Part 15 - Batal Main?
"Dit!"
"Dita!"
Sore hari suara Gladys sudah memenuhi ruangan kosnya. Sampai-sampai Dita yang baru saja merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang usai pulang bekerja, benar-benar menutup telinganya karena tak mau mendengar ocehan sahabatnya itu.
"Dit, buku gue dimana?" tanya Gladys lagi sembari sibuk mondar-mandir mencari buku catatannya yang hilang.
Oh shit! Padahal dia tak sadar jika buku itu ada di tangan Aidan. Ketinggalan waktu dia mengajar keponakan Aidan. Karena tak kunjung mendapatkan respon dari Dita, Gladys menepuk pinggang sahabatnya, "Bantu gue cari buku woy, jangan tidur mulu jadi temen!" ungkap Gladys saat Dita tak kunjung beranjak dari tidurnya dan malah memejamkan matanya.
Terperanjat saat Gladys menepuk pundaknya, bibir Adita ikut mengoceh satu sama lain saat Gladys menggangu waktu tidurnya. Untung sahabat sendiri. Coba kalau orang lain. Kaki Dita pasti sudah siap menendang perempuan yang ada di hadapannya itu, "Apaan sih? Teriak-teriak orang lagi istirahat juga. Kagak. Gue kagak lihat buku yang lo cari. Buku catatan yang kayak gimana? Emang lo pernah nulis? Nyari-nyari buku segala," tanyanya pada Gladys.
"Buku gue ilang woy, gue baru sadar," sahut Gladys dengan tatapan bingungnya. Tangan Gladys masih sibuk merogoh tote bag yang dia pakai, berharap buku itu ada disana.
Dita akhirnya mau tak mau beranjak dari tidurnya dan mencoba untuk membantu Gladys mencari barang yang telah hilang itu. Ya sampai tua juga barang itu tak bisa ditemukan di Kosnya. Karena barang itu hilang di tempat lain, "Masih muda udah pikun, emang lo taruh mana awalnya?" tanya Dita nyolot.
Gladys juga tak mau kalah. Dia lebih nyolot saat Dita membalas kalimatnya, "Ya namanya lupa, nggak mungkin tanya ke lo. Buruan bantu cari!" sahutnya.
Tangan Gladys masih mencari barang itu di kolong meja samping sofa, pindah lagi mencari di area tumpukan buku yang ada di lemari, ganti lagi di kolong meja. Hasilnya tetap nihil karena buku itu memang tidak ada di Kosnya. Sedangkan Dita pun ikut sibuk mencari-cari di area bawah bantal sofa. Tetap saja tak akan ketemu, "Duh! Dimana? Masalahnya disana gue nyimpen duit 100 ribu buat ongkos benerin makam Papa yang rusak. Terus nomor tukang gali kuburnya juga ada disana semua. Masa iya gue balik pulang kampung. Rumah gue kan jauh dari Jakarta," gerutu Gladys.
"Ya gue juga kagak tau. Coba deh lo cari di kolong kasur kamar lo atau enggak cari dimana aja kek, kagak tau gue. Kenapa gue jadi ikutan pusing gara-gara lo?" seru Dita sembari menepuk pundak Gladys.
Saling beradu mulut, mereka sampai hampir tak mendengar suara ketukan pintu dari luar, "Kayak ada yang ngetok? Coba lo lihat!" perintah Dita saat dirinya merasa ada yang mengetuk pintu rumahnya.
Tok-tok-tok
Gladys akhirnya yang terpaksa berjalan ke arah pintu itu. Sedangkan Adita masih sibuk mencari buku milik Gladys di area ruang tamu Kosannya. Saat tangan Gladys perlahan membukakan pintu itu, dia terperanjat melihat sosok laki-laki yang ada di hadapannya saat ini.
Sebentar! Sejak kapan Aidan ada disana sore-sore seperti ini? Bukankah waktu sore biasanya Aidan habiskan di kamar usai lelah bercengkrama dengan pekerjaannya di klinik? Dan juga, Gladys sama sekali tak ada janji apa-apa dengan Aidan. Kenapa laki-laki itu tiba-tiba ada di hadapannya saat ini?
"Pak Aidan? Pak Aidan ngapain kesini?" tanyanya saat Gladys memperhatikan penampilan Aidan dari ujung kaki sampai ujung rambut laki-laki itu.
Tak berubah. Penampilan laki-laki itu masih saja terlihat rapi padahal biasanya penampilan seseorang saat selesai bekerja sudah tak beraturan bentukannya. Tapi Aidan beda. Rambut hitamnya masih terlihat klimis. Kemeja birunya tak ada satupun goresan kusut yang menempel. Celana panjang berwarna hitam itu tak sedikitpun kotor. Dan gulungan kemeja di tangannya juga memperlihatkan kegagahannya.
Astaga! Pria macam apa ini? Sangat berbeda dengan Gladys yang jika pagi-pagi masih terasa aura kecantikannya karena terpoles make up. Sedangkan jika masuk sore hari, penampilannya sudah tak karuan bentuknya.
"Disuruh Zio jemput kamu," jawabnya pelan.
Gladys sedikit membulatkan netranya ketika mendengar jawaban dari Aidan. Kini dua alis tebal miliknya ikut berkerut, "Disuruh Zio?"
Aidan mengangguk pelan sembari kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Lagi-lagi sorot mata Gladys mengabsen area sekitar sebelum dia melanjutkan kalimatnya. Di depan kosnya nampak sebuah motor besar berwarna hitam. Bukan. Gladys hapal betul semua tetangganya disini tak memiliki motor seperti itu. Itu bukan milik tetangga Gladys. Lantas? Ah, Gladys bisa menebaknya. Itu mungkin milik Aidan. Tapi biasanya laki-laki itu membawa mobil, dimana mobil yang biasanya dikendarai?
"Ya udah. Bentar saya siap-siap dulu! Pak Aidan nggak mau masuk dulu?" tanya Gladys menawarkan masuk.
Tapi Aidan membalasnya dengan menggeleng, "Saya tunggu di luar aja."
Ketika Aidan memilih menunggunya di luar, Gladys lantas masuk lagi untuk mengambil tasnya sebelum dia berangkat. Masih menjadi keganjalan tersendiri bagi Gladys saat dia tiba-tiba dihadapkan Aidan yang menjemputnya. Ah tapi tak apa, barangkali memang Zio yang meminta.
Gladys lagi-lagi masih sibuk mencari buku catatannya yang telah hilang. Barangkali ketemu. Dia merogoh lebih dalam kolong meja yang ada di ruang tamu. Tetap tak ada. Lantas dia ingin mencari dimana lagi? Sampai-sampai Dita yang ingin memejamkan netranya merasa terganggu dengan kelakuan sahabatnya itu, "Kenapa lagi nih anak mondar-mandir?" gerutu Dita.
"Ada Pak Aidan di luar! Lo tidur mulu jadi perawan," seru Gladys.
Mendengar Gladys yang menyebut nama Aidan, gendang telinganya langsung tajam, "Ngapain?" tanyanya sembari memposisikan dirinya untuk duduk dan tak berbaring lagi.
Dua bahu Gladys terangkat ke atas saat membalas pertanyaan dari Dita, "Nggak tau. Katanya disuruh Zio jemput," sahutnya kemudian.
Bibir Dita tersenyum miring. Tingkat percaya dirinya meningkat lagi. Bibir ranum itu terlihat menahan senyumnya sebelum dia mencuatkan kalimatnya, "Disuruh Zio? Disuruh Zio apa inisiatif sendiri kesini karena ada gue?"
"Bodo. Tanya aja sama orangnya," sahut Gladys yang sibuk menyingkap beberapa taplak meja yang ada di ruang tamu karena mencari buku catatannya lagi dan lagi tak ada henti-hentinya perempuan itu mencari, padahal jelas-jelas sudah tak ada disana.
"Udah jam segini, kelamaan kalau lo nyari barang lo. Kasihan Mas Aidan jodoh gue nunggu lama gara-gara lo. Udah deh cari nanti aja malem-malem, gue bantuin. Paling juga keselip," perintah Dita pada Gladys yang masih saja sibuk mencari barang itu.
Benar memang kata Dita. Waktunya benar-benar akan habis jika Gladys terus mencari barang miliknya itu. Sedangkan sore ini dia ada jadwal mengajar. Dan malamnya dia harus setor CV ke Pet Care. Barangkali pekerjaan baru itu cocok. Gladys mencobanya saja. Tak peduli nanti banyak rintangan di dalam pekerjaannya yang terpenting dia dapat uang untuk biaya hidupnya, "Gue berangkat dulu ya?"
"Hati-hati! Enak bener lo, kerja diantar jemput sama laki tajir," ledek Adita.
"Bodo amat," sahut Gladys yang begitu tak peduli.
Gladys sedikit berlari ke arah pintu lagi untuk menemui Aidan. Dan saat dirinya membuka pintu itu, dia menemukan Aidan yang duduk di kursi teras sembari menunggunya, "Pak," panggilnya pelan pada Aidan.
Aidan menoleh ketika dirinya dipanggil. Dia lantas beranjak dari duduknya dan memberikan helm ke arah Gladys, "Pakai! Saya bawa motor soalnya mobil saya di bengkel," perintah Aidan.
Gladys menerima uluran helm itu dari tangan Aidan. Langkahnya mengikuti arah Aidan yang berjalan menuju motornya. Gladys tampak basa-basi menanyakan perihal mengapa Zio tiba-tiba meminta Aidan untuk menjemputnya, "Zio kenapa tiba-tiba nyuruh jemput Pak? Bukannya biasanya kalau saya ada jadwal ngajar, Bapak baru pulang dari klinik? Saya jadi nggak enak ngerepotin," seru Gladys.
Bibir laki-laki itu tersungging tipis. Sembari mengenakan helm full face miliknya, kini Aidan menjawab pertanyaan Gladys sebelum dirinya menaiki motornya, "Namanya anak kecil kalau nggak dituruti ngambek," serunya pada Gladys.
Aidan mengisyaratkan Gladys untuk ikut naik di jok belakang motor miliknya. Dengan sedikit hati-hati, Gladys mengangguk sebelum naik ke atas motor. Bingung sekaligus canggung Gladys harus memegang kemeja Aidan atau membiarkannya tak berpegangan.
"Udah siap?" tanya Aidan membuyarkan lamunan Gladys.
"Udah," jawab Gladys kikuk.
Karena dirinya mengenakan dress selutut. Dia mengisyaratkan Aidan untuk mengemudikan motornya dengan kecepatan rata-rata saja, "Pak nanti jangan kenceng-kenceng ya? Saya pakai dress soalnya," pinta Gladys sebelum Aidan menjalankan motornya.
Aidan tak menjawab dengan kata-kata. Cukup satu anggukan mewakili semuanya. Kini laki-laki dewasa itu menjalankan motornya dengan kecepatan normal. Gladys sempat terperanjat saat gas motor itu tiba-tiba diputar oleh Aidan. Mau tak mau untuk meminimalisir dirinya jatuh dari motor, Gladys memegang ujung kemeja Aidan yang berada di pinggang laki-laki itu.
"Amplop kemarin udah kamu buka?" tanya Aidan di sela-sela dirinya mengendarai motor itu.
"Hah? Apa Pak?" Gladys sama sekali tak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Aidan. Ya bagaimana? Suara Aidan seakan tertumpuk dengan suara bising dari kendaraan lain di jalan. Sampai-sampai Gladys tak bisa mendengarnya dengan jelas.
"Amplop," jawab Aidan dengan mengencangkan suara lagi agar Gladys mendengarnya.
Benar-benar masih belum jelas Gladys mendengarkan kalimat Aidan. Malu jika tak dijawab, Gladys menjawabnya dengan jawaban ala kadarnya, "Oh, tadi jam tujuh saya mandinya Pak."
"TADI JAM TUJUH SAYA MANDI," teriak Gladys yang membuat Aidan ikut bingung dengan jawabannya.
Aidan baru sadar jika Gladys tak menyimak pertanyaannya. Tangan kirinya lantas menarik tangan Gladys agar lebih bergeser mendekat. Gladys sontak membulatkan matanya ketika Aidan tiba-tiba menarik tangannya. Tak ada jarak diantara mereka. Karena takut jatuh Gladys spontan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Aidan, "Amplop Dis! Amplop kemarin udah kamu buka? Saya tanya amplop bukan tanya mandi," seru Aidan lagi.
"A-APA PAK?" tanya Gladys lagi di tengah-tengah dirinya menetralkan degup jantungnya saat ini.
"Amplop," jawab Aidan.
"Oh amplop? Bilang dong dari tadi. Amplop yang kemarin? Udah saya buka. Kenapa?" tanya Gladys balik saat dirinya baru saja menangkap apa yang ditanyakan oleh Aidan.
Takut dikira lancang memeluk pinggang Aidan. Tangan Gladys kembali berangsur terurai untuk lepas dari pinggang itu. Dia memilih untuk memegang ujung kemeja Aidan sebagai pegangan, "Maaf Pak tadi saya nggak sengaja. Takut jatuh," ungkap Gladys.
"Setelah kamu baca isi amplopnya, kamu berminat?" tanya Aidan lagi.
Tetap saja. Gladys masih samar-samar mendengar pertanyaan dari Aidan. Suara kendaraan yang berlalu lalang seakan menutup gendang telinganya, "HAH? APA PAK?" tanyanya balik dengan nada sedikit keras.
"Saya nggak ada niatan minggat," jawabnya kemudian.
"Saya tanya kamu berminat, bukan tanya kamu minggat," koreksi Aidan ketika dia mendengar jawaban Gladys yang sama sekali tak masuk akal.
Gladys sedikit menyembunyikan kepalanya di balik punggung Aidan. Dia merasa sangat bodoh di hadapan Aidan karena tak bisa menyimak dengan betul pertanyaan dari Aidan, "Oh berminat? Maaf Pak tadi nggak denger. Iya Pak berminat. Kalau kirim CV lewat mana?" tanyanya.
Sengaja Aidan tak menjawab kalimat Gladys lagi. Dia lebih memilih meneruskan perjalanannya. Lebih baik berbicara saat sampai di rumah nanti dari pada salah paham saat nanti menjawab pertanyaan.
Selang sekitar 20 menit perjalanan dari Kos Gladys sampai rumah Aidan, motor besar yang dikendarai Aidan itu akhirnya terlihat masuk ke dalam pekarangan depan rumahnya. Gladys spontan melepas tangannya dari ujung baju Aidan yang sedari tadi ia pegang. Akhirnya sampai juga, "Kirim ke saya aja CV-nya, nanti saya yang seleksi sendiri," jawab Aidan sembari tangannya mematikan mesin motor yang dia kemudikan.
Gladys terlihat turun dari motor itu dengan bantuan memegang pundak Aidan. Lagi-lagi dirinya merasa tak enak karena seperti orang bodoh saat dibonceng Aidan. Apalagi menjawab pertanyaan Aidan dengan jawaban asal-asalan, "Pak maaf ya? Tadi saya agak budeg kalau naik motor," ujarnya.
Aidan ikut turun dari motornya. Helm full face yang menutupi wajahnya kini terlepas dan menampilkan rambut acak-acakan miliknya. Tangan Aidan sedikit menyisir surai hitam itu dengan salah satu tangannya untuk merapikan, "Iya nggak papa. Zio udah nunggu di dalam," seru Aidan.
Gladys mengangguk. Bibir ranumnya terlihat tersenyum kikuk, "Makasih sekali lagi udah repot-repot jemput, Pak! Maaf kalau tadi agak budeg waktu naik motor," ucapnya berulang kali meminta maaf pada Aidan karena dirinya merasa tak enak. Dan jawaban Aidan hanya menahan tawanya.
"Miss Gladys!" teriak Zio. Anak kecil itu tengah berlari ingin memeluk Gladys yang baru saja turun dari motor Aidan. Deretan gigi-gigi kecil miliknya ia tampakkan saat tersenyum ke arah Gladys. Bak anak dan ibu, ikatan keduanya begitu kuat. Padahal jika dihitung mereka baru mengenal satu sama lain sewaktu Gladys diminta untuk menjadi pengajar Zio.
"Zio!"
Gladys menangkap tubuh laki-laki kecil itu dengan erat saat laki-laki kecil itu memeluknya. Senyum tipis yang terbit di bibir Gladys kini berangsur lebar saat Zio semakin erat memeluknya, "Miss Gladys Zio punya lobot balu dari Papa," ungkapnya.
"Oh iya? Mana? Miss Gladys boleh lihat?" tanya Gladys antusias saat Zio menceritakan bahwa dirinya memiliki mainan baru.
Laki-laki kecil itu mengangguk cepat memberi kode bahwa guru lesnya Boleh melihat mainan barunya. Gigi kecil yang terlihat meringis itu tak pernah sedikitpun redup saat berbicara pada Gladys. Sampai-sampai laki-laki dewasa yang tengah memperhatikan interaksi keduanya ikut tersenyum tipis melihatnya, "Boleh. Nanti habis belajal main lobot-lobot sama Om Aidan sama Miss Gladys ya?" pinta Zio.
"Boleh," sahut Gladys cepat.
Hanya mendapatkan jawaban dari Gladys. Zio seakan belum puas untuk bertanya. Kini anak kecil itu menatap sorot mata Omnya untuk meminta izin, "Om Aidan nanti main baleng-baleng ya?" pintanya ke arah Aidan.
"Soalnya Mama sama Papa kesini malam-malam. Zio disini sampai malam-malam. Jadi nanti Misa Gladys sampai malam-malam disini sama Zio sama Om Aidan telus main lobot-lobot dulu telus Zio pulang," tambahnya lagi memberitahu Aidan.
Dan akhirnya laki-laki dewasa itu mengangguk menuruti apa kemauan dari keponakannya, "Siap!" jawabnya pada Zio.
Saat ketiga-tiganya meluapkan kekehan satu sama lain. Ayana, Mama Aidan berjalan ke arah Aidan sembari memanggil anak sulungnya itu, "Aidan!"
Aidan sontak menoleh ke arah wanita paruh baya yang tengah memanggilnya. Bibirnya tak pernah menampilkan senyum hambar saat wanita yang dicintainya itu memanggilnya, "Ada apa, Ma?" tanyanya pada Mamanya.
Tangan Mama Ayana menepuk pundak anak sulungnya itu dengan lembut sembari membalas senyum, "Ada telfon dari Mamanya Selena tadi, katanya mau ngomong sama kamu. Selena katanya masuk rumah sakit. Dia DBD, kata Mamanya badannya lemes dari tadi pagi nggak mau makan. Mungkin Mamanya mau minta bantuan kamu buat nemenin ke rumah sakit sekarang. Gimana Nak? Mau ya? Kasihan Selena," pinta Mama Ayana.
Aidan belum menjawab. Dia menunduk saat Mamanya mengatakan sebuah permintaan yang sulit untuk Aidan tolak. Ingin menolak tapi dia takut membuat Mamanya kecewa. Tapi bagaimana dengan Zio? Dia sudah berjanji dengan anak kecil itu.
"Om Aidan mau kemana?" tanya anak kecil itu saat pendengarannya tak sengaja menangkap sebuah pembicaraan orang dewasa. Meskipun masih belum sempurna mencerna kalimat orang dewasa, Zio paham jika Omnya itu ingin pergi. Lantas dia bagaimana?
"Om Aidan nggak boleh kemana-mana! Zio mau main sama Om Aidan," serunya lagi seolah-olah tangannya menghadang Aidan agar Aidan tak beranjak kemana-mana.
Bagaimana Aidan menjawabnya? Apa Aidan menolak permintaan Mamanya? Atau Aidan membujuk anak kecil itu agar memahami urusan orang dewasa?
Bersambung ...
Sudah, ayok vote dan komen yang banyak aku bakalan update cepet. Masih belum rame cari massa buat bakar cerita biar rame wkwkwkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top