Part 38 - Mendekati Maut?

"Acara pernikahan nanti, aku undang temen deket aja ya? Aku jarang ada kerabat soalnya," seru Gladys pada Aidan.

Aidan mengangguk. Kali ini mereka membicarakan tentang pernikahan mereka yang akan mereka selenggarakan usai acara tunangan. Ya, bahkan sampai jadwal fitting baju sudah mereka rencanakan semuanya. Tinggal bagaimana nanti ke depannya.

"Temenku nggak terlalu banyak. Kerabat Papa juga nggak terlalu banyak. Paling kerabat Mama di yayasan yang datang. Kayaknya yang banyak keluarga kamu, Mas!" ucap Gladys seraya memainkan jemari Aidan. Salah satu tangan laki-laki itu tampak fokus menyetir, dan tangan satunya dimainkan Gladys, sesekali digenggam perempuan itu.

Laki-laki itu menoleh sekilas ke arah kekasihnya. Senyum di bibir ranumnya terukir, "Iya nggak papa. Kayaknya nanti yang banyak hadir juga kerabat Papa. Mama juga nggak terlalu banyak kerabatnya," seru Aidan.

"Eh bentar Mama telfon," ucap Gladys saat tiba-tiba ponselnya berdering di dalam sling bag kecil miliknya. Gladys lantas mengangkat sambungan telepon itu dan Aidan reflek meminggirkan mobilnya ketika Mama Gladys menghubungi anaknya.

"Loh kok kamu berhenti, Mas?" tanyanya pada Aidan.

"Biar kamu fokus telfonnya," balas laki-laki itu.

Mendengar jawaban dari Aidan, Gladys tersenyum. Begitu pengertiannya laki-laki itu sampai rela memarkirkan mobilnya agar Gladys fokus berbicara dengan Mamanya, padahal mobil jalan pun tak menjadi hambatan bagi Gladys menyambungkan telepon itu.

"Kenapa Ma?" ucap Gladys saat ia mengangkat sambungan telepon dari Mamanya.

"Kamu sekarang posisinya dimana?" Mama Gladys bertanya dalam sambungan telepon itu.

"Sama Mas Aidan, di jalan ini. Kenapa?" tanyanya balik pada Mamanya.

"Boleh bicara sama Nak Aidan?" Entah apa yang akan dibicarakan, Mama Gladys mengungkapkan keinginannya untuk berbicara dengan Aidan.

Gladys sontak menyodorkan ponselnya ke arah Aidan agar Aidan berbicara dengan Mamanya, "Mama mau ngomong sama kamu, Mas!" serunya pada Aidan.

Sejujurnya jantung Aidan berpacu tak normal saat Gladys mengatakan bahwa Mamanya Gladys ingin berbincang padanya. Takut tak direstui atau ditolak Mama Gladys. Aidan dengan ragu mengambil ponsel itu dan mendekatkannya ke telinga, "Hallo Ma ... Maksudnya hallo Tante," seru Aidan grogi.

"Ini Mamanya Gladys, Nak! Mama sering denger cerita tentang kamu dari anak Mama," sahut Mama Glasys.

Aidan yang mendengarnya lantas menoleh ke arah Gladys pelan, "Iya Tante. Aidan mau memperjelas niat Aidan lagi untuk melamar anak Tante yang cantik ini," pujinya menatap Gladys. Bisa-bisanya dia memuji kekasihnya saat masih dalam sambungan telepon Mama Gladys. Glasys sontak memukul pelan lengan Aidan sampai laki-laki itu meringis dan melanjutkan kalimatnya lagi ke arah telepon, "Tapi rasanya kurang sopan kalau ngelamarnya lewat telfon gini, Tante!"

"Rencananya orang tua Aidan dan Aidan sendiri berniat mengundang Tante buat makan malam bersama di rumah orang tua Aidan. Untuk masalah tiket dan akomodasi lainnya, keluarga Aidan yang nanggung," tambahnya memperjelas niatnya pada Mama Gladys.

Untuk mengurangi rasa groginya, laki-laki itu menggengam tangan kekasihnya dan menghela napas panjang, "Aidan sangat berharap undangan ini diterima baik oleh Tante. Aidan mau minta izin ke Tante, untuk menjalin hubungan dengan anak Tante ke jenjang yang lebih serius."

"Iya Nak! Gladys udah banyak cerita tentang kamu. Tante disini mau ngucapin makasih banyak, kata Gladys kamu yang cover semua biaya tempat tinggal dia disana ya? Ucapkan terima kasih juga ke orang tua kamu ya? Udah banyak bantu Gladys," balas Mama Gladys dalam sambungan telepon itu.

"Bukan apa-apa Tante, cuma bantuan kecil," sahut Aidan terkekeh.

"Itu bantuan besar, Nak! Maaf ya kalau Gladys ngerepotin. Tante nggak bisa balas apa-apa kebaikan kamu. Tante titip Gladys disana. In Shaa Allah kalau Nak Aidan yang terbaik untuk Gladys, Tante merestui," jelas Mama Gladys yang membuat senyum di bibir Aidan benar-benar merekah tak karuan.

"Iya Tante. Makasih banyak," jawab Aidan sebelum ponsel itu pindah di tangan Gladys lagi.

"Ma. Nanti Gladys telfon lagi ya? Mama baik kan disana? Udah makan sama minum obat kan? Obatnya jangan lupa diminum rutin. Gladys minta maaf kalau misal belum temenin Mama check up rutin. Tapi Gladys janji kalau nanti udah nikah, Gladys bawa Mama tinggal sama Gladys disini ya?" seru Gladys pada Mamanya, dan terdengar tawa pelan dari sambungan telepon itu.

"Nggak papa, yang penting kamu sehat disana," balas Mamanya.

"Udah dulu ya, Ma? Gladys tutup telfonnya," seru Gladys sebelum ia menutup sambungan telepon itu.

Gladys lantas menatap Aidan yang sedang fokus menyetir mobilnya. Dia menatap laki-laki itu sedikit lama sampai laki-laki itu sadar dan membalas tatapannya, "Mas kalau nanti kita nikah, Mama beneran boleh tinggal sama kita kan? Kamu nggak keberatan kalau Mama pindah domisili Jakarta? Aku anak terakhir, Mama sendirian di rumah."

"Sama sekali enggak keberatan," balas Aidan.

"Aku boleh kerja nggak nanti?" tanya Gladys pelan.

Aidan terkekeh mendengar kalimat itu. Ingin melarang Gladys untuk kerja tapi dia sudah janji akan membebaskan  keinginan istrinya nanti asalkan hasilnya positif,  "Boleh. Aku nggak membatasi apa yang kamu suka asalkan bernilai baik."

"Terus Mas ... Untuk masalah anak. Kalau kita nggak sependapat gimana cara kamu ngatasin itu nanti? Kita diskusi aja dulu tentang ini. Karena dari kemarin kita nggak sempet diskusi," seru Gladys.

"Emang kamu pengen punya anak berapa nanti, Mas?" tanya Gladys lagi yang membuat laki-laki di sampingnya itu tertawa pelan.

"Sepuluh," jawab Aidan spontan yang membuat Gladys sontak mencubit lengan kekasih, "Kebanyakan. Kamu gimana sih?" serunya membalas Aidan.

"Orang tuaku pengen punya cucu banyak katanya," seru Aidan.

"Ya tapi nggak sepuluh juga ih ... Aku maunya satu," balas Gladys yang tak terima dengan pendapat kekasihnya. Gladys tak berani mengambil resiko anak banyak, takut dia tak bisa bertanggung jawab atas anaknya. Sedangkan Aidan? Ya namanya juga laki-laki bujang lapuk, seusia Aidan memang lagi lucu-lucunya.

"Satu aja? Jangan lah .... Aviola aja mau punya anak dua. Masa kita satu. Lima kalau gitu," sahut laki-laki itu lagi yang bersikukuh ingin punya anak banyak.

Gladys tetap menggeleng. Opininya tak sejalan dengan Aidan. Walaupun saat ini mereka belum resmi menikah, tapi setidaknya masalah ini harus kelar dulu sebelum menikah, "Aku kalau anak banyak takut nggak bisa maksimal jadi orang tua. Takut nggak adil, takut anakku kurang kasih, Sayang! Satu aja deh! Yang penting punya anak."

"Lima Sayang!" ucap Aidan lembut. Seolah-olah berharap Gladys mengabulkannya. Dia masih fokus menyetir seraya sedari tadi bibirnya tak pernah absen menyahut kalimat kekasihnya.

"Satu. Pokoknya aku maunya cuma satu," protes Gladys degan bibir yang mengerucut menatap Aidan.

Sontak Aidan tertawa pelan. Salah satu tangannya mengacak-acak pucuk kepala milik Gladys sebelum tangan itu kembali mengendalikan stir mobilnya, "Tiga deh ya? Nggak sedikit nggak banyak juga. Pas tengah-tengah."

"Nggak mau. Aku maunya satu," sahut Gladys cepat.

"Satu dong Mas!" Gladys merengut karena sedari tadi pendapatnya berbeda dengan Aidan.

Sampai akhirnya laki-laki itu mengalah karena takut melukai hati Gladys. Toh nanti ke depannya juga tak tahu takdirnya harus punya anak berapa. Yang terpenting baginya bisa menikah dengan Gladys. Hanya perempuan itu yang bisa mengubahnya menjadi sosok pria romantis. Dulu mana bisa? Menjalin hubungan dengan wanita saja kaku.

"Ya udah ... satu nggak papa. Tergantung nanti eksekusinya. Kalau rencana satu tapi pas eksekusi ternyata jadi tiga kan juga harus disyukuri. Yang penting kuncinya Ibu dari anak-anakku itu kamu," balas Aidan.

"Oke. Aku nantinya sebagai istri juga ikut apa kata suami. Tapi kamu jangan ngelunjak minta sebelas. Terserah maunya berapa asal jangan banyak-banyak. Yang penting kamu nggak main perempuan lain," ucap Gladys dengan penuh penekanan di kalimat terakhirnya. Sungguh terkadang dia menyesal pernah meminta hubungannya di akhiri karena insiden gelas pecah.

Dia baru sadar jika kekasihnya itu sangat memperjuangkan cintanya. Hal itu yang membuat Gladys yakin pada Aidan bahwa nantinya Aidan akan tetap memperjuangkan cintanya walaupun badai besar menerpanya.

"Kalau udah tua mana bisa main perempuan lain?" tanya Aidan.

"Berarti kalau udah tua nggak bisa, kamu ada niatan waktu muda mau main perempuan lain?" cibir Gladys. Perempuan memang seperti itu mengetes untuk menyakiti dirinya sendiri.

Aidan terkekeh, "Bukan gitu maksudnya. Umurku sekarang udah masuk kepala tiga. Nikah punya anak udah kepala empat nanti. Udah nggak bakal naksir atau ditaksir perempuan lain. Bayangin aja fisik udah mulai lemah. Nggak ada tenaga buat selingkuh. Lagian aku belum pernah lihat wanita cantik selain Mamaku sama wanita yang sekarang duduk di sampingku ini," gombalnya.

"Kamu sejak kapan sih belajar gombal gini?" seru Gladys merengut karena Aidan tertawa tak hentu-hentinya setelah mengatakan kalimat itu..

"Dari Azka," balasnya.

"Keseringan gombal jadinya was-was nanti di luar kamu pinter gombal ke perempuan lain. Ya aku nggak mau kalau nanti kamu ditaksir yang lebih muda. Terus kamunya mau-mau aja gara-gara aku udah gak cantik. Nanti kamu ngeliriknya yang muda-muda," seru Gladys pada Aidan.

Laki-laki itu tersenyum simpul. Tangan kiri yang biasanya ia gunakan untuk menekan persneling lantas ia gunakan untuk menggengam tangan kekasihnya, sesekali mencium tangan lembut wanita itu, "Nggak lah, Sayang! Kamu mikirnya jauh banget sampai sana. Siapa yang bilang wanita luar sana lebih cantik dari kamu?"

"Kalau ada yang bilang, suruh maju sin—"

Kalimat Aidan terpotong saat Gladys berteriak, "Mas, awas! Di depan—"

Bersambung ....

Kaburrr bye bye wkwkw kurang 9 part lagi ya gaesss ... Ayo siapin golok 2 part lagi bakalan klimaks wkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top