Chapter 11²
"Ren, ini daftar bukunya. Nanti piketmu di bagian pengembalian buku, ya!" Kana menyerahkan lembaran kertas berisi tabel yang disatukan dengan penjepit kertas.
"Oke."
Waktu istirahat baru saja dimulai. Kebanyakan orang pasti tengah menyibukkan diri mereka untuk berehat di kantin, atau sekadar duduk-duduk di area taman. Menjauhkan diri dari kesemrawutan tulisan di buku pelajaran.
"Nanti sore nonton, ya!" suara Eva terdengar keras hingga menusuk pendengaran Ren.
Ren tertoleh, membuang fokusnya dari tabel-tabel pada kertas di tangannya. Gadis itu melihat Eva, Cecil, Anne, dan beberapa siswa perempuan berkerumun membicarakan sesuatu.
"Ya, tentu saja! Aku tidak akan melewatkannya. Pukul empat, 'kan?"
Tak lama,mereka bubar. Pergi ke kegiatan istirahat mereka masing-masing. Manfaatkan waktu sebelum bergelut dengan buku Geografi selepas ini. Menghafal seluruh dataran yang ada di Benua Shappire hingga kepala rasanya mau meledak.
"Ren, mau ke kantin?" tawar Anne sembari menepuk bahu Ren.
"Ya."
Ren ikut beranjak selepas menyimpan kertas berisi tabel-tabel ke dalan laci. Anne mengamit tangannya, menariknya hingga berjalan sejajar dengan Cecil dan Eva.
"Apa yang tadi kalian semua bicarakan?" Ren menyejajari langkah Anne yang panjang-panjang. Berusaha agar tidak tertinggal.
"Itu, kau tidak mendengar kabarnya?" Anne balik bertanya.
Ren mengernyit. Jika itu tentang seorang budak yang naik pangkat menjadi populer, Ren tidak peduli. "Hmm ... Entahlah."
Cecil menatap Ren sejenak. "Kau sungguh tidak tahu?" tanyanya yang langsung ditanggapi anggukan mantap Ren.
Cecil mulai menjelaskan, sesekali diselingi omongan Anne ataupun Eva. Mereka tadinya tengah memperbincangkan tentang latihan rutin kelas Ksatria dan Penjaga yang digelar setiap empat bulan sekali. Biasanya mereka menjadi sorotan kelas-kelas lain. Mengingat sebagian dari mereka termasuk orang-orang populer. Ditambah lagi kedatangan para pemilik elemen dewa--salah satu isian kelas Penjaga-- yang bagai petir di siang bolong berhasil menyihir minat untuk menonton. Selain sekadar menonton, lagaknya sebagian siswa menjadikan kemampuan para siswa kelas Penjaga dan Ksatria sebagai acuan kemampuan. Mengingat mereka selalu berkejaran di peringkat teratas kelas.
"Kau mau ikut, Ren?" Anne bertanya antusias.
Ren mengangguk. "Ya, kurasa aku ikut. Akan kuselesaikan tugasku di perpustakaan sampai pukul tiga dua puluh."
"Akan kami tunggu!" Eva bersorak. Disambut lengannya yang panjang merangkul bahu Ren.
Suasana perpustakaan cukup lengang. Yang terdengar hanyalah suara detik jam. Buku-buku dalam rak kayu nampak jengah menunggu untuk di baca. Entah sudah berapa lama mereka di sana. Terus menunggu hingga rusak tergerus waktu.
Ren mengamati jam yang melingkari pergelangannya. Jarum pendeknya tepat berada di angka tiga. Masih dua puluh menit lagi sampai waktu piketnya usai. Sangat membosankan berjaga di waktu ini. Perpustakaan akan terasa bagai gudang tua yang tidak mengundang minat tuk didatangi.
"Ren, aku ada tugas. Kalau ada yang pinjam buku tolong diurus juga." Kana nampak buru-buru berjalan ke arah pintu. "Jika butuh bantuan ada Mike dan Joel di lantai atas. Ada juga Ballery di ruang baca. Kau dapat minta bantuan pada mereka."
Ren manggut-manggut. Ia kembali memandangi lantai dasar yang rasanya kian senyap. Siapa yang lagaknya akan meminjam atau mengembalikan buku? Seorang pun tidak ada yang lewat, sekadar di ambang pintu. Manik Ren beralih pada kubah kaca bermotif mandala besar. Liukan kerangka besi pada motifnya membuat Ren kagum atas betapa hebatnya sang arsitek. Luth Calliester, arsitek ternama yang merancang seluruh bangunan sekolah yang tergabung dalam Royal Academia--seperti yang sudah Ren pelajari dari sejarah Royal Academia sendiri. Yah, siapa sangka kini dirinya bisa menjejak di salah satu sekolah yang tergabung dalam satuan pendidikan kenamaan di Benua Shappire.
Suara gedebuk buku yang jatuh dari raknya membuat Ren mendongak, ke arah lantai dua. Mike dan Joel lagaknya kerepotan menata buku tambahan sore ini. Apalagi anggota lain absen piket dengan alasan yang beragam. Ren merenggangkan lengannya, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, lantas menguap.
"Sungguh itu bukan sesuatu yang anggun untuk dilakukan."
Ren menghentikan aktivitas perenggangan lengannya. Gadis itu melempar cepat pandangannya ke arah suara. Vier berdiri di sana. Ia nampak menenteng beberapa buku di tangannya.
"Umm ... Halo, Vier." Ren meringis. "Oh, atau lebih suka dipanggil Luca?"
"Terserah."
Vier merapatkan diri ke arah meja di depan Ren. Ia meletakkan pelan bukunya. Memberi isyarat pada Ren untuk mencentang tabel peminjaman bukunya di kolom 'dikembalikan'. Ren mengangguk-angguk, mengutik komputer di depannya sesaat sebelum mengambil alih buku yang tergeletak pasrah di atas meja.
"Ada lagi yang bisa kubantu?" Ren menengadah, menyadari Vier masih berdiri di depannya dengan menyisir catatan di tangannya. Ia jadi semakin tinggi saja saat Ren memandanginya sambil duduk.
"Oh, kau ingin membantu?" Vier melirik Ren sembari menyeringai. Membuat tengkuk Ren meremang.
Ren ingin merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak menawarkan bantuannya. Kini, ia harus menyisir rak-rak kayu di lantai tiga. Mencari serentetan judul buku yang tertera pada catatan yang dibawa Vier. Entah untuk apalah laki-laki nilam itu mencari buku-buku tebal dan sampul-sampul antik.
"Aku tidak menemukan buku Barrier Menara Tujuh." Ren berseru dari ujung rak. Melirik Vier yang masih menyisir buku di tingkatan atas.
"Dasar amatir!" Vier membalas dengan sarkas, lantas turun dari tangga. Ia mengusap buku di tangannya selepas sampai di bawah. Membersihkan debu yang hampir mendominasi sampul.
Ren mendengkus. Ia menyandarkan punggungnya pada Rak berisi buku tentang elemen-elemen tua. Pencarian ini tidak ada habisnya. Padahal, seharusnya si nilam itu sudah bersiap-siap untuk latihan bersama kelas Ksatria. Ren heran, Vier bahkan terlihat terlalu santai untuk alasan agak buru-buru. Setengah menit berlalu, Ren masih belum beranjak. Mengamati Vier yang masih menyisir rak-rak atas tanpa keliatan lelah atau jengah.
Sampai sebuah kabut perlahan menutup pandangan Ren. Bagai embun pada kaca kereta saat melewati Annelosia. Tunggu! Kabut?? Ren mengerjabkan matanya panik. Berharap ia tidak mendadak menjadi buta. Suasana masih buram sesaat, hingga setelahnya pendar-pendar cahaya matahari memberi kabar baik pada Ren. Ia tidak buta. Namun, suasana sekitar kembali membuatnya terheran. Ia tidak tengah berada di ruangan penuh rak-rak kokoh berisi buku, melainkan sebuah kamar. Kamar sepi yang hangat, tapi juga dingin.
Ren memutar pandang. Menatap kebingungan ke sekeliling. Tidak mungkin dirinya melakukan teleportasi saat tengah bersandar tanpa melakukan apa pun selain bernapas dan mengerjapkan mata. Lagipula, ia bahkan belum bisa melakukan teleportasi ataupun menyalakan vortex dengan benar. Yang bisa ia lakukan hanya memindahkan dirinya beberapa jangkah dengan menghabiskan energi yang seharusnya sangat tidak perlu.
Berkas-berkas matahari kembali mengalihkan Ren. Berkas-berkas cahaya itu menyeruak menembus kaca jendela lebar di sisi ruangan. Namun sebuah bayang seseorang menghalangi cahaya matahari yang berkemilau emas itu sampai pada Ren. Seorang anak laki-laki berdiri di depan jendela besar itu. Menatap lurus ke arah luar. Ke arah lautan langit yang membiru di luar sana.
"Halo!" Ren memanggilnya. Berharap mendapat balasan. Ia ingin bertanya di manakah dirinya kini. Apalagi rasanya tidak sopan masuk ke kamar orang tanpa izin. Namun, nihil. Anak laki-laki berambut sewarna eboni itu masih bergeming tanpa menoleh sedikit pun.
Ren kebingungan. Sungguh, ini hal yang rancu untuk otaknya. Ia tidak merasa dirinya tertidur sebelumnya. Mustahil ia bermimpi. Manik keemasan Ren menyisir. Menatap satu-satu perabot di ruangan yang nampaknya sebuah kamar bangsawan. Ada single bed di sisi ruangan, sofa-sofa lebar di sisi yang lain, karpet beludru yang kini ia pijak, juga ornamen-ornamen dinding yang dipahat rapi.Sekilas, Ren merasa sungguh beruntungnya si pemilik kamar.
"Permisi!" Ren mengulang seruannya. Berharap bocah kecil yang kira-kira usianya tujuh tahun itu mendengarnya. Lagi-lagi hanya kehampaan.
Ren maju perlahan. Ia mendekatkan diri pada anak laki-laki itu. Benar saja, ia tak menyadari kehadiran Ren. Bahkan, ia tak menanggapi saat Ren mengibaskan telapak tangan di depan wajahnya. "B-bagaimana bisa?"
Pintu kayu berwarna biru dongker yang tertempel di sisi dinding terbuka. Mengalihkan fokus Ren, tanpa membuat anak laki-laki di sebelahnya terusik. Seorang pria yang usianya sekitar kepala tiga muncul dari sana. Pakaiannya khas bangsawan. Dengan blazer putih yang nampak elegan.
"Pangeran, Luca," panggilnya.
Sontak, perkataan itu membuat Ren menoleh ke arah anak laki-laki di sebelahnya. Ia menelusuk lebih dalam manik biru bocah di sebelahnya. Maniknya begitu biru dan sedalam lautan, tapi sama sekali tidak ada ketegasan di dalam sana. Terlebih, rambutnya hitam pekat. Bagaimana bisa bocah yang nampak lembek ini adalah Vier!?
"Kau bercanda! Ini bukan Vier." Ren tertawa hambar.
"Sebagai seorang penerus takhta, tidak baik melewatkan pembelajaran. Ini sangat berguna untuk Anda."
Fokus Ren beralih pada si pria. Ia nampak berujar sopan pada bocah yang mungkin saja Vier kecil. Namun, ada sedikit ekspresi lain dari wajahnya. Seakan setitik rasa jengah dapat Ren baca dari sana. Perasaan buruk yang tertutup topeng kebaikan hati.
"Aku hanya ingin istirahat sebentar." suara pelan Vier kecil terdengar. Ia membalikkan tubuhnya perlahan, menghadap pria di hadapannya. Bukan ekspresi tegas dan penuh wibawa seperti yang Ren lihat pada Vier di masa kini. Tapi, sebuah ekspresi tidak berdaya walaupun bibirnya mengutarakan sebuah alasan guna menyangkal.
"Ini bukan saat yang tepat untuk bersantai." suara si pria terdengar lebih keras. Dapat Ren lihat Vier kecil menundukkan kepalanya sembari menggigit bibir. "Pergilah ke tempat biasanya Anda berlatih pedang!"
Setelah pria menghilang di balik pintu. Pandangan Ren berputar, kembali memunculkan embun. Ren mengerjabkan matanya kembali. Berusaha untuk tidak panik. Berangsur pandangan Ren mulai menampilkan potongan-potongan suasana sekitar. Bagai proses penyatuan ulang puzzle yang berserakan.
Kini, Ren berdiri di tepian halaman belakang istana. Rerumputan tumbuh merata di sana, dipotong dengan panjang selaras. Dinding tinggi menjadi latar belakang bentang rumput itu. Disusul tanaman ivy juga tanaman merambat lainnya merambati dinding-dinding kokoh itu. Pohon-pohon berdaun putih dengan batang putih keperakan juga nampak kontras, tumbuh di tengah-tengah dominasi tanaman berklorofil.
Namun, bukan semua itu yang menarik perhatian Ren. Tapi, dua bocah yang tengah beradu pedang kayu. Keduanya sama-sama memiliki surai hitam pekat juga manik sebiru lautan. Vier dan Excel, gumam Ren menyimpulkan. Dipandanginya lebih jeli dua sosok itu. Excel nampak andal memutar pedang kayu di tangan-tangan kecilnya. Saat kecil pun ia sudah nampak berenerjik dan tampan. Lain halnya Vier, dia kelihatan kewalahan melawan Excel. Beberapa kali pedang kayunya hampir tergelincir dari pegangan tangannya yang kurus. Dilihat dari mana pun, anak itu terlihat lebih gelap dari Excel yang nampak berekspresi cerah.
Ren mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa ia menyebut anak laki-laki kurus yang lemah itu sebahai Vier? Ia terus berpikir tentang kebenaran apa yang dilihatnya.
Dentuman keras ke tanah membuyarkan lamunan Ren. Adu pedang dua anak laki-laki itu diakhiri dengan Vier yang tumbang ke tanah dengan pedang kayu patah. Ren bisa nelihat seberapa kacau anak laki-laki itu. Tubuhnya yang penuh luka terengah pasrah.
"Luca, sudah berapa kali Paman katakan? Berlatihlah lebih keras!" pria bersurai hitam kecokelatan bersuara. Manik birunya menghunus ke arah bocah yang nampak ringkih di depannya.
"Ayah, aku terlalu bersemangat. Ini bukan salah Luca." Excel kecil bersuara.
"Bukan salahnya?" pria yang merupakan ayah Excel bekata dengan nada suara yang lebih tinggi. "Apakah menjadi bakal raja Annelosia yang lemah juga bukan salahnya?" maniknya menajam.
Ren lihat Vier tak berkutik. Tubuhnya gemetaran dengan posisi yang masih tengkurap di atas tanah lunak berbalut rumput. Menahan diri dari perkataan menusuk bagai bilah belati yang menyakitinya.
"Bukankah ayah yang bilang, bukan hanya putra mahkota yang bisa jadi raja. Yang terpenting kekuatan dan kuasa, orang itu bisa jadi raja." Excel bersuara. Ren tak menyangka, kalimat berbelit yang harus Ren pahami potong per potong itu keluar dari mulut anak berusia tujuh tahun.
"Ya," kata ayah Excel, "maka kau yang akan jadi raja, Putraku." selepas mengatakan itu, ayah Excel meninggalkan halaman belakang. Pergi entah ke mana. Neninggalkan Excek dan Vier dalam keheningan.
"Luca, kalau kamu tidak lagi bisa kuat, takhtanya untukku!"
Excel pergi. Meninggalkan Vier yang belum bangun dari tengkurapnya. Namun, setelahnya, Vier bangun. Duduk bersila sembari menunduk. Mengoreksi kekurangan diri yang terlalu banyak untuk diperbaiki. Tak lama, air mata anak laki-laki itu luruh. Membanjiri pipinya yang lebam dan kotor oleh tanah.
Ren terenyuh. Ingin rasanya memeluk tubuh kurus Vier kecil dan membisikan fakta seberapa hebatnya ia di masa depan. Jangankan memeluk, mengelus pucuk kepala untuk menenangkannya saja tak bisa Ren kakukan. Tangannya akan membus tubuh Vier kecil. Ia seperti hantu yang bergelayangan di masa lalu.
Pandangan Ren kembali berputar. Tubuhnya terhantam dinding bercorak keemasan saat berpindah ke tempat lain. Jika hanya mimpi, mengapa Ren dapat merasakan sakit saat menghantam dinding? Ren mengerang. Mengelus lengannya. Namun, melihat Vier kecil berdiri di depan pintu mengurungkan niat Ren untuk mengumpat. Ia memperhatikannya. Menilik apa hal yang membuat Vier mengintip dan menguping di di depan pintu ganda itu.
Ren menyandarkan punggungnya di dinding, tapi malah menembusnya dan jatuh terduduk ke belakang. Ren menenbus dinding dan ada di dalam ruangan yang Vier kecil intip. Ada seorang pria bersurai hitam berkilau duduk di sebuah sofa sembari membaca buku-buku yang berserakan di meja. Di depannya, seorang wanita ikut duduk. Menyesap teh beraromakan kamomil.
"Aku tak yakin Luca akan mampu menghadapi ini semua. Persaingan menjadi yang terkuat makin gencar dilakukan adik-adikku." pria bersurai hitam yang Ren rasa ayah Vier meletakkan buku yang dibacanya ke atas meja. Membiarkannya bertumpukkan dengan buku lainnya.
"Aldebaran, Vierku masih tujuh tahun." si wanita meninpali. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak saat ia berkedip. Wajahnya sangat cantik untuk ukuran seorang ibu.
Tidak hanya ibu Vier, tapi wajah ayahnya juga masih terlihat muda. Mereka lebih cocok dikatakan tunangan yang tengah merencanakan pernikan. Bukan sepasang raja dan ratu dengan satu putra.
"Ya, dia masih sangat muda. Tapi bisakah kau lihat apa yang bisa dilakukan putra Louis, Excel?" ayah Vier menghela napas. Ia nampak tidak nyaman dalam posisi duduknya. "Para penasehat juga bilang perkembangan Luca sangat lambat. Mereka bilang ia tidak bisa jadi raja."
Ibu Vier beranjak. Ia berdiri di belakang sang raja. Tangannya yang lembut mengelus bahu yang terlalu lelah menumpu beban kerajaan itu.
"Aku percaya, Aldebaran. Putra kita akan jadi semakin kuat. Dia akan jadi raja Annelosia terkuat."
"Aku berherap begitu, Soyala."
Ren beranjak pergi. Merasa tak ada yang harus ia dengar lagi. Terlebih ia harus pergi dari masa lalu Vier. Memangnya apa yang membuatnya ia terjebak di dalam sini? Dan ingatan Vier, sungguhkah semua ini miliknya.
Kembali membus tembok, Ren keluar. Ia mengelus lengannya yang meremang. Rasanya sangat aneh menembus benda padat. Ia hendak pergi mencari jalan keluar, tapi kembali terhenti sebab Vier kecil nampak termenung di depan pintu. Wajanya tertunduk, hampir tak terlihat di bawah bayang rambut yang menutup dahinya.
Pastinya sudah terlalu banyak perkataan yang menyatakan dirinya terlalu lemah untuk menjadi raja yang ia dengar. Sampai bisa Ren baca wajah keputusasaan bocah itu. Beberapa saat kemudian, wajah Vier kecil terangkat. Bukan tekat besar untuk berubah yang Ren dapatkan dari wajahn Vier. Namun, sebuah tekat lain. Seakan Vier kecil memikirkan sebuah jalan nekat untuk mengubah dirinya. Dan mungkin juga sebuah jalan yang mengubah ia seutuhnya. Menjungkirbalikkan takdir lamanya menjadi takdir baru. Menjadi Vier yang sangat berbeda. Tapi Ren merasa cemas, itu pasti bukan jalan dan pilihan yang baik!
Ren ingin mengikuti Vier kecil yang berjalan menjauh, tapi sesuatu menariknya ke belakang. Kepala Ren terantuk sesuatu yang keras. Disusul sebuah buku tebal yang jatuh menimpa ubun-ubunnya. Ren mengaduh, merasakan kepalanya berdenyut dan berputar-putar.
"Ren, kau kenapa?"
Ren lekas menegakkan wajahnya. Ia menemukan Vier yang tengah berdiri membawa beberapa buku di tangannya. Kini ia sudah kembali berdiri di lantai tiga perpustakaan. Lengkap bersama rak melengkung yang memutari dinding lantai tiga.
"A-aku baik."
"Daripada kau melamun, cepat bantu aku!"
Ren masih menatap ling-lung sosok Vier yang berdiri di depan sana. Terpikir olehnya sebuah kejadian ganjil yang dialaminya. Apa dirinya baru saja membaca masalalu Vier, atau apa?
"Ini sungguh aneh."
Lamunan Ren kembali buyar oleh teriakan Vier yang meminta dirinya untuk membantu. Ren memutar mata kesal. Itu tadi pasti bukan Vier. Ren hendak mengembalikan buku yang jatuh menimpa kepalanya, tapi terhenti kala membaca judulnya Hoffan's Clan.
"Mungkinkah aku membaca masa lalu Vier karena aku seorang hoffan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top