Part 27 - Babak Baru
Kalau ada typo maaf ya ngetiknya malam-malam. Gaesss aku minta maaf telat update berminggu-minggu. Masih banyak masalah, sampai aku belum bisa pegang wattpad. Ini dua part aku jadikan satu sampai 3500 kata. Kaliam follow aja akun ini biar tahu alasan aku update lama. Aku sering bagikan kabar lewat dinding akun wattpad buat kalian baca, aku juga sering bagikan pengumuman alasan aku libur update di IG. Follow aja ya ....
Oiya, besok aku update lagi 3 part berturut-turut. Ayo siapkan mental, kacang, tisu, dan palu di part selanjutnya .... Aku usahakan update tiap hari sampai stok bab habis. Komen dong yang rame ... Udah 3500 kata nih panjang banget ....
💜💜💜🤙
Tepat pada Minggu pagi Aidan duduk di sebuah taman kota seorang diri untuk menunggu Dita. Mereka memang memiliki janji temu. Mereka memilih hari minggu untuk bertemu karena di hari itu, mereka mempunyai waktu senggang. Tau kah yang membuat mereka punya janji temu? Ya, karena Aidan ingin membicarakan hal serius tentang Gladys pada Dita.
"Mas Aidan," sapaan 'Mas' itu terbit dari mulut Dita saat dirinya melihat Aidan yang terduduk di kursi taman. Laki-laki itu terlihat memakai setelan kaos hitam yang dibalut dengan jaket denim dan celana jeans panjang. Terlihat casual dengan tatanan rambut yang sedikit berantakan karena tersapu angin.
"Dita," seru Aidan sembari menerbitkan senyumnya.
Tangan Dita sontak menjabat tangan kanan milik Aidan. Laki-laki itu kemudian berdiri sembari memasang senyumnya lagi, "Udah lama nunggunya, Mas?" tanyanya pada Aidan.
"Baru sampai juga," balas Aidan.
Dita manggut-manggut. Dia lantas ikut duduk di samping Aidan, sembari berdehem sedikit dia mengawali kalimatnya dengan menyibakkan rambutnya ke belakang, "Syukur deh. Kirain udah lama."
Melihat kelakuan Dita di hadapannya, Aidan menggeleng-gelengkan kepalanya sembari terkekeh pelan. Dita sangat baik sampai bersedia membantu Aidan seperti ini. Mungkin jika adiknya tak memiliki kekasih, dia sudah menjodohkan Dita dengan adiknya, "Nggak papa, santai aja. Gladys sekarang ada di rumah?" tanyanya pada Dita, semenjak Gladys menggantung perasaan Aidan beberapa hari yang lalu, Aidan semakin yakin ingin mendekati perempuan itu lagi.
"Dia lagi ngorok di kamarnya," sahut Dita cepat.
Laki-laki itu mengukir senyumnya saat mendengar kabar tentang Gladys. Perempuan setelah Ibunya, adalah Gladys saat ini yang singgah di hatinya. Beruntungnya Gladys, padahal dia sama sekali belum memberi kejelasan tentang hubungannya.
"Dia udah makan? Kalau belum saya kirim lewat ojol makanannya," tanya Aidan lagi pada Dita.
Dita mengangkat kedua bahunya mengisyaratkan bahwa dirinya tak tahu kabar Gladys usai dia pamit keluar rumah. Setahu Dita, Gladys sangat jarang sarapan. Dia lebih suka menunda makan dan menghabiskan uangnya untuk membeli snack, "Kalau itu nggak tau, kayaknya belum. Dia jarang sarapan. Makan juga nggak banyak-banyak amat," sahutnya.
Kebiasaan Gladys sama seperti Mama Ayana ternyata. Aidan yang mendengar pengakuan dari Dita, tak ingin melihat masalah baru. Dia ingat betul betapa khawatirnya Sang Papa saat Mamanya bolak-balik rumah sakit karena menyepelekan jadwal makan. Dan Aidan berharap hal itu tak terjadi pada Gladys.
Sontak tangan Aidan membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan. Dia menambahkan beberapa menu untuk ia beli. Tak membutuhkan banyak pertimbangan, tangan Aidan langsung membayar pesanannya dengan uang digital yang ada di ponselnya, "Udah saya kirim."
Dita tak tahu maksud dari kalimat Aidan, "Hah? Kirim apa?"
"Makanan buat Gladys, Pizza sama burger. Ada Ayam juga sama nasi. Ada kentang goreng sama nugget. Minumannya saya pesen semua satu-satu biar dia yang milih sendiri soalnya saya nggak tau dia suka apa. Ojek onlinenya udah menuju ke resto," jelas Aidan yang membuat Dita sontak membulatkan matanya.
"Kok banyak banget? Itu kan cuma makanan buat Gladys aja. Jangan banyak-banyak," seru Dita yang protes ke Aidan karena Aidan mentraktir Gladys makanan sangat banyak. Bahkan, Dita yakin makanan itu bisa dipakai selama satu minggu lebih. Aidan benar-benar tak tanggung memberikannya pada Gladys.
Melihat Dita menatapnya sangat lama, Aidan mengerutkan dua buah alisnya secara bersamaan, "Kenapa lihat saya gitu?"
Dita spontan menggeleng, "Nggak ... Aneh aja gitu loh. Kok bisa Gladys nolak Mas Aidan. Apanya yang dilihat sampe ditolak? Kalau gitu sama saya aja gimana? Lagian Gladys bisa-bisanya nolak. Gak tau cara bersyukur," gerutunya.
Lagi-lagi kalimat dari Dita membuatnya tertawa. Tawa Aidan sontak mengeras sampai terlihat rentetan gigi gerahamnya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya saat Dita memihak padanya, "Gladys berhak berpikir dulu sebelum menerima saya, Dit! Wajar dia masih butuh waktu. Saya juga masih banyak kurangnya," jawabnya pada Dita.
"Yang begini aja banyak kurangnya, apa kabar gue?" sahutnya pelan. Tak terdengar di telinga Aidan karena bibirnya tak mengeluarkan suara dan hanya komat-kamit membalas kalimat Aidan, "Ya udah, ke toko bunga aja sekarang. Ayo!" ajaknya ke arah Aidan.
Sempat bingung. Aidan tak tahu mengapa Dita mengajaknya ke toko bunga, "Ngapain?" tanyanya.
"Beli bunga lah masa beli siomay," sahut Dita.
Selama 30 tahun hidup Aidan memang tak pernah menyiapkan kejutan untuk perempuan selain Mamanya. Dia bahkan sangat kaku jika dibanding dengan adik bungsunya yang lihai urusan perempuan. Bahkan, mungkin jika tak mengenal Gladys, entah kapan dia akan merasakan degupan perasaan yang terbit di hatinya, "Buat apa bunga?" tanyanya lagi.
Sejatinya Dita menggeleng-gelengkan kepalanya saat diberi pertanyaan oleh laki-laki bertubuh tegap itu, "Buat kasih kejutan ke Gladys! Masa buat ziarah kubur," sahut Dita lagi dengan nada suara khasnya yang cempreng.
"Gladys suka bunga?" tanya Aidan pelan. Memastikan apa yang disukai Gladys. Iya, meskipun dia mempunyai rasa lebih pada Gladys, dia sampai saat ini belum mengetahui apapun hal yang disukai oleh perempuan itu.
"Suka atau enggak, seenggaknya sebagian wanita di dunia ini suka bunga dan kejutan. Walaupun Dita lebih suka duit dari pada bunga," sahut Dita yang membalas pertanyaan dari Aidan.
"Ya udah ayo berangkat! Ke florist dekat sini aja biar gampang," ajak Dita lagi. Tak mau banyak membuang waktu, tangan Dita menarik lengan kekar yang tertutup jaket denim. Aidan hanya pasrah saat lengannya ditarik paksa oleh Dita sampai ke mobilnya.
Perlahan langkah keduanya masuk ke mobil hitam yang terparkir rapi di sudut taman. Sudah dapat dipastikan jika itu adalah mobil Aidan. Mobil sport tipe 5204cc itu merupakan mobil terelegan yang pernah Aidan miliki hasil jerih payahnya. Sayangnya jok depan masih kosong belum terisi permaisuri yang akan mendampinginya kemana-mana, "Gladys suka bunga apa?"
"Tebak suka bunga apa? Bunganya wangi," seru Dita meminta Aidan yang menebaknya sendiri.
"Melati?" tanya Aidan yang mengira-ngira bunga kesukaan Gladys.
Sontak saja Dita mendorong lengan laki-laki itu. Yang benar saja. Melati memang wangi tapi bukan berarti saat mengutarakan perasaan ke orang yang disuka harus memakai bunga melati, "Astaga Mas Aidan! Bukan melati anjir. Ini mau nembak orang apa mau bikin sesajen sih pakek bunga melati. Bisa-bisanya nebak melati."
"Kamu bilangnya bunga paling wangi, ya melati juga wangi," sahut Aidan.
Helaan napas keluar dari bibir Dita, "Mawar juga wangi. Bukan melati jawabannya."
"Ya udah nggak usah diributin perkara melati. Ini florist deket sini aja kita cari bunganya," ungkap Dita mengalah saat Aidan ingin menginjakkan kakinya di pedal gas milik mobilnya itu.
Di tengah-tengah Aidan mengemudikan mobilnya, ponsel Dita yang ada di tangannya tiba-tiba berdering. Dita spontan menatap ponsel itu dan sorot mata Aidan meliriknya sekilas, "Kenapa?" tanyanya pada Dita.
"Gladys kirim pesan," sahut Dita menjawabnya.
Gladys
Dita lo dimana?
Dita
Lagi ada keperluan. Kenapa?
Gladys
Ini kok ada Mas kurir antar makanan banyak banget makanannya. Lo pesen makan? Dapat duit dari mana pesen makanan sebanyak ini?
Dita
Bukan punya gua. Punya Ibu Kos kali. Makan aja. Rejeki gak boleh ditolak.
Pesan singkat itu dikirimkan Dita secepat kilat agar Gladys tak banyak tanya. Dia tahu Gladys akan terus bertanya padanya dari siapa makanan itu. Mungkin Dita bisa menebaknya jika Gladys setelah ini akan tanya ke Ibu Kos tentang makanan itu sebelum dia memakannya. Padahal makan tinggal makan.
"Kenapa?" tanya Aidan.
Dita menoleh ke arah laki-laki itu, "Gladys nanya makanan yang Mas Aidan kirim tadi. Dia tanya makanannya dari siapa. Makan tinggal makan aja pakek nanya Si kampret," cibir Dita. Cibiran itu memang sudah biasa dia lontarkan ke Gladys. Bahkan dia bisa dikatakan sahabat yang peduli namun susah untuk romantis. Mual jika harus bertutur kata lembut ke Gladys. Tapi dia diam-diam sangat peduli pada Gladys. Gladys sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.
Saat mobil hitam itu terparkir di depan florist, Aidan menghentikan mesin mobilnya dan mengisyaratkan Dita untuk ikut turun juga, "Ayo turun!"
Keduanya turun dari mobil secara bersamaan. Bola mata Dita langsung mengabsen ribuan bunga yang terpasang di depan florist itu. Bunga bermacam jenis. Sampai-sampai sorot matanya tertuju pada satu bunga mawar merah yang sangat cantik, "Ini kayaknya bagus deh kalau di mix sama bunga krisan putih. Atau yang mana enaknya," gumamnya.
"Mbak, satu bucket kalau bunganya pilih warna ini sama ini terus kertasnya yang premium totalnya biasanya berapa? Atau ada contoh bucket yang udah jadi lihatnya dimana?" Dita memanggil salah satu pegawai florist tersebut. Dia menanyakan perkara harga dan bentuk bucket yang akan dibeli. Apakah cocok di matanya atau tidak untuk kejutan Gladys.
"Sini Kak biar saya perlihatkan contoh bucket yang sudah jadi. Nanti Kakak bisa custom sesuai keinginan," jawab pegawai itu. Perempuan itu tampak meminta Dita dan Aidan untuk mengikutinya. Sampai di sebuah etalase yang menunjukkan beberapa bucket, dia berhenti melangkah.
"Etalase kanan harganya kisaran 500 ribu-2 juta. Etalase sebelah kiri 100 ribu-400 ribu. Semua bisa dicustom sesuai kemauan customer mulai dari jenis bunga sampai jenis kertas dan pita," jelasnya pada Dita.
"Kok mahal banget. Bisa kurang nggak? Nanti saya langganan kalau bisa kurang," Dita lupa jika yang bayar bukan dirinya. Otaknya selalu berputar harga murah tapi kualitas bagus. Dia lupa juga jika harga murah kualitas bagus sangat sulit untuk dicari. Semua memiliki porsi jual masing-masing. Biasanya harga mahal karena bunganya juga kualitas premium.
Kalau mau cari bucket bunga dengan range harga 10 ribu dapat tiga, mungkin pelayannya akan menjawab bunga bangkai, "Mohon maaf Kak, tidak bisa. Karena kami juga mengedepankan kualitas bunga, kertas, dan skill pengerjaannya. Semua sudah diperhitungkan sebelum melabelkan sebuah harga."
"Beli 5 bucket," sahut Aidan saat dia menunjuk sebuah contoh bucket yang didepannya dilabeli harga 2 juta. Bunga itu menurut Aidan yang paling cocok diberikan ke Gladys. Tak peduli dengan harga. Di hanya berharap bunga itu berkesan saat diberikan pada Sang Empu penerima bunga.
"Beli 5 bucket buat siapa aja?" Dira mengerutkan dahinya saat bertanya pada Aidan.
"Buat Gladys," jawab laki-laki itu.
"Satu aja. Lima kebanyakan buat dia," protes Dita saat Aidan ingin membayar lima bucket tersebut.
"Nggak papa, Dit! Lagi pula ini nggak seberapa," sahut Aidan.
Mendengar penjelasan dari Aidan, salah satu pegawai florist sontak mengangguk patuh dan mengisyaratkan rekannya untuk segera mengerjakan pesanan Aidan, "Baik, ditunggu dulu ya? Biar tim kami yang mengerjakan. Bapak sama Ibu bisa mengambilnya nanti sore atau kami yang antar?"
"Diantar saja," jawab Aidan.
Pegawai tersebut mengangguk lagi dan mengeluarkan kertas kosong untuk diberikan Dita ataupun Aidan agar mereka menuliskan sebuah alamat pengantaran yang dituju, "Baik. Atas nama siapa?" tanya pegawai itu.
Aidan melarang pegawai tersebut menuliskan namanya. Dia tak mau namanya disebutkan dalam pengiriman bunga itu meskipun seluruh biaya pembuatan bucket dia yang bayar, "Tidak perlu ditulis siapa pengirimnya. Tapi saya minta barangnya diantar ke alamat ...." ucapannya menggantung sesaat sembari melirik Dita yang tengah memainkan ponselnya.
"Dita, kamu catat aja alamat kamu ke kertas itu biar pegawainya nggak bingung," lanjutnya lagi meminta Dita untuk menuliskannya.
"Oke," sahut Dita.
Sembari menunggu Dita yang menuliskan alamatnya, Aidan tampak melangkah ke kasir untuk membayar pesanan itu, "Pembayarannya via tunai?" tanya seorang kasir perempuan berambut kriting yang ada di hadapan Aidan saat ini.
"Debit," jawab Aidan singkat sembari mengeluarkan kartu debitnya untuk ia gesekkan ke mesin yang disediakan kasir itu.
Pegawai kasir itu mengambil kartu debit milik Aidan dan membantu menggesekkan kartu itu di mesinnya, "Baik. Silahkan masukkan pin!" perintahnya pada Aidan.
Aidan lantas mengetik enam digit pin kartu debitnya. Entah berapa banyak saldo yang ada dalam kartu tersebut, sampai uang senilai jutaan lebih tersortir di florist itu demi Gladys, "Ditunggu ya? Nanti tim kami yang akan mengabari," seru pegawai kasir tersebut saat transaksinya berhasil masuk ke dalam mesinnya dan nota untuk Aidan langsung dia berikan saat ini juga.
"Ya udah. Ayo sekarang ke Kos! Buat ketemu Gladys mumpung sekarang libur kan. Ngapel tipis-tipis boleh lah, keburu Gladys banyak yang naksir kalau gak gercep," ujar Dita menakut-nakuti Aidan usai Aidan membayar pesanan itu.
Aidan mengikut saja apa kata Gladys. Benar katanya, mumpung hari ini Aidan libur dan sedikit senggang dari masalah pekerjaannya. Mungkin jika diizinkan, hari ini dia bisa menyesaikan perasaanya yang belum mendapatkan kejelasan dari Gladys.
Usai deal membeli bunga di florist tersebut, Aidan mengajak Dita untuk naik ke mobilnya lagi. Tempat bertemunya mereka tak jauh dari tempat tinggal Dita, florist pun juga memilih yang dekat. Jadi tak ada waktu yang terbuang sia-sia di perjalanan menuju Kos Dita.
Tak membutuhkan waktu lama untuk mengemudikan mobilnya, tepat di depan gang, mobil Aidan terparkir di area Jalan Anggrek. Jalan Anggrek mungkin bukan jalan yang padat kendaraan. Tak heran jika mobil Aidan bisa terparkir rapi disana.
Saat mesin mobil itu dimatikan oleh Aidan, Dita bersiap melepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya. Begitupun juga dengan Aidan. Dia menyusul Dita yang sudah lebih dulu turun dari mobilnya.
Dita lebih dulu berjalan masuk ke dalam gang menuju Kos-nya. Iya, dia tampak mempercepat langkahnya agar sampai di Kos itu. Dan Aidan masih betah mengekor di belakangnya, "Gladys?" panggilnya mengecek Gladys apakah perempuan itu ada di rumah atau tidak.
"Gladys!" panggilnya lagi saat kedua kakinya ada di dekat ambang pintu utama.
Tak lama ucapan Dita menggema di depan pintu, Gladys tampak membuka pintu itu perlahan, "Lo kemana sih? Dari tadi—"
Bukan Dita yang langsung tertangkap di kedua bola mata Gladys. Tapi Aidan. Gladys sontak membulatkan matanya saat ini, "Pak Aidan?"
"Kebelet kencing, gue masuk dulu, minggir!" seru Dita yang perlahan masuk ke dalam Kosnya, meninggalkan Gladys dan Aidan yang masih berdiri di ambang pintu saling beradu pandang.
Ingin menanyakan apa tujuan kedatangan Aidan ke Kosnya, lidah Gladys seakan kelu dan malah bertutur kalimat untuk menyuruh Aidan duduk di teras rumah, "Silahkan duduk!"
Aidan tersenyum dengan pandangannya yang menatap Gladys teduh. Dia mengganggukkan kepalanya sebelum mengambil duduk di salah satu kursi teras, "Terima kasih," jawabnya.
"Kenapa tadi bisa barengan sama Dita?"
"Cuma kebetulan," jawab Aidan saat Gladys mulai bertanya dan ikut mengambil duduk di samping Aidan dengan sekat meja yang menjadi penegah tempat duduk mereka.
Kebetulan yang disengaja. Itu yang ingin Aidan lontarkan tapi tak jadi.
Dan Gladys menyahut jawaban itu dengan anggukan saja. Dia ingin bertanya lebih tapi sungkan dengan laki-laki itu. Lebih baik tanya Dita saja, "Pak Aidan mau minum apa? Kebetulan tadi ada kiriman makanan banyak. Minumannya sisa banyak jadi saya taruh kulkas. Kalau Bapak mau, saya ambilkan."
Padahal minuman dan makanan itu dari Aidan. Hanya saja, Gladys masih belum tahu saja.
"Nggak perlu, Dis! Saya tadi sudah makan," jawab Aidan yang bermaksud menolak halus.
Tapi Gladys masih bersikukuh ingin mengambilkannya. Karena juga tak mungkin dia menghabiskan sendirian kirimam minuman dan makanan yang ada di kulkasnya, "Nggak papa, Pak! Say—"
Ucapan Gladys terpotong oleh seorang kurir yang mengantarkan sebuah bunga. Gladys mengerutkan kedua alisnya karena bingung mengapa ada kurir yang datang ke Kosnya lagi, "Permisi. Dengan Kak Febiola Ananta Gladys?"
"Iya saya sendiri," jawab Gladys.
"Ada kiriman bucket bunga dari Flora Florist," seru kurir itu sembari mengulurkan beberapa bunga yang dia pegang. Bunga itu tak cukup di pegang di kedua tangannya. Bahkan, kurir itu mengajak temannya untuk membantunya membawakan bunga itu. Reflek Gladys semakin bingung karena dia merasa tak memesan bunga apapun.
"Dari siapa? Untuk saya?" tanyanya memastikan lagi karena dia masih ragu dengan kurir yang tiba-tiba mengantarkan bunga itu.
Kedua kurir itu hanya menjalankan tugasnya. Dia bahkan tak diberitahu pengirim asli bunga itu. Gladys yang menerima satu persatu bunga itu dari kurir sampai kuwalahan memegangi saking besarnya bunga yang terangkai di dalam bucket.
Aidan akui, Florist itu sangat tanggap. Bahkan dia mengira Florist itu akan mengirim bunganya beberapa jam setelah dia pesan. Ternyata tidak. Lebih cepat dari apa yang dia pikir sebelumnya. Mungkin di florist itu banyak pegawai yang diperkerjakan sampai bisa maksimal mengerjakan sesuai pesanan pelanggan.
"Dari siapa, Pak? Ya saya tahu, bunganya dari Flora Florist karena di kertasnya ada stikernya. Tapi pastinya ada pengirimnya dong, masa tiba-tiba Flora Florist gak ada angin gak ada hujan ngirim bunga ke saya, emang saya siapa? Selebgram?" ujar Gladys.
"Bunga itu dari saya," Akhirnya Aidan angkat bicara saat beberapa menit bergelut dengan perasaannya mengusun sspatah dua patah kata untuk dilontarkan ke Gladys. Dia bisa mengatakan itu usai kedua kurir itu izin pamit padanya.
"Dari Pak Aidan?" tanya Gladys seraya menoleh ke Aidan. Bukan hanya Aidan yang gugup. Dia saat ini juga spontan ikut gugup.
Aidan mengiyakan pertanyaan Gladys karena memang sebenarnya bunga itu darinya, "Kalau diizinkan, saya mau meminta izin ke kamu lagi untuk mengutarakan perasaan saya. Saya juga berharap kamu memiliki perasaan yang sama. Dis, saya gundah kalau kamu terus meminta waktu untuk menjawab hal ini. Lebih baik jika kamu belum berkenan, nggak papa kamu tolak saya. dan jika kamu mengizinkan saya—"
Ucapannya menggantung di sela-sela dia berjalan mendekati Gladys, "Singgah di hati kamu, kamu bisa bilang ke saya kalau kamu menerima saya. Bunga-bunga ini ide dari Dita, saya nggak pandai kasih kejutan," serunya terkekeh. Tawa itu sedikit tak renyah karena tertutupi rasa gugup yang masih menyelimutinya.
"Maaf ya? Mungkin saya ... saya nggak bisa romantis seperti laki-laki yang dulu pernah singgah di hati kamu. Tapi Dis ... dengan kekurangan saya ini, saya mau belajar untuk tentang hal itu agar kamu nyaman bersama saya," tambahnya lagi mengutarakan perasaannya pada Gladys.
Sorot mata Aidan menatap bunga-bunga yang dia kirimkan tadi. Salah satu bucket bunga itu dipegang Gladys dan sisanya diletakkan Gladys di meja, "Bunga-bunga ini yang milih Dita juga, saya nggak tau kamu suka atau nggak. Karena saya sendiri nggak pandai urusan memilih bunga. Saya harap kamu suka pemberian saya yang nggak seberapa ini."
"Kamu bisa menjawabnya sekarang. Nggak papa kalau kamu menolak saya. Saya cuma butuh jawaban kamu aja. Apapun itu saya menghargai," seru Aidan sebelum kepalanya tertunduk dalam tak menatap mata Gladys.
Bagaimanapun juga Aidan pernah sesekali membandingkan dirinya dengan mantan pacar Gladys yang dulu pernah Gladya cintai. Dia menatapkan cerita itu dari Dita. Makanya tak heran dia insecure dengan 'Arga'. Walaupun, itu dulu. Tapi setidaknya Arga pernah memiliki tempat di hati Gladys. Sedangkan dirinya, hanya orang asing yang memberanikan diri untuk melamar anak orang dengan kalimat kakunya. Selalu gagal bersikap romantis dan belum pernah memenangkan hati perempuan.
"Saya ...." Gladys mulai bersuara. Tapi kata itu menggantung yang membuat Aidan pasrah apapun jawabannya.
Kirain Pak Aidan mau nyerah kemarin karena aku belum mengutarakan kejelasan, ternyata sekarang dia mengutarakan lagi hal yang sama. Sampai bawa bunga-bunga ini untukku? Dia meminta bantuan Dita untuk menyiapkan ini?
Gladys bisa menilai Aidan dari tutur katanya, cara dia berbicara, dan cara dia mengutarakan perasaanya. Sangat berbeda dengan Arga. Sisi tatapan mata teduh milik Aidan mengingatkan Gladys pada tatapan Papanya yang telah tiada. Bagaimana bisa Gladys menyia-nyiakan laki-laki sebaik ini?
"Saya menerima Pak Aidan," jawabnya mantap.
Kepala laki-laki itu sedikit mendongak usai mendengar jawaban dari Gladys. Dia takut salah dengar dan terlalu percaya diri. Yang membuatnya memberanikan diri untuk bertanya kembali pada gadis cantik yang ada si hadapannya saat ini, "Kamu serius?"
Gladys mengangguk sembari mengukir senyum simpulnya, "Iya, sekali lagi saya menjawab, saya menerima Pak Aidan. Tapi ...." jawaban Gladys lagi-lagi menggantung yang membuat pacuan jantung milik Aidan berdetak cepat karena menunggu kalimat yang akan dilontarkan oleh Gladys.
"Tapi sementara kita backstreet dulu ya?" izin Gladys pada Aidan saat kedua bola matanya menyorot ke bilik pintu yang sedikir terbuka. Dia bisa menebak, siapa yang tengah mengintip pembicaraannya. Betul ... Dita ada disana, pasti menguping kalimat-kalimat yang dilontarkan Gladys dan Aidan.
"Kenapa?" tanya Aidan pelan.
"Nggak papa. Takutnya teman saya iri kalo kita terang-terangan. Maklum masih jomblo," sindirnya dengan tawa ringannya pada Dita. Melihat Gladys tertawa, Aidan berusaha mencerna kalimat Gladys karena sampai saat ini dia belum tahu jika Dita masih menguping.
Sebenarnya Gladys masih canggung karena masih menganggap Aidan adalah atasannya. Tapi kali ini dia berniat jahil pada Dita, dia mencoba untuk memberanikan diri membuat Dita semakin iri.
Tangan Gladys perlahan membantu merapikan rambut Aidan yang sedikit berantakan demi membuat Dita panas dan dia bisa tertawa puas. Tak lupa, dia juga sedikit berbisik di telinga Aidan, "Dita lagi nguping, akting bentar ya?" pintanya pelan yang membuat Aidan terkekeh dan mengikuti alur permainan Gladys.
Saat tangan Gladys turun usai membenarkan beberapa helai rambut Aidan yang berantakan, Aidan menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan simetris, "Makasih Sayang," serunya pelan tapi berhasil menusuk di telinga Dita.
Sontak saja Dita mencibir balik, "Ya elah, baru jadian sedetik aja udah manggil sayang-sayangan."
Tak mau kalah dicibir Dita, Gladys lantas mencium bunga yang masih dia pegang saat ini. Iya, bunga dari kekasih barunya itu. Laki-laki bertubuh tegap yang memiliki tatapan teduh, "Ya nggak papa manggil sayang, dari pada manggil anjing."
Melihat Gladys dan Dita yang saling sahut-menyahut cibiran demi cibiran, Aidan ikut terkekeh lagi. Tangannya sesekali mengacak-acak pucuk kepala milik Gladys saat perempuan itu menjulurkan lidahnya ke arah sahabatnya.
"Yang punya tiket pesawat ke mars bagi, dong! Ngontrak di Bumi lama-lama panas, apalagi lihat bocil ABG yang cinta-cintaan," seru Dita sebelum ia meninggalkan Gladys dan Aidan yang masih betah menertawakannya.
"Besok sore setelah kerja pulang bareng ya? Saya mau ajak kamu ke suatu tempat," pinta Aidan.
"Kemana?"
Bersambung....
Mau kemana tuh? Coba mana pendukung
Gladys Aidan?
Aidan Selena?
Dita Azka?
Gladys Arga?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top