Part 48 - Usaha untuk Mama

Gladys
Dit, jadi kan ke Malang? Gue udah siap-siap jemput ini. Mama juga udah nyiapin makan banyak buat lo.

Satu pesan yang baru masuk itu dibaca oleh Aidan. Gladys belum tahu jika nomor ponsel milik Dita telah dibawa Aidan dan diganti dengan nomor baru. Aidan melakukan hal ini agar lebih mudah menemui Gladys. Meskipun tadinya sangat sulit membujuk Dita untuk bertukar nomor.

Saat ini Aidan baru saja sampai di Malang. Dia lebih memilih mengenakan jalur udara dibanding jalur darat. Gladys hanya mengetahui bahwa Dita lah yang ke Malang, bukan Aidan. Dia juga hanya mengetahui informasi jika Dita naik kereta ke Malang. Tapi tahukah? Itu hanya alibi agar Gladys tak curiga jika Aidan lah yang menggantikan Dita ke Malang.

Waktu Aidan tak banyak disini. Dia ingin cepat membujuk Mama Gladys dan Gladys untuk segera bertemu dengan Mamanya. Sesuai permintaan Mama Ayana, Aidan rela mondar mandir Jakarta Malang. Aidan juga sudah tak mempedulikan hubungannya yang kandas dengan Gladys. Demi Mamanya ia tak akan egois lagi. Meskipun dalam lubuk hatinya yang terdalam, perasaannya tak pernah bisa terbohongi.

Dita
Iya jadi.

Dari nomor Dita, Aidan membalas pesan Gladys. Pikiran Aidan sedari tadi masih kacau karena memikirkan Mamanya yang terbaring lemah di rumah sakit sedangkan ia tak berada di dekat Mamanya. Sungguh, menjadi Aidan juga tak mudah, hampir ingin menikah dengan orang yang ia cintai, ternyata rencana itu gagal karena rumitnya permasalahan.

Gladys
Tumben balesnya singkat gitu? Biasanya lo ngebacot, Dit! Sampai mana sekarang?

Aidan menarik sudut bibirnya saat membaca pesan dari Gladys. Sungguh, terkadang ia masih bertanya, mengapa hubungan percintaannya semakin rumit? Padahal ia baru saja menaruh hati pada orang yang ia cintai. Tapi mau bagaimana? Ini perkara restu yang tak kunjung usai.

Dita
Stasiun Kota Lama

Aidan membalasnya singkat. Asal menebak saja. Padahal sedari tadi ia tak naik kereta. Ia langsung naik taksi ketika urusan naik pesawatnya telah usai. Sungguh, jika dibanding Dita mungkin gaya ketik Aidan sangat berbeda. Tapi ia juga tak bisa berpura-pura menjadi Dita sampai menganalisa bahasa ketik milik Dita. Tak apa lah, lagi pula Gladys juga tak akan protes.

Gladys
Pokoknya tunggu di deket pintu keluar stasiun kalau udah sampai di Kota Baru. Jangan kemana-mana nanti lo ilang! :) gue yang repot.

Aidan ingin menarik sudut bibirnya. Tapi hati sesaknya mudah untuk menahan agar bibirnya tak tersenyum. Jika ditanya apakah Aidan rindu masa pacaran dengan Gladys? Ia akan menjawabnya 'sangat'. Tapi Aidan juga tak mudah untuk egois saat ini. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Mamanya. Cara agar menuruti apa yang Mamanya mau.

Aidan turun dari taksi sedikit lebih jauh dari pintu keluar stasiun Kota Baru. Ia takut Gladys curiga dan malah tak mau bertemu dengannya. Jika dari awal Aidan memilih naik kereta, pasti akan membutuhkan waktu lama sampai ke Malang. Bagaimana dengan Mamanya? Pasti akan terlalu lama menunggunya.

Sebuah sambungan telepon berdering dari ponsel yang Aidan genggam. Saat melihat nama yang tertera, ternyata Gladys yang menghubunginya.

"Hallo? Dit dimana? Ini udah sampai nih gue di depan stasiunnya. Lo jalan ya dari pintu keluar! Gue tunggu di depan," seru Gladys yang masih menganggap Aidan adalah Dita.

Ketika Gladys tak mendapatkan jawaban dari sambungan telepon itu. Dari pendengaran Aidan, Gladys terlihat kesal, "Hallo? Budeg apa gimana, Dit? Dari tadi diem aja. Sampai mana? Ini gue udah sampai di pintu keluar stasiun nih! Bawain lo makan biar kagak kelaparan. Jangan bikin khawatir gue, Dit! Ini lo dimana? Gak nyasar kan?"

Sengaja Aidan masih mengunci bibirnya. Ia segera berlari ke tempat yang Gladys tuju. Ketika netranya menemukan seorang perempuan yang berdiri membelakanginya, bibirnya tak sengaja tersenyum tipis. Itu Gladys, perempuan dengan rambut pendek yang tergerai sebahu, Aidan sudah bisa menebaknya dari postur Gladys bahwa itu adalah kekasihnya. Oh ralat, lebih tepatnya mantan kekasihnya.

Aidan ingin mendekap perempuan itu dari belakang. Tapi lagi-lagi ia masih memegang pesannya bahwa ia tak akan egois pada orang tuanya. Tak apa, mungkin kali ini belum terlatih untuk melupakan Gladys. Namun barangkali lama kelamaan akan lupa juga.

Dita
Ada di belakang kamu.

Mendapatkan pesan singkat dari ponselnya, Gladys sontak menoleh ke belakang. Dan ... betapa terkejutnya, bukan Dita yang ia lihat. Justru Gladys melihat Aidan ada di belakangnya. Keduanya sangat lama beradu pandang tak ada pembicaraan apa-apa. Mungkin, perasaan keduanya berkecamuk masing-masing dalam hati sampai tak berani mengeluarkan suara satu sama lain.

"Mau ngapain kamu kesini?" tanya Gladys dengan tatapan dinginnya. Sorot mata tajamnya juga tak lupa menatap tangan Aidan yang memegangi sebuah ponsel, "Nomor Dita kenapa kamu yang pakai? Mana Dita?" lanjutnya lagi.

"Aku mau bicara sama kamu. Aku butuh bicara sama kamu," seru Aidan yang sengaja tak menjawab pertanyaan dari Gladys.

Gladys mencoba untuk menertawakan Aidan. Senyum getir dari bibirnya perlahan muncul sebelum ia mendeklarasikan kalimatnya lagi, "Untuk kepentingan apalagi? Urusan kita udah selesai. Aku nggak ada urusan sama kamu lagi," jawabnya.

Gladys menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menghela napas kasar dan sontak meninggalkan Aidan yang masih berdiri di tempat.

Aidan yang melihat Gladys menjauh darinya spontan berlari mengejar perempuan itu. Tak peduli ia menyisiri banyak orang yang berlalu lalang, ia membutuhkan Gladys saat ini untuk kesembuhan Mamanya.

"Gladys!"

"Gladys!"

"Gladys!"

Satu panggilan pun Gladys tak menyahut. Ia tetap berlari. Bahkan Gladys tampak menyebrang jalan raya besar yang ada di hadapannya. Lantas melihat hal itu, Aidan tak kalah cepat mengejar Gladys. Tapi naas ....

Brakk!!!

Sepedah motor dengan plat N yang dikendarai Ibu-ibu paruh baya menyerempet tubuh Aidan yang tengah menyebrang jalan. Aidan terjatuh dengan ranselnya yang terjatuh di sekitarnya.

Dari insiden itu, Aidan tak mampu mengejar Gladys karena lututnya luka mengenai aspal jalan raya. Tak hanya lutut, dilihat dari tubuh Aidan yang kesulitan berdiri, sepertinya ada bagian kakinya yang kesleo. Aidan sedikit mengerang kesakitan karena perih yang ada di lututnya.

"Aarrrgghhh!"

"Astagfirullah, Mas! Ya Allah, iki getihen. Berdarah tangan e! Ya Allah Mas, maaf ya Mas? Yang mana yang sakit, Mas? Pasti sakit iki yo?" tanya Ibu-ibu yang tadi menabraknya. Dia terlihat masih begitu panik melihat Aidan yang saat ini kesulitan untuk berdiri.

Aidan menggeleng, "Nggak papa, Bu! Nggak papa."

"Sampean rumahnya mana? Aduh ... piye Mas? Aku tanggung jawab gimana ini? Mas bukan orang sini a?" tanya Ibu itu pada Aidan. Tapi Aidan sedikit tak fokus dengan pertanyaanya.

Ia hanya menjawabnya dengan suara pelan, "Bukan."

"Ya Allah, tak tukokno kapas—"

Ucapan Ibu itu sontak dipotong oleh seorang perempuan yang tiba-tiba berdiri di belakang Aidan, "Nggak usah Bu! Biar saya yang ngobati. Saya kenal sama dia."

Aidan reflek menoleh ke belakang karena tak asing dengan perempuan itu. Dan ternyata benar perempuan itu adalah Gladys. Terlihat sekali meskipun tatapan Gladys masih dingin pada Aidan, tapi ia tak tega juga jika Aidan terluka seperti ini apalagi karenanya. Ia sampai balik lagi menyelamatkan Aidan dan mengesampingkan egonya.

"Sampean temennya a, nduk?" tanya Ibu itu pada Gladys.

Gladys tak menjawab. Ia hanya tersenyum ke arah Ibu itu dan meminta izin untuk membawa Aidan. Saat beberapa orang ingin membantu memapah Aidan, Aidan menolak karena ia ingin berusaha sendiri untuk berdiri meskipun kakinya masih sakit.

Gladys tahu Aidan tak akan mampu berdiri tegak meskipun ia melihat gelagat Aidan yang sok kuat. Ia mengenal Aidan lama bahkan pernah menjalin hubungan dan pasti hapal kharakter Aidan.

Alhasil, meskipun sedikit ragu, tangan Gladys merangkul pinggang Aidan untuk memapahnya berjalan. Dua sorot mata Gladys tertuju pada kursi panjang di bawah pohon yang dekat dengan stasiun. Sementara Gladys ingin membawa Aidan kesana untuk ia obati. Kebetulan di area sepanjang stasiun, ada apotek disana.

Saat tak ada satupun suara yang menganga antar keduanya. Gladys berhasil mendudukkan Aidan di kursi itu, "Jangan kemana-mana!" serunya ke Aidan sebelum ia berlari ke apotek untuk membeli obat luka.

Tak berlangsung lama, Gladys kembali lagi menyusul Aidan yang masih terduduk di kursi itu. Ia membawa keperluan P3K untuk Aidan yang ia beli dari apotik. Sungguh, ketika berlari mendekat ke arah Aidan dan Aidan menatapnya, sebenarnya Gladys ingin menangis. Tapi ia tahan. Konyol jika kali ini menangis di hadapan Aidan.

Gladys mencoba untuk mendudukkan tubuhnya di bawah, ia berjongkok agar tubuhnya sejajar dengan lutut dan kaki Aidan. Tak ada suara apapun. Mereka sama-sama masih bungkam satu sama lain, "Kalau lukamu belum sembuh, segera ke rumah sakit!" ucap Gladys.

"Mama mau ketemu kamu. Mama juga pengen ketemu Mama kamu. Mama kritis, aku kesini atas permintaan Mama," seru Aidan yang memulai pembicaraan setelah Gladys mengobati lukanya.

Gladys berdiri di hadapan Aidan. Ia sengaja menunduk tak menatap Aidan, "Lebih baik nggak usah ketemu. Aku nggak mau ada keributan lagi. Aku udah bahagia disini sama Mama. Nggak perlu aku ikut campur urusan kamu."

"Mama sakit. Baru pulih dari kritis. Mama nggak ada niatan mau mempermalukan kamu apalagi Mama kamu. Mama cuma mau minta maaf sama kamu dan Mama kamu," balas Aidan yang mencoba untuk membujuk Gladys.

Gladys mulai menatap Aidan. Meksipun sedari tadi helaan napas dari bibirnya mencuat, "Mama disini nggak ada siapa-siapa. Mama sama aku nggak mau ikut campur keluarga kamu lagi. Dari dulu Mama juga nggak pernah ikut campur urusan keluarga kamu, tapi tetep dilibatin. Terus maunya sekarang gimana? Capek, tau nggak? Kemarin disalahin sekarang disuruh ketemu."

"Masalah adik kamu yang katanya keracunan. Mama berani sumpah nggak bunuh adik kamu. Kenapa Mama kemarin disalahin? Siapa sih Mas yang nggak sakit hati kalau orang tuanya dituding-tuding pembunuh padahal nggak ngelakuin kesalahan apa-apa?" seru Gladys lagi dengan kelopak mata yang hampir menjatuhkan air matanya.

"Aku paham. Makanya Mama mau ketemu sama kamu, Dis! Nggak papa kalau kamu minta hubungan ini nggak diterusin. Emang jalannya kita nggak berjodoh. Tapi aku bener-bener mohon sama kamu, tolong selesaikan masalah ini dulu. Mama nunggu kamu. Mama kritis. Mama pengen ketemu kamu," pinta Aidan. Tangannya ingin memegang tangan Gladys tapi Gladys seakan ingin menyembunyikan tangannya.

"Aku nggak bisa kesana kalau Mama nggak bersedia. Dan Mama juga pasti nggak bersedia karena Mama udah memutuskan kalau dia nggak mau ikut campur urusan keluarga kamu," balas Gladys.

"Pertemukan aku sama Mama kamu. Aku mau bicara sama beliau langsung!" sahut Aidan.

"Aku udah bilang tadi, aku sama Mama nggak mau ikut campur masalah keluarga kamu. Tolong jangan dilibatin lagi! Aku nggak mau, udah jauh-jauh kesana mau berniat baik tapi balasan Mama kamu malah mencemooh Mamaku dan nuduh yang enggak-enggak," tegas Gladys lagi.

"Gladys!" Aidan menahan tangan Gladys untuk tak beranjak meninggalkannya sendirian. Ia sengaja menjatuhkan pelukannya ke tubuh Gladys saat perempuan itu berusaha melepaskan.

Sungguh jika dipikir lagi, apa yang dikatakan Gladys ada benarnya. Tapi Mama Ayana juga tak salah karena dia memiliki trauma besar. Lantas bagaimana hubungan mereka jika keduanya tak bisa menemukan titik temunya.

"Aku hancur, Dis! Aku nggak bisa kehilangan Mama. Aku minta maaf kalau Mama pernah melukai kamu. Tapi jujur, Mama bukan orang buruk. Mama reflek melakukan itu karena dia punya trauma besar dulu. Tolong ... Tolong bantu aku, Dis! Mama kritis. Mama butuh kamu sama Mama kamu sekarang!" Ucapan itu membuat Aidan sontak meneteskan buliran bening yang ada di matanya.

Pun juga Gladys. Ternyata Gladys tak melepaskan pelukan Aidan dan ikut berkecamuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan Gladys lebih deras mengeluarkan sisa cairan bening yang ada di matanya.

Ketika Aidan masih memeluk Gladys, ponselnya berdering menandakaj sebuah pesan masuk. Tak ingin melepas pelukan itu, Aidan lantas membacanya seraya masih memeluk Gladys.

Azka
Kak, Mama nyari lo terus Kak! Katanya lama jemput Gladys. Kak, gue bener-bener diambang takut sekarang di rumah sakit jaga Mama. Mama dikit-dikit ngigau. Kadang suaranya nggak jelas mau bilang apa. Kadang kalimat satu sama yang lainnya nggak nyambung. Urusan lo udah selesai apa belum sih? Beneran gue nggak bohong gue gemetaran disini. Nggak bisa tidur nyenyak. Gelisah mulu disini.

Aidan
Tolong kasih tau Mama bentar lagi. Ini baru sampai Malang.

Azka
Udah ribuan kali gue kasih tau Mama soal lo. Sekarang ada Papa disini. Gue di sofa. Papa di deket ranjang Mama. Mama malah minta buku sama pulpen ke Papa sekarang buat nulis katanya. Kagak tau apa yang mau dia tulis.

Membaca pesan dari Azka membuat Aidan bingung. Dia masih berusaha meyakinkan Gladys tapi Gladys masih belum mengiyakan permintaannya. Di sisi lain, Mamanya sudah di ujung tombak kritisnya. Harus apa Aidan jika seperti ini keadaanya?

Aidan tak punya pilihan lain selain mengeratkan pelukannya pada Gladys dan terisak pelan di pundak perempuan itu, "Aku hancur, Dis! Aku takut kehilangan Mama. Aku takut nggak bisa menuruti apa yang dia perintahkan. Bantu aku! Bantu aku! Bantu aku, Dis! Aku nggak tau harus apa sekarang. Mama nunggu, tapi aku takut pulang dengan tangan kosong."

Sempat berpikir lama. Tapi lagi-lagi hati Gladys luluh tak tega melihat Aidan sangat tak berdaya di hadapannya saat ini, "Ikut aku—"

Ucapan Gladys yang belum sempurna terucap seketika terpotong saat Aidan tiba-tiba mengangkat sambungan telepon dari adiknya, "Hallo Azka?"

"Kak, Mama—"

Bersambung ....

Yey, udah mau end! Kayaknya kalau nggak 1 part lagi ya 2 part deh wkwkwkw.

Oke see you ....

Siapa yang masih mau Gladys Aidan bersatu?

Siapa yang mau mereka tetep putus?

Siapa yang mau sad ending?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top