5 | bosen idup enggak, bosen miskin iya


"KAMU, Ref?" Anda bertanya ketika semua orang mulai panik menyalin jawaban satu sama lain dan tidak lagi punya waktu untuk memperhatikan pojokan kelas tempat meja Refi berada.

"Bukan." Refi menjawab singkat sembari tetap fokus ke lembar folio Peter yang sedang dia salin bersama Mada, teman semejanya.

Malah, Mada yang menoleh, dengan tatapan yang menyatakan keengganannya menjadi orang ketiga dalam obrolan privat itu.

"Ya udah, kalau bukan." Anda nggak mempedulikan Mada, lanjut bicara. Sengaja menggantung kalimatnya. "Soalnya, kalau beneran kamu, nggak akan aku maafin."

Kata terakhirnya berhasil membuat Refi mengangkat wajah.

Cowok yang sebenarnya 'lumayan' itu mengembuskan napas panjang. Tapi ekspresi sok bijaksananya membuat Anda kesal.

"Kenapa nggak jujur aja, sih?" tanya Refi balik, membuat satu alis cewek yang berdiri di samping mejanya itu terangkat. "Kenapa harus sembunyi di balik punggung orang lain? Kakakmu sendiri loh, diaku-akuin jadi pacar. Apa nggak malu kalau ketauan gini?"

"Heh!" Nggak tahu kenapa, Anda pengen mengumpat. Dia tahu ucapan Refi ada benarnya, tapi sebagian dari dirinya menolak digurui. "Menurutmu, kenapa aku pake bohong segala? Soalnya, kalau langsung nolak kamu tanpa ngasih alasan, belum tentu kamu nerima, tanpa terus-terusan nanya alasannya. Kedua, Devin bukan kakakku. Yang ada thread itu nggak sepenuhnya bener." Muka ramah cewek itu hilang sepenuhnya. "Kemarin aku masih berharap kita tetep temenan. Tapi hari ini, jujur males. Semoga kita sama-sama betah di kelas ini sampe lulus, ya."

Selesai mengatakannya, Anda nggak kembali ke bangkunya sendiri, tapi segera mengejar Sumali yang baru saja keluar kelas. Tapi terlambat. Begitu dia sampai pintu, tu cowok sudah nggak kelihatan ke mana perginya.

"Haruskah aku ke Mako sendiri? Tapi males. Apa ikhlasin aja?" tanyanya ke Nunung, ketika terpaksa kembali duduk, karena bel pergantian pelajaran telah berbunyi.

Tentu saja Nunung pilih yang nggak ribet. "Ikhlasin aja, deh."

Peter mengumpulkan paksa lembar jawaban mereka semua, sementara Sumali tidak kembali bahkan saat Bu Ratih—Guru Bahasa Inggris—sudah tiba.

"Anjrit." Nunung memekik pelan. "Tuh anak dua nggak balik ke kelas? Berani banget bolos di jam Bu Ratih!"

"Emang Bu Ratih galak? Perasaan enggak, deh."

"Lihat aja ntar."


~


Konon katanya, perpus adalah tempat paling angker di sekolah. Sudah letaknya di pojok, rak-rak buku yang tinggi dan rapat membuat penerangan terasa remang-remang—meski jumlah lampu yang terpasang di langit-langit nggak kalah banyak sama lampu Indomaret. Udah gitu, sepi mampus pula.

Kalau di sinetron-sinetron masih ada saja perkumpulan kutu buku yang kerjaannya nongki di perpus saat jam istirahat, maka di sekolah mereka—bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini—hanya Anda dan Adnan yang rajin ke sana. Bukan untuk membaca apalagi pinjam buku, melainkan nyari duit. Adnan mengedit video, Anda mencari-cari referensi konten apa lagi yang bisa mereka bikin biar cepet kaya.

"Viral, Nda?" Adnan cengengesan begitu berpapasan dengan partnernya itu di koridor depan perpus.

Dia dengan laptop dan sekresek gorengan di tangan. Anda dengan tangan hampa.

"Udah bosen idup?" Anda melotot, berjalan masuk duluan dan mengisi buku tamu untuk mereka berdua. Benar saja, dalam minggu ini selain mereka berdua, nggak ada manusia lain yang berkunjung. Bu Kesh—penjaga perpus—sampai kayaknya bosan melihat mereka berdua.

"Bosen idup sih belum. Bosen miskin, udah." Adnan masih ingat memberikan tanggapan setelah mereka duduk di tempat biasa: meja tepat di sebelah tempat koran terbaru diletakkan, biar gampang ngambilnya. Bukan untuk dibaca-baca, tapi buat diisi TTS-nya kalau sudah bosan melamun dan tetap nggak kejatuhan ide dari langit.

Terpaksa Anda tertawa, walau suram. Soalnya, nasib mereka memang miris, sih. Sudah sangat rajin meng-upload video, tapi hasil AdSense yang terkumpul masih segitu-segitu aja.

"Kalau viral bikin nambah subscribers atau followers sih nggak apa-apa."

"Lah, kan emang nambah. Kulihat barusan lumayan tuh, nambah beberapa biji di IG. Coba lihat, deh."

"Ogah. Kata Nunung, komennya pada bilang, 'Cakep sih, tapi tukang ngibul.'"

"Ya nggak apa-apa dong, kan emang kenyataan. Yang penting masih ada cakepnya."

Bangsul.

Anda meraih koran di gantungan terdepan dan membukanya, memutuskan mengisi TTS dulu.


~


Padahal nggak minum apapun, tapi Anda mendadak kebelet pipis. Jadilah terpaksa mampir ke toilet angker samping perpus dulu sebelum kembali ke kelas.

Adnan sudah cabut duluan. Sahabatnya sejak SMP itu memang setipe dengan Nunung—teman di kala senang, orang asing di kala susah.

Sambil berjengit ngeri, Anda memasuki satu-satunya bilik yang ada. Berusaha menyelesaikan urusan secepat-cepatnya. Tapi saat hendak selesai, malah terdengar suara ribut-ribut di luar.

Anda jadi sungkan mau menekan tombol flush, tapi ya nggak mungkin ditahan-tahan juga. Masa dia mau telat masuk kelas demi memberi kesempatan orang yang berselisih di depan toilet ini menyelesaikan perselisihan mereka?

Beres merapikan kemeja dan rok seragamnya, Anda membuka sedikit pintunya untuk mengintip. Benar saja, ada sepasang murid lagi saling bersitegang.

Dilihat dari warna badge kelas di pundak si cewek, agaknya dia kelas dua belas juga.

"Sorry." Anda membuka pintunya lebih lebar dan menginterupsi, biar pasangan itu agak menyingkir dan memberi ruang baginya untuk lewat di koridor yang sempit itu.

Si cowok mendesah dan beranjak pergi tanpa menoleh. Sementara si cewek menatap Anda dengan tatapan menghakimi, lalu ikut berjalan mendahului.

Anda masa bodo, mengekor di belakang mereka menuju tangga kelas.

Si cowok berbelok ke arah yang berbeda di pangkal tangga yang berarti dia anak IPS, sementara si cewek menuju ke arah yang sama dengan yang Anda tuju.

Lalu, murni sebuah ketidaksengajaan ketika pandangan Anda mengikuti arah perginya si cowok, bertepatan saat dia sendiri sudah berada di pertengahan tangga, membuatnya jadi bisa melihat wajah kaku itu.

Gera?

Iya, itu Gera bangsul temannya Devin yang lagi numpang di rumahnya.


~


"Nda, udah minta maaf ke Refi?" Inayah, ketua arisan ciwi-ciwi sekelas, bertanya ketika Anda muncul.

Tapi belum sempat dijawab, suara-suara lain sudah saling menimpali kayak lagi lomba cerdas cermat.

"Ckckck. Pake boong segala buat nolak. Sok cakep?"

"Jangan ganggu. Dia Youtuber, rek. Ntar kita dihujat sama fansnya."

"Emang punya?"

"Banyak. Subscribers-nya empat puluh ribuan. Tapi ya gitu ... viewers-nya sepi."

"Subscribers beli, kali?"

"Waduh, waduh, waduh." Bukan cuma Anda yang engap berada di kelas selepas balik dari istirahat masing-masing. Melainkan Nunung juga. Mie ayam depan sekolah yang dia makan tadi sampai pengen keluar lagi saking begahnya suasana kelas, kayak lagi di dalam bus non AC! Panas, berisik, bau kaos kaki pula! "Udah persis banget sama adegan bully-bully-an di sinetron, nih." Nunung sengaja berkomentar kenceng-kenceng biar kedengeran sampai ujung. "Tapi versi medok, jadi kurang cucok. Kalau eke yang jadi sutradara, nggak lolos casting ini, cyin."

Anda berusaha abai. Beruntung siang-siang begini mereka harus mikir matematika, jadi nggak ada yang sempet kasak-kusuk lagi begitu guru tiba.

"Oh iya, Nung. Tadi aku nggak sengaja lihat Gera berantem sama pacarnya. Kayaknya mending kita nggak usah nebeng dia lagi nanti pulangnya." Sempat-sempatnya Anda mencuri obrolan untuk menghalau kantuk.

Nunung yang jiwanya sudah hampir tiba di Cappadocia mendadak balik lagi ke kelas, meringis menanggapi ucapan temannya. "Aku pulang sama Mas Pacar."

"Bagus. Emang paling setia kawan." Anda mengacungkan jempol.

"Lagian, kayaknya kelas Gera kebagian jadwal soljum."

"Oh ya?"

"Dan ... yang berantem sama Gera itu bukan pacarnya. Tapi mantan."

Anda ternganga. Bukan karena informasinya krusial. Justru sebaliknya. "Nung, sumpah, kalau kapasitasmu menampung info nggak penting itu dipake buat dengerin Bu Marti ngomong, nilai-nilaimu pasti mendingan. Bisa-bisanya tau siapa udah putus sama siapa!"

"Ya kalo cowoknya jelek, nggak bakal ada yang tau dan peduli, Nda. Tapi kalau ganteng mah beda urusan. Sama kayak pemain bola yang bagus-bagus. Siapa sih yang nggak tau kalau dia masuk bursa transfer?"

"Oke, oke. Aku naik bus aja nanti. Udah, nggak usah jelasin panjang lebar. Cukup!"

Tapi ... agaknya info yang dibawa Nunung itu nggak valid. Karena ternyata jadwal Sholat Jumat di sekolah baru mulai efektif minggu depan.


#TBC

[1/8/23]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top