Part 28 - Bucin atau Bencana?

2700 kataaaa panjang bangettttt aku jadikan 2 lagi wkwkwk. Ayo komen yang banyak ramein biar cepet kelarrr update-nyaaa ....

💌💌💌

Di tempat kerja. Gladys melakukan pekerjaannya seperti biasa. Hari ini dia mendapatkan piket jaga pet shop. Sedangkan Cindy merawat hewan yang dirawat di klinik. Gladys tampak fokus menghitung pendapatan dan mencatat pengeluaran anggaran untuk mengisi bahan-bahan pet shop yang nantinya akan diperjualbelikan kembali.

Berbeda dengan Aidan, laki-laki bertubuh tegap itu tampak selesai melakukan tindakan pengobatan untuk kucing yang dia tangani saat ini. Laki-laki itu terlihat melepas sarung tangan usai melakukan pemeriksaan. Sang Tuan Kucing tak ada disana. Hanya Cindy yang membantunya.

"Dia didiagnosa apa, Dok?" tanya Cindy pada Aidan. Cindy adalah salah satu Pet Nurse yang bekerja selama 2 tahun belakangan ini membantu Aidan. Dia lebih lihai merawat kucing dibanding Gladys. Maklum, Gladys masih seumur jagung bekerja dengan Aidan.

"Dapat pasien FUS (Feline Urologic Syndrome) lagi. Saya kasihan ke kucingnya. Nggak bisa urinasi," jawab Aidan sembari tangan kekarnya untuk mengusap lembut pucuk kepala kucing berwarna oren yang ada di hadapannya saat ini.

"Emang gejalanya apa?" Cindy menanyakan lagi perihal penyakit yang dituturkan oleh Aidan. Karena dasarnya dia juga tak begitu hapal macam-macam penyakit hewan.

Aidan menunjukkan senyum simpulnya ke arah Cindy sebelum dia menjelaskan tentang penyakit itu. Jangan salah paham tentang senyum Aidan ke perempuan lain. Karena dia sudah terbiasa bersikap ramah ke semua orang bukan terkhusus perempuan saja. Tapi semua kalangan baik bangsa hewan ataupun manusia. Dengan perempuan lain meskipun banyak menebar senyum, dia sama sekali tak ada rasa. Kecuali dengan Gladys.

"Kucing berjenis persia datang dengan keluhan nggak bisa urinasi. Tadi pemiliknya bilang, minta dirawat di vet. Karena Beliau ada kerjaan di luar kota nggak bisa mondar-mandir ke vet selama pengobatan kucingnya. Kamu nanti bantu rawat disini ya?" tutur Aidan memberi pesan ke arah Cindy.

Dan Cindy langsung mengerti. Dia menujukkan anggukan kepalanya ke arah Aidan, "Iya Dok!"

Aidan membantu menurunkan kucing dari ranjang yang baru dia periksa tadi. Dia memindahkan kucing itu di kandang yang tersedia di vet. Sembari dibantu Cindy merapikan alat-alatnya, laki-laki itu tampak membuka masker yang membungkus mulut dan hidungnya usai cuci tangan di salah satu wastafel yang ada di ruangan itu.

"Tadi udah melalui pemeriksaan cek darah dan hasilnya memang ginjalnya bermasalah, kreatinin dan bun kadarnya tinggi banget, ini bisa mengarah ke gagal ginjal kronis mengingat umur kucing ini tergolong tua dan susah urinasi," jelasnya lagi pada Cindy yang telah selesai merapikan alat-alat Aidan.

Aidan berdiri tepat di depan Cindy dan berniat menuliskan resep takaran makanan, obat, dan vitamin untuk terapi selama seminggu pada kucing yang dia periksa tadi, "Selama tujuh hari ke depan, kita bantu terapi kucing ini di vet. Kalau hasilnya membaik, pemiliknya pasti ikut senang dengan pelayanan kita."

Usai menuliskan seluruh resep, secarik kertas yang dia pegang itu, dia berikan pada Cindy agar Cindy membacanya, "Ini sudah saya tuliskan vitamin dan pakan yang harus diberikan. Sebelum pulang minta bantu takarkan ya, Sin?"

"Iya Dok!" jawab Cindy patuh.

"Yang jaga pet shop siapa?" tanya Aidan.

"Gladys," jawab Cindy cepat.

Mendengar nama kekasihnya disebut, Aidan menyemburkan senyum tipisnya. Kedua bola matanya menatap jam yang bertengger di dinding ruangannya. Kedua jarum jam menuju ke arah angka 12. Syukurlah, tugas pagi Aidan telah selesai. Dia bisa menghampiri kekasihnya saat ini.

"Oke, saya titip kucingnya ya? Keperluannya sudah saya catatkan disitu. Kamu kalau mau istirahat, istirahat aja dulu. Nanti dilanjut lagi," perintah Aidan pada Cindy.

"Iya, Dok!" sahut Cindy sebelum Aidan meninggalkannya di ruangan.

Kali ini laki-laki itu tampak mempercepat langkahnya. Betapa penuhnya perut yang terisi ribuan kupu-kupu saat netranya melihat Sang Kekasih tampak duduk di kursi sembari mencatat sesuatu yang dirinya pun tak tahu kekasihnya itu sedang mencatat apa.

Didekatinya dengan langkah perlahan tanpa mengeluarkan suara nyaring sepatu sedikitpun agar konsentrasi kekasihnya tak buyar, "Dry food 50 fresh pack. Wet food 75 kaleng. Kandang kucing satu, tutup kaleng lima, mainan 18," eja Gladys saat membaca rentetan hasil penjualan petshop.

"750.000+1.125.000+150.000+25.000+90.000. Hasilnya ...." Gladys menggantung kalimat berhitungnya saat dia bingung dengan hasil hitungannya sendiri.

"2.115.000+25.000. Hasilnya ...." Tangannya mengetik deretan angka di kalkulator yang ada di depannya. Baru dua angka yang dia ketik, seseorang telah menjawab lengkap pertanyaannya.

"2.140.000," jawab Aidan.

Sontak Gladys menoleh ke belakang saat jawaban itu terlontar. Ternyata Aidan. Kebetulan laki-laki itu tampak tersenyum simpul ke arahnya dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celananya, "Pak Aidan," serunya pada Aidan. Panggilan 'Pak' memang masih melekat dari mulut Gladys karena dia belum terbiasa memanggil dengan sebutan lain.

"Lagi ngitung apa?" tanya Aidan.

"Penjualan petshop hari ini," sahut Gladys.

Aidan mengangguk-anggukan kepalanya. Netranya terfokus pada hitungan Gladys yang memakai coretan kertas. Komputer yang ada di meja itu menunjukkan office excel hasil dari rekapan yang dibuat Gladys. Reflek, Aidan memeriksa pekerjaan kekasihnya.

Salah satu tangan Aidan bertengger di kursi yang diduduki oleh Gladys sedangkan tangan satunya menggeser-geser kursor mouse. Dia berdiri sedikit membungkuk karena netranya fokus dengan komputer yang saat ini dia otak-atik, "Laku banyak?" tanyanya pada Gladys yang masih terduduk di sampingnya.

"Lumayan," jawab perempuan itu.

"Alhamdulillah," sahut Aidan yang masih fokus mengecek semua pekerjaan Gladys. Ya mau bagaimana? Jarak Aidan yang terlalu dekat dengannya saat ini terkadang membuat degup jantung milik Gladys berpacu cepat.

Bahkan dari jarak yang dekat itu, Gladys bisa merasakan semerbak parfum yang melekat di baju laki-laki itu. Bibir Gladys tanpa aba-aba mengukir senyum tipis ketika Aidan membantunya menyelesaikan rumus excel yang belum sempat dia selesaikan tadi.

Kenangan buruk tentang hubungannya dulu dengan Arga sebenarnya masih menjadi alasan Gladys terkadang ragu menjalin hubungan dengan Aidan. Hatinya selalu bertanya-tanya, sebenarnya Aidan mencintainya dengan tulus atau hanya main-main saja seperti Arga?

Netra Gladys tak lepas menyorot ke arah wajah Aidan dengan hantaman bayangan yang bertarung di otaknya. Aidan mungkin merasa Sang Kekasih menatapnya. Tapi karena dia membantu memperbaiki pekerjaan kekasihnya yang kurang tepat di layar komputer, dia menunda membalas tatapan itu dan memilih menyelesaikan semuanya.

Setelah dirasa selesai memperbaiki pekerjaan Gladys, giliran laki-laki itu yang membalas tatapan Gladys. Senyum yang terbit dari bibir laki-laki itu mampu membuyarkan lamunan Gladys. Betapa terkejutnya Gladys saat kekasihnya terkekeh ke arahnya, "Ayo makan siang!"

Gladys sontak menatap ke segala arah untuk menyembunyikan rasa gugupnya, "Di-dimana?" tanyanya terbata.

"Resto depan petcare," jawab Aidan mengajak kekasihnya makan di tempat yang biasa ia datangi saat jam makan siang.

Tapi sayang, Gladys menggelengkan kepalanya mengisyaratkan dia tak setuju makan disana. Spontan Aidan menautkan dua alis tebalnya, "Maunya makan dimana, hm?" tanyanya pada Gladys.

Gladys sebenarnya setuju diajak ke resto depan petcare. Hanya saja, kali ini dia ingin mengetes Aidan apakah Aidan mau makan di tempat yang mungkin belum pernah dikunjungi Aidan sebelumnya. Tempat dimana saat Gladys memutuskan untuk merantau ke Jakarta dengan uang seadanya, warteg kumuh itu menolong perutnya yang kelaparan.

Sungguh, saat Papa Gladys masih hidup, Gladys tak mungkin menjadi tulang punggung. Hidup dia seakan jungkir-balik masalah finansial ketika Papanya telah tiada. Mamanya tak bekerja karena Gladys takut Mamanya sakit jika harus memutuskan untuk kerja berat. Kakaknya, dia jarang bertemu dengan Kakaknya karena kakaknya tak tinggal bersama dan memiliki keluarga sendiri. Satu-satu harapan Mama Gladys adalah dirinya.

"Di warteg langganan. Wartegnya agak kumuh tapi makanannya enak," seru Gladys mengajak Aidan.

"Warteg?"

"Iya," jawab Gladys.

Gladys pernah mengajak Arga kesana. Tapi Arga tak pernah mau dan banyak menebar alasan agar Gladys tak kesana lagi. Arga lebih sering mengajak Gladys ke tempat-tempat mahal yang justru terkadang membuat Gladys harus merogoh sakunya untuk membayar makanan itu.

Kali ini Aidan, bukan Arga. Dalam otak Gladys, saat menjalin hubungan dengan Aidan, dia masih terbayang Aidan sifatnya sama seperti Arga. Bisa jadi. Tak ada yang tahu ke depannya. Gladys tak mau dibohongi laki-laki lagi. Dia menelisik sorot mata Aidan, satu pun belum menemukan jawaban dari laki-laki itu, "Nggak mau?" tanyanya pada Aidan.

Aidan tersenyum saat Gladys bertanya ke arahnya lagi. Dia mengacak-acak pucuk kepala Gladys sebelum menjawabnya, "Nggak masalah. Sama-sama makan."

Akhirnya jawaban yang diharapkan Gladys terlontar dari mulut Aidan. Berarti ini kali pertamanya Gladys mengajak laki-laki makan di warteg itu, "Ya udah ayo!"

Aidan mengangguk. Dia menunggu Gladys beranjak dari duduknya, "Wartegnya deket? Pakai mobil atau gimana?" tanyanya.

"Jalan kaki aja," jawab Gladys. Gladys sengaja menjawab dengan kalimat itu, barangkali dengan mengajak Aidan jalan kaki dan makan di warteg kumuh, dia lebih mengenal sifat asli Aidan.

Saat Gladys ingin menarik lengan laki-laki itu, Aidan menahan tangannya, "Bentar, tunggu dulu."

"Kenapa?" tanya Gladys.

Aidan tak menjawab langsung pertanyaan dari kekasihnya. Dia masuk lagi ke dalam ruangan prakteknya untuk mengambil sesuatu. Tak berlangsung lama, laki-laki itu keluar mengambil sebuah topi yang dia genggam di tangannya. Reflek Gladys menaruh tanda tanya besar pada kekasihnya itu, "Pakai topi ini! Kepanasan nanti kamu. Mataharinya lagi terik," perintahnya ke Gladys.

Melihat perlakuan Aidan, Gladys sontak terkekeh pelan. Bagaimana tidak, Arga yang menjalin hubungan sampai lima tahun lamanya saja terkadang jarang memperhatikan hal-hal kecil seperti ini. Gladys kemudian mengambil topi itu dari tangan Aidan dan memakainya untuk melindungi kepalanya. Padahal jika dilihat, Aidan juga tak memakai topi saat keluar dari pet care, kenapa laki-laki itu malah menyuruh Gladys memakai topinya?

Langlah kecil milik Gladys diikuti Aidan dari belakang. Sembari terus membenarkan topi yang dia pakai, Gladys menunggu Aidan mensejajarkan langkah dengannya.

"Dis," panggil Aidan saat Gladys berjalan di sampingnya.

"Hm?"

"Kamu nggak perlu manggil 'Pak' kalau di luar jam kerja," Tiba-tiba Aidan meminta Gladys mengubah cara panggilnya. Iya sih, terlihat aneh jika Gladys terus-terusan memanggilnya dengan sebutan 'Bapak'. Terlalu formal untuk kategori orang yang menjalin hubungan khusus.

Langkah Gladys terhenti ketika menyimak kalimat dari Aidan. Hal itu yang membuat Aidan pun ikut menghentikan langkahnya, "Terus minta dipanggil apa?" tanyanya.

Tak langsung menuturkan kalimatnya, Aidan sempat berpikir sejenak untuk menjawab pertanyaan dari Gladys. Satu kata terbesit di otaknya. Entah mengapa senyum Aidan mengembang tipis saat kata itu terus berputar di otaknya terus. Ah, maklum. Lagi di mabuk asmara, "Sayang," pintanya menyuruh Gladys memanggilnya dengan sebutan itu.

Spontan tangan Gladys sontak memelintir pinggang Aidan sampai laki-laki itu merintih kesakitan, "Ngelunjak."

"Itu wajar. Bukan ngelunjak," sahut Aidan yang membalas cubitan Gladys di pinggangnya dengan mengacak-acak topinya yang dipakai Gladys sampai topi itu berantakan di atas kepala Gladys.

Tak mau kalah, Gladys juga ingin permintaannya dikabulkan oleh Aidan, "Kalau gitu aku juga nggak usah pakai bahasa formal kalau di luar jam kerja. Deal? Menghilangkan panggilan 'Bapak' dan memakai bahasa santai."

"Nggak masalah," sahut Aidan sembari menerima jabatan tangan Gladys untuk menyetujui permintaan itu.

Ketika keduanya ingin melanjutkan langkahnya, seorang pengamen dengan dandanan rambut pirang yang menutupi sebagian dahinya datang menghampiri Aidan dan Gladys. Gladys sedikit risih saat laki-laki remaja itu mendekatinya. Dia menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Aidan dan merangkul lengan kekasihnya itu.

"Kak! Minta uang buat makan," seru laki-laki itu.

Gladys tak merespon permintaan laki-laki itu. Karena dirinya menang tak terlalu suka didekati pengamen yang berpenampilan menakutkan. Beda cerita dengan Aidan, laki-laki itu spontan tersenyum ke arah pengamen yang ada di hadapannya dan tangannya mengeluarkan dompet yang tersimpan di saku celananya, "Ini," serunya sembari memberikan selembar uang 50 ribu dari dompetnya.

Pengamen itu tak mengucapkan satupun kata terima kasih pada Aidan, dia hanya menyunggingkan senyum tipisnya kemudian beranjak meninggkan Aidan. Gladys sempat memutar bola matanya saat melihat gelagat laki-laki itu, "Kenapa dikasih banyak? Itu kan sayang banget uangnya," ujarnya.

"Nggak papa. Kita nggak tahu, kehidupan dia dibalik dia jadi pengamen mungkin dia tulang punggung keluarga. Anak ABG yang seharusnya mengenyam pendidikan layak, udah jadi tulang punggung pasti berat banget. Kita yang udah gede kadang masih suka ngeluh. Apalagi dia yang harusnya masih masa sekolah," jelasnya pada Gladys.

Gladys tak bisa berpikir positif seperti Aidan, "Kalau kenyataannya dia bukan tulang punggung dan cuma iseng aja minta-minta ke orang buat beli apa yang dia suka kan nanti gedenya dia ngandalin orang terus ... Mas! Bisa aja dia suka maksa orang buat ngasih uang ke dia. Jatuhnya kriminal dong!" protes Gladys.

Aidan membiarkan kekasihnya itu menggerutu bebas. Dia tak membantah sedikitpun. Justru malah terkekeh ringan saat Gladys ingin memarahi pengamen itu. Sayangnya pengamen itu sudah pergi, "Kenapa ketawa?" tanya Gladys.

"Tadi kamu panggil apa? Mas? Coba ulangi sekali lagi, saya nggak dengar!" goda Aidan.

"Kamu yang minta sendiri kalau di luar jam kerja jangan manggil 'Pak', ya udah aku ngikut Dita manggilnya begitu," seru Gladys yang membuat laki-laki bertubuh tegap itu tak henti-hentinya mengukir senyum.

"Pinter," pujinya pada Gladys sembari mengacak-acak pucuk kepala milik kekasihnya yang saat ini tengah tertutup topi.

Langkah Aidan dan Gladys lagi-lagi berlanjut. Keduanya saling bergeming satu sama lain. Sampai kalimat dari Aidan mencairkan suasana jalan beriringan, "Masih jauh wartegnya?"

Gladys menggeleng, "Nggak. Udah deket. Ada lampu merah di depan itu. Terus kita nyebrang," jawabnya.

Ternyata jarak antara pet care dengan warteg yang dimaksud Gladys lumayan jauh jika harus ditempuh dengan jalan kaki. Tapi Aidan benar-benar telaten menuruti apa yang Gladys mau. Rela meninggalkan mobilnya demi berjalan kaki dengan kekasihnya.

"Terus ... Terus ... Terus .... Ke kiri ... ke kiri dikit ... Jangan jatuhkan dulu. Kiri dikit ... Kiri dikit. Kurang ... Kurang ke kiri," teriak salah seorang kuli bangunan saat rekannya ingin menjatuhkan tangga besi dari atas bangunan ruko.

Laki-laki itu terus memberi isyarat temannya agar menjatuhkan tangganya tepat sasaran. Tapi terkadang angin tak menyampaikan kalimat dari kuli bangunan tersebut dengan baik. Alhasil, rekan kerja kuli bangunan yang saat ini ada di atas ruko tak bisa mendengarnya dengan jelas.

Aidan dan Gladys yang berjalan tak jauh dari laki-laki itu tampak mendongak secara bersamaan. Dia melihat tangga yang akan dijatuhnya dengan seksama sembari berjalan. Sampai aba-aba dari seorang kuli bangunan itu terhenti ketika rekan kerja yang berada di atas ruko tak sengaja menjatuhkan tangga besi itu tepat di atas punggung Aidan.

"Eh ... jangan ... Awas!" teriak laki-laki itu saat melihat tubuh Aidan tersungkur di atas trotoar ketika menahan tangga besi yang menimpa punggungnya.

"Mas Aidan!" Gladys ikut terkesiap saat melihat Aidan jatuh tertimpa tangga besi itu. Pendengarannya nyaring terdengar rintihan dari bibir Aidan. Sontak saja perempuan itu dengan susah payah menyingkirkan tangga besi yang menimpa kekasihnya. Begitu dia sendirian tak kuat menyingkirkan tangga besi itu, kuli bangunan yang ada di sekitar sana sontak reflek membantu Aidan bangun.

"Arrrrghhhh!"

"Ya Allah ... Mas! Maaf Mas! Ya Allah gimana ini?" seru kuli bangunan itu saat temannya tak sengaja menjatuhkan tangga besi itu ke bawah tanpa aba-aba darinya.

Gladys mencoba untuk memeriksa luka yang ada di tubuh Aidan. Dia takut. Benar-benar takut kejadian yang baru saja menerpa Aidan sama seperti Papanya. Sedari tadi jantungnya berdetak tak karuan. Dadanya bergemuruh ricuh takut Aidan memiliki luka parah, "Bapak lihat dulu dong ada orang di bawah atau enggak kalau mau jatuhin tangga!" omel Gladys pada kuli bangunan itu.

"Maaf Neng! Tapi tadi nggak sengaja. Temen saya nggak denger," sesal Bapak itu.

Gladys saat ini hanya fokus pada luka Aidan. Dia berjongkok memeriksa seluruh sudut tubuh Aidan. Mulai dari ujung rambut sampai kaki. Ia mengusapkan tangannya di wajah Aidan. Membolak-balikkan wajah itu untuk memeriksa luka disana, "Mas!"

"Mas Aidan, berdarah!" serunya pada Aidan saat dia mengetahui ada luka di punggung tangan laki-laki itu dan di dekat siku.

"Bawa ke klinik Dokter Seli aja, Neng! Saya bantu!" Tawaran dari kuli bangunan itu membuat Gladys sempat berpikir.

Tapi Aidan. Dia menggeleng. Tangannya yang luka itu mengusap pipi milik Gladys dan berucap, "Udah ... nggak papa, Sayang! Cuma sakit dikit. Luka juga cuma lecet. Nanti dikasih obat merah sembuh," jawabnya pada Gladys yang memasang raut khawatir.

"Nggak papa gimana?" omel Gladys.

"Nggak papa. Ini cuma nyeri dikit," sahut Aidan dengan nada lembutnya.

Gladys tetap tak mau membiarkan Aidan mengobati lukanya sendiri. Dia bersikukuh mengajak Aidan ke klinik untuk diobati. Barangkali ada luka dalam yang tak diketahui, "Tetep sakit. Nggak ada ceritanya ketiban tangga besi sehat walafiat. Kamu bukan ultramen. Ayo ke klinik! Seenggaknya di klinik dokternya kasih obat nyeri atau apalah terserah yang penting kamu sembuh," jelas Gladys.

Dreett ... Drett ... Dreett ...

Saat Aidan ingin dipapah berdiri untuk memindahkan tubuhnya duduk di salah satu kursi panjang yang berada di dekat trotoar, ponselnya tiba-tiba berdering menandakan sebuah panggilan masuk dari seseorang, "Sini aku bantu ambilin!" ucap Gladys yang mulai mencoba merogoh ponsel Aidan di saku kemeja laki-laki itu.

"Dari siapa?" tanya Aidan saat Gladys tampak membaca nama yang tertera di layar ponsel Aidan.

"Mama kamu," jawab Gladys.

Aidan menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan Gladys untuk tak mengangkat sambungan telepon itu dengan kondisi dirinya masih sakit. Aidan bisa menebak jika Mamanya akan khawatir saat melihat dirinya seperti ini. Lebih baik tidak. Meminimalisir orang-orang yang khawatir padanya, "Nggak usah diangkat dulu, Sayang!" pintanya pada Gladys.

Sungguh, keluarga Aidan sama sekali belum tahu jika Gladys telah menjalin hubungan dengan Aidan. Bahkan, Aviola dan Zio pun juga belum tahu. Banyak yang belum mengetahuinya. Hanya Dita, yang jadi Mak Comblang kedekatan mereka berdua.

Lantas, apakah luka Aidan hanya luka ringan saja? Bagaimana jika Mama Aidan tahu saat ini anaknya kecelakaan? Bagaimana Gladys mengobati Aidan? Apakah kedekatan mereka berdua semakin hari akan semakin menguat dengan menjalani hubungan ini?

Bersambung ....

Gimana part ini??? Ternyata 2800 lebiuhhh panjangggg 2 part jadi 1. Apaaa masih kuranggg???

Kurang uwu atau kurang sad????

Kurang apaa wkwkwk

Mau sad???

Atau mau uwu???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top