3 | particular taste
"GERA mau numpang nginep beberapa hari. Tembok rumahnya rembes kena hujan, nyetrum semua." Devin membuat pemberitahuan begitu Anda mengangkat telepon. Rupanya, cowok itu sudah mencoba menghubungi beberapa kali, tapi karena Anda sedang fokus mengisi bak mandi, dia tidak mendengar ketika ponselnya bergetar, meski telah diletakkan di meja dekat bathtub. "Baliknya nunggu kelar renov. Paling lama seminggu."
Yang ditelepon iya-iya saja, malas mikir. Sudah banyak yang mengganggu pikirannya hari ini. Urusan teman Devin bukan sesuatu yang perlu dia pusingkan juga.
"Bentar lagi dia dateng. Anterin ke kamar tamu." Devin melanjutkan, memperjelas maksudnya, yang tidak lain tidak bukan adalah untuk merepotkan sang keponakan.
"Oke." Tapi nggak apa-apa. Anda berhutang budi padanya. Jadi kali ini tidak menolak direpoti. "Voice note-ku udah dibuka?"
"Udah."
"Nggak ada komen, atau apa gitu?"
"Ntar aja kalau ketemu."
"Oke." Anda sudah siap mematikan telepon dan mau cepat-cepat mandi, sebelum airnya keburu dingin, tapi kalimat lanjutan Devin membuatnya membatu.
"Anaknya udah deket, nih. Standby, ya. Kuping lo kan budek. Kalau lagi di kamar, nggak pernah denger suara bel."
Shit.
Batal mandi, Anda terpaksa lari ke lemari untuk mencari pakaian bersih, karena seragam sekolahnya tadi sudah keburu dicopot dan dilempar ke keranjang laundry.
Kurang dari lima menit kemudian, dia sudah siap di teras sembari membombardir WhatsApp Devin untuk menanyakan temannya sudah sampai mana.
Belum sempat terjawab, sebuah kendaraan menepi, dan tak lama kemudian bel berbunyi.
"Lho ...?" Anda mengernyit melihat sosok yang berdiri di balik pagar ketika dia membuka gemboknya.
Cowok yang tadi sore memberi boncengan pulang. Masih dengan seragam sekolah yang sama. Mobil hitam yang sama.
"Sorry, ngerepotin." Cowok itu memberi gestur agar Anda menyingkir supaya dia bisa membuka pagar. "Devin udah jelasin, kan?"
Tauk ah. Nggak ambil pusing, Anda mengangguk, langsung mempersilakan cowok itu parkir dan masuk ke dalam, lalu mengantarnya ke kamar tamu. "Kalau mau mandi, nyalain dulu krannya agak lama. Biasanya airnya rada bau kalau berhari-hari nggak dinyalain. Tapi kalau ternyata nanti nggak ilang-ilang baunya, sementara pake kamar mandi luar dulu, ya. Besok pagi Mbak yang bersih-bersih dateng. Sekarang masih pulang kampung."
Anda sudah akan pamit mempersilakan tamunya istirahat, ketika kemudian teringat sesuatu.
"Oh iya, ganti seprai, ya? Aduh ...."
Bagaimana cara menjelaskan kalau dia nggak tahu letak seprai bersih di mana, dan bahkan nggak pernah mengganti seprai dengan tangan sendiri?
"Nanti aja. Gampang, lah." Cowok itu maklum.
Anda kemudian undur diri.
~
Batal mandi air hangat, setengah jam kemudian Anda turun dengan mood kurang bagus dan perut lapar.
Devin belum pulang, dan pintu kamar tamu masih tertutup rapat.
Haruskah dia mengetuk dan menawari makan bersama?
Ah, tapi Anda malas bersosialisasi.
Jadilah dia ganti mengirim pesan ke Devin, menanyai kapan pulang, biar Devin sendiri yang mengurus tamunya.
Setengah jalan mengunyah sayur mayur segar dengan dressing wijen sangrai sisa salad to go tadi pagi—opsi paling gampang karena kalau harus menghangatkan lauk di kulkas, nyuci bekas wajan dan piring cukup merepotkan—tamunya keluar. Sudah berganti pakaian, santai tapi rapi.
"Tadinya aku mau ngetuk buat nawarin makan, tapi takut ganggu." Anda bohong, merasa brengsek dalam hati.
"Oh ... I am just about to go." Cowok itu mengacungkan kunci mobil di tangan. Sekilas menatap kotak plastik salad di hadapan si tuan rumah. "Baliknya nanti mau nitip sesuatu? Proper food, maybe. Katamu tadi, lagi nggak ada Mbak, kan?"
What is this, 1990? Anda ingin mencemooh, tapi tentu saja cuma bisa dalam hati. "Gampang, lah. Jam segini masih bisa delivery kalau emang nggak kenyang makan sayur."
Yang namanya Gera-Gera itu akhirnya berlalu juga.
Anda bernapas lega.
Sumpah, kayaknya hari ini level introvertnya meroket jadi 100%.
Memang, sekarang ngobrolnya baru sepatah dua patah kata. Tapi membayangkan tidak bisa menghindari tamunya itu selama seminggu ke depan, sudah bikin dia lelah duluan.
Belum juga saladnya tandas, bunyi bel rumah membuat Anda terpaksa berhenti mengunyah lagi. Segera dia meraih gelas air putih untuk berkumur, lalu menyeret kaki ke pintu depan. Tidak lupa melipir ke ruang tengah untuk mengecek CCTV.
Syukurlah, cuma Nunung yang datang. Kalau teman Devin yang lain lagi, besar kemungkinan Anda lebih memilih pura-pura mati.
"Bukannya tadi udah pulang sama cowok lo?" Anda bertanya tidak antusias begitu pagar terbuka, dan Nunung sudah tegak di hadapan.
"Hooh. Mau balik, ban mendadak kempes. Rumah masih jauh, tapi aku udah kebelet pupup. Jadi ... numpang ke kamar mandi, ya, Nda?"
Anda mempersilakan. Dia sendiri batal lanjut makan begitu mendengar bunyi flush beberapa kali dari kamar mandi tamu.
Sepuluh menit lebih kemudian, Nunung keluar dan beringsut duduk di sofa ruang tengah.
"Numpang merem sebentar. Tolong bangunin kalau jemputan udah dateng, ya?"
"Hm." Selesai berberes kotak makan dan gelas kotornya, Anda berniat mencarikan minuman untuk temannya.
Tapi saat dia menghampiri ruang tengah dengan sebotol kefir di tangan, ternyata tu anak sudah tumbang duluan di sofa.
~
Jemputan yang dimaksud Nunung datang sesuai perkataannya—tidak seberapa lama setelah cewek itu tertidur.
Anda berusaha membangunkan, tapi nggak berhasil. Terpaksa dia jalan ke depan dulu untuk membuka pagar agar si tamu berhenti memencet bel.
Kali ini cowok yang datang. Tinggi menjulang seperti tiang jemuran.
Anda nggak lebay saat mengatakannya, karena paling tidak, cowok ini punya tinggi badan 190-an. Cowok terjangkung yang pernah Anda temui secara langsung.
Tapi bukan pacar Nunung. Karena meski baru beberapa kali bertemu, Anda hafal wajah Marlon yang mirip Eminem itu.
"Mau jemput Nunung." Itu yang diucapkan si cowok sebagai intro.
Mukanya songong, membuat Anda jadi ingin julid. Ditambah penampilannya aneh banget. Mulai dari high ankle leather boots, dua helai tali pengikat celana yang dibiarkan menggantung dari balik jaket hingga mencapai lutut, serta beberapa cincin logam besar di jari-jari tangan. Dan pakaiannya itu loh, serba fuchsia gonjreng!
"Anaknya ketiduran, susah banget dibangunin." Anda menjelaskan.
Cowok itu menghela napas panjang. Kemudian menatap Anda seolah menagih dipersilakan masuk.
Anda terpaksa mengizinkan, meski dalam hati bertanya-tanya di mana teman sebangkunya nemu teman yang ... agak kurang meyakinkan begini.
Setiba di ruang tengah, cowok itu menggampar pipi Nunung keras-keras sampai bangun.
Anda melongo. Kasar banget, Ya Tuhan!
Untung Nunung segera bangun dan berdiri dari sofa, meski akhirnya roboh menabrak meja setelah langkah pertama.
"Nggak kuat melek." Cewek itu merengek kayak bayi.
Si cowok berdecak kesal, minta bantuan Anda untuk memapahnya ke dalam mobil.
"Kenapa hari ini tingkah orang-orang nggak ada satupun yang bener, sih?" Anda mengusap peluh ketika akhirnya Nunung—yang ternyata lumayan berat itu—berhasil digulingkan ke jok belakang.
"Kalem. Besok masih Jumat. Dihemat energinya." Si cowok siap-siap masuk ke mobil juga, tapi Anda cepat-cepat mencekal lengannya.
"Eeeh, enak aja mau langsung pergi. Apa jaminan kamu nggak akan macem-macem sama temenku?" Muka Anda melotot galak.
"Ck, ikut aja kalau nggak percaya. Buru-buru, nih."
"Ikut kemanaaa?" Anda makin melotot. "Minimal sebut nama, kek."
"Ivanov." Si cowok balas melotot, menunjuk CCTV di atasnya. "Kalau besok Nunung nggak masuk sekolah dengan selamet, noh, mukaku ada di situ."
"Oh, Ivanov yang itu. Oke." Merasa tenang, Anda mengangguk-angguk.
Si cowok sempat menaikkan sebelah alis, tapi memutuskan tidak menyuarakan pertanyaannya, hingga kemudian membawa Nunung pergi dari situ.
#TBC
[31/7/23]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top