Part 33 - Putus?
Selama empat hari lamanya, Mama Ayana masih memikirkan gelas yang telah terbelah menjadi delapan belas bagian. Gelas itu pecah tak menyisakan bekas bentuk yang utuh. Serpihan kaca bahkan hampir menjadi bubur saking kerasnya hantaman gelas ke arah lantai dapur kala itu.
"Kenapa harus gelas itu yang pecah? Kenapa bukan gelas yang lain?" serunya dengan napas yang sedikit sesak. Mama Ayana sampai tak fokus mengaduk adonan kue yang dia buat. Dia masih memikirkan gelasnya yang pecah. Sampai kapanpun tak bisa melupakan kenangan dari gelas itu.
Aidan yang kebetulan berdiri di samping tembok dapur, sempat merasa bersalah meskipun bukan dia yang memecahkan gelas itu. Sulit sekali di posisinya saat ini. Ingin membahagiakan Mamanya, tapi ada hati perempuan lain yang dia harus bahagiakan juga. Kenapa harus terjebak di lingkaran seperti ini?
"Maaf Ma!" gumamnya pelan, sengaja tak menyusul Mamanya di dapur dan hanya bisa bersembunyi di balik tembok dapur.
Aidan melangkahkan kakinya dengan pelan ke luar pintu utama rumahnya. Sebenarnya punggungnya masih sangat sakit, tapi dia tak bisa terus-terusan bergantung di kursi roda. Selama empat hari juga, Gladys tanpa kabar. Ribuan kali Aidan menghubungi, tapi sampai saat ini masih tak diangkat juga.
"Kenapa nggak diangkat, Sayang?" serunya lagi usai menghubungi Gladys ke sekian kalinya.
Aidan tak tinggal diam. Dia sontak menghubungi Dita untuk mencari tahu tentang Gladys meskipun selama empat hari juga Dita sempat tak bisa dihubungi. Apa karena Gladys yang meminta?
Saat sambungan telepon dari Aidan diangkat oleh Dita, Aidan tersenyum lega. Akhirnya Dita mau mengangkat teleponnya, "Hallo, Dit?"
"Iya Mas?" jawab Dita pelan.
"Gladys dimana? Sama kamu?" tanya Aidan tanpa basa-basi. Sungguh, mungkin jika fisik Aidan seperti dulu, ia tak akan berpikir panjang untuk mencari Gladys di seluruh penjuru dunia.
Aidan berusaha menanyakan kabar kekasihnya ke Dita, namun Dita sempat bergeming sesaat. Sampai ucapan wanita itu mencuat dari sambungan telepon, "Nggak ada. Dari tadi pagi udah pergi. Katanya ada perlu," jawab Dita.
"Kemana?" Aidan masih terus berusaha menanyakan kabar kekasihnya. Rasa gundah tiap detik menyelimuti perasaannya. Aidan bahkan sulit untuk tidur nyenyak padahal saat ini posisi dirinya sedang sakit dan butuh istirahat. Tapi mau bagaimana lagi? Dia saat ini terlalu banyak memikirkan Gladys.
"Nggak tau juga," jawab Dita.
"Kamu nggak nanya dia mau kemana sebelumnya? Tolong, Dit! Sekali ini aja tolong bantu. Selama empat hari Gladys nggak bisa dihubungi. Aku nggak bisa cari dia karena masih dalam tahap pemulihan. Aku mohon bantu, Dit!" suara parau itu datang dari bibir Aidan untuk memohon ke Dita agar Dita membantunya.
"Gladys ...." Ucapan Dita menggantung. Dan Aidan dengan setianya menyimak kalimat Dita, berharap hari ini dia menemukan Gladys. Tak apa. Tak peduli dengan sakitnya yang tak kunjung sembuh, hari ini dia ingin bertemu Gladys.
"Dit ... Tolong bantu!" seru Aidan pelan.
Dita sedikit menghela napas sebelum suaranya mencuat dari sambungan telepon, "Gladys ke panti asuhan Az-Zahra di Jalan Ranting Ungu. Dari tiga hari yang lalu dia selalu kesana. Dita belum sempet nganterin sih soalnya sibuk kerja, dia kesana sendirian kayaknya. Nggak tau juga, akhir-akhir ini jarang ngobrol sama Gladys soalnya dia pulangnya malem terus, lah kan Dita udah ngorok kalo malem besok pagi kerja."
Sempat tak percaya, Aidan berusaha mengorek informasi tentang Gladys. Barangkali Dita masih menyimpan informasi tentang Gladys. Dari jawaban Dita tadi, dia sudah bisa menebaknya langsung, Gladys menghindar gara-gara ada masalah kemarin, bahkan Aidan sudah bisa menebak dalam pikirannya bahwa Gladys mungkin merasa bersalah saat memecahkan gelas milik Mama Ayana.
"Pulang malam?" tanya Aidan.
"Nggak tau pasti malamnya itu jam berapa karena Dita tidurnya jam 10. Pagi jam enam udah berangkat kerja lagi. Jadi nggak ketemu Gladys padahal satu rumah, soalnya Gladys juga ngunci kamarnya terus," jawab Dita yang masih sibuk dalam sambungan telepon itu.
Aidan mencoba untuk menyimak sampai tuntas kalimat yang akan dilontarkan oleh Dita. Dia benar-benar merindukan kekasihnya yang saat ini sangat sulit dihubungi, "Kemarin-kemarin waktu Mas Aidan telfon Dita, Dita nggak angkat karena ... ya nggak enak aja ikut campur hubungan orang. Tadi mau bohong ke Mas Aidan, juga dipikir-pikir nggak enak juga," tambah Dita lagi yang masih bercerita dalam sambungan telepon itu.
"Tapi dipikir-pikir, kalau gini terus .... eneg mual juga. Jadinya ini Dita terus terang aja kasih tau Mas Aidan biar kondisinya gak berantakan. Ya udah ya Mas ya? Lagi lembur di tempat kerja ini soalnya. Maaf kalau tadi ceritanya kalimatnya susah dimengerti soalnya lagi sambil kerja," ungkap Dita yang membuat Aidan tanpa berpikir panjang ingin menyusul ke Panti Asuhan yang telah disebutkan oleh Dita.
"Iya, makasih ya?" sahut Aidan.
Ketika sambungan ponsel itu terputus, Aidan cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku kemejanya. Dengan langkah yang masih tertatih, kakinya ia tuntun untuk mencari asisten rumah tangganya. Iya benar. Tiyo putra Pak Aryo adalah orang yang bekerja di rumah Aidan sebagai sopir Aidan.
Sebenarnya jika fisik Aidan mampu, dia tak akan meminta bantuan Tiyo untuk mengantarkannya menjenguk Gladys. Tapi karena tubuhnya belum pulih sepenuhnya, dia berniat meminta Tiyo untuk mengantarkannya, "Tiyo ... Tiyo ...."
"Iya Mas?" jawab Tiyo yang saat inu tengah membantu memotong rumput di pekarangan rumah.
Aidan merogoh saku celananya untuk mengambil kunci mobil yang tersimpan disana. Dia memberikan kunci mobil itu pada Tiyo, "Bawa mobilku cepetan!"
"Mau kemana?" tanya Tiyo pelan sembari mengambil kunci mobil dari tangan Aidan.
Aidan tak menjawab langsung, matanya mengisyaratkan Tiyo untuk berjalan ke arah mobil Aidan yang terparkir. Pun juga dengan Aidan yang berjalan ke arah mobilnya dibantu Tiyo, "Bawa aja! Ayo!"
Tiyo mengangguk. Meskipun belum tahu arah tujuannya kemana, Tiyo menyetujui saja apa kata Aidan. Tiyo juga membantu membukakan pintu mobil untuk Aidan. Awalnya Tiyo berniat membuka pintu depan mobil itu, tapi nyatanya Aidan memilih untuk dibukakan pintu belakang, "Agak dipercepat, Yo! Nyetirnya," pinta Aidan.
"Ini mau kemana?" tanya Tiyo bingung karena Aidan menyuruhnya mempercepat kemudinya tapi Tiyo tak diberitahu tujuannya kemana.
"Ke Panti Asuhan Az-Zahra. Jalan Ranting Ungu," seru Aidan.
"Oh tahu, oke meluncur!" kebut Tiyo.
Sepanjang perjalanan Aidan berusaha untuk menghubungi Gladys. Tapi sampai saat ini juga Gladys belum mengangkat sambungan teleponnya. Dia bingung harus menghubungi Gladys dengan cara apa. Kenapa menghindar disaat kondisi Aidan seperti ini?
Aidan terlihat memijit pelipisnya dengan pelan. Masalah ini membuatnya terus-menerus tak bisa tidur. Ia memejamkan matanya sejenak sembari menikmati perjalanan, tapi rasanya otaknya seakan dipenuhi masalah bertubi-tubi. Hubungannya dengan Gladys terhitung masih belum genap satu tahun, tapi rasanya dia tak bisa jauh dari Gladys tanpa kabar seperti ini.
"Udah sampai, Mas!" seru Tiyo.
Ribuan pikiran yang tersemat di otak Aidan membuat Aidan tak sadar bahwa mobilnya telah masuk di pekarangan panti asuhan yang dia tuju. Ternyata Tiyo lihai juga menyetir tepat waktu, "Kamu disini aja ya?" perintahnya pada Tiyo sebelum ia keluar dari mobilnya.
"Mas Aidan beneran bisa jalan sendiri? Udah, sini Tiyo bantu aja!" sahut Tiyo.
"Nggak papa, bisa."
Aidan menahan tangan Tiyo yang ingin membantunya. Dia mengisyaratkan pada Tiyo bahwa tubuhnya bisa ia kendalikan sendiri. Langkah Aidan perlahan berjalan ke arah Rumah Panti itu. Pun tak lupa, sorot matanya mengabsen beberapa sudut pekarangan rumah panti untuk mencari sosok wanita yang sangat dia cintai.
Dan benar saja ....
Belum sampai ke pintu rumah panti itu, netranya terkunci pada seorang perempuan yang tengah terduduk di samping anak kecil yang berusia tujuh tahunan. Perempuan itu memang Gladys. Meskipun Aidan hanya melihat punggungnya, tapi dia sangat hapal punggung Gladys dan postur tubuh Gladys. Aidan menemukan wanitanya di sebuah bangku panjang yang ada di sudut pekarangan panti. Benar kata Dita, Gladys memang benar ada di rumah panti ini.
"Gladys," gumam Aidan yang perlahan menyusul kesana.
Perempuan itu tak sadar jika kekasihnya menyusul. Dia masih fokus bercerita dengan laki-laki kecil yang saat ini duduk berdampingan dengannya. Dari kejauhan, Aidan samar-samar mendengar percakapan itu.
"Jadi tadi Miko diledekin temen-temen katanya Miko nggak punya Bapak. Terus Miko nggak ditemenin mereka karena mereka punya Bapak, Miko nggak punya. Miko nggak punya temen," adu anak kecil itu pada Gladys.
Sejujurnya mendengar kalimat itu, hati Gladys ikut tertohok. Pasalnya Gladys sendiripun juga tak memiliki sosok ayah dalam hidupnya. Bedanya laki-laki kecil itu mengalaminya di masa pertumbuhannya, sedangkan Gladys lebih beruntung dari anak itu.
"Miko, Kak Gladys temen Miko kok. Kita sama-sama nggak punya Bapak," tawa Gladys pelan. Sebenarnya tawa itu untuk menghibur anak laki-laki yang ada di hadapannya agar tak berduka lagi.
"Kak Gladys juga nggak punya Bapak. Tapi Kak Gladys nggak sedih soalnya Bapak kita kan udah di surga. Udah bahagia disana. Makanya kalau ada yang bilang Miko nggak punya Bapak itu salah. Miko punya Bapak sama kayak Kak Gladys juga. Cuma Bapak kita di surga udah bahagia disana. Nanti kita nyusul kesana kalau udah gede," jelad Gladys pada Miko.
Bibir Miko mengerucut saat mencerna kalimat dari Gladys, sedikit tak paham ucapan itu sampai-sampai sebuah pertanyaan ingin terlontar dari bibirnya, "Tapi Miko nggak tau wajah Bapak Miko. Dari kecil Miko taunya cuma Ibu Panti. Terus Miko tau Bapak Miko di surga gimana? Kan Miko nggak tau wajah Bapak Miko?"
"Kalau Miko nanti di surga, Miko cari Bapak gimana? Kan Miko nggak tau wajah Bapak Miko gimana?" tanya polos anak kecil itu yang membuat Gladys bingung mencari jawabannya.
Iya juga ya ... Gimana jawabnya?
Gladys bergeming sejenak memikirkan jawaban apa yang pantas dan sederhana agar Miko mengerti ucapannya. Niat ingin menghibur anak kecil itu, dia justru bingung sendiri dengan jawabannya. Sampai seorang laki-laki mengambil alih jawaban itu dan berdiri tepat di belakang Gladys.
"Nanti di surga, dengan izin Allah Miko ketemu sama Bapak Miko meskipun sekarang Miko nggak tau wajahnya. Nanti di surga, semuanya Miko kenal. Bapak sama Ibu Miko kumpul disana. Asalkan, Miko jadi anak yang baik terus. Jangan nakal!" jawab Aidan yang menjelaskan kalimatnya ke arah Miko.
"Di surga itu indah banget. Kita mau apa aja ada disana. Semua orang baik masuk surga. Mau apa aja disediakan. Mau ketemu siapa aja juga dipersilahkan," tambahnya lagi lebih memperjelas ucapannya.
Mendengar jawaban dari Aidan, dua bola mata kecil itu membulat sempurna, tampak berbinar kegirangan. Tatapan polos yang tak tahu apa-apa, saat ini menatap teduh Aidan yang baru ia temui saat ini. Berbeda dengan Gladys yang terkejut saat Aidan ternyata ada di dekatnya saat ini, "Minta mainan mobil-mobilan boleh?" tanya Miko.
"Boleh, banyak banget disana. Mainan apa aja ada. Syaratnya harus jadi anak baik," ucap Aidan dengan kalimat sederhananya, berharap Miko dapat menerjemahkan kalimat itu dengan benar.
"Kalau gitu, Miko mau ke surga ketemu Bapak terus ajak Bapak main mobil-mobilan," sahut Miko yang membuat Aidan sontak terkekeh pelan.
"Miko ...." Panggilan dari seseorang membuat Miko mengedarkan pandangannya ke arah sumber suara. Miko sangat hapal suara itu, suara seseorang yang telah merawatnya dari bayi.
"Iya Ibu Panti?" sahut Miko berteriak.
Miko gegas beranjak dari duduknya. Tatapannya masih menatap ke arah Ibu panti yang melambaikan tangannya dari jauh. Sepertinya Ibu panti memanggilnya, "Sana temui Ibu panti dulu, nanti kesini lagi," seru Aidan memerintahkan Miko untuk menemui Ibu pantinya.
Ketika Miko berlari meninggalkan Gladys di tempat duduknya, Gladys berniat untuk beranjak juga dari tempat duduk itu namun tangan Aidan berhasil mencegahnya, "Mau kemana?" tanyanya lembut pada Gladys.
"Kenapa empat hari nggak bisa dihubungi, hm?" tanyanya lagi pada Gladys. Aidan hanya ingin meminta penjelasan dari wanitanya itu.
Tapi Gladys memilih untuk bergeming. Dia sama sekali tak menatap Aidan sedikitpun, "Gladys," panggil Aidan lagi.
Saat Aidan ingin mendekap tubuh Gladys, perempuan itu cepat-cepat menguraikan pelukan dari Aidan dan memilih menolak pelukan itu padahal biasanya, kepala Gladys sering bertengger di dada bidang milik Aidan untuk mencari celah ketenangan, "Aku takut menjalin hubungan sama kamu," cicitnya pelan.
"Maksud kamu?" sahut Aidan dengan dahi yang berkerut sempurna.
"Sayang, kita bicara disini. Kita selesaikan masalahnya disini. Jangan pergi dulu!" pinta Aidan sembari berusaha mendekap tubuh perempuannya. Meskipun sedari tadi Gladys terus meronta dan menolak dekapan dari tubuh Aidan.
Aidan semakin mengeratkan pelukannya agar Gladys tak mengelak lagi. Tapi tahukah yang Aidan dapatkan? Dia mendapati Gladys meledakkan tangisannya dalam pelukan Aidan, "Aku tahu kamu menghindar karena masalah kemarin. Nggak mungkin kamu tiba-tiba menghindar tanpa alasan. Bicarakan sekarang! Aku mau masalah ini cepat selesai," pinta Aidan.
"Aku minta maaf kalau—"
Ucapan dari Aidan sontak dipotong oleh Gladys, "Kamu nggak salah jangan minta maaf, yang salah aku ke Mama kamu," sahut Gladys terisak.
Aidan menggeleng. Dia tak membiarkan Gladys dikungkung rasa bersalahnya. Dia ingin masalah ini cepat selesai dan hubungan dengan Gladys berjalan sebagaimana mestinya lagi, "Anggap itu salahku karena aku yang minta tolong ke kamu buat disiapin obatnya. Gelas itu jatuh karena kamu nggak sengaja. Kamu nggak salah."
"Itu gelas kesayangan Mama kamu. Bukan sekedar kesayangan tapi gelas yang banyak kenangan. Mama kamu kemarin bilang sendiri kalau hampir cerai sama Papa kamu. Jahat banget aku menghancurkan kenangan orang lain. Kalau aku jadi Mama kamu, aku juga bakalan marah. Masalahnya itu bukan masalah sepele, itu menyangkut masalah pribadi Mama kamu," ucap Gladys memberikan kesaksian bahwa dia menghindar memang benar karena masalah gelas kemarin.
"Buktinya Mama nggak marah sama kamu, Dis! Semuanya baik-baik aja," seru Aidan.
Tapi Gladys menggeleng seraya menguraikan pelukan dari Aidan. Tangannya menghapus sisa buliran bening dari kelopak matanya sebelum ia melontarkan kalimatnya lagi, "Karema posisinya Mama Ayana nggak tau kalau aku yang melakukannya. Kalau Mama Ayana tahu dia juga bakalan marah. Hubungan kita kayak gimana jadinya kalau Mama Ayana marah?"
Gladys tahu wanita pertama di hidup Aidan yang selalu dijaga perasaannya adalah Mama Ayana, Aidan yang cerita sendiri. Lantas, jika perempuan pemegang tahta tertinggi itu dikecewakan oleh Gladys, apa ada jaminan bahwa Gladys masih bisa menjalin hubungan dengan Aidan? Tidak kan?
Tidak mungkin Aidan meninggalkan Mamanya hanya demi Gladys. Gladys yakin Aidan akan memilih apa yang dikatakan oleh Mamanya jika suatu hal buruk terjadi dalam hidup mereka yang melibatkan Gladys dan Mama Ayana.
"Hubungan kita berhenti?" ujar Gladys pelan dengan kepala yang menunduk dalam, cairan bening yang tertahan di matanya sontak terjatuh bersamaan dengan kepingan hati yang saat ini luruh tak beraturan ketika Gladys mengatakan mata 'Berhenti'.
Bersambung ....
Putus aja deh putus wkwkwk
Aku nggak mau banyak bacot di author note soalnya ngantuk polll jadi follow akuuu vote cerita ini dan komen yang banyak, aku lagi nulis Medina in Madinah update tiap hari tapi kayaknya malam ini aku ganti besok pagi deh soalnya ngantuk banget mau revisi narasi Medina wkwkwkw.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top