Part 37 - PRE-LAMARAN
"Bawa mobil jangan main hp terus!" Gladys mencubit lengan Aidan saat Aidan mengemudikkan mobilnya sembari memainkan ponsel. Di samping berbahaya, dia juga khawatir jika Aidan membalas pesan wanita lain. Lebih tepatnya bukan sembarang wanita lain. Gladys was-was saja jika Dokter Selena berharap pada Aidan lagi.
Untung saja kemarin bukan siapa-siapa yang telepon Aidan. Hanya sebatas pelanggan pet care saja. Dugaan Gladys tentang wanita lain salah besar. Meskipun Aidan benar-benar cinta mati pada Gladys, tapi sifat was-was Gladys juga masih mencuat. Takut jika Aidan tiba-tiba termakan omongan dari luar yang tidak-tidak tentang Gladys. Dan hubungan mereka jadi merenggang.
"Iya Maaf tadi ada yang urgent soalnya," jawab Aidan sembari menepuk-nepuk jemari milik Gladys.
"Dita gimana jadi ikut?" tanya laki-laki itu.
Iya, hari ini adalah hari undangan makan malam orang tua Aidan. Pertemuan ini menjadi pertemuan sekaligus acara dimana Aidan meminta restu orang tuanya. Akhirnya, dia ada di tahap seperti ini dengan wanita yang sangat dia cintai itu.
Tapi karena Gladys merasa gugup seorang diri di hadapan Papa dan Mama Aidan, dia meminta izin pada Aidan untuk mengajak Dita, "Jadi. Tapi dia katanya bawa sepupu. Nggak papa ya?"
"Sepupu?" tanya Aidan mengerutkan dahinya.
Gladys mengangguk, dia lupa memberitahu Aidan bahwa Dita membawa sepupunya juga untuk ikut, "Iya. Kebetulan sepupunya ke Jakarta. Sepupu dari Jawa. Kalo ditinggal di rumah sendirian kasihan. Bapaknya Dita kan hansip nggak di rumah juga."
"Tapi tahu alamatnya kan?" tanya Aidan.
Dan Gladys mengangguk lagi seraya tangannya memainkan jemari Aidan sedangkan laki-laki itu menyetir dengan satu tangan, "Iya udah kok. Dia mau nyusul katanya."
Saat mobil Aidan masuk ke dalam kawasan rumahnya, Aidan mengencangkan stir untuk memarkir mobilnya tepat di area parkir rumah itu. Disana ada beberapa mobil koleksi Aidan dan Azka, Adiknya. Ada juga mobil Papa dan Mamanya. Mobil Aviola tak ada karena Aviola sudah tak tinggal disana lagi.
Gladys lantas turun dari mobil kekasihnya ketika Aidan berhasil memarkir mobil itu. Aidan lantas menyusul juga untuk turun. Dia melihat seorang wanita yang dia kenal berdiri di dekat gazebo rumahnya, "Oh iya bener. Itu Dita."
Gladys pun ikut mengamati Dita dari jauh dan melambaikan tangannya ke arah Dita agar Dita mendekat ke arahnya, "Makasih ya, Mas! Udah diizinin undang Dita kesini. Terus Dita juga udah diizinin bawa sepupunya," serunya ke arah Aidan.
Aidan mengulum senyumnya sebelum ia menjawab kalimat dari Gladys, "Nggak papa. Kapan-kapan Mama kamu yang kesini," ujarnya tertawa pelan. Gladys pun ikut menyenggol lengan kekasihnya seraya ikut menerbitkan tawanya.
"Ini Jumilah?" tanya Gladys pada sahabatnya.
Dita jelas mengangguk. Dia melirik pelan Sang Sepupu sebelum menjawab pertanyaan Gladys, "Iya. Dia jauh-jauh datang dari Jawa. Nginep di rumah gue seminggu. Di rumah sendirian jadi gue ajak kesini. Libur kuliah dia," jawabnya.
"Gladys," Tangan Gladys terulur pelan ke arah sepupu Dita. Alih-alih menatap Gladys yang ingin berkenalan, Jumilah malah salah fokus ke Aidan.
"Allahuakbar. Dita, iki uwong?" tanyanya pada Dita dengan memakai bahasa jawa khas daerahnya. Dita aslinya paham bahasa jawa karena Nenek Dita juga orang jawa, meskipun ia lebih fasih memakai bahasa betawi. (Trans: Dita, ini orang?)
Tangan Dita menyenggol lengan Jumilah saat kedua pandangan Jumilah tak lepas dari tatapannya ke arah Aidan, "Wes cangkemmu ojo nggedabrus! Iki omahe uwong," bisik Dita. (Trans: Mulutmu jangan banyak cincong. Ini rumah orang.)
Aidan tak begitu paham apa yang dibisikkan oleh Dita karena meskipun Papanya kelahiran Malang Jawa Timur, selama dia kecil dia jarang diajari bahasa jawa. Lebih banyak diajari Bahasa Indonesia untuk bahasa sehari-hari.
Beda dengan Gladys, Papa dan Mamanya pernah tinggal di Jawa. Sering pindah-pindah juga karena Papanya banyak kerjaan proyek yang pindah kota dulu dan Gladys banyak belajar bahasa daerah, "Ayo masuk! Udah ditunggu Mama sama Papa," ajak Aidan.
Sepanjang Jumilah ikut masuk ke dalam rumah Aidan, mulutnya tak pernah berhenti berdecak kagum. Matanya berbinar bak seseorang yang tak pernah melihat rumah megah nan besar, "Dit ... Dit ... Omahe nyicil pirang tahun yo? Gede banget," bisiknya pada Dita. (Dit, ini rumahnya nyicil berapa tahun ya? Gede banget.)
"Eh mulutmu dijaga dulu!" Dita menarik telinga Jumilah agar perempuan itu tak banyak bicara kali ini. Dia sedikit malu jika Jumilah banyak bicara, "Dit, iku vas bunga kenek dileboni tuyul. Gede banget," tanya Jumilah lagi saat dirinya melihat sebuah vas bunga besar yang diletakkan di samping pintu masuk. (Dit, itu vas bunga bisa dimasukkin tuyul. Gede banget.)
"Iku onok kucing jruntal-jruntul mangan opo kuwi? Kok ora onok gerih karo sego," tanyanya lagi pada Dita saat netranya melihat beberapa kucing yang tengah makan wet food dan dry food yang tersaji di mangkuk kecilnya masing-masing. (Itu ada kucing makan apaan? Kok nggak ada ikan asin sama nasinya?)
"Mulut dari tadi kok ngomong aja. Pulang sana!" omel Dita pada Jumilah saat perempuan itu berdecak kagum pada isi sudut tiap sudut rumah Aidan.
"Ma ... Pa?" Aidan memanggil Mama dan Papanya yang telah stand by di ruang makan. Mamanya sibuk menuangkan minuman di setiap gelasnya sedangkan Papanya sibuk menyemil masakan Mamanya.
"Duduk ... duduk! Ini Dita sahabat Gladys? Sama siapa?" tanya Papa Jefri yang menatap Jumilah, karena asing baginya.
Jumilah tersenyum lebar. Ia membalas tatapan Dokter Jefri dan menjawab pertanyaannya, "Jumilah Pak De," jawabnya enteng.
Mendengar jawaban dari Jumilah, Dita sebagai sepupunya menahan malu. Pasalnya Jumilah menyamakan bahasa daerahnya dengan bahasa saat ini, "Pak Dhe pala lo! Dokter Jefri bukan Pak Dhe!"
Tak terlalu mendengarkan koreksi dari Dita, Jumilah mengambil duduk di depan Dokter Jefri serta di antara Gladys dan Dita. Sedangkan samping Dokter Jefri adalah Aidan dan Mama Ayana. Meja makan dengan delapan kursi itu menyisakan dua kursi kosong.
"Kalau disini ngomong bahasa Indonesia. Nanti Dokter Jefri—"
Koreksi dari Dita sontak dibalas Dokter Jefri, "Saya bisa basa jawa kok Dit! Santai aja. Dari jawa mana Jumilah?"
"Jawa tengah pinggiran jawa timur. Rembang, Pak Dhe!" jawab Jumilah sembari menebar senyum simpulnya ke arah Dokter Jefri.
Ternyata sedari tadi Jumilah mengagumi sosok Dokter Jefri yang tak terlihat tua walaupun usianya sudah menginjak setengah abad lebih. Jumilah membayangkan masa mudanya Dokter Jefri segagah apa dan sepintar apa dilihat dari kacamata yang bertengger di wajahnya. Dia menyakini seseorang yang memakai kacamata itu pintar. Padahal tidak semua.
"Saya lahir di Jawa Timur," jawab Dokter Jefri.
"Oh Tos dulu Pak Dhe! Sama-sama Jawa," sahut Jumilah.
Baik Dokter Jefri sendiri ataupun beberapa pasang mata disana, terkekeh melihat jawaban yang mencuat dari sepupunya Dita itu. Bisa-bisanya memanggil Dokter Jefri dengan panggilan 'Pak Dhe'.
"Dokter Jefri bukan Pak Dhe. Dibilangin dari tadi ngeyel banget," Dita terus saja mengomel dalam bisikannya ke arah Jumilah. Tapi Jumilah bebal akan omelan dari Dita.
Jumilah meringis tanpa dosa, "Oh maksud Jumilah, Dokter Jefri. Bukan Pak Dhe."
Mama Ayana tampak ikut terkekeh saat suaminya dipanggil dengan sebutan itu. Ia tertawa sembari memukul lengan suaminya sampai suaminya meringis kesakitan. Biasa, perempuan kalau tertawa pasti tak lupa dengan pukulan tangannya yang kemana-mana, "Dimakan ayo! Tante cuma masak seadanya. Karena tadi nggak prepare dulu. Kapan-kapan kalau mau main lagi biar Tante masak yang banyak."
"Iya Tante Ayana," jawab Dita.
Di sela-sela semuanya fokus dengan hidangannya. Aidan sedari tadi mengamati kekasihnya yang menyantap makanan. Sudut bibirnya tertarik menandakan sebuah guluman senyum yang merekah dari bibirnya. Entah apa yang membuat laki-laki itu kagum pada kekasihnya. Setiap kali melihat kekasihnya, dia merasa ingin tersenyum.
"Ma ... Pa! Maaf kalau ngomongnya disini. Mumpung ada Gladys, Mama sama Papa juga. Sebenarnya Aidan berniat minta izin sama Mama Papa buat melangkah ke jenjang yang lebih serius sama Gladys. Gimana Ma? Pa?" tutur Aidan pada kedua orang tuanya yang sontak membuat banyak pasang mata menatap ke arah Gladys.
"Kamu udah yakin 100% bisa jadi suami yang baik apa belum?" tanya Papanya.
Aidan mengangguk yakin. Dia menatap Gladys dan Gladys juga membalas tatapannya dengan senyum tipisnya, "Yakin."
"Udah yakin sama Gladys? Udah bicara berdua masalah pernikahan? Udah saling yakin? Tanya Gladys dulu. Setelah itu Papa sama Mama baru jawab. Papa merestui kalau Mama kamu merestui. Tinggal tanya Mama kamu," seru Papanya lagi.
Aidan beralih menatap Papanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, "Beberapa kali Aidan udah menyinggung masalah pernikahan sama Gladys. Dan Gladys menerima tinggal meminta izin Papa sama Mama buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Aidan mau meminta restu Papa sama Mama buat ketemu Mamanya Gladys. Karena Mamanya Gladys satu-satunya orang tuanya," jawab Aidan.
Mama Ayana beradu pandang dengan Dokter Jefri sebelum ia memutuskan akan memberikan restu atau tidak. Seukir senyum merekah di bibirnya. Dia yakin anak sulungnya saat ini sudah layak menjajaki dunia rumah tangga, "Mama setuju," jawabnya.
Tapi mendengar kata itu, Gladys sedikit was-was. Pasalnya dia pernah merasa bersalah pada Mama Ayana. Dan sekarang Mama Ayana menyetujui hubungannya dengan Aidan. Dia takut apa nantinya saat dia bersama Aidan, ada badai tinggi yang membuat Mama Ayana marah? Tidak-tidak. Gladys tak boleh berpikir yang belum terjadi.
Semua akan baik-baik saja.
"Ma, beneran?" tanya Aidan.
Mama Ayana mengangguk lagi sebagai tanda persetujuan, "Iya. Tapi ada syaratnya. Kamu sebagai laki-laki temui orang tua Gladys. Minta izin ke Beliau juga."
"Berarti boleh nih?" Aidan masih tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Boleh," jawab Mama dan Papanya Aidan.
"Gini Ma, orang tua Gladys Papanya udah meninggal. Mamanya bukan tinggal di Jakarta. Jadi agak sulit buat Aidan ketemu. Kalau misal ada waktu luang, boleh nggak Aidan jadwalkan makan malam bersama sekaligus melamar Gladys? Mama Gladys juga ikut makan malam di rumah kita," pinta Aidan.
Sembari menyantap makanan ringan yang ada di depannya, Dokter Jefri memberi arahan pada Aidan, "Boleh boleh juga. Urusan tiket minta tolong Prasetiyo buat urus nanti biayanya biar Papa yang bantu tanggung."
"Makasih Pa!" sahut Aidan tersenyum.
Tak lupa laki-laki itu menatap kekasihnya untuk meminta persetujuan, "Mau kamu gimana, Sayang? Perlu acara yang gimana? Biar aku siapin sesuai keinginan kamu. Ini acara kita jadi aku mau kita sama-sama seneng di acara itu. Kamu nggak perlu mikir masalah gimana Mama kamu kesini, tiket nanti pihakku yang urus," ucap Aidan.
Sejujurnya Gladys benar-benar bersyukur mendapatkan pengganti laki-laki seperti Aidan. Aidan benar-benar berhasil meratukannya. Bahkan, Aidan sangat berbeda jauh dari Arga sebelumnya. Pasti Mamanya senang jika putri kecilnya saat ini telah dicintai laki-laki dengan tulus.
Meskipun Papa Gladys tak bisa menjadi wali nantinya, setidaknya jika Papanya melihat anaknya bahagia sekarang, pasti di langit Papanya juga bahagia.
Lantas, bagaimana jika ....
Bersambung ....
Punten warning mau ending! 🚩🚩🚩🚩
Ayooo ramein komen sebelum ending ayokkk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top