sorak, meneriakan dan mengagungkan nama Ribbon. Menjijikan. Sedangkan mereka yang memiliki kasta di atas Ribbon hanya terdiam, mereka penasaran apa yang akan dilakukan perempuan kontroversial itu pada psakitannya. Dan istilah eksekusi itu, mungkin sedikit membuat mereka tertarik.

"Bawa ke mari."

Tiga orang pengikut Ribbon menggotong sebuah beledi tertutup  yang di dalamnya mengangkut cairan asing. Sebelum tutup beledi dibuka, Ribbon mengenakan jas anti air, kacamata, kaus tangan dan penjepit hidung. Ia juga menyarankan semuanya memberi jarak dan menutup rapat-rapat hidung mereka. Ren mengendus curiga. Berharap cairan di dalam belidi tidak lebih buruk dari air comberan.

Saat tutup beledi dibuka, Ren mual sekali. Baunya sangat menjijikan. Perutnya bergejolak, seolah akan mengeluarkan seluruh isinya. Orang-orang di sekitar bergidik jijik. Sembari menutup hidung rapat-rapat, Ren melirik isi beledi. Ada cairan kental berwarna ungu kehitaman meletup-letupkan busa. Sangat kental dan barbau busuk. Baunya seperti ikan busuk yang difermentasikan di tempat sampah.

"Ini adalah lumpur berbau paling busuk di daratan ini," jelas Ribbon. Ekspresinya tampak puas. "Aku mendapatkannya dari zona seberang dan sedikit kucampur dengan formula fermentasiku yang tak kalah luar biasa. Dan ia akan membayar kekalahan temanmu."

Ren bergidik. Ia ingin lari, tapi posisinya terpojok. Ia dipagari barisan orang-orang yang membentuk letter U. Sedangkan di balik punggungnya ada dinding yang membentang. Diperhitungkan lagi, jika setitik cairan itu mengenainya, baunya tak akan hilang dalam seminggu. Tak terbayang seberapa banyak bakteri yang menari-nari di dalamnya. Tak boleh terjadi! Ren menggigit bibirnya. Pandangannya menyapu para penonton. Seolah meminta belas kasih mereka. Setidaknya satu orang saja mau membantunya. Namun, semuanya sia-sia. Orang-orang terlalu penasan tentang cairan lumpur busuk bercampur formula fermentasi apalah-apalah dari Ribbon itu. Orang yang kasihan pun tak berani bertindak, sekadar menatap Ren dengan tatapan kasihan dari barisan paling belakang.

Saat Ribbon menghitung mundur dari tiga ke satu, Ren hanya bisa menahan napasnya. Ia pejamkan mata rapat-rapat, berharap waktu berhenti agar ia bisa kabur dan cairan busuk itu hanya menyiram tembok. Tapi ia tahu, hoffan atau siapa pun tak akan mampu menghentikan gerigi waktu.

"Satu!" Teriak Ribbon disusul jeritan jijik orang-orang.

Namun, ada yang aneh. Dengan pandangan gelap dari mata yang terpejam, Ren tak merasakan sesuatu menyiram tubuhnya. Bahkan, sekadar menitik di kulitnya. Ia masih ingat rasanya basah, tak mungkin inderanya tak peka dengan hal semacam lumpur yang diimpor dari zona seberang . Gadis itu memberanikan diri membuka mata. Ia tertegun kala mendapati sosok familiar telah berdiri di hadapannya. Menghadap ke arahnya dengan ekspresi tak terbaca. Vier. Laki-laki itu merentangkan sebelah lengannya. Ren berpikir kenapa ia melakukan pose aneh itu sebelum akhirnya menyadari tameng es transparan melingkupi mereka.

"Merepotkan ya," katanya setengah berbisik. Vier lantas menasang senyum masam yang membuat wajahnya kelihatan kesal. Seolah tak rela tameng yang tercipta dari elemennya yang murni bersinggungan dengan cairan semacam lumpur impor busuk.

"Untungnya bau cairan busuk itu tak akan meninggalkan bau padamu."

Ren berjingkat kaget saat juga menemukan Gael berdiri di sisi kirinya.

"Kau curang, Senior. Benda itu sungguh lengket dan menjijikan. Aku bisa merasakannya lewat permukaan tameng elemenku."

Tameng elemen Vier buyar, berubah menjadi keping-keping cahaya yang memudar di udara. Semua penonton--yang tadi bersorak-- terdiam. Terkejut dengan kedatangan dua sosok tak terduga yang akhirnya menjadi pahlawan kesiangan. Ren bisa lihat wajah tegang mereka semua. Melihat ketua OSIS di keadaan seperti ini lebih menakutkan daripada bertemu langsung dengan Sie Ketertiban atau pun BK. Mereka semua tahu, hukuman yang dijatuhkan ketua OSIS pada semua pelanggar tak pernah tanggung-tanggung. Melebihi hukuman dari BK yang katanya saja membuat merinding.

"Jelaskan padaku," kata Gael dengan wibawa. Tubuh Ren bergetar. Aura laki-laki itu kala serius benar-bebar luar biasa hingga mampu membuatnya menggigil.

Semua pandangan jatuh pada Ribbon. Gadis itu malah sibuk melepas jas anti airnya yang terciprat lumpur impor busuk. Dihentak-hentakan kakinya itu dengan ekspresi jijik ke arah cairan kental yang mengubang di kakinya. Semuanya gagal total. Tameng Vier membuat serangan lumpur impor berbalik arah dan menghujani ia beserta pengikutnya.

Ribbon mengangkat wajahnya dengan wajah kesal yang tertahan. Ia mencoba tak menunjukkan sisi buruknya di hadapan dua orang yang menduduki peringkat kasta teratas. Tersenyum, ia lantas berkata, "Kak Gael, ini bisa dijelaskan." Ia memberi isyarat pada salah satu pengikutnya, membawakan gadget. "Bagian eksekusi ini sudah menjadi perjanjian. Dan sudah terdaftar resmi di AirStreet Caste. Jadi, Kak Gael, Luca, bisakah kalian menyingkir dari sana. Kami hampir membuat kalian celaka."

"Sejak kapan sesuatu di AirStreet jadi resmi tanpa tanda tangan ketua OSIS atau kepala sekolah?" Perkataan Gael terdengar sarkastik, menusuk telinga. Ren dapat merasakan bagaimana tekanan yang ia berikan dari kalimatnya itu.

Ribbon gentar, wajahnya terlihat masam. "A-apa?"

"Bubar kalian semua!" seru Gael pada seluruh masa yang masih berkerumun. Mereka tak berkata apa-apa, hanya berbalik pergi seolah tak ada apa-apa. "Dan kalian, ke ruang ketertiban sekarang juga," lanjutnya dengan wajah garang, tanpa belas kasihan. Selepasnya, ia menghela napas panjang, menghapus ekspresi murka dari wajahnya. Ia menoleh ke arah Ren dan berkata, "Ikuti aku. Ada yang harus kita bicarakan."

Pandangan Ren jatuh pada cangkir keramik dengan kepulan asap menari-nari di atasnya. Semerbak aroma teh kamelia merasuki indera penciuman. Gadis itu melirik Musa di sisinya. Ia duduk manis, menyesap teh kamelia dengan sangat anggun. Ciri khas tata krama seorang bangsawan, terlihat sangat natural. Ia tadinya mengekori Ren dan terus menatap Gael dengan penuh kewaspadaan, seakan berkata, "Jangan macam-macam dengannya!" Ren pikir Gael akan mengusirnya dengan suara berat dan tegas, tapi sungguh tak terbayangkan, ia membiarkannya begitu saja. Ren juga baru tahu, Musa dan Gael sudah saling mengenal dan cukup akrab--melebihi hubungan ketua dan bawahan OSIS, Ren rasa.

"Jadi, ada masalah apa?" Pandangan Ren beralih pada Gael yang duduk di depannya, tepat di sisi Vier yang tengah menikmati tehnya dengan penuh penghayatan.

"Aku ingin meminta bantuanmu," katanya, "anggap saja ini praktik latihanmu selanjutnya."

"Bantuan macam apa?"

"Mencari posisi barrier AirStreet Caste," sahut Vier selepas menyesap tehnya. Ren pikir, ia akan terus menikmati tehnya dengan apatisme tinggi.

Gael mengangguk. "Posisi barrier itu ada di kuil barrier. Di mana delapan kendali barrier utama berada. Tersembunyi di antara kristal-kristal kendali. Mungkin, dengan penglihatan hoffan-mu kau mampu membantu kami. Selain para pemilik elemen dewa, sebagai pemegang kendali kristal-kristal itu, kita butuh orang-orang dengan penglihatan khusus. Karena salah ambil kristal, bisa jadi kendali barrier akan menjadi tidak seimbang dan berpotensi merusak selubung barrier Shappire yang sudah melindungi kita selama berabad-abad."

Ren fokus mendengarkan, sampai sebuah pikiran melintas di kepalanya. "Akan kalian apakan kristal kendali itu?"

"Menghancurkannya," jawab Vier.

Manik Ren melebar. Tak percaya AirStreet akan mengambil tindakan beresiko sejauh itu.

"Ya," kata Gael, "AirStreet Caste benar-benar membuat semua orang jadi sinting."

"Kapan kita akan mulai?"

Gael mengangkat bibirnya, senyumannya hampir terlihat sebagai seringaian. "Malam ini juga."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top