Chapter 14²
Ren menatap Vier lamat, menelusuk maniknya yang sebiru batu nilam. Ia tengah menunggu jawaban. Jawaban akan permintaan kedaluarsa yang tak layak lagi Vier kabulkan. Perjanjian basi yang sudah lama Vier tanggalkan.
"Oke."
Tersentak, Ren menengadah. Menatap Vier yang menjawab santai tanpa beban. Seakan titah Mrs. Mire bukanlah suatu kewajiban yang mutlak, itu hanya sekadar formalitas.
"A-apa?"
Vier mengendikkan bahu. "Karena aku buka tipikal orang yang suka mengingkari janji, aku akan mengabulkannya," katanya dengan nada angkuh.
"Benarkah?" Ren melipat lengan. "Saat itu kau mengingkari janjimu tanpa alasan jelas." ia melengos sebelum akhirnya menggerutu.
Daripada seorang yang kukuh akan pendirian, di mata Ren, Vier hanyalah orang yang plinplan. Ren tak tahu kemana pikirannya mengarah, sekarang, besok, lusa, ataupun tahun depan. Ia masih ingat, kepulangan Vier yang akan disambutnya senang malah mendapatkan balasan kurang mengenakkan. Laki-laki nilam yang saat itu pergi dengan senyuman, kembali dengan wajah dingin. Dan dengan tanpa perasaannya, ia berkata pada gadis polos yang tak tahu apa-apa untuk membencinya. Ren tertawa dalam hati. Menyebalkan.
"Saat itu ya...." Vier menengadah. Menatap bumantara mendung yang tak lagi menunjukkan kilau safirnya. "Saat itu aku kesal dan marah padamu."
Ren membuang tatapannya pada Vier. Memasang tampang penuh tanda tanya. Ia tak pernah ingat punya kesalahan sebelum Vier pergi.
"Kesal? Untuk alasan apa?"
"Karena Mrs. Mire membohongiku tentangmu." Vier menjeda sebelum melanjutkan, "sejak awal ia tak memberitahuku secara jelas untuk apa aku melindungimu."
"Apa yang membuatmu yakin Ny. Mire berbohong?"
"Mr. Norm," jawab Vier, "dia yang memberitahuku kebenarannya. Kamu hanyalah anak yang dikasihani Mrs. Mire. Tak lebih."
Ren merasa tertohok. Namun, hal itu juga menyadarkannya. Ia hanyalah anak terbuang yang ditemukan dalam keadaan terluka parah di dalam hutan. Seorang bocah tanpa ingatan. Anak malang yang patut dikasihani.
"Beliau juga menduga." Vier melanjutkan tanpa peduli seberapa carut marutnya kini perhatian Ren. "Kau adalah salah satu keturunan Hoffan yang masih murni. Namun, lagaknya itu salah. Mr. Norm yang membuktikannya, kau hanya memiliki separuh darah hoffan. Dan kemampuan matamu tak sekuat anak-anak berdarah hoffan lainnya."
Hati Ren teriris. Mendengar sebuah kebenaran yang ditolak mentah-mentah oleh akalnya. Mrs. Mire memang orang yang baik. Namun, rasanya ia sudah berlebihan. Membebankan sebuah tugas pada orang yang penting untuk melindungi seorang gadis yang bahkan tak akan berguna untuk dunia. Bahaya? Satu-satunya bahaya adalah ribuan olokan yang akan datang jikalau tersebar berita, bahwa Ren Leighton hanyalah anak malang yang dikasihani Mrs. Mire dan dilindungi sukarela oleh ketua Elite. Sungguh luar biasa.
"Jadi, ya." Ren menegakkan kepala, lantas tersenyum. Mencoba menerima segala kebenaran yang ada. Walaupun semua kebenaran itu bagai belati-belati yang menghunjam dada. "Kau akan berhenti bersikap bagai pengawalku. Kau tak perlu lagi menjadikan nyawamu sebagai sasaran tembak sekadar untuk melindungiku."
Ya, beginilah seharusnya. Ren rasa semua ini harus segera diperbaiki. Ini bukan kisah antara seorang putri dan pengawalnya yang tampan. Ini kisah Ren sendiri. Kisah gadis malang yang kesulitan berdiri sendiri di tengah kemelut. Apa pun itu, ia tak berhak menyandarkan jalan takdirnya pada orang lain.
Ren menutup mata. Mengatur napas, mengendalikan emosi yang berusaha mengambil alih, hingga sebuah tangan menyibak poni membuat Ren membuka mata dan spontan mencekalnya. Perabandingan tenaga membuat tangan itu kukuh di tempat. Ren mendapati tangan Vier--dengan kurang ajarnya--mendarat di dahi, tepat menyugar poninya yang kian hari kian menutupi pandang.
"Aku memang bilang akan berhenti, tapi aku tak bilang akan melepas ikatannya." Vier menatap Ren dengan tatapan tajam. Menelusuk masuk ke dalam maniknya yang membulat.
Banyak hal yang belum dapat Vier ungkap dari Ren. Sebuah fakta yang bahkan tak diketahui si empunya sendiri. Tentang siapa dia, dari mana dirinya berasal, kenapa precious ada padanya, atau tentang simbol elemen dewa di matanya. Semuanya masih kabur.
"Kau ini bicara apa?" Ren menurunkan tangan Vier perlahan.
Vier tak menyahut. Ia hanya mengangkat sedikit bibirnya tanpa mengatakan apa-apa.
Ren menyugar rambut. Tanpa sengaja memperhatikan refleksi dirinya di permukaan kolam. Ditemukannya kembali sebuah tanda yang sudah lama ia abaikan. Simbol phoenix yang kini diketahuinya sama dengan simbol yang terpatri di punggung tangan kanan Vier. Ia sudah berulang kali bertanya, tapi Vier selalu mengatakan hal yang sama pula, "itu hanyalah tanda bodoh yang membuatmu kelihatan semakin bodoh."
Ren masih sibuk mengumpat dan mengamati bayang dirinya sebelum butir-butir dingin jatuh di permukaan pipinya. Memberikannya sensasi dingin yang langsung menjalar ke seluruh tubuh. Ren menengadah. Butiran salju yan tampak seperti bola-bola kecil kapas mulai berjatuhan. Menutup tanah kecokelatan yang lembab oleh hawa dingin.
"Salju pertama," gumam Vier. Ia tertoleh ke arah Ren yang sibuk mengagumi fenomena alam yang tak akan pernah ia temukan di ranah tropis seperti Tropicae. "Masuklah. Kau akan hipotermia."
Ren memandang Vier sesaat, lantas menggeleng. "Tidak. Aku akan menikmati ini semua sebentar lagi."
"Terserah saja, tapi aku pergi duluan." Vier beranjak, hendak meninggalkan Ren.
"Ya, ya." Ren mengibaskan tangan. "Pergilah."
"Oh, ya." Vier berhenti. Maniknya kembali beralih pada Ren yang sibuk mengamati salju dengan mata berbinar. "Besok, setelah jam belajar, datanglah ke ruang OSIS. Minta Senior Gael melatihmu."
Ren yang terentak, spontan melotot ke arah Vier. "Kau bercanda?"
"Tidak. Satu-satunya orang yang memiliki mata hoffan di sini hanya dia." Vier mengendikkan bahu. "Sampai jumpa."
"Hei!"
"Hatchi!"
Ren bersin untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa banyak tisu yang sudah ia tarik dari dalam kotak. Musim dingin benar-benar tak cocok untuknya. Salju yang pernah ia lihat lewat televisi dan majalan begitu lembut, tapi ia lupa bahwa mereka begitu dingin. Kampung halaman Ren adalah tempat yang hangat, negara tropis yang hanya memiliki dua musim. Bukan tipikal negara yang akan menyediakan salju sebagai pelengkap musim dalam setahun. Ia juga lumayan sial. Merasakan musim dingin pertama di negeri terdingin kedua setelah Annelosia.
"Ren, kau yakin baik-baik saja."
Musa meletakkan cokelat panas di samping Ren duduk. Ia merasa simpati dengan teman sekamarnya yang tengah bertarung dengan hawa dingin sembari mengerjakan esai yang berceceran di lantai.
"Aku baik, Musa," jawab Ren lemas.
Ren menyesal terlalu lama duduk di luar saat salju turun. Ia terlalu lengah dan malah mengagumi butiran-butiran salju yang berkilau. Bahkan, juga mengabaikan peringatan Vier yang sudah ahlinya tentang salju. Lupa dengan dirinya yang tak tahan oleh rasa dingin.
"Ini masih siang, dan cuaca juga masih bagus." Cecil yang tengah mangkir ke kamar mereka menyingkap gorden. Memandang salju yang berarakan turun ke tanah. "Tapi kau sudah sakit saja. Bagaimana kalau badai salju?"
"Mungkin aku akan hipotermia."
Ren menggapai selimut dan membenamkan diri ke dalamnya. Tak lagi berminat mengerjakan esai. Bagaimana orang-orang bisa hidup dengan santainya di tengah hunjaman suhu dingin ini? Di saat seperti ini, Ren berpikir kampung halamannya yang hangat lebih nyaman ketimbamg negeri yang memiliki empat musim.
"Ngomong-ngomong, minggu depan kita sudah ujian kenaikan. Kenapa kalian masih santai?" Musa bersedekap. Menatap ketiga temannya yang ikut bergelung bersama Ren.
"Ujian kenaikan? Rasanya aku baru datang."
Ren meratapi nasibnya. Waktu kedatangannya tanggung sekali. Ia berpikir, mungkin lebih baik jika perpindahannya ditunda selama dua sampai tiga bulan. Itu waktu yang pas.
"Sudah mau ujian kenaikan?" Anne menyibak selimutnya. "Aku bahkan masih kaku dalam menggunakan pedang." ia merengek sebelum memeluk Ren yang senasib.
Ren tak tahu apa yang menghambatnya. Ia sudah pernah dilatih oleh dua orang yang ahli mengayun pedang, tapi kemampuannya sungguh tak ada peningkatan. Apalagi pedang besi sungguhan terlalu berat untuk tubuhnya yang kecil. Praktik adu pedang sungguhan pun lagaknya akan dilewatinya dengan menyakitkan.
"Kalian pernah kutawari latihan, tapi kalian menolak." Musa melipat lengan, menatap Cecil, Anne, dan Eva secara bergantian.
"Kami tahu caramu melatih, Musa." Cecil mengibas-ibaskan tangan. "Itu pelatihan militer. Kenapa kau tak berada di kelas knight atau guardian saja, sih." ia meletakkan kepalanya lemas di atas karpet.
"Ren, mau kuajari?" Musa mengalihkan perhatian pada Ren. Ia menyerah pada empat temannya. Mereka menolaknya secara mentah-mentah.
"Entahlah, Musa." suara Ren terdengar bergetar. "Dengan cuaca seperti ini, aku bahkan sulit berbicara dengan benar."
Musa menggeleng. Ia sempat melirik nyalang Cecil yang menyeruput cokelat panas Ren. Musa membuatnya karena kasihan dengan Ren, bukan untuk diseruput orang lain. Cecil hanya meringis tanpa rasa bersalah.
"Akan kubuatkan minuman jahe untukmu." Musa beranjak dan berjalan ke arah dapur.
"Musa, aku juga."
"Aku kedinginan."
"Aku juga mau."
"Diamlah, teman-teman. Aku hanya membuatnya untuk Ren." Musa menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak acuh.
"Yah...."
Butir-butir salju masih turun dengan lebatnya di luar, membuat jendela-jendela berembun. Menguar hawa dingin yang tak lekang sejak semalam. Tanah tak lagi terlihat warnanya, tertimbun salju lumayan tebal. Atap-atap bangunan pun tak kalah, tumpukkan saljunya nampak seolah topi bulu yang melingkupi atap.
Kala itu, Ren berjalan seorang diri di koridor. Membaca ulang esainya yang belum juga rampung. Masih ada banyak hal yang mesti ia tulis. Namun, udara dingin membuat tangannya benar-benar sulit diajak kompromi. Bagaimana mungkin ia dapat menulis dengan tangan yang bergetar? Ren mendengkus. Mengutuk seberapa lemahnya ia di tengah dingin salju.
"Oh, hai, Manis!"
Ren mendecak kala menemui laki-laki bermanik biru yang tengah menjereng gigi di depannya. Orang yang sama sekali tak ingin ia temui. Excel.
"Apa yang kauinginkan, Excel," balas Ren ketus. Ia melanjutkan langkahnya tanpa mengacuhkan Excel yang berusaha mengajak bicara.
"Hei, kenapa kau bersikap begitu padaku?" Excel menyeimbangkan langkahnya dengan Ren. Gadis itu entah bagaimana menarik perhatiannya. Kebanyakan gadis akan berbicara ramah dan mengulas semyum selebar mungkin saat berpapasan dengannya. Namun, yang satu ini seperti anak singa yang meraung dan menunjukkan taringnya saat bertemu.
Karena aku tak menyukaimu! Ah, tentu saja. Jikalau Ren tak mendengarkan cerita Rezel, ataupun membaca ingatan Vier, mungkin saja ia akan menganggap Excel sebagai pangeran tampan nan ramah. Seperti yang orang-orang bilang. Musa pun pernah bilang dia orang yang baik. Namun, melihat Vier yang sekarang membuat pandangannya pada Excel berbeda. Dia tak lebih dari antagonis yang mengusik.
"Menyingkirlah. Aku tak ada waktu untuk mengobrol denganmu." Ren merapatkan syalnya gusar. Dinginnya suhu ditambah Excel membuatnya agak kesal.
"Kenapa kau galak begitu padaku?" Excel mengernyit. "Apa aku membuat kesalahan?"
Kesalahanmu adalah berjalan di sampingku!
Ren bungkam. Tak lagi berminat membuka mulut. Daripada meladeni Excel yang membicarakan hal tak berguna, lebih baik ia memperhatikan esainya yang makin lama makin memuakam untuk dilihat. Sebanding dengan wajah Excel yang ingin ia tonjok.
Ren pikir, Excel akan berpamitan pergi atau menjauh begitu saja. Melihat gelagat tak mengenakkan Ren, tentu saja. Namun, ia salah. Laki-laki bermanik biru itu masih berjalan santai di sampingnya. Bersiul-siul tanpa beban. Ren menggeleng. Terserah saja.
Rasa sakit yang menghantam kepala secara tiba-tiba spontan membuatnya terhenti. Gadis itu memijit kepalanya yang berdenyut tak karuan. Memutar ingatan samar lengkap dengan sekumpulan bisikan mengerikan. Tanpa sadar Ren menjatuhkan lembaran kertas yang ia peluk. Lembar-lembar berisi esai yang belum tuntas ia kerjakan itu terburai ke mana-mana. Excel yang berdiri beberapa langkah di depan Ren terhenti, menyadari selembar kertas jatuh terantuk sepatunya. Ia tertoleh ke arah Ren yang wajahnya mulai memucat.
"Kau kenapa?" Excel lekas menghampiri Ren. Ia terlihat cemas. Apalagi mendapati gadis yang tadinya masih mampu berbicara ketus kini pucat pasi. Seakan sesuatu telah mengubah keadaannya secara kilat.
"A-aku--" perkataan Ren terputus saat sebuah denyut menghantam kepalanya. Gadis itu hampir saja jatuh kalau saja Excel tak menahan tubuhnya yang mulai melemas. "O-obatku."
Ren ingat kata-kata Faust, laki-laki bermanik merah. Di saat seperti ini, ia harus lekas menelan obatnya sebelum kehilangan kesadaran dan masalah bisa jadi tambah runyam. Namun, kali ini, obat--yang biasanya Ren bawa ke mana-mana--tidak dalam jangkauannya.
"Di mana obatmu?"
"K-amar ser-atus s-embilan."
Tanpa pikir panjang, Excel mendudukkan Ren. Ia menyandarkan punggung gadis itu ke dinding koridor, lantas berbisik untuk bertahan dan menunggunya. Ren hanya mengangguk pasrah. Isi kepalanya yang carut marut membuatnya tak bisa fokus sekadar mengerti kata-kata Excel secara keseluruhan.
Excel beranjak dan menghilang di hadapan Ren. Ia bergerak cepat dengan teleportasi. Sedangkan Ren sendiri terduduk pasrah. Menahan lebih lama lagi rasa sakit yang menggerayaangi kepala. Dadanya mulai sesak. Telinganya berdengung, mendengar bisikan-bisikan tak jelas yang entah mengucapkan apa. Ren benci. Semua rasa sakit itu. Semua ketidakberdayaannya untuk melawan.
Tiga tarikan napas, Excel muncul secara ajaibnya di depan Ren. Ia segera berjongkok. Menyerahkan sebuah kotak berisi pil-pil yang Ren kenali. Sekotak pil yang rasanya masam dan sedikit pahit.
"Kau bisa menelan pil tanpa air?"
Ren mengangguk lemah. Menggapai kotak obatnya dengan pandangan mengabur. Ia menelan pilnya. Di keadaan seperti ini, tak ada waktu untuk mencari air. Anggap saja pil pahit itu semanis permen dan tanpa sengaja tertelan. Kiranya itu yang Ren pikirkan. Ia tak boleh manja sekadar minum obat.
"Sudah lebih baik?" Excel bertanya dengan wajah cemas yang belum tanggal.
Ren menarik napas. Melemaskan bahunya dan membiarkan dinding di belakang menjadi tumpuan. Pelan-pelan ledakan ingatan itu menyingkir dari kepala. Membuat indera Ren berfungsi normal seperti sedia kala.
"Aku sudak tidak papa." tarikan napas Ren masih terdengar berat. "Terimakasih."
Excel mengangkat bibir,lantas ikut bersandar di samping Ren. "Sama-sama."
Laki-laki itu lantas ikut bersimpuh dan duduk di samping Ren. Ia tampak terengah. Menggunakan teleportasi sebanyak dua kali dalam rentan waktu tipis benar-benar membuatnya kewalahan. Energinya hampir terkuras habis. Excel melirik Ren di sebelahnya. Ia tersenyum. Syukurlah.
"Ada apa denganmu? Apa kau punya penyakit atau sesuatu?" Excel rasa ini waktu yang pas untuknya mengajak Ren bicara. Saat terluka dan lemah lagaknya waktu anak singa seperti dirinya jinak.
Ren mengangkat kepalanya. Menatap wajah Excel yang lebih tinggi dari ubun-ubunnya. "Kurasa aku alergi laki-laki sepertimu," cibirnya.
"Hei ..."
Note:
Ohisashiburidesune!
/eh,masa iya Lin harus bilang 'lama gak jumpa' setiap PoP up? :'(
Tapi begitulah adanya ...
Sekilas, Lin merasa gaya tulis Lin mengalami penurunan. Terutama di PoP. Lin merasa diksinya gak lagi menarik. Susunan katanya bikin pening. Ataupun alurnya yang sering bikin Lin bingung, "setelah ini terus ngapain?"
Lin punya outline?
Ada, tapi masih kasar. Jadi masih rada gajelas :'
Jadi,maklum dulu. Masih dalam proses pengembalian Lin yang dulu:'
Lin emang malu nyajiin cerita berantakan gini, tapi lebih malu lagi kalo ngecewain kalian yang udah mengikuti cerita ini dari awal. Makasih untuk kalian semua 😄
Sekian
Mata Raishuu ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top