Chapter 20²


Ujian kenaikan sudah memasuki hari-hari akhir. Yang tersisa hanya tiga ujian tertulis dan dua ujian praktik. Ren sendiri sudah menyelesaikan ujian praktik seni berpedang. Karena sudah terbiasa mendapat sabetan pedang Vier, ia mampu bergerak-gerak gesit melawan teman sekelasnya, Erlando Yulian, laki-laki sombong di kelas. Ren merasa puas dengan keberhasilannya menjatuhkan laki-laki itu. Apalagi saat melihat wajahnya ketar-ketir dan berulang kali mengucapkan makian.

"Kenapa kau cengengesan?" Anne mengambil alih tempat duduk kosong di sebelah Ren. Gadis itu baru saja berguling di tanah lapangan dalam ruangan. Merebah di atas rumput hijau yang basah, hingga punggung dan rambutnya dipenuhi potongan hijau rumput. Ia kalah berduel dengan Sarah. Gadis pendiam yang duduk di belakang kelas. "Kau menertawakanku, ya?"

Ren menggeleng. "Tidak."

Anne mendengkus, lantas meluruskan kakinya. "Dia benar-benar mengejutkan. Kupikir aku akan menang dengan mudah." Matanya menatap ke arah Sarah yang ada di sisi lain lapangan.

"Kau tak boleh meremehkan orang lain," tutur Ren sembali merenggangkan otot-otot jarinya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa mengalahkan Erlando? Maksudku, Aku tahu kemarin-kemarin kau bisa mengalahkan Luca, tapi kau juga bilang dia tak serius."

Ren menelengkan kepala lantas tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Anne.

Yah, dirinya cukup berlatih keras akhir-akhir ini. Maksudnya bukan pedang, tapi dengan matanya. Hampir setiap hari ia bertarung dengan Vier. Di tengah lapangan dengan melawan suhu dingin, atau melompat di antara sofa-sofa ruangan Gael. Mereka berdua sudah terbiasa membuat ruangan ketua OSIS itu berantakan. Membuat buku yang tadinya berbaris rapi di rak kayu berhamburan. Mengubah posisi sofa menjadi tidak simetris, atau membuat karpet beledu di bawah sofa kusut. Setelahnya, Gael akan datang dengan wajah berang. Berseru marah, lantas membuat mereka berdua jadi sepasang pembantu dadakan, memberesi barang-barang yang bahkan tak mereka sentuh.

"Lihat, kau menahan tawa lagi," cetus Anne sembari termanyun.

"Haha, maaf. Hanya teringat sesuatu."

"Oh, ya," kata Anne sembari menegakkan tubuh. Jemarinya sibuk memilin-milin helai rambut yang keluar dari kepangan. "Sebentar lagi ada malam pesta dansa sebagai penutupan semester dua. Dan ada kelas dansa dadakan. Kau bisa berdansa?"

Ren menggeleng. "Tak ada tradisi macam itu di kotaku," tuturnya kemudian.

Menjejak pualam bagus saja baru selepas ia masuk Royal High School, bagaimana mungkin ia pernah berdansa? Yah, walaupun berdansa seorang diri di bawah air hujan pernah ia lakukan. Jika itu masuk kategori dansa.

"Katanya, pasangan dansa juga akan diundi," cetus Anne lagi. Maniknya menimbang-nimbang. "Bagaimana menurutmu?"

"Entahlah, kupikir tak ada salahnya. Kecuali kau punya kekasih dan tak bisa berdansa dengannya," gurau Ren sembari terkekeh.

"Kalau kau beruntung, kau akan bersanding dengan orang populer," sela Cecil yang baru saja selesai praktik.

"Siapa tahu kita akan jatuh cinta saat itu," tambah Eva berseri-seri.

"Kalian baru saja datang dan merusak imajinasi Ren yang sempit." Anne mencibir sembari menautkan alianya.

Ren menggelengkan kepalanya. Siapa pun yang menjadi pasangan dansanya kelak, semoga ia tak menginjak kakinya.

Matahari telah lengser dari takhta tertingginya. Merendah di antara cakrawala yang tertutup pepohonan ek yang dilingkupi salju. Langit di sebelah barat tampak memerah, seolah kobaran api yang menjilat-jilat. Gundukan salju yang terhampar tampak juga memantulkan cahayanya yang berani itu. Menjadikannya seumpama es yang terbakar. Merah dan berkilau.

Sore itu juga, Ren menyusuri koridor lengang sembari memeluk lembaran kertas yang terjilid rapi, juga sebuah amplop cokelat. Madam Judy membuatnya jadi kurir dadakan sore ini. Memboyong berkas-berkas yang seharusnya sudah ada di ruang pertemuan para pemilik element of god. Katanya, para pemilik elemen dewa dari sisi gelap datang sore ini. Untuk pertama kalinya kedua sisi pilar barrier itu dipertemukan. Dan karena itu pula, Ren harus repot-repot mengantarkan jilidan kertas yang entah apa isinya.

Salju tampak berkilauan ditimpa cahaya matahari yang mulai meredup. Pemandangan itu tampak jelas dari jendela-jendela lebar koridor. Di mana Ren bisa sedikit melirikan matanya untuk melihat sisi luar. Sisi yang dipenuhi hamparan salju. Dingin dan membekukan. Sebuah suasana yang bisa saja membunuhnya dalam sekali tusukan hawa dingin.

Ren terhenti seketika kala mendapati seorang gadis mondar-mandir dengan wajah Resah. Gadis yang tampak sebayanya itu memiliki helaian rambut berwarna keperakan. Tampak begitu bercahaya tertimpa cahaya dari luar jendela. Kulitnya putih pucat, seolah tak pernah mendapat cahaya matahari. Maniknya abu kebiruan, seperti permata langka yang Ren tak tahu pasti namanya. Gadis itu tampak bergerak-gerak bingung. Berulang kali mengepalkan jari dan menengok jendela. Seperti tengah mencari sesuatu.

"Permisi," sapa Ren ragu, "apa ada yang bisa kubantu? Kau kelihatan kebingungan."

Gadis itu menatap Ren sesaat, sebelum sepasang matanya berbinar dan ekspresinya berubah cepat. "Syukurlah kau ada di sini!" serunya sumringah.

"Ah, ya." Ren kebingungan. Perempuan itu bicara seolah mengenalnya. Bahkan, ia bicara tanpa keraguan, tersenyum tanpa rasa canggung pada. "Jadi, apa yang bisa kubantu?"

Bibir perempuan itu terangkat. "Ah, begini. Tadi Edmud mengajakku langsung ke ruang pertemuan, tapi aku bilang akan berkeliling sebentar. Dan aku tersesat. Untunglah aku bertemu denganmu," katanya secepat angin berhembus. Cara bicaranya itu mengingatkan Ren tentang Syira. Gadis comel dan hiperaktif.

"Kebetulan aku akan ke sana. Mari," tawar Ren.

Gadis itu hanya mengangguk, lantas berjalan di samping Ren. "Namaku Lunar, Lunar Elscrea," katanya sembari mengulas senyum lebar.

"Panggil aku Ren," sahut Ren kemudian.

Koridor masih lengang. Senyap dengan ubin putih polosnya yang menghampar. Angin sepoi merasuk lewat ventilasi terbuka di atas jendela kaca yang berembun. Sesekali ia mengibarkan rambut Lunar yang keperakan. Ren suka menatap wajah gadis itu lama-lama. Apalagi dengan tinggi mereka yang sepadan, tak perlu susah untuk melihat wajahnya yang dibalut kulit sepucat salju di luar sana. Entah kenapa, semakin lama Ren marasa familiar. Perasaan yang kau dapatkan saat merasa mengenal orang yang pertama kali kau temui. Seumpama deja vu. Seperti ikatan batin. Rasa-rasanya seperti ... Moon?

Ren melengos. Tentu saja dia Sang bulan. Dia juga bilang akan ke ruang pertemuan, bukan? Dari warna matanya yang langka itu, bukankan sudah jelas. Marganya juga Elscrea. Ren pernah membacanya di salah satu buku bersampul tua di perpustakaan. Tentang klan di zona dark yang turun-temurun menerima berkah sebagai klan para bulan. Elscrea, klan terhormat. Kehormatannya melebihi bangsawan tertinggi, dan hierarkinya tepat di bawah raja. Sebuah klan yang agung dan mengangumkan.

"Lunar!" sebuah panggilan menghentak Ren dari lamunannya.

Seorang laki-laki bersurai hitam kecokelatan tampak berkacak pinggang. Berdiri tepat di depan pintu, memasang tampang garang dan siap melumat Lunar dengan amarahnya yang ada di ujung kerongkongan.

"Ha-ha," Lunar tertawa datar, "itu Edmud. Bisa kubayangkan telinganya mengepulkan asap," bisiknya kemudian sebelum memasang senyum kecut.

Laki-laki bernama Edmud itu melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Lunar mengamit tangan Ren dan berlindung di balik tubuhnya. Wajahnya mengintip ragu-ragu. Menilik Edmud yang ekspresinya mirip singa kelaparan. Siap mencabik dan melumat.

"Kemana saja kau? Sudah kubilang jangan jauh-jauh! Mengingat dirimu yang buta arah itu," sembur Edmud lebih mirip ditujukan pada Ren karena Lunar menjadikannya tameng.

Ren mengangkat sedikit wajahnya. Mengamati laki-laki yang berdiri menjulang di hadapannya. Berdiri berkacak pinggang dengan ekspresi angkuh. Tatapan tajam tersorot begitu saja dari sepasang mata hazelnya. Dingin dan mampu memberi sengatan pada Ren saat menatapnya. Kengerian yang luar biasa.

"Dan," kata Edmud sembari melirik Ren, "kau ini siapa?"

Belum sempat Ren menjawab, Lunar melepaskah genggaman tangan dari lengannya. Ia mendekat ke arah Edmud dan mencubit pinggangnya. Laki-laki itu meringis sebelum akhirnya menyingkirkan paksa tangan Lunar.

"Bicaralah yang sopan! Ini sekolah bangsawan," cibir Lunar.

Edmud mendecak. "Siapa yang peduli?" Ia mengendikkan bahu, memasang tampang tak acuh. "Aku butuh jawabannya, bukan darinmu." Diacaknya rambut keperakan Lunar yang mudah ia gapai dengan tingginya yang semampai--sebuah penghinaan untuk orang pendek.

"Eh, a-aku hanya mendapat tugas dari Madam Judy untuk mengantarkan berkas ini." Ren menunjukkan berkas yang terjilid rapi di tangannya. "Apa kau bisa membawanya masuk?" Ia menatap Edmud penuh harap, berharap laki-laki itu cukup rendah hati untuk memenuhi permintaannya.

"Kau tak masuk?" sela Lunar dengan dahi berkerut.

Ren menyerahkan jilidan berkasnya pada Edmud, lantas menjawan, "Tidak. Tugasku hanya ini saja."

"Yah, ya." Edmud berujar tak peduli. "Cepatlah masuk, Lunar." Ia berbalik tak acuh dan masuk kembali ke dalam.

Lunar masih menatap Ren dengan tatapan kecewa. Alisnya turun, mempertegas emosi yang dipancarkan wajahnya. Ren pun tak lekas bergegas karena tatapan itu seolah melarangnya pergi.

"Ren, bukankah kau sun? Kenapa tak masuk?"

Ren terhentak. Sepintas, ucapan Ellea berklebat di pikiran. Saat ia berulang kali di tarik ke alam bawah sadar. Dan saat Ellea memberitahunya terang-terangan tentang setengah sun yang tertanam dalam dirinya. Ren beralih menatap Lunar. Gadis berambut keperakan itu masih menatapnya penuh tanya. Bingung sekaligus kecewa. Seakan ia baru saja mendapat pengharapan palsu.

Lekas-lekas Ren menggeleng, lantas mengukir senyum canggung. "Tidak. Aku hanyalah gadis hoffan biasa," tuturnya kemudian. Ia lantas berpamitan pergi. Menjauh dan menghindar dari pertanyaan runtut Lunar.

Gadis bersurai keperakan hanya menatap punggungnya yang menjauh. Dalam hatinya, ia masih terus berontak manyapu argumen bahwa dirinya salah menafsirkan. "Hubungan batin antara sun dan moon melebihi sepasang saudara kembar. Bukankah kau merasakannya?" gumamnya.

Angin berhembus bersama keping-keping salju. Bertiup makin gencar dan mengumbar hawa dingin. Tak ada yang menarik diamati. Yang ada hanya serumpun alam yang tertimbun putih. Terhampar kosong tanpa warna.

Lunar menghempas syalnya sarkas saat sibakan angin membuatnya berkibar. Gadis itu mendengkus kesal, menatap gundukan-gundukan salju yang bertimbun. Di bawah pohon apel yang membeku, ia duduk malas-malasan. Mendudukkan diri tak acuh di atas bangku kayu yang beku. Suara Edmud yang tengah bercakap-cakap dengan seorang Sky--yang ia tak ingat namanya--samar terdengar. Lantaran pikirannya melanglang buana. Diabaikannya juga Sun dan Nature yang duduk di sisinya. Ia lebih berminat mengingat sosok Ren. Bagaimana mungkin aku lebih berharap ia Sun, padahal Sun sendiri ada di hadapanku?

"Lunar," panggil Edmud sembari menoel lengannya. "Rise mengajakmu bicara."

Lunar menegakkan duduknya. Ditatapnya Rise yang menjerang senyum menunggu jawabannya. "A-apa tadi?"

"Dari tadi kau melamun. Ada yang mengganjal hatimu?" Rise bertanya ramah, penuh perhatian.

Lunar menggeleng lekas. Pikirannya masih terbagi. "Hanya terpikir sesuatu. Bukan hal yang besar."

"Jika ada yang mengganjal hatimu, kau bisa berbagi pada kami," sahut Sang Nature, Lya Verrin.

Kedua perempuan di hadapannya tampak ramah. Namun, entah kenapa Lunar muak melihat senyum mereka. Apa yang salah dari dirinya? Ia tak dapat tidur sepanjang malam, sekadar untuk menahan gejolak hati yang meletup-letup. Perasaan gembiranya yang tak tertahan saat pada akhirnya ia akan bertemu para pilar barrier dari sisi lain dark. Mereka yang terang dan hangat. Ramah dan murah senyum. Tapi mengapa dirinya mengharapkan hal lain saat tiba di sana? Apa yang sebenarnya ia inginkan?

Lunar berdiri, lantas merenggangkan otot jemarinya yang menegang. "Aku baik-baik saja," katanya kemudian. Ia memendarkan pandangannya. Seolah mencari hal menarik kecuali hamparan selimut putih di hadapan. Hal lain kecuali pepohonan dan bangunan yang membeku. "Aku ingin berkeliling. Kau ikut, Edmud?"

Laki-laki yang dituju menggeleng halus. "Maaf sekali, Lady. Aku harus memberesi barangku."

Lunar mendengkus, lantas beralih pada Sun dan Nature. "Bagaimana kalian?"

"Kami harus mengulang pelajaran kami," tolak Rise halus.

"Ujian ini benar-benar merepotkan," cecar Lya kemudian.

"Sky?" Lunar melirik ragu Sky yang berdiri di sisi Edmud. Laki-laki bersurai kebiruan itu tampak tak banyak bicara. Tapi, dilihat dari mana pun akan tampak aneh kalau ia cerewet.

"Aku harus ke ruang OSIS," sahutnya dengan rasa bersalah.

Lunar menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Baiklah, aku akan berkeliling sendiri."

Beberapa detik setelahnya, semua berpencar. Menuju kesibukan mereka masing-masing. Banyak hal yang harus dilakukan, atau sekadar malas-malasan di atas ranjang dengan selimut hangat. Lunar sebenarnya ingin melempar dirinya ke atas ranjang, tapi penasarannya akan Ren menahannya untuk kembali.

"Kira-kira, ke mana aku harus mencarinya," gumamnya pelan. Maniknya menerawang angkasa dalam sorot samar matahari. Berkas-berkas yang menerobos gumpalan awan tebal di angkasa. Melingkupi ranah AirStreet dengan mendung dan keping salju yang berjatuhan.

Potongan-potongan pikiran Lunar berpencar. Mencari jawaban di sudut-sudut gelap pikirannya. Berharap mendapat jawaban secepat mungkin. Hatinya bergejolak, dilanda penasaran tak terperi. Lebih menyiksa ketimbang terluka oleh goresan pedang atau tertusuk mata panah. Lunar menggeram. Merutuki rasa penasarannya yang mirip kekang penyiksa. Gadis itu beranjak gusar dan mengingat sosok yang memiliki hubungan batin dengan sun selain dirinya. Sky! Ia berlari. Berharap laki-laki bersurai kebiruan itu belum terlalu jauh melangkah.

Jika perasaannya terhadap Ren bukan khayalan atau fiktif belaka, sky pasti juga merasakannya. Tentang elemen gadis itu yang janggal. Juga tentang perasaan familiar yang tak lagi asing. Namun, jika ia sky berkata tidak, hanya ada dua jawaban: insting dan indera Lunar yang tak lagi bisa dipercaya, atau indera sky yang memang sudah rusak.

Lunar hendak meneriakan nama Sang langit saat menjumpai laki-laki itu berjalan tak jauh di depannya. Menjelajahi jalan batuan dekat air mancur yang membeku, terfokus pada benda persegi di tangannya. Namun, gadis itu tak ingat namanya sama sekali. Entah kata apa yang laki-laki itu sebutkan sebagai namanya saat perkenalan mereka. Pikiran Lunar buntu. Dan akhirnya, yang terucap dari bibirnya adalah, "Sky!"

Sang pemilik elemen langit berhenti mendadak, membuat Lunar hampir menubruknya. Laki-laki itu menatapnya dengan kernyitan di dahi. "Kenapa kau buru-buru seperti itu?" tanyanya sembari menutup buku di tangannya dengan berat hati.

"Ah, anu." Lunar menggaruk tengkuknya, melonggarkan syal yang terasa mencekik. "Apa kau kenal seseorang bernama Ren?"

Sky terdiam, tapi dari pancar matanya,ia tahu sesuatu.

"Kurasa begitu," katanya ragu.

"Bisa kau katakan padaku di mana aku bisa menemuinya?" Lunar menguncang lengan laki-laki itu tak sabaran.

"Sebelum itu," kata Sky, "bisa kau beri tahu aku alasan kau ingin menemuinya?"

Lunar tampak ragu-ragu. Bagaimana jika laki-laki bermanik nilam itu menganggapnya sebagai guyonan. Seperti Edmud yang mengatai inderanya bermasalah. Akhirnya, gadis itu menghela napas dan mulai bicara, "Aku tahu, mungkin ini terdengar gila dan mengada-ada." Ia meremas syal yang tergantung sampai pinggangnya. "Tapi aku merasakan hawa sun padanya. Lemah dan sedikit gelap."

Sky menatapnya dalam diam. Sorot matanya menginterogasi. "Aku akan membawamu padanya, tapi bisakah kau rahasiakan ini semua dari orang lain."

"Ya!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top