Part 20 - Acara

Okey, maaf agak telat lama update karena lagi di luar kota kemarin. Kalau baca part ini janji gak ngomong bangsat kalau udah baca janji harus komen banyak wkwkw 🤣 aku riset buat part ini bener-bener riset sampai di tiktok, twitter, sampai aku catat omongan tetangga waktu lebaran kemarin.

💓💓💓

Semakin hari kedekatan Aidan dan Gladys semakin ketara. Meskipun Aidan tak menunjukkan secara gamblang sisi ketertarikan pada perempuan cantik itu. Terkadang, perlakuan Aidan pada Gladys sedikit berbeda jika dibandingkan dengan perlakuan Aidan pada perempuan lain, "Pak, ini acara apaan sih? Kok ajak-ajak saya?" tanyanya pada Aidan.

Saat ini Aidan dan Gladys ada di sebuah resort mewah yang dipesan oleh kerabat Dokter Jefri untuk pertemuan yang melibatkan keluarga dokter Jefri, keluarga Selena, dan beberapa kerabat lainnya. Seperti apa yang telah Mama Ayana bilang, pertemuan ini untuk sekedar reuni bersama.

Entah dapat bisikan dari mana. Aidan memutuskan membawa salah satu karyawan pet care-nya yang tak lain adalah Gladys sendiri ke tempat dimana keluarganya berkumpul. Dia meminta Gladys untuk memakai gaun yang dia belikan kemarin.

Gladys ikut menurut saja. Barangkali gajinya naik jika menuruti apa yang Aidan mau. Dia juga tak tahu sebenernya  tujuannya ikut Aidan ke resort itu untuk acara apa. Tumben-tumbenan Bos pet care-nya itu mengajaknya untuk pergi bersama di sebuah acara keluarga, "Terus Zio dimana? Katanya tadi ada Zio. Mana sekarang anak itu?"

Usai turun dari mobil Aidan, Gladys mengabsen beberapa mobil mewah yang berjejer di parkiran. Ramai. Banyak mobil yang hampir tak mendapatkan tempat parkir. Entah sebenarnya resort ini ada acara apa?

"Zio sama orang tuanya. Nanti ketemu disana," jawab Aidan sembari salah satu tangannya menekan remote kunci mobilnya untuk mengunci mobil itu usai dirinya turun dan berjalan ke arah Gladys.

Gladys sempat menunduk untuk merapikan beberapa gaunnya yang terlihat kusut. Gaun abu-abu dengan garis pinggang berwarna hitam pekat itu sangat anggun dipakai oleh Gladys. Sempat terkesima, laki-laki yang ada di hadapan Gladys itu menutupi rasa gugupnya, "Terus? Saya berdua doang sama Pak Aidan? Bayangan saya kita bareng Zio jadi bertiga," ungkap Gladys.

"Mama yang nyuruh saya bawa kamu," sahut Aidan sembari perlahan melangkahkan kakinya lebih dulu dibanding Gladys untuk masuk ke dalam. Ya setidaknya, Gladys tak melihat wajah gugupnya. Dan faktanya, memang inisiatif Aidan sendiri yang mengajak Gladys. Bukan suruhan orang lain.

"Kapan Bu Ayana bilang gitu?" tanya Gladys lagi sembari kaki kecilnya menyusul Aidan yang lebih dulu berjalan.

"Kemarin," jawabnya singkat. Tak seperti orang-orang pada umumnya yang bergandengan tangan, Gladys dibiarkannya sendiri mengekor di belakangnya.

"Jam berapa bilangnya?" Gladys lagi-lagi melontarkan kalimat tanyanya ke arah Aidan sampai laki-laki itu menghentikan langkahnya.

Dia menatap Gladys dengan sorot mata elangnya. Menjawab pertanyaan Gladys sama saja tak akan pernah selesai. Gladys akan bertanya terus sampai Aidan bingung menjawab apa. Lebih baik disudahi dengan menakut-nakuti Gladys sosok hantu yang sebenarnya tak ada di sekitar mereka. Hanya akal-akalan Aidan saja agar Gladys tak banyak bicara, "Jadi ikut saya atau kamu mau disini aja digigit nyamuk di parkiran? Kadang, kalau gak salah tukang parkirnya pernah lihat kalau di area sini banyak putih-putih suka gerak sendiri."

"Kalau ada perempuan yang banyak tanya, biasanya jadi tumbal," tambahnya lagi menjawab pertanyaan dari Gladys.

"Biasanya—"

"Apaan sih, Pak! Ngaco," potong Gladys saat Aidan ingin melontarkan kalimat menakut-nakuti lagi.

Bukan Gladys jika tak penakut. Perempuan itu sangat parno jika mendengar cerita menyeramkan dari lawan bicaranya. Hantu berjenis apa saja dia takut dari kecil. Aidan tahu hal itu karena dia pernah tak sengaja membaca buku diary milik Gladys yang masih dia bawa sampai sekarang. Sebenarnya sudah lama dia ingin mengembalikan buku itu ke Gladys. Tapi selalu saja tak sempat.

Aidan sedikit menahan tawanya saat Gladys kelabakan menyorotkan kedua bola matanya untuk mengamati sekitarnya. Bulu kuduk miliknya sempat berdiri tak sengaja. Gladys sedikit mendekatkan dirinya ke arah Aidan sembari mencoba menenangkan dirinya sendiri bahwa yang dikatakan Aidan hanyalah kebohongan, "Nggak ah, nggak ada."

Tapi Aidan semakin jahil. Saat Gladys ingin berdekatan dengannya karena ketakutan. Dia malah menyingkir dan melanjutkan jalannya ke arah pintu utama resort. Gladys yang baru menyadari Aidan tak ada di sampingnya, sontak berlari cepat mengejar Aidan yang lebih dulu berjalan meninggalkannya, "Pak, tungguin!"

"Kalau ngajak orang tuh jangan main ninggal-ninggal aja," gerutu Gladys saat Aidan masih tak berhenti menunggunya.

Aidan hanya bisa menahan tawanya saat bola matanya samar-samar melihat wajah ketakutan perempuan itu dari samping. Ingin menertawakannya tapi rasa jaim menghantuinya. Sungguh, jika dibandingkan dengan perempuan lain. Perempuan itu menurut Aidan ada sisi hangat yang membuat hatinya terkadang terketuk. Terlebih lagi, saat bersama Zio. Perempuan itu sangat hangat jika bersama anak kecil.

"Reservasinya di lantai dua," seru Aidan memberitahu Gladys saat Gladys berhasil berjalan beriringan dengannya tanpa ada jarak.

Saat keduanya masuk ke dalam lift, Aidan sempat melirik perempuan itu lagi
Gladys terlihat menunduk. Sesekali membalas tatapan Aidan dengan tatapan tajamnya karena berani menakut-nakuti. Dia melotot ke arah Aidan sembari bibirnya mengerucut sebal sampai membuat Aidan ingin meledakkan tawanya di lift. Sayangnya ada beberapa orang yang satu lift bersama dengan mereka.

Ketika lift itu sampai di lantai tujuan, Aidan sedikit menggandeng pergelangan tangan Gladys untuk ia ajak keluar lift. Sempet berdesakan dengan penumpang lift lainnya tapi mereka akhirnya berhasil keluar dari sana, "Dimananya?" tanya Gladys.

"Itu kayaknya," jawab Aidan saat kedua bola matanya melihat Selena yang duduk di salah satu kursi reservasi tempat itu. Selena tak sendirian. Ada tiga orang yang telah hadir disana. Tapi keluarga Aidan? Sepertinya sama sekali belum ada yang hadir. Entah itu Papa Mamanya ataupun saudaranya.

"Loh Nak Aidan? Sini duduk sini!" ajak salah satu wanita paruh baya ke arahnya saat wanita itu melihat Aidan yang berjalan. Wanita paruh baya itu ternyata Mama Selena. Tapi sepertinya Papa Selena belum terlihat di resto itu.

"Aidan," panggil Selena juga ketika dia melihat Aidan dan perempuan yang pernah dia temui. Ya kan, masih ingat tidak? Selena juga pernah bertemu Gladys waktu di apartemen. Rasa kecemburuan hadir di wajah Selena. Dia tersenyum tipis saat Aidan memilih duduk berjauhan dengannya dan malah duduk di samping Gladys.

"Nak Aidan ajak siapa? Ini bukannya pengasuh Zio cucunya Dokter Jefri kan?" tanya Mama Selena pada Aidan.

Aidan sedikit tersinggung saat Gladys dianggap pengasuh oleh Mamanya Selena. Bukan apa-apa dia hanya tak mau pengasuh dan seorang guru disamaratakan kedudukannya, "Guru les bukan pengasuh, Tante!"

Mama Selena sempat meminta maaf atas ucapannya pada Aidan. Dia lantas mengalihkan pembicaraan untuk mengenalkan Oma Sukma pada Aidan, "Nak Aidan ini kenalin Oma Sukma. Masih kerabat Dokter Jefri. Kerabat dari Semarang. Kebetulan anak Oma Sukma ini temannya Papanya Selena," ungkapnya.

"Oma udah banyak dapat cerita tentang kamu. Gimana? Kerjaan lancar?" tanya wanita lansia yang saat ini duduk di depan Aidan. Dengan senyum lebarnya wanita itu mengamati Gladys dan Aidan secara bergantian.

"Alhamdulillah lancar," jawab Aidan pelan pada wanita itu.

Saat Aidan ingin melanjutkan kalimatnya untuk bertanya balik pada wanita lansia itu, tiba-tiba ponselnya berdering menandakan sebuah pesan masuk ke dalam layar ponselnya.

Papa
Dan, udah sampai lokasi? Bisa jemput Papa di jalan Semanggi? Mobil Papa mogok tiba-tiba. Mama kamu ngomel-ngomel terus dari tadi katanya kebelet kencing nunggu orang bengkel kesini lama.

Aidan
Bisa Pa! Tunggu.

Ternyata Papanya yang mengirim pesan itu. Mau tak mau Aidan juga yang akan menjemput orang tuanya. Kebetulan Jalan Semanggi juga tak jauh dari resort ini. Mungkin menjemput kedua orang tuanya tak menjadi masalah besar dari pada orang tuanya harus bertengkar di luar sana hanya karena masalah sepele, "Saya jemput Papa dulu ya? Mobilnya mogok. Cuma bentar aja," izinnya pada Gladys.

"Iya Pak," sahut Gladys pada Aidan yang berbisik padanya.

Ketika Aidan tiba-tiba beranjak dari duduknya, Mama Selena sempat mengamati tubuh Aidan dan sontak bertanya pada laki-laki itu, "Nak Aidan mau kemana?"

"Jemput Papa di jalan Semanggi. Mobilnya mogok disana. Saya pamit bentar!" ucap Aidan sebelum dirinya meninggalkan tempat itu.

Kini, beberapa pasang mata disana mengamati Aidan yang tengah berlari menjauh. Selena ataupun Gladys sama-sama melihat punggung Aidan, mengamati punggung laki-laki itu beberapa detik sampai sebuah ungkapan membuyarkan lamunan keduanya, "Ini namanya siapa?" tanya Oma Sukma pada Gladys.

"Gladys Oma," jawabnya pelan.

"Oh. Kerja dimana, Nak Gladys ini?" tanya wanita lansia itu lagi pada Gladys. Percakapan biasa namun jika diteruskan akan menjadi momok menyeramkan bagi sebagian orang.

Gladys tersenyum tipis sebelum menjawab pertanyaan itu, "Di rumah Dokter Jefri sebagai pengajar cucunya," jawabnya pelan pada perempuan itu lagi.

"Kalau boleh tau Nak Gladys ini dulunya lulusan SMP atau SMA?" Mama Selena ikut menimpali pertanyaan untuk Gladys.

Gladys sempat tersinggung karena pertanyaan itu. Dia lulusan sarjana tapi dianggap orang lain lulusan SMA bahkan SMP. Sebegitu tidak berartinya guru les jika dibandingkan dengan seorang dokter cantik yang ada di hadapannya, "Kuliah jurusan Managemen, Tante!" jawabnya lagi.

"Loh? Kuliah, tho? Tante pikir lulusan SMP. La kok milih kerja jadi guru les? Kenapa nggak kerja di perusahaan? Jurusan Managemen banyak banget loker. Nggak kamu masukin? Ada banyak kok perusahaan di Jakarta. Kemarin BUMN juga baru buka lowongan kan?" komentar Mama Selena lagi.

Gladys sempat tersenyum kikuk lagi. Dia membuang muka saat pertanyaan menyakitkan itu keluar untuknya. Dipikir, cari pekerjaan gampang? Terkadang, mau dia pintar akademik pun pekerjaan susah dicari. Dan tak selamanya bisa dibanding-bandingkan seperti ini.

"Dulu sempat mau—"

"Tante juga punya keponakan. Sepupunya Selena. Dia juga sama kayak kamu fakultasnya ekonomi. Sekarang jadi manager keuangan di perusahaan layanan kesehatan. Kamu nggak coba disana juga kah? Padahal banyak loh lowongan pekerjaan sekarang yang layak. Sekali-kali coba disana. Barangkali ketrima dari pada cuma ngandalin jadi guru les aja," potong Mama Selena saat Gladys ingin menjawab pertanyaannya.

"Oma tau Nadia kan? Sepupunya anakku. Anaknya Mas Farhan. Iya. Diangkat 5 tahun yang lalu jadi manager. Sama kayak Selena. Pinter banget urusan akademik. Pokoknya aku kagum banget sama anak-anak muda yang semangat kejar akademik. Kayak Nadia, Selena, Aidan!" ungkap Mama Selena lagi.

Oma Sukma tersenyum ikut bangga mendengar cerita dari Mama Selena, "Oh Nadia. Iya pernah diajak Farhan ke Semarang waktu masih SMA. Nggak tau Oma kalau sekarang udah sukses, nggak jauh beda sama Papanya. Dulu waktu muda Papanya juga kerja keras sekarang anaknya ikut sukses semua. Oma ikut bangga," sahut Oma Sukma.

"Kalau dipikir-pikir perempuan sekarang itu harus punya value yang lebih. Harus pinter akademik juga biar kalo cari kerja gampang. Biar nanti jodohnya juga sepadan dapatnya. Gak yang ecek-ecek urakan gak tau adab. Selena juga selalu aku wanti-wanti biar cari laki-laki itu yang sepadan. Kayak Nak Aidan misalnya," ungkap Mama Selena lagi berbicara pada Oma Sukma.

Gladys ikut menghela napas panjangnya saat ucapan-ucapan dari bibir Mama Selena sedikit melukainya. Bukan perkara dia memuji Aidan dan Selena. Tapi Gladys benci orang yang memetak-metakkan kesuksesan orang lain. Padahal semua orang punya porsi alur yang dirancang Tuhan.

Nyesel banget gue ikut Pak Aidan kesini. Orangnya spek Dakjal semua. Tau gitu gue rebahan di Kos sama Dita. Batinnya mengaung sembari kepalanya menunduk ingin ikut menimpali takut namanya jelek di mata keluarga Jefri.

"Nanti Gladys lebih giat lagi cari kerja sampingan ya? Biar gak mengandalkan jadi pengajar aja. Gaji pengajar mana cukup buat hidup di Jakarta, Nak? Oma lihat-lihat kamu bukan asli Jakarta kan? Berarti merantau ya? Terus gimana kamu ngatur uang kalau cuma ngandalin gaji guru les?" tanya Oma pada Gladys.

"Iya Oma. Tapi emang—"

Belum sempat Gladys menjawabnya dengan kalimat lengkap, lagi-lagi Mama Selena mengambil alih pertanyaan yang sama sekali tak berkaitan dengan pertanyaan Oma Sukma, "Nak Gladys ini, kemarin Tante lihat wajahnya kok agak berubah ya?" tanyanya pada Gladys sembari memperhatikan penampilan make up Gladys.

"Berubah gimana?" tanyanya balik pada Mama Selena sembari tangannya gatal ingin membuka cermin yang ada di tasnya. Batin Gladys, apakah polesan make up dari Dita ada yang luntur atau ada yang salah? Omongan Mama Selena membuatnya sedikit overthinking.

Sorot mata wanita paruh baya itu masih mengarah ke Gladys sebelum ia membuka suara lagi, "Dulu, Tante sempet pernah bertamu di rumah Dokter Jefri. Biasa, kirim makanan buat calon besan. Selena sama Aidan kan bentar lagi Tante harap bisa ke jenjang yang lebih serius. Terus Tante pernah lihat kamu ngajar cucunya Dokter Jefri, sekitar beberapa minggu yang lalu, Tante inget kok."

"Dulu seinget Tante wajah kamu agak bersih, cantik gitu ya? Tapi sekarang kok agak ada banyak jerawatnya yang ketutup make up? Gak baik loh, banyak jerawat gini kamu tutup pakai make up tebel-tebel. Nanti takutnya jerawatnya makin parah," tambahnya lagi.

"Sebenernya nggak perlu make up tebel-tebel kalau diacara seperti ini nggak papa. Mending uang kamu ditabung aja. Tante khawatir loh kalau gaji kamu habis cuma buat dandan-dandan yang ngabisin uang. Nggak baik, Nak!" ungkapnya lagi memenuhi telinga Gladys. Lama-lama Gladys ingin kabur dari tempat itu jika pembicaraan diteruskan.

"Nanti kapan-kapan Tante kasih kontak Dokter kecantikan ya? Lebih baik konsultasi ke dokter aja. Rawat baik-baik wajahnya. Sayang, masih muda. Takut kalau udah umur kayak Tante jadi rusak nanti. Tapi ya gitu, agak mahal. Nggak papa. Kamu bisa nabung dikit-dikit kok. Uang kalau buat ngerawat badan sama muka nggak papa. Dari pada wajah masih muda udah rusak. Selena punya banyak kenalan dokter kok, biar dia kasih kontak salah satunya buat kamu. Tante malah seneng bisa bantu sesama," jelasnya lagi pada Gladys.

"Sebenernya saya nggak bu—"

Untuk kesekian kalinya kalimat Gladys terpotong lagi. Gladys sampai sebal. Ia menghela napas panjangnya saat Mama Selena mengalihkan pandangannya dan memotong kalimat Gladys ketika Aidan, Mama Ayana dan Dokter Jefri baru saja datang, "Loh? Bu Ayana? Gimana ceritanya kok bisa mogok mobilnya? Tau gitu, tadi bareng aja. Kebetulan Papanya Selena bawa mobil sendiri, Selena bawa mobil sendiri. Gimana ... Gimana ceritanya?"

Bersambung ...

Next part mau kapan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top