Chapter 16²
Lampu-lampu sudah mulai menyala, membuat koridor-koridor senyap itu terang. Di balik jendela, salju masih turun. Membawa serta-merta hawa dingin, menurunkan suhu udara dari hari ke hari. Lagaknya, Ren pun perlu mempersiapkan pakaian yang lebih hangat lagi. Ia tak bisa terus menggigil dan berakhir dengan flu. Dirinya tak ingin menunggu hipotermia.
Engsel pintu berderit saat Ren membukanya. Yang ia temukan di dalam ruangan hangat itu adalah ketiga temannya yang tengah ribut membicarakan suatu hal--yang tak dapat Ren mengerti bagian menariknya. Sedangkan Musa duduk di sofa dekat mereka, menyimak sebuah majalah AirStreet yang terbit minggu ini.
Ren menghela napas panjang sambil menutup pintu. Ia mengambil napas dalam-dalam, membaurkan diri dengan kamarnya yang hangat. Salju dan cuaca dingin benar-benar merepotkan.
"Hei, Ren," panggil Cecil, "kemana saja kau? Ini sudah petang."
"Hanya mengurus kepentingan tambahan." Ren menjatuhkan dirinya ke atas kasur, membiarkan kasur dengan seprai lembut dan hangat memeluknya.
"Oh, ya. Tadi kau kenapa? Excel ke mari," tambah Eva dengan alis bertaut.
Ren menegakkan kepalanya. Ia bahkan lupa tentang bagaimana Excel mendapatkan obatnya secepat itu. Yang pasti, obat itu bukan jenis yang mudah di temukan di unit kesehatan. Lebih logis jika laki-laki itu benar-benar mendatangi kamarnya. "Excel?"
"Ya," jawab Cecil, "dia mengetuk pintu seperti orang kebakaran jenggot, lalu bertanya panik." ia bercerita dengan wajah agak berseri. Mungkin suatu kenikmatan bertemu dengan Excel dan bicara lebih dekat dengannya.
"Kami sangat terkejut!" seru Anne. "Bagaimana Excel bisa kemari dan mengambil obatmu?" tanyanya kemudian.
Mereka bertiga sama-sama menatap Ren penuh selidik. Manik mereka berkobar seolah berkata, "Bagaimana bisa kau dengan mudahnya mendekati orang yang selama ini ada di daftar kami untuk didekati?" Ya, kalau dipikir-pikir, aneh juga. Ren bahkan tak pernah terlihat atau dekat dengan sepupu Vier itu. Tentu hal demikian akan menjadi kejadian menggemparkan untuk teman-temannya yang memiliki kecenderungan orang populer.
"Eh, i-itu bukan seperti yang kalian kira." Ren terbata. Tatapan ingin tahu ketiga temannya terasa lebih seram dari sebuah tatapan interogasi pada seorang tersangka. "Saat itu sakit kepalaku kambuh. Dan hanya ada Excel di tempat kejadian. Jadi, dia menawarkan bantuannya saja."
Alis Cecil, Anne, dan Eva bertaut. Terlihat tak puas dengan jawaban Ren. Sekiranya ada hal yang lebih menakjubkan atau sesuatu yang romantis di balik itu. Kenyataannya itu adalah hal lumrah.
"Oh, kau beruntung sekali." Anne bicara dengan wajah berbinar. "Itu kesempatanmu untuk mengenalnya," tambahnya semangat.
"Ah, jangan bicara yang tidak-tidak." Ren tersenyum kecut.
Ia sudah cukup sampai di situ saja mengenal Excel. Ia tak bisa kenal lebih jauh dengan orang yang notabenenya musuh Vier--jika sifatnya masih sama dengan apa yang ada di masa lalu. Excel juga sudah terlalu banyak penggemar, akan ada masalah jika tersiar kabar anak baru yang mendekati serorang pangeran ramah, Excel. Ren tak mau namanya terpampang di berita majalah dengan status berita terkini, atau menjadi desas-desus tak jelas yang berujung fitnah. Mirip seperti adegan sinetron yang pernah ia lihat.
"Ren, kau ini begitu beruntung. Jangan membuang kesempatanmu sia-sia. Dekati dia, dan naikkan peringkat populermu. Kalau sudah begitu, peringkat kami akan ikut naik." Cecil terkik. "Supaya bisa kita bungkam mulut bebek Ribbon itu."
"Teman-teman, mengenal kalian lebih dari cukup. Aku tak pernah ingin populer, itu adalah sebuah beban." Ren meringis, mengingat tumpukan kado di depan pintu yang pernah membuat Vier sakit kepala. Semua hadiah itu muncul karena ia populer. Menjadi buah bibir, bahkan hingga didekati para penjilat.
Cecil, Anne, dan Eva mendesah pasrah. Cukup sudah, Ren sama kakunya dengan Musa. Mereka berdua tampak tak tertarik dengan yang namanya memanjat naik tangga populer. Bukankah suatu yang membanggakan bisa dikenal banyak orang? Tidak. Ren rasa, hidup dengan biasa saja dan hampir tak dikenal sama nyamannya dengan bunga yang tumbuh tanpa diganggu rumput. Menyerap nutrisi cukup di tanah, juga ruang gerak yang luas tanpa harus berdesakan dengan hama-hama rumput itu.
Lagi pula, Ren sudah merasa cukup dikenal oleh teman-teman baiknya. Dikenal dalam konteks sama seperti dirinya mengenal mereka. Si kembar, Syira, Rezel, Felix, ataupun Vier. Mereka sudah cukup. Ren tak perlu dikenal orang-orang yang malah akan menggunjingnya. Hidupnya sebagai orang awam sudah lebih dari cukup .
"Oh, ya, Ren. Kau tahu tidak, Musa punya sepupu yang tampan." Anne bercerita sembari menepuk pipinya.
"Kenalkan mereka pada kami, Musa," bujuk Cecil dengan wajah berbinar-binar. Ia tampak sudah melupakan desakannya pada Ren dan lebih memilih ganti haluan.
Musa mendecak tak nyaman. Kenikamatannya akan membaca segera luntur saat ketiga orang rusuh itu membuka mulut mereka. Menimbulkan kebisingan lir pasar ikan. "Mereka bukan orang yang mudah didekati." Musa menjawab tanpa memalingkan wajahnya. "Toh, mereka juga tak ada di sini."
"Kau selalu begitu." Eva mendesis.
"Sudahlah." Musa mengambil alih tablet yang sejak tadi digenggam Cecil. "Berhenti mengutik barang-barangku tanpa permisi," katanya dengan ekspresi kesal.
"Ayolah! Kau punya banyak kenalan yang hebat. Dengan statusmu sebagai calon pemimpin, bukankah suatu yang mudah mengenalkan kami dengan mereka?" Cecil memasang raut jengkel. Musa sungguh berbeda dari dua temannya yang lain. Sangat kaku dan sulit didekati. Ren pun sudah menunjukkan tanda-tanda demikian, entah pengaruh apa yang Musa sebarkan padanya.
"Bisakah kalian memikirkan sesuatu yang lebih berguna? Sebentar lagi ujian kenaikan, dan kalian malah bersantai seolah tak ada hal yang lebih penting dari menjadi populer." Musa bersedekap, menatap teman-temannya dengan tatapan menusuk. Yang Ren lihat dari raut wajahnya adalah sebuah ketegasan. Sebuah wibawa yang begitu sempurna. Dia benar-benar bakal pemimpin.
"Kau yang terlahir di tengah hingar-bingar kemewahan mana tahu perasaan kami." Cecil mencemooh, wajahnya merah padam. Ia berdiri, menyejajari tinggi tubuh Musa. "Kau tahu, Musa. Kesombonganmu adalah hal yang paling kubenci."
Setelahnya, Cecil berjalan gusar keluar. Membawa serta Anne dan Eva yang kebingungan. Ia membanting pintu hingga menimbulkan suara berdebum sebelum menyisihkan kesenyapan.
"Jangan menghiraukan itu, Ren." Musa meletakkan tabletnya yang masih menyala di atas nakas. "Itu sudah biasa terjadi di antara kami."
Ren manggut-manggut memperhatikan Musa dalam diam. Ia tak pernah tahu ternyata mereka begitu tidak akur. Dengan sifat mereka yang berkebalikan, Ren tak heran. Kadang, sifat Cecil, Anne, dan Eva terlalu berlebihan dalam menanggapi suatu hal. Apalagi ambisi mereka yang terlampau mereka junjung tinggi-tinggi. Ren lebih kasihan dengan Musa yang terpaksa menyatukan diri dengan koloni mereka. Pantas saja, ia terlihat lebih ceria saat berkumpul dengan anak-anak perpustakaan.
Manik Ren berputar, mengamati tablet Musa yang masih menyala. Terpajang di sana potret Musa bersama dua orang laki-laki, sepupunya. Keduanya adalah sepasang saudara kembar. Yang membuat manik Ren membulat adalah begitu familiarnya mereka berdua.
"Musa, kau sepupu Zeon dan Zuan?" Ren bertanya tak percaya.
Musa juga nampak terentak. Begitu tak menyangka Ren mengenal sepasang saudara kembar yang memiliki sifat berkebalikan itu. "Kau kenal mereka?"
"Memangnya siapa yang tak mengenal ketua OSIS dan adiknya yang cerewet itu." Ren terkekeh, mengingat kelakuan mereka yang tak lagi bisa ia lihat. Juga pelukan terakhir mereka sebelum Ren pergi. Aku merindukan mereka yang seperti kakakku sendiri.
Saat itu, Ren baru menyadari marga Castel tersemat pada nama tengah Musa.
Hari sudah cukup malam untuk merebahkan diri ke atas ranjang dan menggulung diri dalam selimut. Namun, Ren tak memiliki waktu berleha-leha. Banyak pengetahuan yang musti ia gali. Untuk lebih tahu tentang segala hal di dunia ini. Dan semua itu harus dimulai dari dirinya sendiri. Malam itu, Ren mendatangi perpustakaan yang memiliki sift malam pada hari Sabtu. Berniat mengumpulkan buku-buku tentang hoffan. Ia ingin tahu segala hal tentang Cleos Hoffan atau potensi matanya. Yah, siapa tahu kemampuannya akan sangat berguna.
Ren langsung saja naik ke lantai tiga. Ditemani lampu kekuningan yang hangat, ia menyisir satu persatu rak buku. Membedah kumpulan buku-buku tua yang berdebu. Ia pernah menemukan buku tentang hoffan saat membantu Vier, tapi entah kemana perginya ia saat ini. Kini, yang Ren temukan di dalam rak-rak kayu itu hanyalah buku-buku tua yang sebagian dilingkupi debu.
Beberapa menit sudah berlalu, Ren masih menyisirkan jarinya ke atas sampul buku-buku yang berjajar. Belum ada buku hoffan yang sampai di tangannya barang satu. Yang ada, tangannya makin tebal ditempeli debu. Ren menghela napas, ia memendarkan pandang; memperhatikan satu per satu rak yang berjajar. Terlalu banyak buku. Ren juga sama malasnya mengutik data di komputer untuk mengetahui letak buku itu, buku hoffan dengan judul 'hoffan' terbilang jarang. Yang ia temukan sebelumnya hanyalah buku tentang sejarah hoffan yang sama sekali bukan pengetahuan khusus.
Sebuah buku jatuh ke lantai saat Ren masih sibuk mendengkus dan menggerutu dalam hati. Menghela napas, ia berniat mengembalikan buku itu pada tempatnya dan kembali ke asrama. Malam semakin larut, salju belum berhenti turun, perpustakaan juga tidak akan buka selama dua puluh empat jam.
Suara gemeletuk rendah membuat Ren terdiam. Gadis itu menegakkan kepalamya, menatap ke depan. Ditemuinya sosok laki-laki berdiri di depannya. Wajahnya tak terlalu tampak karena ia berdiri membelakangi cahaya. Yang bisa Ren lihat dengan jelas hanya sepatu bot hitamnya.
"Oh, h-hai." Ren bersegera berdiri. Ia tak sadar sejak kapan sosok itu berdiri di sana. Datang tanpa jejak atau suara langkah berderap di atas tangga.
Surai sewarna hazel milik sosok itu berkilat saat terkena cahaya lampu. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi maniknya yang menyala di kegelapan membuat Ren yakin warnanya violet. Manik yang indah, batin Ren.
"Anu, permisi." Merasa aneh dengan laki-laki yang hanya berdiri lir patung pahatan, Ren berniat pergi.
Baru beberapa jangkah, sosok itu bersuara, "Jangan pergi, Cimorene. Ada yang harus kusampaikan padamu."
Ren berhenti melangkah. Pikirannya melanglang buana, menyibak makna dari nama yang baru saja tersebut. Cimorene? Yang ia ingat dari nama itu adalah toko roti manis murah yang berdiri di pinggiran kota. Heh?
"Apa kau bicara padaku?" Ren menolehkan kepalanya.
Bukan hal yang tidak mungkin sosok itu tengah berkomunikasi dengan hal-hal yang tak wajar. Mengingat ini AirStreet dan banyak kemampian unik di sini. Jadi, untuk mengonfirmasi lawan bicara, Ren memilih bertanya--walaupun malah kelihatan bodoh jika betul dirinya.
Laki-laki itu terkekeh dan berhasil membuat Ren merinding. "Lucu, bukan?" katanya, "kau yang biasanya mengingat hal-hal kecil bahkan utang lama, melupakanku."
Ren membalikkan badan. Menatap lamat-lamat sosok jenjang itu. Mengamati dengan jeli helaian rambutnya yang sewarna hazel, juga menelisik dalam mata violetnya yang berkilat di bawah cahaya lampu. Laki-laki asing itu, apa Ren betul pernah mengenalnya? Ren mencoba menjelajah ingatnya. Menyibak perdu yang menghambatnya untuk mengingat. Namun, sekali pun Ren berada di ujung ingatannya, tak ada sosok itu muncul.
"Maaf, mungkin kau salah orang." Ren tersenyum kecut. Memaksakan dirinya untuk tenang.
Bukan hanya asing. Yang Ren rasakan dari aura elemen laki-laki adalah sesuatu yang gelap. Kemungkinan besar tipe elemennya adalah dark. Bukan hal ganjil menemukan orang-orang pemilik elemen dark di Cornelium. Sebuah kota perbatasan di sebelah barat Shappire. Kota sebagai bukti perdamaian antara bangsa dark dan light. Walau pada faktanya keduanya masih gemar berprasangka dan membenci.
"Aku tak salah orang. Kamu hanya lupa, Adik kecilku," katanya. Bibirnya terangkat, menampilkan seulas senyum.
"Lupa?"
"Dengar, aku tak mau buang waktu. Aku akan berhenti basa-basi." Laki-laki itu menghela napas sebelun melanjutkan, "Aku di sini untuk membawamu kembali. Selama bertahun-tahun kaudisembunyikan oleh mereka. Bahkan, mereka menghapus ingatanmu dan memanipulasinya jadi ingatan yang lucu kupikir--"
"Tunggu," potong Ren. "Apa yang tengah kaubicarakan? Itu sebuah kiasan atau makna sesungguhnya?" Keningnya berkerut dalam, ia masih harus mengerahkan segala daya dalam kepalanya untuk berpikir.
"Rene, aku tidak bercanda atau tengah hermain-main! Kau seharusnya ada di pihak kami."
Keringat mengalir di tengkuk Ren. Ia terlalu pintar untuk tahu maksud kata kami. Bangsa dark. Pikirannya kacau, anatara percaya dan tidak percaya. Pikirannya terus meyakinkan ini semua hanyalah tipu daya. Ia memang hidup tanpa ingatan masa kecil, ingatannya juga tidak cukup kuat untuk mengulas detail masa lalunya. Namun, benarkah semua yang ia ingat adalah sebuah manipulasi? Haha ... Orang itu gila! Dia dark dan mencoba menipuku.
"Maaf." suara Ren terdengar bergetar. "Kau pasti salah orang."
Ren mudur perlahan, jemarinya mencengkeram lemari kayu. Napasnya memburu, tubuhnya genetaran. Takut. Ia berdecih sebelum membalikkan badan. Lari. Satu hal yang langsung muncul dalam benaknya. Entah benar atau tidaknya, ia harus pergi dulu. Anggap saja perkataan laki-laki itu sekadar guyonan belaka. Banyak orang yang mencoba menindas Ren. Ia tak akan terkejut.
Sebuah hentakan menghentikan Ren. Tubuhnya terbanting ke arah rak kayu tinggi. Laki-laki itu mengunci tubuh dan membekap mulutnya. Jantung Ren berdetak kian kencang. Seakan-akan hendak mendobrak kekang rusuk. Ren takut. Terlalu takut untuk menyadari air matanya sudah mulai berkerumun di pelupuk dan mengalir setetes.
Manik violet laki-laki itu menajam. "Tolong jangan buat semuanya tambah runyam, Cimorene!" katanya, "keberadaanku di sini sudah menantang bahaya, dan kau malah akan menjebloskanku ke dalam bahaya itu sendiri."
Ada jeda di mana suasana menjadi hening. Laki-laki itu hanya menatap Ren. Menatapnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Ren pun hanya terdiam tanpa perlawanan. Membiarkan mulutnya yang dibungkam juga tubuhnya yang tak dapat ia kuasai. Sejujurnya, ia sangat takut. Sangat takut luar biasa yang belum pernah ia rasakan. Ia ingin berteriak, menyerukan nama Vier. Meraung dalam ketidakberdayaan dan menunggu laki-laki nilam itu datang lir cahaya yang menghilangkan kegelapan darinya.
Laki-laki bermanik violet itu kembali menghela napas. Kunciannya pada Ren melonggar. Tatapannya melunak. "Aku tidak bermaksud menakutimu, Rene." Ia merogoh sakunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan yang lain masih membungkam mulut Ren. Berharap gadis itu tidak berteriak dan membuat semuanya makin kacau. "Aku akan melepaskanmu, tapi kumohon jangan berteriak," bisiknya.
Saat tubuhnya terbebas dari kekangan sepasang tangan asing, Ren menarik napasnya dalam-dalam. Meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Dadanya belum berhenti berdebar. Dan sebagaian ketakutan masih membayanginya. Membayangkan tentang hal-hal buruk yang dapat menimpanya. "A-apa yang kau inginka dariku?"
Laki-laki itu menarik tangan kanannya dari dalam saku. Ia mengulurkan sebuah kalung berbandul topaz pada Ren. Cahaya kekuningan beradu dengan bandul itu dan menciptakan sebuah kilatan yang berkilau. Ren terperangah. Diperhatikan dari mana pun, batu itu sungguh indah.
"Sebagian ingatanmu ada di sini." Laki-laki itu kembali bersuara. "Bukan hal yang mudah mengumpulkan pecahan-pecahan ingatanmu yang mereka hancurkan. Walaupun tidak terlalu sempurna, setidaknya kau bisa mengingat kami semua juga tujuanmu dilahirkan di antara kami."
Ren menatap kalung itu ragu-ragu. Ia tak mau jadi sosok gadis kecil lugu yang mudah terkena tipu daya. Seperti kejadian yang sudah-sudah. Ia tak mau lagi tertipu oleh orang-orang seperti Gray atau Ruby. Sudah cukup baginya berurusan dengan orang-orang berelemen dark. Mereka licik!
"Kau masih ragu?" laki-laki itu menelengkan kepalanya. "Ingatlah, kau adalah orang yang sangat berharga untuk kami. Kau juga bagian dari keluarga. Dan kami berharap kau kembali."
Selain rasa takut, rasa penasaran juga mulai menggerayangi diri Ren. Ia berharap mendapatkan kembali ingatannya. Tapi kenyataan dirinya bagian dari kegelapan adalah suatu hal yang ekstrem.
"Kau mau mengingatnya, 'kan, Rene?"
Ren mengangkat kepala. Di dapatinya laki-laki itu memasang seulas senyum tipis. Sebuah senyum yang penuh pengharapan. Apakah semua dark itu jahat? Tapi, bukankah Vier juga punya beberapa kenalan seorang dark. Empat elemen dewa juga ... Bukankah mereka juga berpasangan? Matahari dan bulan, siang dan malam, racun dan obat, subur dan tandus. Tak ada terang jika ta ada gelap. Apakah suatu kesalahan jika dirinya bagian dari dark?
Ren mengangguk. Toh, selicin ia berkelit dan kabur, laki-laki itu akan menggapainya lagi.
"Panggil aku Edgar," bisik laki-laki itu saat memasangkan kalung berbandul topaz di leher Ren.
Kilasan-kilasan peristiwa berputar perlahan di kepala Ren. Lir nostalgia yang penuh bahagia dan lara. Gejolak berbagai emosi merasuki Ren, membawanya turut serta mengarungi ingatan yang sungguh ingin ia miliki. Walaupun kenyataannya ingatan itu datang dari tempat yang tak pernah ia inginkan.
Kehidupan Ren sendiri bermula dari seorng bayi malang yang dibuang di perbatasan. Konon, dirinya adalah buah dari cinta terlarang seorang bangsawan di negeri sebelah barat Shappire. Seperti yang diceritakan seorang wanita tua yang mengasuhnya saat kecil. Ren ingat, sebuah wajah yang hangat tersenyum padanya. Menceritakannya dongeng-dongeng sebelum tidur, atau memeluknya dikala bermimpi buruk.
Ren sendiri tumbuh di lingkungan kastil hitam, tempat persembunyian para pemberontak yang menolak pemerintahan dua kubu--yang mengusung keputusan kubah barrier yang mengisolasi Benua Shappire dari dunia luar ratusan tahun silam. Mereka juga yang berontak saat pemimpin kaum kegelapan, Ratu Besar Zenaide--yang memiliki karunia keabadian--diturunkan paksa dari takhtanya karena tidak menyetujui perdamaian antar bangsa dark dan light.
Menginjak usia tujuh tahun, wanita tua yang penuh kasih sayang itu tak ada lagi. Kala itu Ren berganti mendapat kasih sayang penuh dari mantan ratu, Zenaide--yang usianya lehih tua ratusan tahun dari wanita tua yang mengsuh Ren. Ren dibesarkan untuk jadi seorang perempuan yang kuat, bukan sekadar kuat menjadi pelayan yang mengangkat barang-barang di dapur atau membersihkan gudang bawah tanah. Tapi, seorang perempuan yang mampu mengangkat pedang dan bertarung. Bahkan, Ratu Besar pernah membisikinya, "Mungkin, suatu hari aku akan menyerahkan takhta tak berguna ini padamu. Sebagai pemimpin bangsa kita yang tersingkir juga menyeimbangkan kembali neraca dunia yang timpang."
Masa Remajanya, yang Ren ingat, dirinya kerap terjun dalam beberapa pemberontakan atas permintaan Ratu Besar. Mengangkat pedangnya, menebas, ataupun membunuh. Rasanya itu bukan hal yang tabu lagi buatnya. Tapi, kini hanya menggores seseorang saja hatinya ikut terluka.
Dan akhir dari ingatan yang terpotong-potong itu, dirinya dalam misi menghancurkan barrier Shappire. Saat dirinya disebut-sebut sebagai cahaya dalam kegelapan para pemberontak yang suaranya tak pernah di dengar, orang-orang di kastil hitam menaruh harapan padanya. Namun, pada kenyataannya, saat dirinya hampir berhasil memecah kedelapan batu pencipta barrier, dirinya tertangkap. Hanya dirinya seorang. Pada akhirnya, ingatan itu diakhiri oleh kegelapan yang menghapus semua kenangan, ingatan, juga jati dirinya.
Ren terhuyung saat semuanya kembali normal. Laki-laki bernama Edgar itu menumpu tubuhnya yang melemas. "Kau baik-baik saja."
"A-aku baik." Ren menunduk, menatap tangannya yang gemetar dan berkeringat. Ingatan itu ... Semuanya kelihatan begitu nyata. Namun, hatinya masih terus terasa resah.
"Tenangkan dirimu." Edgar mengelus pucuk kepala Ren. Yang gadis itu ingat dari laki-laki itu adalah hubungan mereka yang seperti saudara kandung. "Semua itu terasa aneh karena dirimu belum terbiasa."
"Aku mengerti." Ren memegangi kepalanya, bersyukur bukan rasa pusing luar biasanya yang bertandang.
"Sekarang, bersikaplah seperti biasanya. Jaga sikapnmu, jangan buat mereka curiga." Edgar hendak beranjak, tapi Ren menahan tangannya.
"Kau membiarkanku tetap di sini?"
Edgar mengangguk. "Ya, kami punya rencana untuk membebaskanmu tanpa kecurigaan. Kami terencana, Rene." ia tersenyum. "Buat dirimu tenang dan nyaman. Saat kau sudah siap, aku akan mempertemukanmu dengan Ratu Besar."
Edgar memberi sebuah pelukan sebagai salam perpisahan sebelum kembali menghilang dalam bayang kegalapan. Bersatu dengan malam.
Ren menghela napas dalamnya. Hatinya masih resah dan sulit ditenangkan. Maniknya terlempar ke arah sebuah jendela besar yang terbuka, langit makin gelap karena mendung. Apalagi, malam hampir sampai di puncaknya. Ren menggenggam kuat-kuat topaz yang kini tergelantung di lehernya. Menerima semua ingatan ini sama halnya mengcapkan selamat tinggak pada Vier dan lainnya.
Kami punya jalan yang berkebalikan.
Angin berhembus, membawa kabar tengah malam dari salju-salju yang bertimbun di luar sana. Tak ada penerangan dari bulan, hanya ada lampu-lampu yang meredup terhalang oleh salju.
Di sebuah kusen jendela, seorang laki-laki bermanik nilam duduk dalam diam. Mengamati gerak lambat salju yang turun tiada henti sejak siang tadi. Maniknya menerawang, menatap cakrawala yang terhalang pucuk-pucuk pohon. Ada hal yang membuatnya begitu resah. Untuk pertama kalinya, ia merasa begitu kedinginan di tengah cuaca yang tak lagi asing. Di tengah guyuran salju yang sudah bersahabat dengannya sejak lahir.
"Apa yang membuatmu resah, Vier." sebuah sosok berdiri di tengah kegelapan ruangan. Mengamati laki-laki nilam itu.
"Entahlah." Vier menjawab tanpa memalingkan pandangannya. "Aku hanya kedinginan."
"Jangan becanda." sosok itu mencibir. "Mana ada kau kedinginan karena salju."
"Diamlah, Blue." Vier memutar matanya.
Suasana kembali lengang. Hanya ada suara samar angin yang berhembus juga salju yang berjatuhan.
Vier menghela napas, ia menyandarkan punggunya pada kusen jendela. Maniknya enggan beralih dari salju-salju putih. Ia merasa resah. Entah apa yang sudah terjadi malam ini. Akhir-akhir ini inderanya kurang peka dan itu sungguh menyulitkannya. Memang, Blue--yang memiliki naluri luar biasa--selalu ada di sisinya, tapi soul itu selalu menjaga rahasia takdir. Hanya pada saat tertentu ia akan memberitahunya. Sangat jarang. Terakhir yang ia ungkapkan tentang kilasan peristiwa yang ia intip dari takdir adalah kematian Ren--yang kini berhasil dicegah. Roda kehidupannya berputar lagi. Namun, hal itu sudah menyalahi kodrat dan susunan takdir pasti sudah banyak berubah.
"Ngomong-ngomong." Blue kembali bersuara. Sosoknya kini menjelma menjadi seorang laki-laki bersurai putih. Yang selalu Vier bilang sebagai rambut yang kehilangan pigmen biru dari bulunya saat menjadi phoenix. "Sampai kapan kau mau memberi tahu gadis itu tentang potensinya."
"Entah." Vier menunduk, mengamati tangan kirinya yang gemetar. "Dia mungkin akan kesulitan mengendalikan semuanya."
"Ingat, Vier. Umurnya terlalu pendek untuk mencari tahu sendiri."
"Aku tahu, aku tahu. Itulah yang membuatnya timpang." Vier menghela napas. "Dari gelagatmu, kupikir kau mulai mengintip takdir lagi."
"Ya." Blue berkata tenang. Manik birunya berkilat dalam kegelapan. "Aku tahu apa yang terjadi, Vier...."
Note:
おひさしぶリですぬ
(Ohisashiburidesune)
Lama gak jumpa
•̀.̫•́✧
Readers: Lin, minta diapain. Udah gantungin kita di atas pohon lumut selama satu bulan lebih (‘A')
Hehe ... ( ゚ヮ゚)
Maaf lah :' biasa, anak sok kebanyakan tugas yang suka ngaret ngerjain.
Yah, sejujurnya nulis itu gak perlu waktu lama kalau udah terkonsep. Tapi, Lin sendiri agak moody-an. Jadi, ngikut keadaan emosional yang terbilang labil.Kadang pula, rasanya kek gak ada waktu. Baru senin, kok udah senin lagi. Kapan liburnya nih?
Ah, ya....
Intinya ... Maafin Lin untuk kesekian kalinya T^T
さようなら
(Sayounara)
Sampai jumpa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top