Part 25 - Kamu Adalah Rumah

Masih sedikit terasa canggung ketika Gladys dihadapkan dengan Aidan yang berdiri di sampingnya. Gara-gara dia kemarin spontan mengakui Aidan sebagai kekasih barunya di depan Ibu Kos. Setiap kali berhadapan dengan Aidan, rasanya kikuk sendiri. Meskipun begitu Aidan juga tak protes diakui sebagai kekasih. Entahlah bagaimana perasaan laki-laki itu kemarin saat diakui Gladys.

Saat ini Aidan menawarkan tebengan pulang untuk Gladys karena Gladys berangkat kerja naik kendaraan umum. Sedikit malu Gladys menerima tawaran itu. Toh, rejeki mana bisa ditolak?

Saat Aidan masuk ke dalam mobilnya, Gladys menyusul Aidan masuk juga dengan mengambil duduk di kursi samping Aidan. Sebenarnya Gladys ingin duduk di belakang karena masih terbayang-bayang rasa malunya, tapi karena Aidan memintanya di depan, jadi ia pindah, "Setelah ini kamu kosong?" tanya Aidan mengarah pada Gladys yang saat ini mengenakan sabuk pengaman.

Gladys mengangguk. Usai memakai sabuk pengaman yang saat ini melingkar di tubuhnya, dia menatap Aidan sebelum menjawab pertanyaan itu, "Iya Pak, kebetulan cuma di Kos aja setelah kerja. Kenapa? Ada yang bisa saya bantu?"

"Bisa temani saya ke Permata Indah Residence?" tanya Aidan pada Gladys.

Gladys mengerutkan dahinya saat Aidan memintanya untuk menemani ke sebuah perumahan yang tak jauh dari pet care milik Aidan, "Permata Indah Residence? Mau ke rumah siapa?"

"Ke rumah saya," jawab Aidan. 

Gladys sedikit bingung saat menerima balasan dari Aidan. Dia pikir Aidan hanya tinggal di rumah orang tuanya. Tapi ternyata ada rumah lain yang dimiliki laki-laki itu,  "Ke rumah Bapak? Bukannya rumah Bapak ada di—"

Sebelum memotong kalimat Gladys yang menggantung, Aidan mengangguk mengisyaratkan bahwa dia paham maksud dari pertanyaan Gladys, "Yang biasanya kamu pakai buat ngajar Zio itu rumah orang tua. Dua tahun yang lalu saya beli rumah di Permata Indah. Tapi belum saya tempati karena belum jadi sepenuhnya. Belum sempat renovasi juga. Rencananya mau renovasi beberapa ruangan. Setelah saya pikir-pikir saya butuh masukan dari orang-orang sekitar perkara renovasi rumah saya. Barangkali kamu bisa bantu kasih ide."

"Permata Indah bukannya nggak jauh dari pet care, Pak?" tanya Gladys lagi saat dia sedikit terkejut ketika Aidan meminta Gladys untuk ditemani berkunjung ke rumahnya. Dia kan hanya karyawan di pet care, kenapa bisa ikut urusan pribadi Aidan? Sampai berkunjung ke rumah pribadi?

Aidan mengangguk lagi. Sembari perlahan menyalakan mesin mobilnya, dia pun juga perlahan menjawab pertanyaan Gladys, "Iya bener. Saya sengaja beli di area sini biar nggak jauh kalau mau kerja," ungkapnya.

Selama perjalanan menuju ke perumahan itu, Gladys sedikit canggung lagi. Bingung memulai pembicaraan dengan kalimat apa. Begitupun juga dengan Aidan. Dia bergelut dengan pikirannya sendiri sampai-sampai tak sadar mobilnya melaju di atas rata-rata. Untung saja dia bisa mengendalikan kecepatan itu.

"Rumahnya di blok bagian mana?" tanya Gladys lagi saat mobil Aidan hampir sampai di perumahan itu.

"Kebetulan waktu saya beli, Blok A ada yang kosong. Jadi saya beli di area Blok A. Biar nggak jauh-jauh kalau masuk," jawabnya pada Gladys. Gladys hanya manggut-manggut seolah-olah dia mengerti apa yang dikatakan Aidan.

Perlahan roda-roda mobil milik Aidan bergeser masuk ke sebuah perumahan elite yang ada di ujung Selatan Jakarta. Rumah di kawasan perumahan elite yang Aidan beli desainnya memang sangat menakjubkan. Tak hanya memainkan sebuah desain, perumahan itu juga dilengkapi taman dan beberapa aksen lapangan voli yang memanjakan mata. Layaknya sebuah hunian untuk para bangsawan karena kemewahannya terpancar dari pintu satu ke pintu yang lainnya. Sudah bisa dipastikan harganya juga berdigit-digit.

"Rumahnya berarti sekarang masih kosong ya Pak?" tanya Gladys saat Aidan memarkirkan mobilnya di depan rumahnya.

Sebelum turun, Aidan maupun Gladys membuka sabun pengaman masing-masing. Sebelum Aidan keluar dari mobil itu, dia menyempatkan diri untuk menjawab pertanyaan dari Gladys, "Masih kosong karena belum jadi sepenuhnya."

"Ayo masuk!" seruan Aidan mengarah ke Gladys saat dia ingin membuka pintu pagar rumahnya dengan kunci yang baru saja ia rogoh dari dalam sakunya.

Gladys ikut mengekor di belakang Aidan. Dia ikut membantu Aidan mendorong pagar yang baru saja dibuka. Saat berhasil masuk ke dalam area teras dan ruang tamu, celetukan Gladys menggema lagi, "Kalau udah direnovasi. Bapak nanti tinggal disini sama orang tua?"

Aidan pun tak keberatan perempuan itu banyak tanya padanya. Dia santai-santai saja menjawabnya layaknya tak ada beban, "Nggak. Papa sama Mama tinggal di rumahnya sendiri sama adik yang bungsu. Kalau Azka udah menikah, dia juga kayaknya pindah rumah. Saya tinggal disini. Kalau tahun depan ataupun tahun ini saya ditakdirkan menikah, ya berarti tinggalnya nggak sendiri. Tapi sama istri," jawab Aidan dengan sorot mata yang mengarah ke Gladys.

"Banyak buku. Ruang tamunya ada rak bukunya nanti Pak setelah direnovasi? Mau direnovasi kayak gimana nanti, Pak?" tanya Gladys lagi saat dia menatap beberapa buku yang berjejer di sudut ruangan. Dia sedikit mengingat Mamanya yang juga kebetulan suka mengoleksi buku novel di rumah.

"Sebenernya bukan ruang tamu yang mau direnovasi. Tapi dapur sama kamar mandi. Sama lantai dua nanti. Dapurnya mau saya rubah. Sekalian setiap kamar, saya ubah ada kamar mandinya. Jadi kamar tamu pun nyaman dipakai kalau ada kamar mandinya satu-satu," jawab Aidan.

Aidan sedikit menapakkan kakinya untuk mendekati buku-buku yang sengaja ia jejer di atas rak, "Dari kecil saya dan Papa kebetulan sama-sama suka buku. Kalau Mama sama Aviola lebih suka musik. Azka suka seni lukis."

"Space ini sengaja saya kosongi. Untuk istri saya nanti. Saya belum tau dia nanti kesukaannya apa. Tapi saya nggak mau membatasi hobi dan kesukaannya. Kalaupun sama-sama suka buku, space ini bisa diisi buku-buku dia. Kalaupun dia suka sama hal lain, space ini terserah dia mau isi apa. Saya persilahkan sesuka dia karena nantinya rumah ini juga bukan cuma milik saya. Tapi milik dia juga," Aidan menjelaskan perkara rak buku itu ke arah Gladys. Setiap kali menyebut kata 'istri' pandangannya tertuju ke arah Gladys yang ada di sampingnya.

Hanya saja perempuan itu tak peka. Dia mengira orang lain yang disinggung Aidan.

"Gladys!" Aidan memposisikan dirinya menatap Gladys usai tangannya merapikan buku yang ada di rak itu.

"Hm?"

Tatapan Aidan menyiratkan sebuah semburat penuh arti. Laki-laki itu sepertinya menyembunyikan rasa gugupnya sebelum dia melontarkan sebuah kalimat yang tersimpan di bibirnya, "Kamu tau orang yang paling munafik?"

"Maksudnya?" tanya Gladys yang tak paham dengan pertanyaan Aidan.

Tangan Aidan terlihat masuk ke dalam salah satu saku celananya bersamaan dengan helaan napas yang keluar dari bibirnya, "Orang yang ada di depan kamu sekarang ini adalah orang yang paling munafik. Saya ... Saya nggak tau bagaimana caranya mengutarakan perasaan saya ke orang yang saya cintai. Padahal kalau dilihat dari umur saya sangat memalukan."

Tawa ringan namun sedikit hambar mencuat dari mulut Aidan di sela-sela dia ingin mengutarakan perasaannya. Setelah sekian lama. Akhirnya disini dia bisa leluasa untuk menyampaikan maksud baiknya ke Gladys. Entah nanti hasilnya seperti apa yang terpenting dia sudah menyampaikan, "Saya sekarang bingung mau ngomong apa di depan kamu. Saya kadang iri ke adik saya yang gampang mengutarakan perasaannya ke perempuan. Saya ... Saya punya rasa ke kamu."

"Punya rasa? Sore-sore begini Bapak malah ngajak becanda," sahut Gladys dengan tawa ringannya.

Kedua tangan Aidan terasa dingin. Dia memberanikan diri untuk memegang tangan Gladys. Tampak kaku karena dia bisa dikatakan baru pertama kali menyatakan perasaanya. Bahkan di umur yang tidak muda lagi dia baru bisa merasakan mengutarakan perasaannya.

Sebenarnya dulu pernah mengagumi seseorang. Hanya sebatas rasa kagum. Saat dilihat-lihat lagi, perempuan-perempuan yang pernah dikagumi Aidan belum layak dijadikan istri. Tapi entah mengapa saat dia bertemu dengan Gladys pertama kalinya. Dan Gladys sangat mudah menaklukan hati Zio. Tak sadar hatinya juga ikut takluk pada perempuan itu.

"Saya serius. Saya mungkin nggak bisa terus terang dari awal karena latar belakang keluarga saya yang sering menjodohkan saya dengan orang lain. Dan saya juga nggak punya keberanian untuk mengutarakan karena takut kamu terganggu. Tapi jujur, saat ini saya nggak ada rasa sama sekali dengan perempuan manapun kecuali kamu," jelas Aidan yang membuat Gladys bingung harus meresponnya seperti apa.

Gladys masih bungkam. Mencerna kata demi kata yang dituturkan oleh Aidan padanya. Sembari menunggu sahutan dari Gladys, Aidan tampak membuka mulutnya lagi, "Umur saya udah nggak bisa diajak bercanda lagi masalah percintaan. Buat main-main juga nggak pantes. Kalau kamu menerima menjalin hubungan dengan saya, saya bisa langsung tegaskan masalah ini ke orang tua saya."

"Saya juga bakalan meminta izin ke orang tua kamu kalau kamu mengizinkan untuk itu," tambahnya lagi pada Gladys.

Seumur-umur Gladys belum pernah mendengar pernyataan dari laki-laki manapun yang mengajaknya menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius. Pernah berharap ke Arga tapi yang didapatkan hanyalah lepehan harapan palsu yang dilontarkan oleh pria itu.

Aidan, laki-laki yang tak lama dikenalnya itu malah berani mengajaknya ke jenjang serius. Usia Gladys memang juga tak bisa dikategorikan usia belia. Dia juga butuh mencari pasangan hidup. Tapi menjalin hubungan dengan Aidan? Rasanya cukup sulit melewati restu orang tua Aidan dengan background keluarga yang benar-benar sempurna sedangkan Gladys?

Tetap kalah jika bersaing secara finansial dan rupa.

"Tapi ... Bukannya keluarga Bapak sama keluarga Dokter Selena udah akrab untuk menjodohkan Bapak?" tanyanya pada Aidan. Sengaja dia belum memberikan jawaban karena dia tak mau hubungannya nanti benar-benar berantakan hanya gara-gara tak direstui orang tua Aidan.

Aidan menggeleng. Tangannya yang menggenggam tangan Gladys sedikit mengerat, "Saya nggak nyaman. Saya juga nggak punya perasaan ke dia. Saya mau menegaskan ke mereka kalau saya punya kamu. Saya mau menegaskan ke orang tua saya. Kalau kamu menerima."

Tangan Gladys sedikit terurai dari genggaman Aidan. Senyumnya sedikit ia paksakan saat dia menatap Aidan, "Kalau Bapak tiba-tiba kasih penjelasan ke mereka bahwa saya kekasih Bapak, rasanya aneh. Mereka pasti mengira saya cuma batu loncatan Bapak karena Bapak menghindar dari perjodohan itu. Saya bakalan dikira kekasih jadi-jadian. Mereka nggak bakalan percaya juga."

"Nyatanya kamu bukan batu loncatan. Kamu bisa lihat mata saya sekarang. Saya mencintai kamu. Urusan mereka mau ngomong apa saya yang akan tanggung jawab dan kasih mereka penegasan. Keluarga saya urusan saya nanti. Kamu jangan khawatir," sahut Aidan dengan tatapan mata yang menandakan sebuah keseriusan ucapannya..

Tapi Gladys juga tak bisa langsung mengiyakan. Dia butuh waktu untuk mencerna semuanya. Dia juga bingung memutuskan, "Saya masih butuh waktu untuk kasih jawaban ke Bapak. Nggak bisa sekarang. Saya minta maaf," tolaknya secara halus.

Aidan juga paham dia terlalu buru-buru mengutarakan maksudnya pada Gladys. Wajar jika Gladys tak bisa menerimanya saat ini, "Nggak perlu kamu jawab sekarang nggak papa. Kalau pernyataan saya tadi barusan menggangu kamu dan terlalu mendadak, kamu jangan sungkan mengatakan tidak dari pada kamu terpaksa menjawabnya. Saya tetap menunggu jawaban kamu. Saya tetap menghargai keputusan kamu apapun itu nanti," serunya pada Gladys.

"Jawaban kamu nggak mempengaruhi status kamu kerja di pet care. Kamu tetep masih bisa bekerja di pet care. Kamu nolak saya juga saya nggak mungkin langsung pecat kamu," tambah Aidan sembari mencoba terkekeh pelan untuk mencairkan suasana. Sejujurnya dia gugup saat ini karena Gladys menggantung jawabannya.

"Saya minta waktu," ungkap Gladys.

Dan Aidan tetap menerima jawaban itu. Jawaban yang belum pasti dan masih menggantung antara iya atau tidak, "Iya Dis! Saya tetap tunggu jawaban kamu."

Mas Bagaskara
Aidan kamu dimana? Zio nyari kamu. Bisa kesini? Di rumah Zio nyari kamu terus. Jangan khawatir soal Aviola. Aku udah diskusi sama dia kemarin soal kamu. Aviola udah memberi izin kamu ketemu Zio. Mumpung dia udah mengizinkan. Kamu coba kesini sekalian bicara sama dia. Biar masalah cepet selesai. Nggak ada lagi pertikaian antar keluarga.

Sebuah kalimat panjang yang baru saja dikirim Bagaskara membuat Aidan mengukir senyum tipisnya saat dia membuka layar ponsel itu. Rasa gugup bercampur khawatir kini sedikit sirna karena kabar baik itu. Mungkin kesempatan Aidan untuk berbicara pada saudaranya itu. Barangkali masalahnya cepat selesai.

Tinggal masalah percintaannya saja yang tak kunjung dapat kepastian. Akankah besok Gladys akan menjawabnya? Atau ada hal lain yang Gladys siapkan untuk memberi kabar pada Aidan?

Bersambung ...

Setelah hapus edit hapus edit aku akhirnya berhasil menulis satu chapter ini.  Kalau typo kabarin ya aku revisi besok. Ini udah malem banget.

Nggak berharap lebih love atau komen banyak, asalkan yang baca suka sama chapter ini aku udah bersyukur. Makasih banyak ya udah menyempatkan nunggu sampai detik ini. Maaf belum sempurna nulisnya. See you next chapter semoga besok kelas nulis part selanjutnya. Enjoy 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top