[3]
Sesuatu yang Baru
.
.
Sudah lima hari saya di sini. Tanpa tidur, tanpa makan-minum, tanpa mandi, dan tentu saja, tanpa teman yang bisa diajak berbagi—berbagi apa saja, tentang apakah dia ingat mengapa ada di tempat aneh ini, misalnya.
Saya benar-benar bosan, hanya berjalan, berjalan, dan berjalan. Sesekali mengamati sekitaran, yang tetap sama saja; stagnan, tidak terusik barang sedikit saja. Saya tidak berani menjelajah jauh ke ujung jalan, kalau-kalau nantinya, saya justru menemukan sesuatu yang tidak bagus, alih-alih sesuatu yang menarik. Saya menghela napas dalam, duduk bersandar dengan putus asa dan kebosanan akut.
Saya lalu mencoba mengalihkan pengamatan pada tubuh saya sendiri. Begitu melihat objek pertama yang saya tangkap, saya mengernyit. Sepatu putih yang seharusnya terlihat jelas di antara warna hitam pekat jalan, sekarang tidak tampak di indra penglihatan. Panik, jari-jemari saya kontan meraba tempat di mana seharusnya benda itu terpasang.
Masih ada. Kaki saya tidak menghilang. Saya berkata dalam hati, diiringi embusan superlega. Saya pejamkan mata sebentar, menikmati kelegaan yang teramat sangat.
Tetapi begitu kelopak netra saya terbuka, badan saya tersentak kaget. Kedua tangan saya berubah, kelihatan lebih kekar. Urat-uratnya sedikit menonjol, menandakan adanya usaha yang membuatnya jadi begitu. Saya tidak dapat mengelak, kedua tangan saya kini jauh berbeda dibanding saat pertama kali saya terjaga. Lebih terlihat seperti tangan seorang laki-laki.
Beberapa saat memikirkan bagaimana hal-hal itu terjadi, sebuah suara tertangkap di telinga saya. Mirip seperti embusan angin yang timbul karena suatu pergerakan yang cepat.
Saya segera berdiri, mencari benda apa sekiranya yang menimbulkan bunyi itu. Dan saya langsung menemukan jawabannya.
Seseorang, dengan sepedanya, tengah melintasi jalan lain, yang entah sejak kapan ada tidak jauh dari jalan hitam tempat saya selama ini. Saya berusaha mengejar, sembari membuka mulut, berniat untuk berteriak memanggil.
Tetapi, tidak ada sedikit pun suara saya yang keluar dari tenggorokan. Lantas anehnya, orang itu menghentikan laju sepedanya, turun, dan menghadap ke arah saya. Orang itu tersenyum, melambai singkat, lalu melanjutkan perjalanan. Dan dengan mudahnya, dia menghilang tepat di ujung jalan.
Saya terdiam, membiarkan sebongkah memori merasuki benak saya. Lelaki itu ... teman saya ketika di Bumi. Saya yakin, yakin sekali, tidak tahu mengapa.
Perasaan saya menghangat tanpa saya sadari. Sesaat sesudahnya, sebuah suara lagi terdengar. Kali ini, bukan telinga saya yang menangkapnya. Hati saya-lah yang melakukannya.
Terima kasih. Saya senang kamu masih di sini. Selamat bertemu lagi di Bumi, teman. Sampai jumpa.
Diri saya mematung lama. Kepala saya sesak dengan berbagai macam tanya, kenapa, bagaimana, bagaimana bisa?
.
.
Sehari lagi berlalu.
Saya akhirnya paham. Di tempat yang tidak saya ketahui ini, kami berbicara dengan hati.
Namun saya tetap tidak tahu apa alasannya, ketika hari esok dan esoknya lagi, kejadian serupa menghampiri saya yang kesepian. Juga, ingatan saya tentang suatu kejadian di mana saya dan ketiga pria itu, terjatuh dari ketinggian.
-●●●-
Well, this part probably will be my fav here. Saya suka aja gitu. Kayak manis-manis penuh kenangan (?).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top