8 | terpaksa


TIDAK ada drama pada esok paginya. Nunung tidak mendadak muncul supaya bisa berangkat ke sekolah bersama. Devin juga berhenti sok misterius dan memutuskan untuk ikut dengan mobil Gera.

Meski begitu, Anda tidak diberitahu sama sekali, beberapa hari belakangan ini si cowok sibuk ke mana.

Not that she even cares.

Devin sudah besar. Nggak mungkin melakukan hal bodoh dengan sengaja. Jadi Anda tidak perlu khawatir.

"Aku turun di pertigaan sebelum sekolah, boleh nggak?" Anda bertanya ketika obrolan antara Devin dan Gera terhenti, sedang jarak ke gedung sekolah tersisa kurang dari satu kilometer lagi.

"Kenapa, emang?" Alih-alih Gera, Devinlah yang bertanya.

"Biar nggak jadi gosip aja."

Gera menoleh pada Anda lewat spion tengah. Kemudian mengangguk tanpa banyak tanya.

Mendekati area sekolah, cowok itu menurunkan Anda di tempat yang diminta.

Sebuah keputusan yang tepat, karena tentu saja depan sekolah sudah ramai lalu lalang siswa-siswi yang baru datang. Dan Anda ogah ketahuan turun dari mobil Gera di depan mereka semua.

Melewati gerbang, Anda mendapati Sumali duduk-duduk di depan pos sekuriti. Tanpa pikir panjang, dia membelokkan langkah ke sana.

"Li, gimana masalah loker?" tanyanya setelah dekat. To the point. "Dari Jumat kemarin mau nanya, nggak sempet."

Yang ditanya malah terlihat bingung, seolah Anda salah mengenali orang.

Tapi beberapa detik kemudian, cowok itu berhasil ngeh. "Oh ... yang kebobolan itu?"

Astaga. Anda berusaha tabah mendengar jawaban Sumali yang di luar prediksi. Sudah ikhlas kalau memang Sumali lupa. Toh, sekalipun wetsuit-nya ketemu, dia juga tidak sudi memakainya lagi. Jadi tetap harus membeli yang baru di koperasi.

"Belum dicek ya, CCTV-nya?"

"Udah." Sumali menjawab datar.

"Terus?"

Si cowok mendesah. "Coba ke lost and found Sport Center, deh."

"Hah?" Kening Anda mengernyit. Tidak paham apa maksud jawaban teman sekelasnya itu.

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, si cowok malah bangkit berdiri, berjalan duluan meninggalkan Anda.

Buru-buru Anda menjajari langkah-langkah panjangnya. "Maksudnya gimana, Li?"

Sumali menyugar rambut ke belakang menggunakan jari. Menatap cewek yang berjalan mengikutinya itu seolah Anda begitu idiot karena tidak memahami ucapannya tadi. "Kamu." Dia menunjuk Anda lurus-lurus dengan telunjuk. "Ke Sport Center." Lalu telunjuknya berbelok menunjuk ke arah Sport Center sekolah berada. "Terus ke bagian lost and found. Wetsuit-mu ada di sana. Tapi ngambilnya kudu nunjukin kartu pelajar."

"Kenapa bisa ada di sana?"

"Don't ask me. Yang ninggalin di sana bukan aku."

Masih gagal paham, Anda mencecar lagi. "Terus hasil CCTV-nya gimana? Siapa yang ngebobol lokerku dan naruh wetsuit-nya di lost and found?"

"Nggak ada." Sumali mulai kesal. "Wetsuit-mu nggak pernah ada di loker. Nggak ada yang ngebobol lokermu. Kamu yang lupa ninggalin wetsuit-mu sendiri di Sport Center setelah jam olahraga."

Anda terdiam.

Sumali tidak mengurangi kecepatan langkahnya. Hingga lama kelamaan Anda ketinggalan jauh di belakang.

Aneh. Jelas-jelas Anda pergi ke loker bareng Nunung. Dan Nunung melihat dengan mata kepala sendiri ketika dia menyimpan seragamnya di sana!


~


Kalau Anda mengira dengan menghindari 'terlihat' dekat dengan Gera di sekolah telah membuat posisinya aman, maka dia salah besar.

Gosip yang Jumat lalu dia kira hanya masalah kecil, ternyata sudah menyebar ke seluruh kelas. Membuatnya jadi dimusuhi semua cewek-cewek. Membuat badannya jadi didorong-dorong sampai ke barisan terdepan saat menjelang upacara, menuju ke tempat paling panas karena tidak ada bayangan gedung yang menghalangi dari matahari, juga tempat yang membuat siapapun merasa diadili, karena semua gerak-gerik akan terlihat jelas dari barisan kelas sebelas di seberang lapangan, maupun barisan para guru.

"Who's he? Kenapa pada heboh banget ngelihat aku turun dari mobilnya doang?" Anda bertanya pad Nunung ketika mereka tiba di kelas lebih dulu seusai upacara. Rambutnya basah kuyup oleh keringat. Dia dehidrasi.

Nunung mendesah, heran menatap Anda yang sedang minum dengan terburu-buru. "Ganteng nggak anaknya?"

Sambil minum, Anda mencoba mengingat-ingat muka Gera.

Well, walau bukan tipe Anda, bohong kalau dia bilang nggak ganteng.

Jika kebanyakan cowok SMA masih dekil karena terlalu banyak terpapar sinar matahari tanpa diiringi perawatan diri secara layak, sepertinya Gera ini minimal tahu apa itu sunscreen, juga rajin menggunakannya sebelum pergi ke sekolah.

Sederhananya, mukanya nggak belang dan nggak kayak kilang minyak.

Jujur saja, proporsi wajahnya cukup enak dipandang. Terlihat khas. Tidak pasaran. Tidak membosankan. Struktur wajahnya agak kasar—karena ada rambut-rambut halus yang baru tumbuh—tapi simetris. Bibirnya bagus, tidak gelap. Mungkin karena tidak merokok. Hidungnya bagus. Tapi yang paling mudah diingat adalah bentuk mata dan alisnya. Tatapannya intens. Secara keseluruhan, mungkin yang membuatnya menarik adalah ekspresi wajahnya yang enigmatic, alias susah ditebak.

Ditambah postur badan yang tinggi dan atletis, Anda tidak heran jika cowok itu cukup mencolok saat berada dalam kerumunan.

"Tapi kan cowok ganteng dan tinggi bukan cuma dia doang. Banyak, kali. Anak basket ganteng dan tinggi-tinggi semua." Anda menggerutu. Merasa jawaban Nunung terlalu dangkal.

"Ada yang lebih ganteng dari Gera?" Nunung kembali bertanya, membuat Anda terpaksa mengingat-ingat semua wajah-wajah yang sering mendatangi rumahnya.

"Faiz lumayan."

"Beda level."

"Maksudnya?"

"Terlalu lokal."

"Thomas?"

"Masih chubby. Mungkin satu atau dua tahun lagi baru jadi koko-koko ganteng."

"I see. Emang anak-anak sini pada rasis semua."

"Thomas terlalu murahan. Sama siapa aja akrab. Terus, Faiz kan pacarnya Verial, kapten tim basket putri. Siapa yang berani ganggu, coba?" Nunung membela diri. "Ya gitulah. Pokoknya, yang lain gantengnya kayak lebih mudah digapai. Sedangken Gera, enggak. Girls can dream, okay? Biarin aja sih kalau semua pada suka cowok yang gennya campur-campur, nggak lokal doang. Salahnya di mana? Selama nggak ngerendahin yang lokal aja."

"Ya nggak salah juga." Anda mendesah. "Ekspektasiku aja yang ketinggian. Kukira dia famous karena prestasi apa gitu. Nggak taunya karena ganteng doang."

"Prestasi mah udah pasti, Nda. Coba lihat daftar peringkat paralel, deh. Ada nama dia di deretan atas-atas. Belum lagi olimpiade-olimpiade gitu. Nama dia sering disebut waktu upacara, kan?"

Anda tidak pernah notice. Terlalu banyak nama dan prestasi yang disebut setiap minggunya. Lagipula, dengan tinggi badannya yang mirip tiang jemuran, dia lebih sering berada di barisan belakang, sehingga akses untuk memperhatikan apapun yang terjadi di depan jadi kurang.

Tapi itu tidak penting. Siapapun itu Gera, sama sekali tidak penting.

Yang penting adalah, dia harus segera menjauhkan nama cowok itu dari namanya.

Sekali lagi Anda mendesah. Tanpa sadar dia meremas tumbler di tangan.

Baru juga lepas dari Refi, masalah lain sudah datang.

Mana belum beres juga perkara wetsuit yang katanya ketinggalan di Sport Center itu.

Sepertinya, kehidupan kelas dua belasnya ke depan akan semakin runyam.


~


Tak lama berselang, anak-anak mulai memasuki kelas. Sebagian sambil membawa tentengan dari kantin, lalu duduk bergerombol untuk ngerumpi sambil menunggu guru tiba. Sebagian hanya datang membawa diri.

"Kamu nggak ikut-ikutan yang lain, kan?" Anda bertanya ke Lucy yang baru saja tiba.

Cewek yang satu SMP dengannya itu meringis. "Enggak sih. Aku nggak tertarik sama Gera. Jutek orangnya. Disenyumin nggak bales senyum."

"Nah!" Anda menjentikkan jari, sepakat. "Naksir cowok tuh yang pasti-pasti aja, nggak sih? Yang saingannya wajar. Yang ramah. Yang bisa digapai."

"Betewe, udah liat ini, belum?" Tidak tertarik membahas Gera, Lucy tiba-tiba mengeluarkan ponsel dari saku.

Firasat Anda jelek.

Dia nggak pernah suka mendengar informasi apa pun dari medsos.

Tapi sebelum dia sempat menolak, ponsel Lucy telah menyala dan diletakkan di meja di depannya.

"MV single terbarunya Sean. Collab sama Camelia. Baru banget rilis setengah jam tadi."

Anda menyipitkan mata. Terpaksa menatap layar yang tengah memutar sebuah video YouTube.

Benar saja, Anda tidak suka.

Well, bukan Seannya. Atau lagunya.

Anda hanya benci MV-nya.

It's just too much.

"Sean siapa?" Nunung bertanya sambil mendekatkan tubuh ke bangku Anda, supaya bisa ikut melihat. "Oalaaah, dia? Bagus-bagus sih, emang, single-nya. Padahal baru rilis tiga biji."

"Temen SMP kita, tuh. Temennya Anda, sih. Aku mah tau orangnya doang, tapi nggak kenal." Lucy memberitahu dengan jemawa.

Nunung jadi sedikit tertarik. "Baru tau dia orang Malang juga."

"Nggak tau aslinya orang mana. Di SMP kita cuma setahun doang sih. Kalo nggak salah pindahan pas naik kelas delapan. Tapi otewe kelas sembilan pindah lagi ke Jakarta."

Nunung manggut-manggut mendengar penjelasan Lucy itu, sementara Anda masih bergeming di tempat.

"Mantannya Anda." Terakhir, cewek itu menambahkan informasi pamungkas dengan suara pelan, membuat Nunung seketika ternganga.


~


Mungkin, ini memang impulsif.

Mendadak membatalkan janji ke perpus bersama Adnan. Menolak ajakan Nunung jajan di depan sekolah. Bahkan melupakan urusan wetsuit dan Sport Center. Begitu bel istirahat tiba, Anda berjalan begitu saja keluar kelas, seorang diri. Mengabaikan gerutuan teman-teman di belakang punggungnya.

Tidak lain tidak bukan, dia menuju ke area kelas-kelas dua belas IPS, seolah masih belum cukup perkara yang menimpanya!

Di depan kelas Gera, dia berpapasan dengan dua cewek yang hendak keluar. Anehnya, walau sudah bel, kelas itu masih terlihat penuh.

"Gera di dalem?" tanyanya pada dua cewek yang segera menilik penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki secara terang-terangan itu.

"Enggak." Cewek yang agak tomboylah yang menjawab. "Di kantin, kali."

Setelah mengucap terima kasih kilat, Anda setengah berjalan menuju kantin yang dimaksud.

Dia belum pernah ke kantin IPS. Dan jujur saja, dia tidak hafal area-area lain di sekolah, selain yang setiap hari dia lewati. Beruntung, layout sekolahnya tidak semembingungkan itu.

Dengan mudah dia menemukan lokasi kantin. Dan dengan mudah pula dia menemukan Gera duduk seorang diri di ujung meja panjang di depan counter yang menjual berbagai macam makanan Jepang.

"Boleh gabung?" Anda bertanya, menunjuk tempat kosong di depan si cowok.

Perlahan Gera mengangkat wajahnya yang semula fokus pada mangkok udon. Menatap sekilas beberapa anak lain yang menduduki meja yang sama dengannya. Lalu mengangguk tanpa bersuara.

Tak lama berselang, cowok itu kembali fokus pada makanannya yang belum habis.

Anda meletakkan botol minumnya di meja itu supaya tidak ada orang lain yang menempati, lalu memesan sushi roll dengan cepat.

"Sengaja pergi makan sendirian, atau lagi nggak temenan sama yang lain?" tanyanya begitu kembali ke tempat duduk, memulai obrolan.

"Yang lain lagi pada ngerjain PR di kelas." Gera menjawab kalem.

"Kamu nggak ngerjain?"

"Menurutmu, punya siapa yang lagi dicontek satu kelas?"

"Oooh? Okay." Anda manggut-manggut. Menyesal sudah bertanya. Karena ternyata Gera-Gera ini bukan tipikal cowok yang rendah hati.

Berikutnya, pesanan Anda tiba sehingga dia bisa mulai makan untuk mengalihkan perhatian.

Tentu saja, Gera selesai duluan.

Anda memperhatikan cowok itu minum ocha dinginnya hingga isi gelasnya kosong.

Setelah itu, Gera ganti menatapnya.

Sementara Anda berlagak bego, satu alis Gera terangkat. "Ada apa, Nda?"

Anda balas menaikkan sebelah alis, belum menjawab.

"Kamu nggak mungkin jauh-jauh ke sini buat nyari sushi doang, kan?"

Anda bergeming sesaat, menimbang-nimbang kata yang sebaiknya dia ucapkan. "Di kantin IPA nggak ada sushi." Akhirnya, dia pilih jawaban aman.

Gera pun mengangguk, tidak terlihat akan bertanya-tanya lagi meski jelas jawaban Anda tidak bisa dia percaya.

"Aku udah selesai. Mau ditungguin atau ditinggal?"

"Tungguin, please." Anda mengiba. "Sepuluh menit lagi."

Tanpa menjawab lagi, Gera duduk dengan tenang di tempatnya.


#TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top