1 : One of Special Time!
Walaupun seharusnya aku sudah bisa keluar dari rumah sakit, aku tetap harus mengikuti prosedural. Makanan rumah sakit tidak menyambut nafsu makanku -- alih-alih rasanya tawar-tawar pahit.
Aku pun segera mengganti pakaian pasien dengan balutan kemeja biru langit motif garis-garis putih dan rok hitam selutut. Aku mengganti slipper dengan converse abu-abuku.
Sebenarnya aku tidak begitu yakin bisa masuk ke Princafé, sebutan singkat gadis SMA kemarin dari kepanjangan Prince of Café.
Aku menatap pintu elevator yang terbuka, tepat di lantai dasar, seseorang yang familiar duduk di kursi tunggu.
"[Reader]-chan!"
Laki-laki stylish namun bertubuh kurang tinggi itu menghampiriku. Mau tahu detik berikutnya setelah ia menyusulku?
Beberapa orang -- tepatnya kaum hawa menjerit syok. Beberapa komentar yang kudengar.
"I-itu Syo-kun?"
"Kawaii,"
"Aku jadi ingin pergi ke sana setelah keluar dari RS,"
Aku merasakan tatapan ke arahku yang tentu saja tidak kugubris. "Kenapa kau bisa ada di sini?"
Syo terkekeh. "Menjemputmu,"
Well, aku blushing. Bagaimana bisa aku tidak klepek-klepek dijawab begitu, singkat padat jelas, tapi--
"Kemarin aku dan Natsuki tidak menemuimu, jadi kudengar dari Tokiya kalau kau berada di RS langsung saja hari ini aku menunggu di lantai dasar,"
Bagaimana jadinya kalau seharian ini aku tidak keluar kamar coba? Apa dia akan tetap menunggu bagaikan guguk Hachiko/ditendang fans Syo.
"S-Syo-kun sudah menunggu dari kapan?"
Laki-laki itu pun menatap arloji cokelatnya. "Dua jam, mungkin,"
Aku pun melongo parah. Sumpah, demi Dewa Neptunus, yang kutahu Syo orangnya tidak sabaran kenapa bisa setabah ini menunggu lama-lama?
"Kau kan bisa tanya kamarku nomor berapa," aku merasa tidak enak, dua jam juga bukan waktu yang sebentar ketika menunggu.
"Aku tidak mau mengganggumu, tapi aku yakin [Reader]-chan pasti mau ke Princafé,"
Aku menatap Syo greget. Anak ini sedang OOC ya nggak begini juga kali/yang nulis elu thor.
"Ya sudah, ayo kita pergi," Syo tanpa ragu menarik tanganku menghadap pintu kaca yang sudah otomatis terbuka -- sensor khusus jika ada orang yang lewat.
Aku berharap tidak berurusan dengan desak mendesak antrian yang umumnya didereti oleh kaum hawa.
Dan ternyata tidak ada seorang pun yang mengantri. Tidak ada. Dan papan menunjukkan 'CLOSED' yang terpampang jelas.
"Cafénya tutup, Syo?"tunjukku ke arah papan.
"Memang sengaja tutup. Ayo masuk,"ajaknya merangkul bahuku.
Kami baru saja melangkah dan pintu kafe menjeblak terbuka. "[Reader]-chan~~~~~"
Suara ramah bak lekong/disepak fans Natsuki/ itu menyambutku plus dekapan erat. Dikiranya kalau tidak didekap erat-erat bisa langsung teleport.
"Jangan meluk-meluk [Reader]-chan kayak gitu ah, liat mukanya aja udah biru,"
Jujur Syo agak lebay sih, cuman aku emang sesak beneran.
"Maafkan aku, ya. Soalnya kita-kita sudah lama tidak bertemu sejak lulus SMA,"
Aku pun tidak menanggapi, kemudian disuguhi sekantong transaparan berwarna hijau lumut.
"Untukmu, [Reader]-chan~ Kemarin aku membuatnya,"
Syo melongo parah, sebelum aku meraih kue itu, ia merampas lebih dulu. Ditelannya tanpa sisa. Detik berikut setelah ia mengunyah kue kering Natsuki, ia pun pingsan dengan wajah membiru ( beneran lagi !)
"Syo-kun!"seruku menopang tubuhnya yang oleng ke arah bahuku.
"Dia belum makan pagi kayaknya," Natsuki menemukan alasan imajinasi miliknya, padahal aku sedikit kurang yakin.
Well, dia bisa menunggu dua jam, berjalan riang, tetapi setelah makan kue Natsuki--
Ah sudahlah.
Tidak lama kemudian, Hijirikawa ke luar kafe dengan wajah terkejut.
"Syo kenapa?"
"Pingsan tuh dianya,"jawabku pasrah.
"Biar aku sama Natsuki yang nopang Syo ke dalam. Kamu nyusul aja,"
Aku mengangguk, ikut masuk ke dalam.
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Interiornya begitu mengejutkanku. Dari luar kelihatannya begitu pas untuk ukuran standar sebuah kafe. Di dalamnya berjejer sofa dan meja aneka warna dengan sudut dinding yang dipasang jendela plus gorden nuansa vintage.
"[Reader]-chan?"
Aku duduk menatap kafe yang sepi karena setelah Hijirikawa dan Natsuki membawa Syo ke ruang staf, aku pun disuruh duduk. Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Ittoki.
"Ittoki-kun? Baru datang?"
Ia mengangguk. "Sakitnya sudah agak baikan?"
Aku menyeringai kecil, "Sudah kok. Lima hari lagi udah bisa balik,"
"Balik ke kampung halaman?"
Mendengar kampung halaman membuatku merasakan dua perasaan ini : sedih dan bingung.
"Hm,"rasanya dua kata itu tidak menyenangkan didengar. Walaupun itu tempat kelahiranku, aku tidak pernah sesenang itu baik berada di sana ataupun kembali lagi ke sana.
"Suguhan Café au Lait cocok untukmu, Little Lamb," Jinguji pun langsung nimbrung, secara otomatis Ittoki menggeserkan posisi duduknya.
"Terima kasih, Jinguji-san,"ucapku menghirup aroma kopi yang lembut nan menenangkan itu.
"Selama kami memulai kafe ini, Ren bareng Masato yang masak. Mereka sering banget bentrok gegara style masakan yang berbeda," Ittoki menambahkan.
"Souka,"ucapku menatap mereka tanpa berbicara lebih lanjut.
"[Reader]-san?"
Aku menoleh ke arah belakangku, Ichinose yang datang membawa bahan-bahan makanan yang dibungkus oleh paper bag.
"Ichinose-san?"
"Dia yang memulai usul ini juga, menutup kafe buat sesi reuni bareng," Ittoki menambahkan.
"Little lamb, apa benar kau akan kembali ke kampung halamanmu?"
Aku sebenarnya tidak ingin, tidak sama sekali. Sejak di RS, mereka ( paman dan bibi ) tidak menjengukku sama sekali. Aku tahu perlakuan mereka sekadar formalitas, juga yang kutahu mereka mengurusku hanya sekadar balas budi biaya asuransi yang diterima.
Tahu-tahu saja, aku menitikkan air mataku lagi.
"Udah kubilang Ren, jangan buat [Reader]-san menangis lagi!" Hijirikawa pun hadir dengan wajah sinis ke arah Jinguji.
"B-bukan karena Jinguji-san, tetapi--"
"[Reader]-chan, kalau begitu berat menyimpannya sendirian, berbagilah kepada kami,"ungkap Ittoki tersenyum lemah.
"Bukankah itu dulu yang selalu kau katakan ketika kami punya masalah?" Ichinose menyadarkanku lagi ke masa lalu.
Dulu kami berkolaborasi dalam komite pengurus festival budaya, karena aku adalah ketua OSISnya. Keenam orang ini termasuk terlibat di dalamnya sebagai wakil setiap kelasnya.
"[Reader]-chan masih suka memasak?" Syo yang kembali ( untungnya dia cepat membaik ) bertanya kepadaku.
Aku suka, sangat suka memasak.
"Tapi aku harus pulang,"
"Pulang tidak selalu dimaknai dengan gedung melainkan di mana seharusnya hatimu ada di sana," Shinomiya menepuk bahuku pelan.
"[Reader]-chan bekerjalah di sini, bersama kami,"ajak Syo menatapku lekat-lekat.
"Semua itu tergantung keputusannya. Beri saja dia waktu,"Tokiya mengelap gelas bening tanpa menatapku dengan posisi membelakangi ke arah lemari kaca.
"Bawalah ini pulang, [Reader]-chan. Semoga cepat sembuh," Ittoki tersenyum pelan memberikan paper bag ke arahku.
"Hm, terima kasih,"kataku pelan.
Sejujurnya tawaran itu terlalu indah buatku. Terlalu beruntung jika kumiliki. Terlalu mengagumkan untukku.
Dan begitu aku merenung sekian lama, aku membulatkan sebuah keputusan.
☆ ☆☆ ☆ ☆
Sebuah koper merah kudorong dari ruang pasien. Hari ini memang tepat waktuku untuk pulang karena ini hari terakhir. Aku menatap langit gelap yang masih enggan menunjukkan sinarnya.
Pukul 05.05.
Meskipun aku akan menyesalinya sekali lagi, aku yakin, ini adalah sebuah hal yang seharusnya kulakukan.
Pulang, dan tetap menjadi seperti apa yang sudah ada.
Aku mendorong pelan koperku, kutatap bulan yang masih mengitari langit.
"Sayonara, minna,"ucapku lirih, terdengar samar-samar langkah kaki dari belakang.
Aku berjalan sebisaku tanpa menatap orang yang ternyata menguntitku ( aku berbelok dan ia juga sama ), dan tibalah aku berada di sebuah jalan buntu.
"Kau tidak bisa kabur, nona,"
Aku terkejut menatap lengan yang mengalung di leherku.
Siapapun, tolong aku!
To be Continued.
Aku lama banget update cerita ini kekekeke.
Thankyou for vomment.
Baru kali ini pakai setting reader -- 'aku' sebagai tokoh utama.
See ya on the next part ☆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top