Part 44 - Ingin Cari Tahu

Aidan belum sepenuhnya tertidur. Bahkan ketika bibir Selena sempat mendarat singkat, dia bisa merasakan ada yang aneh dari bibirnya. Kedua kelopak mata Aidan sontak terbuka lebar dan memastikan ada apa di sekitarnya. Ternyata dia menemukan Selena yang duduk di sampingnya sembari menangis tersedu-sedu.

"Kamu ngapain disini?" tanya Aidan pada perempuan itu.

Selena tak menjawabnya langsung. Dia bahkan masih menunduk dan terisak pelan di samping Aidan, "Aku ... Aku takut Dan!"

Aidan masih tak mengerti maksud perempuan itu. Dahinya sedari tadi berkerut. Dan tatapannya masih tajam mengarah pada Selena. Sampai-sampai perempuan itu tanpa permisi lagi memeluk tubuh Aidan dengan erat hingga Aidan terlonjak, "Aku ... Aku takut!"

"Lepas Selena!" pinta Aidan yang berusaha melepas tangan Selena yang melingkar di pinggangnya. Namun perempuan itu justru enggan melepaskan dan masih terisak di pelukan Aidan, membuat Aidan menghela napasnya kasar.

"Aku takut, Dan! Tadi aku kejar kamu keluar gerbang rumah sakit. Tapi aku malah hampir dilecehkan sama preman-preman yang ada di depan gerbang. Bajuku hampir sobek karena mereka tarik-tarik. Aku takut. Aku ...."

Ucapan Selena terhenti beberapa detik setelah itu diteruskan dengan kalimat lainnya, "Aku kesini cari perlindungan. Aku nggak tau harus lari kemana. Aku takut dikejar sama mereka lagi. Aku ketakutan. Karena tergesa-gesa lari, kakiku sampai kesleo. Sakit, Dan! Mereka nggak ngejar aku karena aku sembunyi di kursi ini."

***

"Kenapa kelihatan gelisah? Ada apa? Kamu sakit, Sayang?" tanya Mama Amira pada Gladys yang tampak melamun pagi-pagi buta seperti ini.

Saat ini Gladys dan Mamanya hanya tinggal berdua di sebuah rumah sederhana di kawasan Dinoyo Malang. Tepat berjarak kisaran 2km dari Mall Dinoyo. Rumah itu sebenarnya dibeli Bu Amira menggunakan sisa tabungan Papa Gladys sebelum meninggal.

Mungkin berat menjadi single parent ketika suami meninggal tanpa mewarisi apa-apa. Tapi hal itu tak menjadikan Bu Amira patah semangat. Meskipun dia memutuskan berhenti jadi pengajar di pesantren Al-Haqq milik Ayahnya Dokter Jefri di kawasan Batu Malang saat Gladys lahir dan fokus merawat Gladys. Rejeki dari arah lain selalu menghampirinya.

"Nggak! Nggak papa Ma! Gladys nggak papa," jawabnya saat ditanya Sang Mama.

Tapi bohong jika Gladys tak melamun. Sedari tadi ia masih memikirkan Aidan. Dalam hati kecilnya masih memikirkan Aidan tapi ia bingung di posisi seperti ini. Mamanya dibenci keluarga Aidan dan mau tak mau Gladys berpihak pada Mamanya.

Wajar saja, Aidan hadir dalam kehidupan Gladys ketika Gladys dirundung masalah bersama Arga, mantan kekasihnya. Dan ketika Gladys telah menempatkan hatinya pada Aidan, masalah dari orang tuanya hadir dan  saat ini memisahkan mereka. Padahal posisinya Aidan dan Gladys tak tahu apa-apa, tapi dituntut harus ikut andil dalam masalah ini.

"Ma, di samping pasar Dinoyo masih ada yang jual nasi pecel kan? Makan itu aja ya Ma? Buat sarapan. Nanti Gladys belikan," seru Gladys pada Mamanya.

Bu Amira menganggukkan kepalanya sembari tersenyum, "Boleh. Agak siang aja nggak papa. Sekalian Mama titip belikan benang sama sekoci ya? Ada pesanan jahit seragam sekolah. Mama takut waktunya mepet kalau nggak dikerjakan sekarang."

"Mama kenapa masih nerima pesanan jahit? Nggak usah! Capek Ma! Gladys nggak bisa kalau lihat Mama kecapekan. Udah biar Gladys yang kerja aja nggak papa. Gantian Mama di rumah aja," balas Gladys pada Mamanya. Dia tak mungkin membiarkan Mamanya masih bekerja sedangkan usai Mamanya telah memasuki usia renta.

Bibir Mama Amira tersenyum tipis seraya menggeleng, "Buat ngisi waktu luang, Dis! Mama di rumah nggak ngapa-ngapain. Udah nggak ngajar di pesantren Al-Haq juga. Jadi banyak nganggurnya. Kalau nanti beli sarapan. Tolong belikan 10 bungkus ya?"

"Kok banyak banget 10? Kan kita cuma berdua aja," sahut Gladys.

"Yang delapannya tolong kasih tukang becak di pasar. Dulu Mama pernah sempet ngobrol sama salah satu tukang becak disana. Kata Beliau banyak yang belum sarapan kalau narik becaknya pagi. Mereka juga pencari nafkah buat anak-anaknya. Mumpung hari Jumat, sekalian berbagi ke mereka ya, Nak?" seru Bu Amira.

Gladys mengangguk. Selesai membahas tentang sarapan, tiba-tiba Gladys terngiang-ngiang mengingat ucapan Mama Ayana yang menurutnya sangat membuatnya sakit hati. Gladys sampai tak bisa tidur memikirkan kata-kata itu.

"Ma,"

"Ya?"

"Sebenernya kenapa Bu Ayana marah sama Mama? Pakek nuduh pembunuh segala? Mama kan bukan pembunuh. Kenapa ngomongnya enak banget? Gladys nggak terima. Gladys sakit hati," adunya pada Sang Mama.

Bu Amira menggeleng. Dia menghela napas panjangnya seraya menjawabnya pelan, "Mama nggak tau. Mama bener-bener bukan pembunuh seperti apa yang dikatakan Ayana ke Mama kemarin. Mama bener-bener kaget juga waktu tahu kalau Nak Aidan anaknya Jefri."

"Mama pernah ada hubungan apa sama keluarga Mas Aidan? Rasanya nggak adil aja kita dituduh keluarga pembunuh. Padahal kita nggak salah apa-apa," seru Gladys dengan sorot mata tajamnya.

"Dulu Mama pernah ada hubungan sama Dokter Jef—" Pertanyaan Gladys tiba-tiba terpotong sesaat ketika ponsel yang ia pegang berdering.

Dreett ... Drett ... Drett ...

Tangan Gladys lantas mengangkat sambungan telepon itu. Sebelum ia mengangkatnya, ia membaca nama yang tertera di layar. Ternyata nama sahabatnya yang telah menghubunginya. Siapa lagi kalau bukan Dita.

"Gladys!"

"Dita?"

"Lo apa kabar disana? Gue pengen ketemu. Udah kangen," seru Dita dalam sambungan telepon.

Gladys terkekeh pelan saat mendengar suara lucu dari sahabatnya, "Sini ke Malang! Gue di rumah cuma sama Mama aja. Lo nginep sini. Nanti naik kereta dari Gambir turun stasiun Kota Baru Malang. Sampai Malang nanti gue jemput."

"Alamatnya mana Dis? Gue rencana mau kesana sama ... sama ... Sepupu. Soalnya kalo sendirian takut. Lo tau sendiri. Tidur aja gue kadang nginep di kamar lo. Apalagi bepergian jauh. Gak berani gue. Harus ngajak temen," jawab Dita.

Gladys melirik Mamanya seraya tertawa pelan, "Nanti gue share alamatnya ya ...."

"Ih beneran? Oke kalau gitu. Tunggu jadwal kosong dulu ya? Nanti kalau nggak minggu ini ya minggu depan gue beli tiket dan gass ke rumah lo ... sama Ma ... Maksud gue sepupu gue," sahut Dita.

"Oke! Kalau gitu gue tunggu ya? Gue tutup dulu telfonnya. Nanti sambung lagi," balas Gladys sebelum dirinya mengakhiri sambungan telepon itu.

Mendengar anaknya yang menerima sambungan telepon dari seseorang, Bu Amira tampak penasaran apa yang dibicarakan Sang Anak, "Siapa? Dita?"

"Dita mau kesini, Ma!" sahut Gladys memberitahu Mamanya.

"Bagus dong! Nggak papa ajak kesini aja. Kapan?" tanya Bu Amira dengan nada lembutnya.

Dan Gladys menggeleng. Kedua bahunya terangkat menandakan bahwa ia belum tau pasti Dita akan ke Malang kapan, "Masih belum tau."

"Kalau datang jangan dadakan! Biar Mama bisa siapin makanannya buat temen kamu," balas Bu Amira.

"Nanti Gladys bilang ke dia," seru Gladys.

"Ya udah. Mama ke—

Ucapan Bu Amira buru-buru dipotong oleh Gladys ketika wanita paruh baya itu ingin beranjak dari tempatnya, "Mama lupa jawab pertanyaan Gladys," ucapnya.

Bu Amira mengerutkan dahinya karena tak paham maksud pertanyaan dari Gladys, "Yang mana?"

"Apa dulu Mama ada hubungan khusus sama Dokter Jefri? Sampai Bu Ayana marah?" tanya anak itu pada Ibunya.

Sejujurnya Bu Amira lelah membahas masalah itu jika dikaitkan dengan dirinya. Dari awal Dokter Jefri menikah dengan Bu Ayana, Bu Amira tak pernah ikut campur. Tapi semakin kesini Bu Amira dibenci tanpa dia sadari dia salah apa.

Menjadi Bu Amira juga tak mudah. Sebelum mengenal Dokter Jefri, Bu Amira telah memendam perasaan pada Sang suami yang dulunya telah menikah dengan orang lain. Bu Amira juga pernah patah hati karena ditinggal nikah orang yang dia cintai dalam diam.

Sampai singkat cerita, istri orang yang dia cintai itu meninggal dunia menyisakan satu anak perempuan yang saat ini menjadi anak sambung Bu Amira. Dia adalah kakak tiri Gladys. Bu Amira menyayangi anak itu seperti anaknya sendiri. Dan pelengkap hidupnya adalah ketika Gladys lahir.

Di posisi ini semuanya tak ada yang salah. Mereka hanya mengikuti alur takdir saja. Sayangnya terkadang takdir membawa mereka semua pada aliran sungai gelap yang curam. Hingga mereka dituntut untuk berenang  ke tepian, mana yang kuat bertahan sampai tepi dan mana yang tenggelam di dasar sungai.

"Mama nggak pernah ada hubungan khusus sama Jefri. Nggak pernah ada. Dan Mama bukan pembunuh. Capek Dis jadi Mama! Mau berbuat baik aja dari dulu harus mikir seribu kali. Mama nggak salah apa-apa dibenci habis-habisan. Mama nggak pernah nyakitin orang lain tapi tetep ujung-ujungnya salah," seru Bu Amira menegaskan pada anaknya yang ingin mengorek masa lalu.

Bu Amira tampak menghela napas panjang sebelum netranya menatap Sang Anak, "Kamu marah sama Mama? Karena hubungan kamu putus sama Nak Aidan?"

"Bukan gitu, Ma!" Gladys memeluk Mamanya. Dia tak tega melihat Mamanya yang memasang raut wajah masam. Cukup terpuruk saat Papanya meninggal saja. Gladys tak mau menambah beban masalah Mamanya. 

Bu Amira tampak memeluk Gladys. Tanpa dia sadari, buliran bening dari kelopak matanya jatuh, "Kenapa harus jatuh cinta sama anaknya Jefri? Mama yang disalahin nanti ujung-ujungnya. Padahal Mama nggak pernah ada niatan berbuat buruk sama keluarga mereka. Mama nggak nyalahin kamu jatuh cinta. Tapi—"

Bersambung ...

Jawaban Gladys : Aku juga gatau Ma, author yang bikinnya gitu 🤣 bikin pusing aku Ma! Wkwkwk

Hai gaesss! Kemarin malam mau update tapi ngantuk. Jadi pagi aja yak wkwkwk selamat membaca!

Gimana? Seneng? Aku update tiap hari? Wkwkw itu sebagai tanda rasa bersalah aku pernah update lama 🤣 jadi aku bayar sekarang wkwkw dan alasan lainnya adalah biar cepet tamat aja gaess! Aku gamau numpuk kerjaan tahun baru ganti cerita Aviola soalnya. Kebanyakan on going wkwk jadi mangkrak gak dikerjakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top