Part 34 - Putus Beneran?
Saat Gladys mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri hubungan, Aidan reflek bersimpuh lutut di hadapan Gladys, memohon agar kekasihnya menarik ucapannya tadi, "Kalau bisa diperjuangkan kenapa harus berhenti, Sayang?" pintanya pada Gladys.
Tidak. Dia tak akan bisa melepas perempuan itu bagaimanapun keadaannya. Baginya hubungannya masih bisa diteruskan. Dia juga akan rela melindungi Gladys dari siapapun yang menyakiti kekasihnya itu. Permasalahan dengan Mamanya bisa ia selesaikan. Bahkan ia rela harus mengakui kesalahan Gladys jika Mamanya mempermasalahkan lagi tentang gelas yang pecah.
"Mas Aidan kamu jangan-" Gladys tak mau Aidan sujud di hadapannya. Ia membantu membangunkan tubuh Aidan dan mengisyaratkan Aidan untuk berdiri.
Tangan Aidan menarik tubuh Gladys dalam pelukannya. Sangat lama. Bahkan Aidan sengaja tak ingin melepas pelukan itu sampai Gladys mencabut kata-katanya tadi, "Bilang sama aku, aku harus apa biar hubungan kita nggak berhenti sampai disini? Bilang sama aku, Dis!"
Walaupun saat ini kondisi punggung Aidan masih terasa sakit, ia rela Gladys memeluknya dan sesekali mencengkram punggung Aidan, "Mama nggak marah sama kamu. Mama beneran nggak marah gelasnya pecah. Aku bisa buktikan kalau Mama nggak marah sama kamu. Bilang ke aku, aku harus melakukan apa biar hubungan kita nggak berhenti?"
"Kalau kamu bersedia, pukul aku 100x kalau fisikku nggak bisa melindungi kamu. Pukul semau kamu kalau aku mengecewakan kamu. Pukul punggungku sampai retak kalau menurut kamu, aku menyakiti kamu. Asalkan hubungan kita tetep berjalan aku bersedia," jelas Aidan lagi dengan suara paraunya yang membuat Gladys semakin terisak mendengar kalimat itu.
Bukan salah Aidan, Gladys ingin menakhiri hubungannya. Tapi karena memang keinginan Gladys yang takut membuat keluarga Aidan berantakan ketika Aidan menjalin hubungan dengan Gladys. Gladys hanya tak ingin menambah masalah. Gladys ingin melindungi Aidan. Dia tak mau Aidan dibenci keluarganya karena membela Gladys yang bukan siapa-siapa.
Saat Gladys menangis dalam dekapan Aidan. Tiba-tiba ponsel Aidan berdering menandakan sebuah panggilan masuk dari seseorang. Gladys sontak menguraikan pelukan itu dan membiarkan Aidan mengangkat sambungan telepon.
Ternyata sambungan telepon itu dari Aviola. Sebuah panggilan vidio tersemat di layar ponsel milik Aidan. Merasa sudut kelopak matanya ada sedikit sisa cairan bening, Aidan sontak mengusapnya dengan jemarinya. Begitupun juga dengan Gladys yang reflek menatap ke sembarang arah saat mengusap sisa cairan yang ada di pipinya.
Agak sedikit canggung dengan Gladys pasca mereka hampur mengakhiri hubungan, tapi Aidan ingin bersikap layaknya tak ada apa-apa saat memilih untuk menerima sambungan telepon vidio itu.
"Hallo Om Aidan?" teriak anak kecil yang sangat Aidan kenal terbit di layar ponselnya dengan senyum meringis yang memperlihatkan gigi susunya yang rapi.
"Zio?" sahut Aidan. Dia sontak memasang raut wajah cerianya saat sang keponakan terbit di layar ponselnya.
"Om Aidan, Zio mau ke lumah Nenek Ayana," seru Zio.
Tatapan Aidan reflek melirik Gladys ketika Zio menyebut nama Mamanya. Aduh bagaimana? Dia belum menyelesaikan masalahnya dengan Gladys saat ini. Tapi jika dipikir-pikir, barangkali dengan hadirnya Zio, hubungannya dengan Gladys akan berangsur baik-baik saja, "Kapan mau ke rumah nenek?"
"Sekalang. Zio sama Mama sama Papa udah naik mobil. Zio mau main kuda-kuda sama Om Aidan tapi kata Mama Om Aidan sakit punggungnya. Om Aidan sekarang di rumah?" tanyanya pada Aidan.
Aidan menggeleng sembari tersenyum, "Om Aidan di luar. Ini mau pulang sama ... Coba tebak Om Aidan sama siapa sekarang?" Aidan sengaja menarik tangan Gladys dengan lembut sembari kedua matanya mengisyaratkan Gladys untuk ikut berbicara dengan Zio.
Tak banyak berpikir, anak kecil itu langsung menebaknya, "Miss Gladys!" jawabnya bersorak.
"Holeee ... Om Aidan nanti main sama Miss Gladys? Miss Gladys ke rumah Nenek? Miss Gladys nanti ketemu Zio?" tanyanya antusias.
Aidan melirik Gladys yang berdiri di dekatnya. Tangan Aidan sengaja menyorotkan wajah Gladys di depan layar ponselnya agar Zio bisa memperhatikan wajah guru lesnya itu dengan seksama, "Miss Gladys nanti ketemu Zio kan?" tanya Zio mengulangi.
Saat Gladys bimbang dengan jawabannya sendiri, sebuah tangan kekar menggengamnya. Sontak pandangan Gladys jatuh di tangannya ketika Aidan menggengamnya, pandangan itu lantas beralih menatap sorot mata Aidan yang tampak teduh sebelum ia menjawab pertanyaan dari Zio.
Gladys menjawabnya dengan anggukan pelan, yang membuat Zio tambah bersorak, "Zio tunggu di lumah ya? Om Aidan jangan lama-lama nanti Zio bosen."
"Siap meluncur!" sahut Aidan.
Ketika sambungan telepon itu terputus. Mata Aidan sontak tertuju pada Gladys, berharap Gladys benar-benar mau ikut dengannya, "Zio mau ketemu sama kamu. Zio kangen sama kamu, udah lama nggak ketemu kamu. Please! Jangan buat kecewa Zio ya? Dia mau ketemu sama kamu. Aku yakin kamu juga pasti pengen ketemu dia. Dia udah nunggu kamu di rumah. Aku mohon, Dis!"
Gladys tak bisa menolak karena permintaan dari Zio. Mungkin jika bukan Zio yang meminta, dia masih terkungkung rasa bimbangnya, "Iya."
Akhirnya Aidan bisa bernapas lega. Dia menggandeng tangan Gladys untuk berjalan ke mobilnya. Meskipun cara jalan Aidan masih tak seperti orang pada umumnya, tapi demi Sang Kekasih dia rela meninggalkan kursi rodanya. Lagi pula, kata dokter sudah tak perlu memakai kursi roda lagi, "Ikut berangkat pakai mobilku ya? Bukan aku yang nyetir tapi Prastiyo," seru Aidan.
Gladys sebenarnya kasihan dengan sang kekasih yang sedikit kesulitan berjalan. Langkah Aidan agak tertatih. Hal itu yang membuat Gladys perlahan merangkul pinggang Aidan untuk membantunya berjalan.
Senyum Aidan tertahan ketika Gladys reflek merangkulnya. Meskipun perempuan itu masih gengsi banyak bicara dengannya tapi setidaknya ada perhatian kecil yang tersumat dari hati kecil perempuan itu.
Sampai di mobil Aidan, Gladys memilih duduk di samping Aidan. Lebih tepatnya di kursi belakang sedangkan Prasetiyo menyetir di kursi sopir, "Langsung pulang ya, Yo?"
"Iya Mas," sahut Prasetiyo.
Sepanjang perjalanan, Gladys dan Aidan tak membuka suara sedikitpun. Tapi sedari tadi tangan Aidan menggengam tangan kekasihnya bak tak mau terlepas. Saat sebuah pesan singkat terbit di ponsel Gladys, Aidan segera menyingkirkan tangannya. Hal itu membuat Gladys segera membuka layar ponselnya.
Bapak Kos
Duit kamu Bapak kembaliin soalnya Rumah Kos udah Bapak jual. Itu bukan rumah Bapak lagi ya, kalau mau bayar Kos di pemilik rumahnya yang asli aja. Bapak udah nggak buka Kos-kosan.
Gladys mengerutkan dahinya ketika membaca pesan itu. Beberapa menit mencermati kalimatnya, "Hah? Bapak Kos salah kirim apa gimana sih ini?" serunya tak percaya.
Tapi ketika sebuah notifikasi email dari bank masuk ke dalam ponsel Gladys, laporan hasil transaksi ikut mencuat di email tersebut. Gladys segera membaca laporan email itu, "Loh? Kok beneran dibalikin uangnya?"
Tangan Gladys segera menghubungi Bapak Kosnya. Tidak, tak mungkin. Jika tempat Kosnya dijual, lantas Gladys tinggal dimana? Pulang ke rumah Mamanya? Tak mungkin lah. Di Jakarta saja Gladys belum bisa membahagiakan orang tuanya, masa iya pulang ke rumah dengan uang kosong?
"Hallo Pak? Pak ini maksudnya gimana sih? Dijual apa? Gladys nggak paham. Bapak jangan becanda deh!" serunya pada Bapak Kos dalam sambungan telepon.
"Iya, rumahnya udah Bapak jual sama orang. Jadi bayarnya di pemilik baru aja jangan ke Bapak. Dita udah Bapak kasih tau," sahut laki-laki itu yang membuat wajah Gladys semakin panik. Bagaimana tak panik? Itu satu-satunya Kos ternyaman, jika dijual dia tinggal dimana lagi?
"Terus nasib Gladys gimana? Bapak ah ... Bisa-bisanya nggak bilang dulu kalau mau jual tanah. Bapak becanda apa gimana sih? Barang Gladys masih disana semua. Kenapa bilang dadakan? Barang-barang pribadi Gladys belum dipindah semua. Terus Gladys tinggal dimana, nyari kosan yang enak susah Pak! Bapak yang bener aja dong!" omel Gladys pada laki-laki itu.
Laki-laki itu berdehem sebelum menjawab ribuan pertanyaan dari Gladys, "Bapak serius. Ini akta tanahnya udah pindah alih. Kalau mau bayar kasih ke orangnya nanti Bapak kasih kontaknya. Kamu hubungi!" jawabnya.
"Gimana sih? Kalau barang-barang Gladys dibakar gimana? Harusnya Bapak ngomong dulu sama Gladys. Jangan bertindak semaunya dong Pak! Mentang-mentang Gladys penghuni Kos lama," Gladys terus menerus mencerocos tak tentu arah tak peduli saat ini dia bersama Aidan. Masa depannya hampir jadi gelandangan gara-gara Kosnya dijual.
"Bapak butuh duit buat biaya kuliah anak Bapak, kebetulan ada yang mau beli tanah, ya udah Bapak jual aja. Lagian orangnya juga nggak masalah barang kamu masih di Kosan. Bapak kirim kontaknya setelah ini. Marah-marah aja nih bocah!" sahut laki-laki paruh baya itu dalam sambungan telepon.
"Gimana nggak marah-marah? Jual tanah gak bilang-bilang," mendengar kalimat Bapak Kosnya rasanya Gladys ingin meremas ponselnya.
[Bapak Kos]
Pesan belum dibaca
Mas Tanah
081xxxxxxx
Mas Ganteng
082xxxxxxx
Saat membaca pesan dari Bapak Kosnya, dua bola mata Gladys melebar lagi. Ini siapa lagi? Kenapa nama kontaknya Mas Ganteng dan Mas Tanah?
Merasa sambungan teleponnya belum terputus, Gladys sontak bertanya pada Bapak Kosnya, "Hallo, ini Mas Ganteng siapa lagi? Makelar? Gladys kan mintanya yang punya tanah. Bukan makelar," tanyanya pada Bapak Kos.
"Iya kontaknya yang beli tanah. Bawel amat jadi bocah! Ibu Kosmu yang kasih nama di kontak bukan Bapak," jawabnya.
Gladys berdecak sebal. Sedari tadi bibirnya menggerutu. Ia dengan terpaksa menyimpan nomor tersebut ke dalam ponselnya, namun ketika nomor itu akan disimpan sebuah pemberitahuan mencuat dari notifikasi pop up ponselnya.
Perbarui Kontak Yang Ada
Kontak yang sama
[Mas Aidan 🤪]
Gladys mengerjapkan dua kelopak matanya saat membaca notifikasi tersebut. Pandangannya sontak beralih ke arah Aidan, "Kok nomor kamu?"
"Mas ... Mas, kamu yang beli tanah Bapak Kos?" tanyanya pada Aidan.
Aidan terkekeh sembari mengangguk, "Iya, kenapa emang?"
"Kamu yang beli tanah sekaligus Rumah Kosnya? Kamu ngapain beli rumah Kos sih?" Gladys menarik telinga Aidan sampai kepala laki-laki itu miring ke arahnya.
"Buat aset masa depan. Apa yang salah?" tanya Aidan balik. Memang benar, sebulan yang lalu Aidan memang sempat membeli tanah Ibu Kosnya Gladys. Dia juga sekaligus membeli rumah Kos yang ditempati Gladys. Awalnya Aidan memang tak ada niatan beli tanah lagi karena dia ingin fokus dengan pembangunan rumahnya, tapi karena Gladys sempat bercerita bahwa dia kesulitan cari uang untuk bayar kos, akhirnya Aidan memutuskan membeli Kos tersebut agar Gladys tak pusing membayarnya lagi.
"Buat aset masa depan kan nggak harus beli Rumah Kosnya Ibuk Kos. Bisa cari tanah yang strategis kalau mau buka usaha. Aku terus gimana dong ini nasib bayar kosnya? Rumahnya mau kamu gusur buat buka usaha? Terus aku tinggal dimana?" gerutu Gladys yang dibalas Aidan dengan tawa pelannya.
"Ya udah mana rekening kamu? Barangku jangan dibuang dulu, rumahnya jangan digusur dulu aku belum pindahan," tambah Gladys lagi.
"Buat apa minta nomor rekening?" tanya Aidan.
"MAU BAYAR KOS! Duitnya dikembaliin sama Bapak Kos tadi. Mau aku transfer ke rekening kamu," sahut Gladys.
Aidan semakin terkekeh geli ketika melihat guratan wajah kekasihnya sangat kecut karena bingung harus membayar Kos. Padahal Aidan tak membutuhkan uang itu, "Nggak perlu dibayar. Bayarnya pakai surat nikah aja nanti," jawabnya.
"Mas aku serius kamu jangan ketawa-ketawa. Kali ini nggak mau bercanda. Aku bayar Kosnya berapa sebulan yang lalu? Disamain sama harga Ibu Kos apa gimana?" tanya Gladys lagi.
Aidan menatap Gladys dengan tatapan teduhnya. Bibirnya tersungging kala Gladys sibuk berkutat dengan pikirannya. Karena gemas, tangan laki-laki itu mengusap pelan pucuk kepala milik Gladys, "Aku juga serius, Febiola Ananta Gladys! Kamu sama Dita nggak perlu bayar."
"Kamu tetep tinggal disana seperti biasa nggak usah bayar, nggak ada yang berubah rumahnya, yang berubah nama di surat tanahnya aja," ungkap Aidan lembut.
Sibuk membahas perkara Kos, keduanya sampai tak sadar mobil Aidan sudah terparkir di depan rumahnya. Tiyo menghentikan mobil Aidan tepat di tempat parkir yang tersedia di rumah, "Udah sampai Mas Aidan. Mau Tiyo bantu jalan?" tanyanya pada Aidan.
Karena Aidan ingin dibantu oleh kekasihnya, dia menolak tawaran dari Tiyo, "Nggak ... Nggak usah Yo! Ada Tuan Putri yang nanti bantu Pangerannya," sahut Aidan yang dibalas Gladys dengan jeweran telinga lagi. Gladys tahu maksud dari kalimat itu. Sejak Aidan menjalin hubungan dengan Gladys, Aidan perlahan melunturkan sifat kakunya pada perempuan.
Tapi ya gitu, walaupun sering gombal terkadang sisi kaku itu masih tetap ada. Namanya juga bawaan orok dan campuran gen Bapaknya.
Sebenarnya Gladys mau mencubit pinggang Aidan tapi ia lupa, punggung laki-laki itu masih dalam masa pemulihan, "Apaan sih kamu, Mas? Malu-maluin depan Tiyo," gerutunya pada Aidan.
"Dari pada gombalnya ke perempuan lain. Milih mana?" tanya Aidan pada kekasihnya.
"Emang berani?"
Mendengar pertanyaan maut itu, Aidan menggeleng cepat, "Udah dikasih yang cantik. Nggak mau kikir sama pemberian Tuhan."
"Om Aidan, Miss Gladys!" Sebuah teriakan dari anak laki-laki menyeruak di parkiran rumah orang tua Aidan. Gladys yang posisinya tengah membantu Aidan turun dari mobil, sontak menatap ke arah sumber suara, "Zio?"
Anak kecil itu terlihat bersama seorang perempuan dewasa seumuran Aidan. Bukan kembaran Aidan. Siapa perempuan itu?
Bersambung ...
Hayooo komen vote follow wkwkw biar aku update terussssss
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top