3rd

Sewaktu adik ketiga Everest Gwynne menginjak umur tujuh tahun, dia sedang tinggal di luar kota, Sprinnorth.

Dia tinggal di rumah nenek bersama Lixa selama enam tahun, hanya untuk memenuhi pendidikan dasar. Itu semua karena di Demetria tidak ada sekolah dasar. Kedua orang tuanya tidak ikut, mereka cukup sibuk kerja dan kerja hanya demi membiayai dari jauh. Menetap di Demetria hanyalah satu-satu pilihan agar mudah mengurus adik ketiga mereka yang masih kecil.

Tanpa penjagaan kedua orang tua, Eve tidak peduli dengan penampilan lusuh maupun rambutnya yang tergerai hingga pundak. Sampai-sampai alasan basi tidak punya sisir membuat ketiga belah pihak mengejar Eve, memaksanya untuk rapikan penampilan. Tetapi, sejak kenaikan kelas, juga sejak Aster menjadi temannya, dia mendadak mau merapikan penampilannya.

Bukan, ini bukan karena Eve menaruh hati pada Aster. Dia hanya ingin membuat Aster nyaman melihatnya, agar dia pun menuruti aturan sekolah tentang kerapihan. Di laporan akhir semester ganjil dan genap, Eve selalu saja dapat masalah tentang itu—tentu saja dia dapat imbalan ini, termasuk kelakuannya yang suka mengelak—tetapi dia tidak pernah acuh. Ketidakacuhannya membuat guru serta keluarga lelah mengingatkan.

Meski untuk dua alasan itu, Lixa dan Lumi malah menggodanya. Mereka menganggap perubahan kakak mereka ke arah perasaan suka Eve pada Aster. Padahal sang bocah tidak memilikinya.

"Atau mungkin dia memang punya, tunggu saja. Suatu saat nanti dia akan menyadarinya," ungkap Lixa, kala bisik-bisik pada Lumi di telepon. Ungkapan yang kemudian menjadi harapan. Karena pun, ada salah satu dari mereka yang ingin melebihi ... dari teman.

Hanya Lixa yang melihat dan menyadarinya.

🌷

Awal semester di kelas baru berjalan lancar. Eve mengira tidak akan ada masalah besar yang menimpa. Nyatanya, semua mudah dijalani. Cukup tekun saja setiap hari sebagai kunci utama.

Eve mendapat kunci itu dari beliau, Kakek Gregorian—atau lebih singkat panggilannya, Greg—merupakan teman tertua Eve yang selalu duduk depan pohon ungu. Kali itu Eve menemukannya di lereng bukit, beliau tengah duduk tenang di hadapan pohon tersebut. Eve takjub begitu menemukan pohon langka kedua selain pohon yang ada di depan rumah neneknya. Eve kira hanya pohon di depan rumahnya yang tersisa, nyatanya ada satu lagi yang masih tersisa hingga sekarang.

Setelah menaiki lereng bukit, Eve terpaku bersama kernyitan. Ada rasa ganjil yang terselip di hatinya akan kelakuan Kakek Greg yang diam saja. Biasanya beliau langsung berbincang pada Eve, tentang topik tua yang pernah beliau alami sewaktu muda. Atau tidak, membagikan ilmu melalui buku tipis yang tengah beliau baca.

Tetapi yang Eve lihat berbeda. Tidak ada obrolan, tidak ada juga buku tipis yang biasa beliau bawa. Kakek Greg hanya memandang tangan keriput miliknya yang tengah tertutup rapat—suatu hal yang sama sekali tidak Eve ketahui. Ini tidak lumrah untuknya.

"Everest, kemarilah." Saat dugaan perlahan memenuhi ruang benak, Kakek Greg segera menghilangkan. Sangat lega ketika suara serak nan khas itu muncul. Sebab Eve tidak tahu apa yang harus dilakukan, tanpa tahu harus berucap apa di hadapan beliau. Setelah duduk, Kakek Greg memberi objek yang disanggamnya.

Itu kristal. Warnanya bening, tetapi ketika diarahkan ke cahaya, warna itu berubah berulang kali. Hal itu membuat Eve kagum. Dia pun tergiur dengan benda yang dimiliki sang kakek.

"Glauckeite," ucap lagi orang tua itu.

"Apa, Kek?"

"Glauckeite. Tolong jaga benda itu untukku, Nak."

Eve mengernyit bingung. Sang kakek semakin menjabarkan lebih detail alasannya. Itu semua karena dia ingin mengalihkan urusan, dan menjaga istrinya yang tengah sakit.

"Ada salah satu aturan yang ingin kuberi untukmu. Tolong diterapkan," lanjutnya.

"Apa itu?"

"Jauhi pohon ungu ini dari orang terdekatmu."

Eve terdiam. Seketika bayangan pohon di depan rumah neneknya muncul di benak.

"Memang kenapa, Kek?"

"Pohon ini sangat berbahaya. Ada portal yang muncul setiap tiga jam di siang hari. Dia bisa membawa orang terdekatmu dan menukarnya menjadi orang lain. Jika glauckeite ini terbawa, portal itu akan membeku."

"Kalau membeku memang kenapa? Bukannya itu bagus? Lebih baik tidak ada portalnya, kan?"

Menurut Eve tidak ada salahnya jika portal itu hilang, selama itu tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi orang tua di depannya malah menggeleng keras. Pundak Eve dicekam tanpa aba-aba olehnya.

"Pulau ini akan mati. Kau akan mati juga, secara berangsur-angsur. Semuanya sama, dan tidak akan ada kehidupan jika semuanya lenyap."

"Lalu, kenapa harus aku yang jaga, Kek?" Eve lekas bertanya, selangkah menjauh dari cekamannya. Sejujurnya dia tidak terima. Ini tanggung jawab besar yang baru-baru ini diberi oleh seseorang.

Bibir miliknya tersungging. Tanpa Eve inginkan, tanpa Eve mau lihat senyum itu saat seperti ini.

"Karena kau teman kecilku yang bisa kuandalkan," tukasnya sembari mengalungi leher Eve dengan lengan kanannya. "Kalau kau yang melakukannya, aku merasa lega. Kau belum tahu ya, di sini banyak sekali pengkhianat?"

Eve menggeleng. "Tidak, Kek. Aku juga tidak pernah dengar tentang mereka."

"Itu cukup mudah. Kau bisa mendeteksinya sendiri."

"Bagaimana caranya?"

Saat mendengar pertanyaan itu, Kakek Greg melepas lengan kanan, merendahkan punggung rapuh miliknya. Nadanya mulai serius kala menjelaskan, "Cukup tebak dengan intuisimu. Pengkhianat itu ada di mana-mana. Bisa saja dia orang terdekatmu. Bisa saja dia yang ada di sekelilingmu. Kecuali aku, juga kau yang sudah kukenali selama empat tahun."

Sudut hati Eve menghangat, entah kenapa ada rasa yang membuatnya tersentuh. Baru kali itu dia mendapatkan kalimat itu dari teman tertuanya.

Setelah pamit satu sama lain, Eve hendak duduk di depan pohon. Berlama-lama sedikit sambil menatap kristal itu mungkin tidak ada salahnya.

Tiba-tiba seseorang yang tidak diketahui Eve berlari, setiap derapnya menimbulkan suara.

Saat Eve menoleh, mencoba mencari presensi, Aster ada di sana. Gadis berambut merah muda itu tengah kabur dari balik pohon, sambil menitikkan air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top