Part 50 - Ending

Aidan buru-buru melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruang rawat Mamanya. Setelah membutuhkan waktu beberapa jam untuk mempersiapkan keberangkatan ke Jakarta, saat ini Aidan akhirnya berhasil membawa Bu Amira dan Gladys di hadapan Mamanya.

Sungguh, saat Aidan membuka pintu ruangan itu, ia melihat Mamanya duduk di ranjang rumah sakit sendirian. Dimana Papanya? Kenapa Mamanya ditinggal sendirian?

"Mama!" ucap Aidan saat ia mencoba untuk melangkahkan kakinya menuju Mamanya.

Sorot mata Bu Ayana sontak berbinar ketika mendapati anaknya datang. Kedua tangannya terbuka ingin memeluk Aidan. Dan Aidan spontan memeluk perempuan itu dengan lembut untuk melepas kerinduannya.

"Aidan anakku," seru perempuan bertubuh ringkih itu.

"Mama gimana? Mana yang sakit?" tanya Aidan pada Mamanya.

Mamanya sontak tertawa pelan ketika mendapatkan pertanyaan itu dari anaknya, "Mama kan udah sembuh. Nggak ada yang sakit," jawabnya.

"Mana Gladys?" tanya Mama Ayana tanpa basa-basi. Bibir pucatnya masih tersirat jelas di mata Aidan. Dua bola matanya menatap sekeliling Aidan dan tampak mencari Gladys.

Aidan menoleh ke arah pintu ketika seorang perempuan membuka ruangan itu. Tampak Bu Amira yang menggandeng Gladys datang menghampiri Bu Ayana. Bu Ayana tampak tersenyum di sela-sela bibirnya yang putih memucat.

"Amira ... Aku minta maaf, kemarin sempat ... Aku minta maaf untuk masalah kemarin," ucap Bu Ayana pada perempuan itu, sangat lirih.

Sebelum mengucapkan kalimat lengkapnya, Bu Ayana tampak menahan batuknya agar tak keluar saat ini. Ia menahan sakit dalam dadanya, "Amira, di posisi aku serba bingung mau nyalahin siapa. Anak bungsuku hampir kritis karena susu soya dari kamu dulu. Sebagai Ibu aku sakit hati. Aku udah sempat lupakan masalah itu. Tapi aku nggak bisa."

"Jujur waktu Aidan mau nikah sama Gladys aku hampir nggak setuju. Tapi aku merasa jadi orang tua yang egois. Makanya aku mengundang kamu kesini. Aku minta maaf kalau kamu merasa keberatan kesini," tambahnya lagi mengucapkan hal itu pada Bu Amira.

"Aku merestui Aidan sama Gladys. Aku nggak akan mempermasalahkan masa lalu. Aku nggak mau jadi orang tua egois. Tolong biarkan anakku menikah sama anakmu demi kebaikan mereka," pintu Bu Ayana.

Tapi Bu Amira sepertinya tak merestui. Dia tampak menggeleng karena tak mau terlibat dalam masalah keluarga Dokter Jefri lagi. Bu Amira rela menahan anaknya untuk tak berhubungan dengan Aidan demi kebaikan Gladys nantinya.

"Sebaiknya jangan! Aku udah menjodohkan Gladys sama laki-laki lain. Anak dari teman Papanya. Aku berharap Gladys menikah sama laki-laki pilihanku. Kamu tenang aja Ayana, Aidan berhak dapat perempuan yang jauh lebih baik dari Gladys," tolak Bu Amira dengan lembut.

"Ayana, Aku berani sumpah. Aku nggak menaruh racun apapun di susu yang aku berikan ke anakmu dulu. Dan aku dari dulu nggak pernah ada niat jahat di keluarga kamu," balas Bu Amira lagi membela dirinya karena memang dia tak pernah menaruh niat jahat dari dulu.

"Aku juga minta maaf kalau aku punya salah. Apapun itu yang buat kamu nggak nyaman. Dari dulu Jefri itu punya kamu. Aku sama sekali nggak pernah merebut apapun yang kamu punya. Karena aku punya kehidupan sendiri. Aku nggak mau kehadiran Gladys di keluarga kamu kalau misalkan Gladys sama Aidan bersama, bakalan merusak hubungan keharmonisan keluarga kamu," jelas Bu Amira.

Bibir Bu Amira tampak tersenyum tipis pada Bu Ayana. Jemarinya mengerat pada tangan Gladys dan mengucapkan beberapa kata pada Bu Ayana, "Lebih baik kita fokus kehidupan kita masing-masing. Dan aku nggak mau anakku terlibat masalah di keluarga orang lain."

"Aidan laki-laki yang tampan, pekerja keras. Pasti banyak perempuan yang mengidam-idamkan Aidan. Nggak harus sama Gladys. Aku minta maaf sekali lagi," tambahnya lagi menatap Aidan.

"Anak kamu berharap kamu sembuh dulu. Mereka punya harapan besar agar kamu sembuh. Cepat sembuh! Aku selalu berdoa agar kamu cepat sembuh. Kamu berhak sembuh. Anak-anak dan suami kamu butuh kamu," seru Bu Amira pada Bu Ayana sebagai penutup ucapannya.

"Aku pamit. Permisi," Bu Amira menundukkan kepalanya pada Bu Ayana sebelum ia beranjak dari ruangam itu.

Saat Bu Amira benar-benar pergi menggandeng Gladys, Bu Ayana tampak ingin mengejar tapi kakinya tak bisa ia gerakkan dengan baik. Juga, tangannya terbalut infus yang membatasi gerakannya. Hanya isakan dari bibirnya yang membuat Bu Ayana merespon ucapan Bu Amira tadi.

Di luar ruangan, Bu Amira menahan tangisnya. Ia tetap menggandeng tangan anaknya untuk diajak keluar dari ruangan itu. Gladys ingin melepas genggaman tangan Ibunya tapi Ibunya langsung mengeratkan genggamannya lagi, "Mama minta maaf kalau Mama nggak merestui kamu. Untuk saat ini lebih milih Mama jodohkan kamu sama Arkhan."

"Mama pengen kamu hidup layak. Mama nggak mau kalau kamu jadi salah satu anggota keluarga mereka, Ayana masih belum menerima kamu dengan baik karena kamu anak Mama. Bagaimanapun juga dulu Mama pernah dilibatkan di masalah keluarga mereka," ucapnya pada Gladys.

"Mama nggak mau anak Mama jadi sumber masalah keluarga orang lain. Bukan Mama mau egois sama pilihan kamu. Tapi kondisinya beda, Sayang! Mama harus mengambil keputusan itu. Mama yakin perasaan kamu nanti akan cepat hilang lama kelamaan," seru Bu Amira lagi pada Gladys.

"Ayo kembali ke Malang! Mama udah bicara sama keluarga Arkhan! Selesai tugas, Arkhan bakalan melamar kamu. Nak Arkan juga laki-laki baik," tambahnya lagi memperjelas ucapannya pada Gladys.

Gladys benar-benar belum siap harus menaruh hati pada laki-laki lain. Cukup Aidan. Dia hanya ingin mencintai Aidan saja. Tapi bagaimana? Hubungannya dengan Aidan sulit untuk bersatu kembali mengingat masa lalu orang tuanya yang teramat rumit.

***

Di sisi lain, Bu Ayana masih merasa bersalah pada anaknya. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya sendiri. Berkali-kali ia membatin bahwa dia teramat jahat pada anaknya. Bu Ayana benar-benar tak tenang dan terus gelisah karena memikirkan betapa jahat dirinya.

"Mama minta maaf, Dan! Mama bikin kamu sedih," ucapnya ke arah Aidan yang duduk di samping ranjangnya.

Melihat Mamanya yang meneteskan cairan bening dari kelopak matanya, Aidan sontak menatapnya lekat, "Minta maaf buat apa? Nggak. Kata siapa Aidan sedih? Aidan dari tadi diam gara-gara nahan sakit karena habis kesrempet motor. Kurang hati-hati," ucapnya berbohong.

"Kenapa sampai kayak gitu?" tanya Mama Ayana melihat tangan Aidan yang sedikit terbalut plester kecil.

"Grasak-grusuk," jawab Aidan seraya tertawa meskipun tawanya sangat hambar.

"Mama minta maaf. Gara-gara Mama kamu luka kayak gini," tutur Mamanya yang makin merasa bersalah, Aidan sampai terluka gara-gara permintaanya. Sama saja dirinya telah melukai anaknya sendiri.

Aidan menggeleng, "Jangan nyalahin diri sendiri terus, Ma! Mama nggak salah."

"Papa belum makan, kamu beliin ya? Kasihan Papa kamu nanti kalau selesai praktek pasti lapar. Mama kan nggak bisa masakin," ucap Mamanya.

"Kalau Aidan beli makan siapa yang jaga Mama? Nitip Azka aja ya?" sahut Aidan.

"Azka katanya masih ada perlu. Keburu Papamu lapar, dia pasti belum makan. Habis praktek langsung kesini," jawab Mamanya.

"Ini loh, beli di kantin depan. Deket kok!" tambahnya lagi.

"Aidan pesen online aja biar gampang. Biar tetep bisa jaga Mama," ungkap Aidan.

Tangan Aidan sontak memesan makanan kesukaan Papanya di aplikasi pesan antar. Tak banyak mikir macam-macam tentang promo dan ongkir, ia langsung memesannya mengenakan e-money yang tersambung dari ponselnya, "Udah."

"Mama minta maaf ya? Gara-gara Mama kamu kehilangan orang yang kamu cintai. Mama egois sama kamu. Gimana Mama bisa pergi dengan tenang nanti kalau Mama merasa bersalah ke kamu kayak gini. Harusnya Mama nggak egois. Harusnya Mama mementingkan perasaan kamu. Mama gagal jadi Ibu. Mama nggak bisa jadi Ibu yang baik," ucap Bu Ayana dalam hati.

"Mama minta maaf kalau Mama jadi biang permasalahan kamu," Hati Bu Ayana sedari tadi berseru tentang penyesalannya. Kedua bola matanya menatap anaknya yang tengah tertunduk memainkan ponsel.

Tak membutuhkan waktu yang banyak, tiba-tiba notifikasi dari ponsel Aidan bergetar. Aidan sontak mengeceknya. Dan ternyata ... pesanan makanan telah sampai di area rumah sakit. Aidan segera memberitahu Mamanya.

"Ma, makanan Papa udah di depan. Tunggu sini ya? Aidan ambil dulu. Pokoknya Mama jangan kemana-mana," pinta Aidan.

"Iya," jawab Mamanya.

Sembari menunggu anaknya kembali, Bu Ayana tiba-tiba merasakan sesak dalam rongga pernapasannya. Dia tak tahu kenapa tiba-tiba dadanya rasanya sesak. Ia kesulitan bernapas.

Jika waktu yang telah ditentukan Tuhan hari ini tiba, dia ikhlas asalkan orang-orang terkasihnya memaafkannya. Dia berharap suami dan anak-anaknya hidup layak. Dia berharap anak sulungnya mendapatkan cinta dari kekasihnya kembali.

Dengan susah payah Bu Ayana mencoba untuk membuka laci samping ranjangnya. Ia mengambil amplop-amplop putih berisikan surat yang pernah ia tulis sebelumnya. Surat untuk anak dan suaminya. Dia berharap kali ini tak merepotkan orang terkasihnya, pergi dengan tenang.

Aidan anakku,
Ini surat yang Mama tulis waktu kamu ke Malang. Nak, Mama minta maaf. Mama egois sama kamu. Mama yang jadi beban semua permasalahan hidup kamu. Mama gagal jadi Ibu.

Tolong maafin Mama! Tolong jaga Papa kalau Mama nggak bisa jaga. Tolong nurut sama Papa dan turuti apa yang Papa mau. Mama minta maaf. Mama udah merusak hidup kamu. Perjuangkan apa yang kamu cita-citakan! Perjuangkan perempuan yang kamu cintai.

Aidan, masa depan kamu masih panjang. Menikah lah sama perempuan yang kamu cintai Nak! Mama nggak akan melarang lagi. Yang menjalani hidup kamu itu kamu sendiri. Tolong bahagia. Mama minta maaf kalau dulu Mama terlalu keras melarang kamu. Mama egois. Mama mementingkan perasaan Mama sendiri. Tolong maafin Mama. Mama tenang kalau kamu bahagia.

Salam sayang dari Mama.

Surat lainnya berisikan beberapa untaian kata untuk Dokter Jefri. Bu Ayana tahu, mencintai Dokter Jefri sangatlah butuh perjuangan dulu, tapi kali ini ia bersyukur Dokter Jefri dan dirinya bisa melewati semuanya. Kini, tugas Bu Ayana telah selesai menemani Dokter Jefri. Dia ingin memberikan beberapa pesan untuk suaminya di dalam surat itu.

Mas Jefri
Aku nggak tau ke depannya kita masih bakal bersama atau enggak. Tapi aku minta, kamu tetep menjalani hidup kamu jauh lebih baik dari dulu. Aku minta maaf belum jadi istri yang baik selama ini. Aku minta maaf juga karena sikapku, kamu harus menelan rasa sabar terus.

Nggak papa. Nggak usah khawatir. Kalau nanti umurku udah selesai, aku tetep bahagia kok. Aku ketemu Mama. Kamu tau sendiri kan dari dulu aku kangen sama Mama. Iya, tugasku udah selesai jadi istri dan Ibu. Aku mau berterima kasih ke kamu karena sudah bersedia jadi suamiku walaupun pertemuan kita terbilang singkat dulu.

Tapi, aku bersyukur udah dikasih kesempatan untuk jadi Ibu dari tiga anak kamu. Sekarang mereka udah besar dan bisa hidup sendiri. Tolong tetep awasi mereka ya, Mas!

Tolong minta bantuan ke mereka kalau kamu ada masalah. Jangan dipendem sendiri. Mungkin ke depannya aku belum tentu bisa di samping kamu terus. Kalau pun kamu merasa kesepian, minta izin ke anak-anak untuk menikah lagi. Aku izinkan untuk kebaikan kamu.

Mas, aku udah berdamai sama Amira. Maaf ya? Aku kesannya selama hidup selalu egois atas hubungan pernikahan kita. Aku egois minta kamu cintai tapi aku nggak memberi space buat kamu berdamai sama masa lalu.

Aku nggak nyangka kalau anaknya Amira yang dicintai anak kita. Bantu Aidan ya Mas? Aku nggak mau anak sulungku tersiksa karena menelan kepahitan tidak bisa menikah sama orang yang dicintai. Kalau bisa, bantu Aidan memperjuangkan cintanya.

Kamu tau kan rasa sakit ketika tidak menikah dengan orang yang dicintai? Aku takut Aidan bakalan nggak tulus kalau menikah sama perempuan selain Gladys. Tolong bantu dia! Tolong bujuk Amira untuk merestui.

Tapi kalau hal itu nggak bisa. Sekali lagi aku minta maaf ya Mas? Gara-gara aku, kamu, dan anak-anak kita nggak menerima kebahagiaan dan malah banyak menerima kesengsaraan. Salam sayang dari istrimu.

Ayana Aurora Pamungkas.

Surat itu terjatuh di lantai ketika tangan Bu Ayana tak mampu menggenggam. Tubuh yang ringkih wajah yang pucat membuat Bu Ayana tak mampu menopang tubuhnya lagi. Lambat laun volume napasnya mengecil. Sebelum ia hilang kesadaran, cairan bening dari kelopak matanya jatuh mengenai bantal yang ia gunakan untuk berbaring. Dua sisi matanya tampak basah.

Tak ada kehidupan yang abadi. Semua yang hidup akan mengalami kematian. Tapi tahukah? Seseorang akan damai dalam kematiannya ketika apa yang telah ia impikan mencapai tujuan. Tapi bagaimana dengan Bu Ayana? Apakah juga akan seperti itu?

Bu Amira sudah terlanjur menjodohkan Gladys dengan anak rekan kerja suaminya. Seorang pilot yang ditugaskan di salah satu perusahaan penerbangan di Indonesia. Gladys pun tak bisa banyak membantah karena ia tak akan mungkin direstui dengan Aidan.

Gladys akan menjalani hidupnya dengan kehidupan baru. Dan Aidan sepertinya akan menyibukkan dirinya dengan pekerjaanya. Karena ia tak tahu ke depannya akan menikah dengan siapa mengingat dirinya sangat sulit untuk jatuh cinta dengan perempuan selain Gladys.

-END-

End versi wattpad.

Aku tetap akan buat epilog dan ekstra part tapi bukan di wattpad gaess. Di wattpad udah selesai. Di karyakarsa, disana karyakarsa lagi buka voucher paket (Lebih ramah kantong). Sama seperti cerita Bapaknya sebelumnya Exchap ada di karya karsa.

In Shaa Allah nanti di epilog dan exchap ada alternative ending kalau belum puas sama ending disini. Tapi kalian nggak wajib mampir ke karya karsa kok. Kalau penasaran boleh mampir kesana.  Kalau penasaran aku tunggu disana ya? 3 hari lagi aku update disana.

See you 🥰

Btw aku lagi ngerjain 3 part awal cerita mbak Aviola (Kembaran Aidan) sama suaminya (Duren Sawit). Doakan 2 minggu istirahat taun baru up di wattpad yaaachhhh wkwkwkw.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top