12 : Farewell, eh (?)
Kepiting.
Hewan ini terus bergerak, seiring bulu romaku ikut berdiri. Aku takut, takut sekali jika aku hanya terus berkutat menghadapi hewan ini. Aku menggiring hewan ini diikuti keringat yang mengalir di sekitar pelipisku.
"Pertama, kau harus membunuhnya,"untuk kesekian kalinya, kini suara datar itu membelakangiku. Aku mendesah. Gara-gara siapa aku harus menghadapi ketakutan ini?
Beberapa deret pisau di depanku siap untuk digunakan tetapi aku ragu menggunakannya. Di sebelah kananku, aku bisa melihat tangan Mikaze-san yang tadi terbalut memegang pisau besar.
"Aku akan membantu peserta selain dirimu, aku akan bertanggung jawab,"ucap Mikaze-san mulai memotong bagian-bagian kepiting itu seiring aku menatapnya tanpa mengatakan apapun. Aku mengangguk pelan.
"Begini saja sudah cukup. Terima kasih, Mikaze-san,"
Mikaze-san pun mengangguk segera pergi ke station berikutnya. Tidak mengherankan Mikaze-san sampai pergi membantuku karena peserta yang ikut seleksi kini tersisa setengah karena kepiting. Kemudian sebuah ide berhasil tertuang di benakku.
Aha, aku tahu aku akan membuat apa.
Bermodalkan keyakinan, aku segera meracik bahan sebisaku.
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
"Waktu kalian sudah habis,"Mikaze-san menatap stopwatch, kemudian semuanya mengangkat tangan walaupun masih ada yang belum selesai.
"Fiuh,"desahku bersyukur karena tepat saat itu juga, aku telah menyelesaikan menu kepitingku. Kepiting saus tiram. Menu yang sederhana, walaupun hanya ini yang bisa kubuat.
"Menunya tidak akan kucicip, tetapi kalian harus menguji rasanya kepada Kurosaki-san,"
Jantungku seolah melorot ke lantai. Asisten dosen galak itu lagi? Aku kini merasa ragu jika Kurosaki-senpai mau mencicipinya. Pasalnya, aku sempat membawa kekacauan.
"Kalau kalian terlalu lama membuatnya, kurasa dia akan enggan mencicipinya,"dengan nada datar, ia berjalan pelan menuju kursi santainya.
Aku menoleh seisi ruangan tetapi tidak ada Kurosaki-senpai. "A-ano, aku sudah selesai membuatnya tapi dia ada di sini?"tanyaku mengangkat tangan.
"Kalian harus mencarinya sendiri. Dia mungkin baru saja datang, jadi sebelum jam tiga sore, kalian sudah harus mendapatkan komentar dan tanda tangannya,"
Dan yang benar saja, semua peserta mulai lemas terhadap perkataan juri itu. Aku mengernyitkan dahi saat menunggu antrian untuk mendapatkan kertas berbentuk bintang sebagai tanda bukti dalam penilaian.
Tepat aku mengambil antrian, aku langsung membawa hidanganku menuju lift. Aku tidak yakin akan mudah menemuinya. Belum lagi aku belum paham dengan tata ruangan Saotome University.
Aku menekan tombol nomor enam belas, semoga saja aku tidak sulit menemuinya.
Ding. Tepat pintu lift terbuka, aku pun bergerak keluar seorang diri ( di dalam lift itu aku pun sendirian ). Seharusnya sekarang sudah jam istirahat, mungkin saja aku bisa menemukannya lewat.
"Eiichi-kun! Dasar, dia lagi-lagi kabur!"seru seorang gadis bertubuh molek berlari dengan high heels di dekatku.
Aku menoleh sekeliling. Sunyi. Tetapi sejenak kudengar langkah membelakangiku di balik dinding dan kurasakan pergelangan tanganku terkait oleh seseorang.
"E-eh?"kejutku menoleh tetapi mulutku dibekap. Aku didorong dari belakang menjauhi lorong, tetapi masuk ke dalam ruangan yang tidak kuketahui. Aku memegang hidangan yang kukemas di dalam kotal bekal sebisaku. Aku tidak ingin hidanganku terjatuh.
'Apa-apaan ini!'ujarku menepuk pemilik tangan ini, tetapi seolah ia mati rasa karena tidak mengaduh sama sekali.
"Perempuan memang menyeramkan,"gusar seseorang yang kini dapat kulihat eksistensinya. Mengenakan kacamata, dan berpenampilan bad boy (?) -- author pun sulit mendeskripsikannya, gomenasai.
Tepat aku menatapnya tajam, aku angkat bicara. "Aku juga perempuan tahu. Kau siapa?"
Samar-samar kudengar namanya disebut-sebut. Ecchi? Masa namanya begitu sih?
"Otori Eiichi. Dan jangan mempelesetkan ecchi. Namaku dobel huruf i di awalnya bukan c,"
Ini orang kayaknya bisa baca pikiranku emang.
"Otori-san, aku tidak mengenalmu. Lagipula tadi ada yang sedang mencarimu,"
Laki-laki itu pun mendengus. "Cih, dia tidak penting,"
Aku menatap arlojiku. Sepuluh menit bisa-bisa terbuang sia-sia karena berbincang hal sepele kepadanya.
"Kalau begitu aku pergi dulu, ada masalah mendesak,"ucapku langsung mendahuluinya, tetapi dia menarik pergelangan tanganku.
"Tidak. Kotak yang kau bawa itu untuk Ranmaru kan?"
Aku ternganga. "B-bagaimana bisa tahu?"
Otori menata bingkai kacamata yang turun sedikit itu. "Dia seangkatan denganku. Setiap tahun dia selalu menjadi incaran maba untuk memberi penilaian di babak kedua,"
"Ah, souka,"jawabku berohria. Ia masih mencegatku, kusahut dengan tatapan bingung.
"Eto, aku mau mencarinya. Bisakah kau melepaskan tanganku?"kalau saja dia bukan senior dan didera oleh PMS, aku pasti sudah akan meneriakinya.
Otori terkekeh kemudian memegang daguku. Sekilas bulu romaku berdiri. Apa yang ingin dia lakukan?
"Bagaimana kalau kita menjalankan simbiosis mutualisme?"
Aku tidak habis pikir dengan ide senpai aneh satu ini. Pelajaran IPA kelas tiga SD zamanku kini diungkit-ungkit lagi, saking niatnya hapal materi ini, terus malah nggak keluar di ulangan. Oke ini garing, abaikan.
"Maksudmu? Jangan sentuh aku,"ucapku menepis tangannya. Otori terkekeh.
"Aku akan mencarikan Kurosaki sesegera mungkin, dengan satu syarat,"
Aku menggeleng. "Aku akan cari sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu,"
Mana bisa aku memercayai senpai yang baru saja kukenal kurang dari setengah jam yang lalu?
"Aku punya nomornya. Atau kalau tidak mau, ya su--"
"H-hubungi dia!"
Otori menyeringai. Apa yang bisa dia untungkan dariku? Apa dia mau..
Aku langsung berbalik badan membelakanginya dengan punggungku.
"Kau tinggal di Princafé kan?"
Deg. Jantungku seolah melorot ke tanah. Siapa yang pernah membahas hal ini? Menceritakannya kepada siapapun juga tidak pernah.
"Aku adalah anak pewaris properti Murabarako Group, jadi aku tahu itu. Masalah Ittoki dan teror yang dilakukan adikku itu juga,"
"Kata Ichinose-san, masalahnya sudah beres,"aku lupa membahas alasannya kembali ( ada di episode 4 : Flash of Hopes ).
Otori terkekeh. Ruangan yang kini kuhuni begitu sunyi. Seolah tidak ada siapapun yang akan ke sini. Seolah siapapun akan enggan menuju ke sini. Ruangan sunyi yang menampung tumpukan kursi. Gudang. Tentu saja semua makna 'seolah' yang kulontarkan di dalam hati menjawab demikian.
"Dia harus membayar lunas tahun ini kepada kami atau temannya, Ittoki yang diincar. Hunianmu, itu belum lunas dibayar kepada kami, agen perumahan. Padahal lokasinya bisa dipindahkan beserta perabotannya, tetapi dia tetap bersikeras memiliki tempat itu. Bodoh,"
Aku menggertakkan gigi. "Ichinose-san tidak bodoh! Dia.. melindungi semuanya. Teman-teman yang telah berjuang bagi kelangsungan kafe dan diriku yang sempat tidak punya masa depan!"
Aku tidak akan memaafkannya. Aku tidak sudi melakukan simbiosis dalam jenis apapun. Melihatnya saja sudah membuatku muak seketika.
"Dan soal kau menghuni jika kusebarkan.. bagaimana ya?"
Kedua mataku melebar. "Me-menyebarkannya?"
Otori tersenyum yakin. "Benar. Pasti seisi mahasiswi akan membencimu, terus kau gagal kuliah dengan baik, menjadi gelandangan? Tidak seburuk itu, mungkin saja hanya menjadi gembel,"
Sumpah ini rasanya Eiichi jahat amat ._.)/ maafkan hayati author ini.
Aku meneguk ludah. Sesegera mungkin khayalan buruk itu kutepis. Bibi dan paman tentu saja tidak akan menerimaku. Selama di rumah sakit, tidak pernah sekalipun mereka menjengukku terkecuali membayar administrasi dengan sisa uang asuransi.
"Jadi, apa maumu?"aku menunduk depresi. Tidak bisakah hidupku lebih buruk dari ini.
"Jadi pacarku dan tinggal di apartemenku. Segera tinggalkan Princafé tepat setelah aku mengantarmu ke sana untuk beres-beres,"
Aku ternganga. "Aku? Jadi pacarmu, senpai?"
"Aku risih dengan banyak cewek yang selalu mengerubungiku, jadi kenapa tidak kupilih saja salah satunya yang bisa langsung menepis gangguan itu?"
Salah satunya adalah aku, si tamengnya.
"Dan maksudmu simbiosis mutualisme?"
"Aku akan segera menghubungi Kurosaki untuk memakan dan memberi komentar hidanganmu. Setelah kau berikan kepada Mikaze, beres,"
Aku terdiam. Aku justru lebih banyak mengalami pihak dari simbiosis parasitisme daripada yang ia tawarkan. Tapi aku tidak bisa membiarkan pihak yang lain kesulitan lebih dari ini. Aku sudah cukup menyusahkan mereka.
"Tapi kau tidak akan memaksa Ichinose untuk membayar terlalu mendesak kan? Apa aku bisa yakin?"
Ia membentuk simbol peace -- dua jari di hadapanku. "Dua setengah tahun perpanjangan. Dia akan punya waktu lebih panjang. Adikku juga tidak akan berbuat aneh-aneh,"
Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku dulunya takut kehilangan mereka. Aku dulunya bersyukur menghuni di ruangan hangat dengan kebaikan mereka. Suka dukaku di sana. Semuanya mungkin harus usai. Aku terlalu menikmati kebaikan mereka, tanpa sadar pula aku membahayakan mereka. Tanpa sadar pula aku menyebabkan kesulitan bagi mereka.
"Baiklah,"terdengar berat hati saat aku mengucap satu kata yang merangkap semua maksud di balik kata-kata yang lain.
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Ternyata hidanganku lolos setelah aku memberikan daftar itu kepada Mikaze-san. Banyak peserta yang kembali duduk dengan hidangan mereka melihatku dengan berbagai ekspresi.
Tidak mudah untuk menemukan Kurosaki senpai tanpa dihubungi. Senpai bermulut tajam itu ternyata berada di atap sambil bermain bass. Ia jelas saja terkejut saat Otori-san bersamaku, tetapi aku juga tidak bisa berkata banyak.
Diantarkan dengan sedan hitam metalik yang licin, aku pun hadir di depan gedung belakang Princafé. Aku membuka pintu itu perlahan. Biasanya memang saat sore bagian belakang kafe cenderung sepi karena ruang utama sedang ramai pelanggan.
Aku pun masuk kamar. Kukemas barang-barangku secepat mungkin. Tetapi semakin aku memasukkan semuanya ke dalam koper, bulir manik mataku menetes semakin deras. Melepaskan semua kenyamanan ini membuatku merasakan perih. Membuatku harus menjauhi zona yang selama ini kucari. Aku rasa tidak mungkin untuk mengatakannya kepada mereka. Aku tidak sanggup. Aku yakin aku akan menangis sejadi-jadinya dan akhirnya menghancurkan semuanya.
Akhirnya setelah aku menenangkan diri, aku mengambil secarik kertas dan bolpoin. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah semaunya.
To : Princafé
Terima kasih atas kebaikan kalian selama ini. Ketika aku berada di sini, suasananya terasa hangat dan nyaman. Membuatku merasa bahagia walaupun bukan pelanggan kalian. Membuatku merasakan persahabatan di antara kita erat kembali sejak SMA. Mungkin aku terlalu berlebihan, tetapi aku bahagia. Sangat bahagia.
Maaf jika aku menyusahkan, merepotkan, ataupun membuat suasana tidak nyaman saat aku menghuni di sini. Tolong jangan cari aku. Aku ingin yang terbaik untuk kalian. Aku belajar banyak hal selama aku tinggal di sini. Suka dan duka, ada.
Sekali lagi aku terima kasih kepada kalian, yang memberiku hari-hari penuh warna.
Sincerely,
[Reader]
Setelah aku menyelipkan surat itu ke dalam amplop, aku meletakkannya di meja. Aku kembali melihat sekeliling. Aku akan sangat merindukan tempat ini lagi. Dalam hembusan angin yang begitu sunyi, aku merapatkan pintu belakang.
Selamat tinggal, Princafé.
Author's Note :
Mungkin dari seluruh episode, ini yang paling drama-lebay-sesuatu. Mentoknya ke drama-drama, alhasil author nulisnya begini. Terima kasih yang sudah mampir membaca, vote, komen, dan memasukkannya sebagai daftar bacaan maupun library kalian ♡
Author janji akan memberikan extra one shot, hehe! Ditunggu saja ya nanti. Mungkin setelah extra, part 13 baru dipublish bulan januari 2016.
See ya on next part.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top