Part 14 - Mas atau Pak?

Arga begitu egois. Tak patut dipertahankan. Bahkan Arga lah yang selama ini menyiksa Gladys dalam hubungannya. Mau seberapa kuat Gladys mempertahankan juga tetap sia-sia. Perlakuan Arga sama sekali tak bisa ditoleransi. Sebaik apapun Arga dulu padanya, tetap untuk kali ini Arga tak patut dijadikan laki-laki pilihan yang nantinya mendampingi hidupnya.

Dengan langkah gontai masuk ke dalam Kosnya, Gladys masih terlihat melamun memikirkan hubungannya dengan Arga yang sudah benar-benar kandas. Babak belur di lutut dan sikunya masih terasa perih. Gladys ingin buru-buru masuk ke dalam rumah untuk membersihkan tubuhnya yang luka.

Kos-kosan yang ditempati Gladys bak rumah kontrakan kecil yang disediakan Ibu Kosnya. Hanya Gladys dan Dita saja yang menempatinya. Rumah itu memang bukan rumah yang begitu luas, namun jika hanya ditempati mereka berdua, rumah itu sangat cukup, "Bodoh!" umpat Gladys merutuki dirinya lagi berkali-kali.

Gladys terus-menerus menggerutu saat masuk ke dalam rumah sampai-sampai Duta yang sedang ada di dapur mendengar umpatannya. Dita menoleh memperhatikan Gladys yang bertingkah aneh saat masuk ke dalam rumah, "Siapa yang bodoh? Pulang-pulang bukannya ucap salam dulu malah ngatain bodoh," sahut Dita yang terlihat tengah memasak di dapur kecil rumah itu.

Tak ada sahutan dari bibir Gladys. Dia terlihat menggertak-gertakkan kakinya dengan raut wajah sebalnya. Bibirnya mengerucut panjang menyesali apa yang tengah dia perbuat dulu. Sampai-sampai Dita heran sendiri dengan Gladys. Bagaimana tak heran, Gladys pulang-pulang dengan kondisi lutut dan siku yang memar. Tak ada angin tak ada hujan sahabatnya itu menggerutu sebal sendiri, "Lo kenapa sih? Pulang-pulang babak belur. Lutut lo kenapa? Berdarah gitu. Habis digebukin warga lo?"

"Nanti aja gue ceritain," ungkap Gladys yang masih tak ingin menceritakan segalanya ke arah Dita. Dia lebih memilih berjalan mengikuti arah kakinya yang ingin masuk ke dalam kamar mandi. Gladys rasa, guyuran air sangat dibutuhkan saat ini untuk menyadarkan dirinya yang terkadang masih memikirkan Arga.

"Lagian ye, tiga hari yang lalu baru aja sembuh dari demam sekarang lutut benjol kayak gitu. Ada masalah ape sih tuh anak? Perasaan sial mulu hidupnya," cerca Dita saat Gladys mulai masuk ke dalam kamar mandi sedangkan dirinya sibuk membuat sup ayam di dapur.

Asik memasak untuk menu makan malam bersama Gladys, tiba-tiba pendengaran Dita diganggu oleh suara anak kecil dari balik pintu kosnya. Dita tak tahu bocah dari mana yang tengah memanggil keras nama Gladys itu, "Miss Gladys!"

"Miss Gladys, ini Zio!"

"Miss Gladys!" teriaknya berkali-kali yang membuat guratan wajah milik Dita merengut kesal.

Dita menghela napas panjangnya. Dia lantas menutup panci yang berisi sup ayam mendidih itu sebelum langkah kakinya mengecek siapa bocah yang tengah memanggil Gladys, "Eh buset dah! Siape yang teriak-teriak malem-malem gini. Anak kecil nggak tau adab. Orang lagi masak juga. Bocil kampung mana sih ini? Berisik banget! Manggil-manggil Gladys," gerutunya sembari merapikan meja dapur dengan kain lap.

"Miss Gladys! Ini Zio. Ayo buka pintunya! Zio ada di lual lumah," teriak anak kecil itu lagi yang membuat Dita semakin kesal karena dianggap menggangu aktivitasnya memasak.

Sungut Dita seakan keluar mendengar teriakan itu lagi. Ujung daster yang dia pakai sampai-sampai dia pelintir karena geregetan pada anak kecil yang memanggil Gladys di depan pintu Kosnya, "Kagak diajarin Bapaknya apa gimana sih ini? Berisik banget," ungkap Dita sebelum dirinya membukakan pintu rumah itu.

Saat langkah Dita sampai di depan pintu. Tatapannya terlihat bersungut seakan ingin menerkam anak kecil yang menggangunya. Tangannya perlahan membuka pintu itu dengan bibir yang siap menggerutu sebal, "Ada apa sih, Tuyul? Gladys lagi mandi. Ini kagak lihat gue lagi masak sayur? Mau gue guyur muka lo pakek sayur sop? Bocah ada-ada aja malem-malem teriak. Kalau mau minta permen nanti aja. Ganggu orang lagi mas-"

Dita tak kuasa melanjutkan kalimatnya saat netranya melihat anak laki-laki yang digandeng oleh orang yang sangat dia kenal. Aidan. Hancur reputasi Dita sebagai perawan berwibawa di Kosan saat melihat Aidan yang ada dihadapannya. Tau begitu, dia lihat-lihat dulu siapa yang bertamu. Mau diletakkan dimana muka Dita saat ini, "Pa-Pak Aidan?"

Raut sebal yang tercetak di wajah Dita perlahan kikuk berubah menjadi wajah ramah di hadapan Aidan, "Salah ngomong gue Anjir! Kenapa nggak lihat jendela dulu siapa yang dateng. Mulut gue udah terlanjur kayak cerobong asap di depan Pak Aidan," batin Dita.

"Ya ampun, Pak saya minta maaf. Maksud saya tadi. Saya kira yang teriak-teriak bocil kampung sebelah Pak. Maaf banget. Soalnya biasanya bocil-bocil area sini suka nggak tau diri Pak. Sendal saya dipungut terus dibuang ke rawa-rawa," jelas Dita sengaja meminta maaf pada Aidan.

Bibir laki-laki dewasa itu mengembang tipis. Tangan besarnya menggenggam tangan mungil milik Zio dan netranya seakan mengarah ke pintu yang sedikit terbuka. Sepertinya tengah mencari sosok perempuan disana, "Nggak papa. Saya juga minta maaf, Zio agak ganggu tadi manggilnya," sahutnya.

"Iya nggak papa. Ini keponakannya? Cakep banget gemes jadi pengen peluk Omnya," Dita mengulum senyum sok manis pada Zio sampai-sampai Zio mendelik ke arahnya. Anak kecil saja tahu mana yang tulus dan tidak.

Tak peduli dengan tatapan Zio yang mengarah tajam padanya. Tangan Dita menarik tangan Aidan untuk ia ajak masuk. Sempat genggaman tangan itu ditepis oleh Zio karena Zio seakan tak rela Dita menggandeng Omnya. Tapi Dita hanya menyangkalnya dengan penuh tawa saat Zio tak rela Omnya digandeng oleh Dita, "Mari Pak! Masuk! Ada keperluan apa cari Gladys? Gladys lagi mandi. Duduk dulu aja! Kebetulan saya lagi masak," seru Dita mempersilahkan Aidan duduk di ruang tamu kecil itu.

"Miss Gladys mana, Om?" tanya Zio langsung pada Aidan saat netranya tak mendapatkan Gladys ada di hadapannya.

"Sabar dulu. Miss Gladys lagi mandi. Sini sama Tante Dita," Dita menawarkan dirinya pada Zio tapi anak kecil itu langsung melengos tak mau menatap Dita.

"Nggak mau. Jelek!" sahut Zio yang langsung dibalas Dita dengan dua bola matanya yang melebar sempurna karena anak kecil itu mencercanya dengan ungkapan tak enak didengar.

"Zio ngomongnya nggak boleh gitu. Nggak baik," Aidan yang mendengar keponakannya berkata tak sepantasnya spontan memegang tangan Zio dan menahannya agar tak berkata kasar lagi pada sembarang orang.

"Dita!!!" Gladys berteriak kencang dari kamar mandi saat Dita sedang asik-asiknya memperhatikan wajah tampan milik laki-laki yang terduduk di hadapannya itu.

Decakan sebal keluar dari mulut Dita saat Gladys tak sabaran memanggilnya, "Apa sih?" sahutnya keras.

"Ambilin perban, Dit! Sakit banget! Darah di lutut gue keluar lagi, sakit banget kena air!" isak Gladys saat dirinya masih ada di dalam kamar mandi.

Pendengaran dua laki-laki yang ada di hadapan Dita langsung menajam. Dua-duanya, Aidan dan Zio spontan menatap ke arah sumber suara dimana letak kamar mandi itu, "Gladys kenapa?" tanyanya pada Dita.

"Miss Gladys!" Zio gelagapan saat mendengar teriakan dari Gladys yang sedari tadi memanggil Dita. Dia spontan berlari ke arah sumber suara untuk menemui Gladys.

Dan belum sampai di kamar mandi, Gladys sudah lebih dulu keluar dari sana seraya berjalan tertatih-tatih karena lututnya terasa perih terkena guyuran air, "Zio!" panggilnya pada Zio saat anak kecil itu tiba-tiba memeluknya.

"Miss Gladys!" panggil Zio dengan tangan yang masih memeluknya erat.

"Kamu ngapain kesini?" tanya Gladys yang masih tak tahu asal-usul Zio tiba-tiba ada di Kos kecilnya.

"Mau ketemu Miss Gladys," jawab Zio dengan tangan yang mulai perlahan menguraikan pelukannya.

Bak anak kecil yang khawatir dengan keadaan seseorang. Dua bola mata Zio terpaku pada luka yang ada di lutut Gladys. Luka itu terlihat menganga karena Gladys sedari tadi memakai dress selutut. Terlihat sekali sangat jelas bahwa luka itu terasa begitu perih bagi Gladys. Mungkin goresan batu yang mengenai lulurnya terlalu keras sampai lutut itu lecet dan berdarah, "Miss Gladys lututnya beldalah?" tanya Zio pelan.

Gladys menggeleng. Tangannya mengacak-acak pucuk kepala anak kecil itu, "Nggak papa," jawabnya.

"Kenapa bisa sampai berdarah?" Giliran Aidan yang bertanya pada Gladys. Saat Zio berlari ke arah Gladys tadi, Aidan juga spontan menyusul keponakannya untuk mencari Gladys.

Dan saat ini, Gladys sendiri yang bingung menjawabnya karena tak mungkin urusan percintaannya ia sebutkan dihadapan Aidan. Toh, bukan urusan laki-laki itu juga, "Tadi jatuh," jawab Gladys pelan.

Mata Gladys mengarah ke Dita yang kebetulan berdiri di samping Aidan, "Mana perban gue?" tanyanya.

"Gue ambilin bentar," sahut perempuan itu saat Gladys menagihnya.

Sembari menunggu Dita mengambil perban dan kotak obat di kamar, Gladys mencoba untuk bertanya pada anak kecil yang saat ini masih menempel di tubuhnya seakan tak mau jauh-jauh darinya, "Zio kok kesini? Kan udah malem. Zio nggak tidur?" tanyanya pada Zio.

"Miss Gladys tadi nggak ke lumah Zio. Jadi Zio ke lumah Miss Gladys," jawabnya pelan sembari memeluk tubuh Gladys seakan gak mau lepas.

"Tadi Zio nunggu kamu. Udah dibujuk Mamanya buat ikut pulang tapi tetep nggak mau. Tetep mau nunggu kamu katanya. Jadi saya ajak kesini! Maaf kalau malam-malam ganggu kamu. Saya kesini juga nggak ngabarin dulu," ungkap Aidan mencoba untuk menjelaskan.

"Nggak papa, Pak! Saya juga kangen sama Zio," sahut Gladys sembari tangannya lagi-lagi mengacak-acak rambut anak kecil itu lagi dengan gemas.

"Ini perbannya," ucap Dita yang kembali membawa kotak obat. Kotak itu ia serahkan pada Gladys namun sebelum Gladys menerimanya, tangan Aidan yang lebih dulu menerima uluran kotak obat itu.

Aidan melihat Zio yang masih menyandarkan tubuhnya di bahu Gladys sontak ia tarik tangan mungilnya untuk sedikit menyingkir, "Zio minggir dulu ya? Miss Gladys lukanya mau diobati," perintahnya pada Sang Keponakan.

Anak kecil itu mengangguk. Entah inisiatif dari mana tangannya menarik kursi plastik yang ada di dekatnya ke arah Gladys, berharap Gladys duduk di kursi itu agar Omnya lebih mudah mengobati, "Miss Gladys duduk sini!" pintanya pada Gladys.

Gladys dan Aidan sempat beradu pandang beberapa detik saat mendengar ucapan dari Zio. Setelah itu mereka sibuk mengalihkan pandangan satu sama lain, "Makasih ya?" jawab Gladys yang mulai mengambil kursi itu untuk ia duduki.

"Pak, saya bisa sendiri," seru Gladys saat perasaannya tak enak jika Aidan yang harus turun tangan mengobati. Padahal ini semua gara-gara mantan pacarnya yang brengsek itu.

Aidan masih tak mengindahkan uluran tangan Gladys yang mau merebut kotak obat itu. Netranya semakin fokus ke lutut Gladys yang berdarah, "Tangan kamu ada lukanya. Yakin bisa sendiri?"

"Tapi jadi ngerepotin. Kan saya bisa minta bantuan Dita," sahut Gladys.

Aidan masih meneruskan aktivitasnya untuk mengobati luka-luka yang ada di lutut Gladys. Dia tak menjawab ucapan dari Gladys yang melarangnya untuk mengobatinya. Ya, Aidan melakukan ini juga karena spontan kasihan. Terlebih lagi, keponakan kecilnya itu tak mau lepas dari pelukan Gladys, "Gimana ceritanya bisa luka gini?" tanya Aidan mengalihkan pembicaraan sembari tak mengizinkan tangan Gladys untuk merebut kotak obat yang ada di tangannya itu.

"Tadi jatuh di tanah," jawab perempuan itu.

"Gara-gara?" tanya Aidan lagi.

"Ya gara-gara jatuh Pak!" Gladys masih bersikukuh menjawab seadanya tanpa melibatkan embel-embel Arga yang sudah jelas mendorongnya sampai jatuh. Toh, Kalaupun Gladys menceritakan semuanya juga Aidan tak begitu mengenal Arga. Jadi buat apa?

"Maksudnya jatuhnya karena apa? Kesandung?" tanya Aidan lagi.

Gladys terpaksa mengiyakan saja pertanyaan dari Aidan dari pada nanti masalahnya semakin rumit. Dan Gladys juga tak begitu ingin memperpanjang masalah dengan menceritakan masalahnya ke orang lain, "Iya. Kesandung."

Selesai mengobati lutut Gladys, tangan Aidan berpindah untuk mengobati siku yang sedikit memar. Bibirnya tersenyum tipis saat mengamati luka yang ada di siku perempuan itu, "Bisa jalan?" tanyanya pada Gladys.

"Emang Pak Aidan mau gendong saya kalau saya nggak bisa jalan? Nggak usah lah. Lagian jalan ke ruang tamu juga cuma beberapa meter doang," sahut Gladys spontan yang membuat bibir Aidan mencuatkan senyum tipisnya.

"Emang saya bilang mau gendong? Saya cuma tanya aja. Bukan mau gendong," jawabnya sembari terkekeh pelan.

Urat malu Gladys seketika buyar saat ucapan Aidan seakan menusuk matanya. Tau begitu dia tak usah menanggapi kalimat dari laki-laki itu, "Nggak ada yang lucu Pak. Nggak usah ketawa,"

Melihat Aidan yang tak berhenti menertawakannya, Gladys langsung mengambil senjatanya. Ya benar, senjata Zio untuk mengalihkan pembicaraannya, "Zio udah malam. Nggak pulang? Kalau Zio besok ngantuk waktu sekolah gimana?"

"Mau tidul sama Miss Gladys," Jawab Zio.

"Nanti kalau Mama kamu cari gimana? Besok kesini lagi. Sekarang pulang ya?" sahut Gladys. Ya bagaimanapun jika Zio pulang Aidan juga ikut pulang. Jadi dia tak menanggung malu lama-lama di hadapan Aidan.

Zio menggeleng. Dia masih tetap ingin di samping Gladys, "Kalau Miss Gladys berdalah lagi. Telus Zio nggak tau gimana?" tanyanya pada Gladys dengan dua bola mata mungil yang terlihat khawatir.

"Miss Gladys baik-baik aja. Nih udah sembuh," sahut Gladys dengan senyum lebarnya.

"Zio pulang dulu ya? Tapi Miss Gladys janji halus ke lumah Zio besok. Nanti kalau kaki Miss Gladys masih sakit. Om Aidan yang obati lagi tapi nanti diobati di lumah Zio," Mendengar ucapan dari anak laki-laki itu, sorot mata Gladys sedikit mengarah ke Aidan. Tapi saat Aidan menatapnya balik, dia kelimpungan mengalihkan pandangannya. Tak mau menanggung malu yang kedua kalinya.

"Iya besok Miss Gladys ke rumah Zio. Tapi udah sembuh jadi nggak perlu diobati lagi," sahut Gladys.

Bibir laki-laki dewasa yang ada dihadapan Gladys masih belum mengerutkan senyumnya. Meskipun tipis, senyum itu tak berhenti terbit. Tangan kanannya entah kenapa tiba-tiba mengeluarkan amplop kecil yang tergulung di saku celananya. Gladys juga tak tahu amplop apa yang dia pegang.

Amplop coklat yang tergulung itu, tiba-tiba diserahkan pada Gladys tanpa Gladys minta, "Apa ini?" tanya Gladys.

"Barangkali kamu butuh," sahut Aidan menjawabnya.

Gladys bisa menebak amplop itu berisi sejumlah uang tunai. Barangkali karena mungkin Aidan merasa kasihan melihat kondisi Gladys yang babak belur sedangkan finansial Gladys juga hancur. Ya, Gladys udah bisa menebak itu isinya sejumlah nominal uang untuk berobat, "Makasih ya Pak, tapi saya nggak enak kalau dikasih sumbangan duit begini. Saya emang butuh duit. Tapi saya bukan mau ngemis ke orang Pak. Saya masih mampu kerja meskipun kaki saya sakit," jawabnya ke arah Aidan.

Aidan sempat menahan tawanya lagi saat mendengar jawaban dari Gladys, "Itu isinya kertas bukan uang. Nanti buka aja! Itu bukan uang."

Ya ampun mulut. Malu-maluin!

"Iya Pak, maaf Pak! Sekali lagi," Gladys sudah tak bisa menahan malunya kedua kali. Mulutnya mengapa tak bisa diajak kompromi?

Bisa nggak sih Dis! Kalau ada pertanyaan jawabnya yang elegan aja. Nggak usah jawab panjang lebar. Salah dikit malunya seumur hidup. Batinnya menggerutu sendiri dalam hati.

Aidan yang masih menerbitkan senyumnya ke arah Gladys lantas mulai mengambil Zio untuk ia gendong, "Saya pamit dulu."

"Miss Gladys besok ke lumah Zio ya?" pinta Zio lagi dan berusaha mengingatkan Gladys untuk bertamu ke rumahnya. Padahal sebenarnya, besok bukan jadwal les anak kecil itu. Tapi mau bagaimana lagi? Orang dewasa tak mempan membujuk Zio. Dan berakhir Gladys sendiri yang turun tangan.

"Iya," jawab Gladys.

Saat Aidan dan Zio berangsur menghilang dari balik pintu, Gladys membolak-balikkan amplop yang dia pegang. Sebenarnya dia ingin mengantarkan Zio dan Aidan sampai ke depan, tapi kakinya masih kaku untuk ia ajak jalan. Alhasil, Dita lah yang mengantarkan dua laki-laki itu.

Saat Dita selesai mengantarkan kedua laki-laki itu sampai di depan pintu, dia menutup pintu Kosnya kembali, "Amplop apaan? Dapat duit dari Mas Aidan," tanya Dita langsung menginterogasi.

Gladys sempat mengerutkan dahinya saat mendengar Dita memanggil Aidan dengan sebutan tak seperti biasanya, "Mas Aidan? Ngapain lo manggil Mas? Kayak akrab aja sama dia," protes Gladys.

"Ya terserah gue. Mulut-mulut gue. Orang Mas Aidan juga kelihatannya nggak tua-tua banget. Ngapain lo manggil dia Bapak? Manggil Mas kan enak," bela Dita pada dirinya sendiri.

Gladys berdecak tak menanggapi omongan Dita lagi. Netranya sibuk membuka amplop yang dia pegang karena mati penasaran dengan isi amplop itu, "Terserah lo aja lah."

Lowongan Pekerjaan Paramedis/Pet Nurse
Lavindo Pet Care

Pria/Wanita usia max 35 th.
✓ Penyayang hewan, menyukai tantangan, tidak takut menyentuh hewan kesayangan.
✓ Jujur, Ramah, bertanggung jawab, dan komunikatif.
✓ Mampu mengoperasikan komputer
✓ Mampu bekerja individu ataupun team dan bersedia ikut training selama 3 bulan pertama.

Kirimkan lamaranmu segera!

"Ini pet care daerah mana? Kenapa dikasih ke gue?" gumam Gladys saat netranya masih membaca lowongan pekerjaan yang diberikan oleh Aidan.

"Woy elah! Punya temen bego banget. Lo lupa apa gimana? Kan lo pernah bilang Mas Aidan dokter hewan. Bisa jadi itu pet care dia," sahut Dita sembari menepuk pundak Gladys.

"Bentar deh Dis! Dia tahu dari mana Dis kalau lo butuh kerjaan? Lo cuma bilang ke gue kan? Kagak pernah bilang ke Mas Aidan kalau lo butuh kerjaan," tanya Dita lagi.

Dita masih belum bisa mencerna apa yang terjadi memang kebetulan atau bukan, "Nggak ... Nggak ... Mungkin kebetulan. Lo lagi butuh kerjaan. Nah kebetulan Pak Aidan juga ada lowongan pekerjaan. Nggak ada faktor lain kan ini?" tanya Dita berkali-kali.

"Apaan sih lo? Mikirnya kemana-mana. Ya mana ada gue curhat ke Pak Aidan kalau gue ngemis butuh kerjaan ke dia. Kenal akrab aja kagak. Boro-boro curhat. Kenal aja lewat Zio," sahut Gladys.

Padahal Aidan tahu Gladys buruh pekerjaan dari ....

Bersambung ...

Ini panjang banget sumpah hampir 3000 kata wkwkwk. Yaudah ya semoga suka. Besok aku update lagi udah mau kumpul nih konfliknya wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top