Part 35 - Ajeng Siapa?

"Hai Sayang!" seru wanita yang tengah menuntun Zio. Sontak Gladys melirik ke arah kekasihnya saat wanita itu memanggil Aidan dengan kalimat mesra. Tatapannya ke arah Aidan menjadi tajam gara-gara wanita lain memanggil dengan sebutan 'sayang'. Bahkan bibir Gladys kian mengerucut ketika wanita itu menatap Aidan dengan tatapan lembutnya.

"Ajeng? Ngapain kamu? Tumben kesini?" Aidan bertanya pada wanita itu dengan tatapan mengintimidasi.

Bibir wanita itu pura-pura cemberut manja, membuat Aidan reflek mengalihkan pandangannya ke arah Gladys, "Tumben gimana sih? Kan pengen ketemu kamu. Makanya aku kesini jengguk kamu, Sayang!" jelas wanita itu.

"Sinting!" cibir Aidan pada wanita itu saat pendengarannya menangkap kata-kata yang tak enak didengar oleh Aidan sendiri. Aidan begidik ngeri ketika wanita itu memanggilnya dengan sebutan 'sayang' lagi.

"Sayang kamu tega banget ngatain aku sinting!" Wanita itu menggerutu. Tatapan tajam milik Aidan membuatnya semakin berulah untuk mendekati Aidan. Entah itu pura-pura atau tidak yang jelas Aidan sontak merangkul Gladys untuk menetralkan amarah Gladys.

Aidan buru-buru menjelaskan ke arah Gladys bahwa wanita itu bukan siapa-siapanya. Melainkan hanya sepupu jauhnya saja. Takut Gladys semakin terbakar cemburu, "Bukan siapa-siapaku Sayang, serius dia orang gila kali manggil sayang-sayang," serunya menjelaskan ke Gladys.

Tapi wanita itu seakan masih mengejar Aidan, maklum sepupu jauh yang kelewat jahil pada Aidan, "Mbak, aku hamil anak dia loh!" serunya ke arah Gladys yang membuat Gladys menghempas tangan Aidan yang merangkulnya.

Aidan menghela napas panjangnya. Memang benar, wanita itu tidak memiliki ikatan khusus pada Aidan. Dia hanya sekedar sepupu Aidan yang memang terkadang kelewat jahil saja, "Makin nggak waras. Ayo Sayang masuk!" ucap Aidan menarik tangan Gladys untuk ikut masuk ke dalam rumahnya seraya meninggalkan Ajeng sendirian karena Zio juga ia tarik untuk masuk.

"Tante Ajeng kok ditinggal?" tanya Zio pada Aidan.

"Biar aja digigit buaya di luar, nggak usah diajak!" sahut Aidan yang membuat Gladys masih bingung hubungan wanita itu dengan Aidan.

"Dia siapa?" tanya Gladys.

"Anaknya sepupunya Papa, wataknya emang agak nggak waras. Jadi jangan kaget kamu!" jawab Aidan pelan.

Berhasil terhindar dari tawanan Ajeng, Aidan mengisyaratkan Gladys untuk lebih dalam masuk ke dalam rumahnya. Meskipun langkahnya masih tertatih sedikit, setidaknya rangkulannya di pinggang Gladys belum terlepas karena Gladys membantunya untuk berjalan,

"Aidan!" sahut wanita paruh baya pada Aidan yang mulai masuk di area ruang keluarga.

"Kamu kemana aja? Mama nyariin dari tadi," tanya Mama Ayana. Aidan memang belum pamit ke wanita paruh baya itu bahwa dia pergi untuk menyelesaikan masalahnya dengan Gladys.

"Sama Gladys?" tanyanya lagi saat melihat pacar anaknya ada di depannya saat ini. Gladys tampak menatap Mama Ayana dengan kikuk, sepertinya dia masih merasa bersalah telah memecahkan gelas kenangan Mama Ayana yang tersimpan di dapur.

"Iya sama Gladys. Tadi ketemu di rumah panti, ditelfon Zio katanya Zio mau ketemu Gladys. Jadi Aidan ajak Gladys ke rumah," ungkap Aidan menjelaskan pada Mama Ayana bahwa ia ingin mengajak Gladys berkunjung ke rumahnya.

Mama Ayana tampak manggut-manggut saat mendengar cerita dari Aidan. Tak ada rasa canggung juga perkara gelas karena mungkin dia masih mengira gelasnya dipecahkan oleh Aidan bukan Gladys, "Oh ... Ini Aviola, Ajeng, ngajakin Barbeque di belakang rumah. Ayo nyusul kesana! Udah Mama siapin semua," serunya pada Aidan.

"Barbeque?" tanya Aidan heran.

Mama Ayana menganggukkan kepalanya pelan, "Iya nanti nyusul ya? Ada Papa, ada Azka, ada banyak disana. Semuanya ikut," jawabnya.

"Iya nanti nyusul. Aidan ajak main Zio dulu ya? Nanti Aidan nyusul sama Gladys," serunya pelan pada Mama Ayana.

"Iya Sayang!"

Saat berhasil mendapatkan izin dari Mamanya, Aidan mengisyaratkan Gladys untuk duduk di ruang keluarga. Disana sudah ada sofa panjang yang biasanya ia duduki ketika bercengkrama dengan keluarganya. Aidan mengajak Gladys dan Zio untuk duduk disana saat ini.

"Jagoan Om apa kabar?" tanya Aidan saat Zio memilih duduk di pangkuan Gladys. Sedangkan Gladys duduk di sampingnya, lebih tepatnya miring menghadapnya.

"Baik," jawab Zio.

"Kangen Om?"

Zio menggeleng, "Kangen Misa Gladys!" tutur anak kecil itu yang membuat Gladys meledakkan tawanya karena Aidan tak dianggap oleh keponakannya sendiri.

"Miss Gladys aja? Om Aidan nggak?" tanya Aidan lagi pada keponakannya.

"Iya. Miss Gladys aja," jawab Zio yang dibalas Aidan dengan helaan napas panjangnya.

Anak kecil itu sontak semangat bercerita dengan perempuan yang memangkunya. Pun juga perempuan itu yang antusias mendengarkan cerita dari Zio. Melihat pemandangan itu, Aidan menyunggingkan senyum simpulnya membayangkan masa depannya bersama Gladys, "Miss Gladys. Kata Mama, Zio adiknya nanti pelempuan. Telus Zio mau kasih boneka ke adik Zio," serunya pada Gladys.

"Boneka apa?"

"Sebental," Zio mengeluarkan boneka kecil yang tersimpan di saku celananya. Boneka itu ada dua, memakai baju biru dan memakai baju hijau, "Ini bonekanya. Bonekanya ada dua, baju walna hijau sama baju walna bilu. Miss Gladys, Zio enaknya kasih adik bayi boneka yang baju warna apa? Cantik mana?" tanyanya meminta pendapat pada Gladys.

Gladys reflek bergumam, memberi pendapat boneka yang paling cantik diantara keduanya, "Kayaknya baju warna biru cantik," jawabnya pada Zio.

Tak puas dengan jawaban Gladys. Anak kecil itu pun meminta pendapat pada Aidan mengenai boneka yanh paling cantik menurut Aidan, "Om Aidan ...."

"Kenapa?"

Tangan anak kecil itu menepuk-nepuk lengan Aidan sebagai isyarat dirinya meminta pendapat, "Kalau Om Aidan pilih mana? Baju walna hijau apa bilu? Cantik mana?"

Tak langsung menjawab. Aidan menatap Gladys terlebih dahulu sebelum pandangannya jatuh pada boneka yang dipegang oleh Zio, "Cantik ... Cantik yang pakai baju warna merah," jawabnya tak masuk akal.

Sontak saja anak kecil itu cemberut. Karena dua bonekanya tak ada yang memakai baju berwarna merah. Tapi Aidan malah menjawab bahwa yang paling cantik adalah yang memakai baju warna merah, "Kan bonekanya nggak ada baju walna melah?" protes Zio.

Pun juga dengan Gladys. Dia sontak melirik ke Aidan yang meluapkan tawanya usai mendapatkan kalimat protes dari Zio. Gladys bingung laki-laki itu menertawakan apa, pasalnya tak ada hal yang lucu di sekitarnya. Sampai kedua pandangannya jatuh di dress merah yang ia pakai. Berarti .... Maksud Aidan?

Menyadari hal tersebut Gladys reflek mencubit pinggang Aidan sampai laki-laki itu merintih kesakitan, "Arrggghh!"

"Om Aidan buta warna, Sayang! Makanya nggak tau warna yang cantik," seru Gladys pada Zio agar Zio tak salah paham.

"Buta warna itu apa?" tanya anak laki-laki itu.

Bibir Gladys mengembang dan tangannya menunjuk dua boneka yang masih dipegang oleh Zio, "Om Aidan nggak bisa lihat warna. Aneh kan? Bonekanya pakai baju hijau sama biru dikira yang cantik warna merah, kan salah ya Sayang?" serunya menjelaskan pada Zio lagi.

"Zio?" tanya Gladys.

"Apa?"

"Zio pernah nangis?"

"Bukan pernah lagi dia, tapi sering!" Bukan Zio yang menjawab, tapi mulut Aidan yang ikut menyahut pertanyaan dari Gladys.

Mendengar ledekan dari Omnya, Zio mengerucutkan bibirnya, "Tapi ... Zio nggak nakal."

Gladys yang mendengar suara protes dari anak kecil itu sontak terkekeh pelan sembari mengacak-acak pucuk kepala anak itu, "Iya. Anak pinter," pujinya pada Zio.

"Anak laki-laki kata Om Aidan nggak boleh nangis. Halus kuat!" Zio mengatakan kalimat itu pada Gladys. Hal itu sontak membuat Gladys kian terkekeh. Pasalnya, yang pernah mengatakan hal itu pun baru saja menangis beberapa jam yang lalu di taman panti asuhan.

"Anak laki-laki nggak boleh nangis kata Om Aidan?" tanyanya menyindir Aidan yang duduk di sampingnya.

Zio mengangguk. Sorot mata kecilnya pun juga ikut menatap Omnya, "Iya. Laki-laki kan nggak boleh nangis. Halus kuat!"

Bibir Gladys tersenyum miring ketika mendengar kalimat dari Zio. Sorot mata sipitnya melirik ke arah Aidan yang masih belum mengetahui bahwa kekasihnya ingin menyindirnya, "Tapi Miss Gladys pernah lihat laki-laki nangis tadi," serunya pada Zio.

"Oh iya?"

"Iya,"

"Dimana?"

Mulut Gladys bergumam pelan seolah-olah memikirkan tempat dimana ia menemukan laki-laki dewasa tengah menangis karena hampir putus cinta, "Dimana ya ... Miss Gladys lupa. Kayaknya di bangku taman rumah panti asuhan. Tapi Miss Gladys lihat beneran dia nangis kok," sindirnya lagi.

"Anak panti?" tanya Zio yang dibalas Gladys dengan gelengan pelan.

"Bukan," jawabnya.

"Orang gila laki-laki?"

Gladys semakin terkekeh geli karena tebakan anak kecil itu seakan menggelitik perutnya, "Bukan. Bukan orang gila."

"Kok nangis?" tanya Zio penasaran.

Kedua bahu Gladys terangkat menandakan ia seolah-olah tak tahu penyebab laki-laki itu menangis. Padahal ia tahu laki-laki dewasa itu menangis karenanya yang hampir memutuskan hubungan secara sepihak sedangkan laki-laki itu tak menyetujuinya, "Nggak tau tuh, Miss Gladys juga nggak tau kenapa dia nangis. Kapan-kapan nanti Miss Glasys tanya deh kenapa nangis!"

"Mungkin minta beli jajan nggak dikasih telus nangis," jawab Zio ngasal yang reflek dibalas Gladys dengan tawa pelannya serta lirikan mata ke arah Aidan.

"Iya bener Sayang, mungkin dia nggak dikasih uang buat beli es krim makanya nangis," sahut Gladys.

"Nangisnya gimana?" tanya anak kecil itu pada Gladys.

Gladys pun tak tahu jika Zio terus bertanya mengenai laki-laki yang ia ceritakan saat ini. Padahal laki-laki itu ada di sampingnya, "Hm? Nangisnya? Gimana ya?"

Tangan Zio terangkat seolah-olah ingin meniru cara menangis seseorang. Dua tangannya tampak berpura-pura mengusap-usap matanya, "Gini? Hihihi hihihi," ucapnya menirukan.

"Iya bener. Kayak gitu," seru Gladys dengan tawa kencangnya yang sesekali merilik kekasihnya.

Dan betapa bodohnya Aidan baru menyadari jika Gladys saat ini tengah menyindirnya habis-habisan karena beberapa jam yang lalu Aidan sempat menitihkan air matanya perkara hubungannya yang hampir kandas sesaat gara-gara gelas pecah.

Tak terima dengan sindiran itu, tangan Aidan sontak mengelus pucuk kepala milik keponakannya itu, "Zio," panggilnya.

"Hm?" tanya anak kecil itu ke arah Aidan.

"Punya rumah kardus?"

"Mainan kucing?"

"Iya rumah rumahan kucing."

"Buat apa?"

Percakapan itu terhenti sesaat ketika sorot mata Aidan melirik kekasihnya sekilas sembari menyembunyikan senyum simpulnya, "Tadi Om Aidan ketemu perempuan yang bingung nyari rumah. Soalnya tempat tinggalnya dijual. Nanti rumah kucingmu kasihkan ke dia aja ya? Biar dipakai buat tidur, kasihan nggak ada rumah!" seru Aidan yang spontan meledakkan tawanya usai mengatakan kalimat itu. Dia menyindir balik Gladys.

"Boleh. Kata Om Aidan halus berbagi," jawab Zio dengan polosnya yang membuat Aidan semakin mengencangkan tawanya.

Tangan Aidan mengusap pipi anak kecil itu sembari berucap, "Kasihan kalau nggak punya rumah. Ya? Nanti rumah kucingnya kasihkan aja ya?" sahutnya meledek Gladys. Padahal penjualan rumah Kos itu juga termasuk campur tangan Aidan. Kalau saja Aidan tak membeli rumah itu, Gladys tak akan hampir serangan jantung karena mendapatkan kabar dari pemilik Kos bahwa rumahnya telah dijual orang lain.

"Tapi kan lumah kucingnya buat kucing bukan buat manusia," celetuk Zio yang kurang setuju.

"Nggak papa, muat kok buat dia tidur!" sahut Aidan dengan tawa gelinya yang mencuat dari bibir ranumnya.

"Boleh. Zio ambilkan ya?" ucap anak kecil itu lagi yang membuat Aidan tak bisa menghentikan tawanya ketika Sang Keponakan masuk ke dalam jebakannya. Kepala Aidan mengangguk seolah-olah memberi izin ke Zio untuk diambilkan rumah kardusnya.

Melihat Aidan yang puas tertawa karena menyindirnya balik, tangan Gladys mencubit pinggang Aidan lagi sampai laki-laki itu merintih kesakitan, "Aaargghhhh! Sayang, sakit ... sakit! Ampun ... ampun," rintihnya.

"Punggungku sakit," serunya lagi dengan tangan yang susah payah menghindar dari cubitan tangan Gladys.

"Lagian salah kamu sendiri ...." sahut Gladys dengan bibir mengerucut karena sebal dengan kekasihnya yang teramat jahil.

Ketika tangan Aidan ingin mengusap pelan pucuk kepala Gladys agar Gladys tak cemberut lagi, ponsel Gladys tiba-tiba berdering menandakan sebuah panggilan masuk. Gladys sontak merogoh ponsel yang tersimpan di saku bajunya dan membaca siapa yang tengah menghubunginya, "Arga? Ngapain dia telfon?"

"Mantan kamu?" tanya Aidan. Mendengar sebuah nama yang pernah Arga dengar dari Dita. Hati Aidan sedikit tak tenang ketika laki-laki itu menghubungi Gladys disaat Gladys bersamanya, "Sini aku yang angkat aja, nggak usah kamu yang angkat!" serunya dengan kilatan mata yang tajam.

Bersambung ....

Aku baru bisa update karena sakit gaessss!!! Kalau Medina in Madinah update tiap hari itu karena kewajiban tertulis dari sana yang harus update tiap hari, jadi meskipun sakit aku sempatkan update. Tapi untuk Aidan, jujur aku gak sanggup pegang 2 naskah pas sakit jadi agak aku hold dulu wkwkwkw. Dannn sekarang dah bisa kalian baca dua duanya wkwkwk

Coba komen ada apa sama mereka wkwkwk apakah akan ada baku hantam?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top