Part 11 - Bersalah

Dita sedari tadi menghubungi Aidan dan memastikan bahwa Aidan akan bertemu dengannya secepatnya. Perempuan itu sengaja berjalan keluar gang untuk menunggu Aidan yang katanya akan sampai sebentar lagi menemuinya. Pertanyaan kecil di hati Dita sedari tadi mencuat, sejak kapan ada laki-laki rupawan mau menolong Gladys yang tengah sakit di sela-sela Gladys masih bodoh dan mengharapkan laki-laki setan?

Dita juga tak tahu alasan Aidan dengan mudahnya membantu seseorang yang baru dikenal. Dirinya hampir percaya diri. Menganggap Aidan menolong Gladys karena berkat dirinya yang menghubungi Aidan. Tingkat kepercayaan diri Adita meningkat seketika. Pertanyaan, 'apa mungkin gara-gara dirinya, Aidan mau membantu Gladys?' tiba-tiba terngiang di otak Dita.

Perempuan bermata bulat itu berdecak. "Ah elah, kalo nolong temen balasan dari Tuhan dapat jodoh tampan, mapan, rupawan mah gue rela bantu Gladys sampe nenek-nenek," serunya menghayal sembari senyum-senyum sendiri.

Dita terlalu jauh memghayal. Sampai tak sadar dirinya asik menghayal berpacaran dengan Aidan di dalam mobil mewah. Sempat-sempatnya menghayal sampai sejauh itu. Belum lama menghayal impiannya, lamunan Dita buyar seketika saat ponselnya berdering. Perempuan itu menoleh ke arah ponsel yang ia simpan di dalam saku bajunya. Ia merogoh ponsel itu dan mengangkat sambungan telepon yang kebetulan dari Aidan, "Kos kamu dimana?" tanya Aidan.

"Jalan Anggrek gang 7. Kenapa Pak?" jawab Dita langsung saat Aidan bertanya dalam sambungan telepon itu.

"Saya udah hampir sampai," seru Aidan.

Kedua bola mata Dita melihat dua lampu mobil yang menyorot mendekatinya. Karena jalan Anggrek sedikit sepi dari keramaian kendaraan, Dita sangat yakin jika mobil itu adalah mobil Aidan. "Oh Bapak pakai mobil hitam?" tanyanya pada Aidan.

Ya benar. Mobil hitam yang berjalan ke arah Dita itu adalah mobil Aidan. Aidan belum sempat menjawab pertanyaan Dita yang masih terhubung di dalam sambungan telepon, ia lantas mematikan sambungan telepon itu dan menghampiri Dita yang terlihat berdiri menegakkan kedua kakinya di depan tiang listrik yang ada di pinggir jalan, "Adita kan?" tanya Aidan saat ia membuka kaca mobil miliknya.

Adita sempat melongo saat melihat Aidan menghampirinya. Mata siapa yang buta melihat sosok laki-laki rupawan yang menghampiri? Dita kira semua perempuan juga tak akan waras melihatnya. Rambut klimis laki-laki itu masih tertata rapi karena polesan pomade. Dita yakin, dari merek mobil yang dikendarai saja pasti harganya milyaran rupiah, begitupun juga dengan harga pomade yang dipakai, tak mungkin kan pakai merek pomade yang dijual di toko klontong?

Gak main-main ini. Rejeki nomplok.

"Pak Aidan—"

"Iya saya Aidan," jawab Aidan saat Adita menatapnya tak berkedip. 

Sebenarnya saat Dita menghubungi Aidan tadi, Aidan hampir sampai di rumahnya usai mengantarkan Gladys pulang. Tapi ia mengurungkan niatnya untuk pulang karena Dita menghubungi dan mengatakan jika Gladys demam usai pulang dengannya. Sebagai seorang laki-laki asing yang baru saja mengantarkan Gladys pulang, Aidan merasa takut dibilang tak tanggung jawab. Jadi ia putar balik menuju Jalan Anggrek lagi. "Gladys masih demam?"

"Masih Pak. Saya nggak tau berapa suhunya karena saya nggak ngukur pakai termometer. Tapi makin lama makin menggigil aja tubuhnya Gladys. Diajak ngomong nggak nyaut," tutur Dita memberitahu Aidan.

"Ayo Pak! Beberapa meter dari gang udah sampai kok," ungkap Dita saat Aidan beranjak memarkirkan mobilnya lebih minggir lagi agar tak menghalangi akses kendaraan lain yang melintas.

Usai memarkirkan mobilnya, Aidan turun dari mobil hitam itu dengan mengenakan jaket denim yang ia pakai saat ini. Memang, semakin malam cuaca di daerah sana semakin dingin. Dan Aidan tak mau mengambil resiko besar dalam tubuhnya, "Pemilik kos ada?"

Adita menggeleng, "Lagi keluar kota sekeluarga. Yang ada di kosan cuma saya, Gladys sama Solihin," jawabnya pada Aidan seraya beriringan berjalan menuju Kosannya.

"Saya mau bawa Gladys ke rumah sakit tapi gimana? Saya nggak kuat gendong Gladys. Masa iya saya minta bantuan Solihin buat gendong Gladys, Pak!" ungkapnya lagi mengatakan kalimat itu ke arah Aidan.

Aidan paham. Karena memang mana mungkin bisa membawa Gladys ke rumah sakit sendirian tanpa bantuan orang lain jika kondisi Gladys sama seperti apa yang diceritakan oleh Adita. Tapi tunggu, bagaimana dengan Solihin? Bukankah Adita bisa meminta tolong pada Solihin untuk membawa Gladys ke rumah sakit? Ah, bagaimana pun juga Aidan berpikir ia juga perlu tanggung jawab karena Gladys sakit usai ia mengantarkannya pulang. Dia merasa bersalah. Padahal kenyataannya Aidan tak tahu, Gladys sakit karena penyebab lain. Bukan karena dirinya.

"Solihin kelas berapa? Masih kecil ya?" tanya Aidan yang tak tahu menahu tentang Solihin.

"Ya kagak sekolah, Pak! Solihin itu kucing kampungnya Ibu Kos. Bukan anak-anak bukan manusia. Sama Gladys dikasih nama Solihin," ungkapnya pada Aidan yang membuat Aidan mengerutkan dahinya.

Kepala Aidan menggeleng, tersenyum tipis saat dugaannya salah. Ada-ada saja. Aidan kira, nama itu adalah nama yang dipakai oleh orang terdekat Gladys ataupun Adita. Tapi nyatanya, hanya seekor kucing yang diberi nama sama seperti nama manusia.

"Itu Pak rumahnya, Bapak masuk nggak papa deh. Nggak papa laki-laki masuk. Lagian juga darurat. Masa iya Bapak ngobatin Gladys jaraknya 5 kilometer kan nggak mungkin. Dukun dong kalo jarak jauh," seru Adita seraya terkekeh tak berdosa.

Tanpa sengaja, Aidan juga ikut tersenyum saat mendengar celotehan dari Adita. Hanya sedikit. Tak pernah tersenyum lebar di hadapan perempuan lain. Kecuali Ibunya, "Saya izin masuk!"

"Iya Pak, Mari!" sahut Adita saat dirinya lebih dulu masuk ke dalam Kosnya.

Aidan kemudian menyusul Adita masuk ke dalam kos itu. Kos tersebut tak begitu sempit juga tak begitu luas. Langkahnya terhenti ketika dirinya melihat sosok Gladys yang terbaring lemah di atas ranjang kecil.

Adita sedari tadi membangunkan Gladys yang tak bangun. Gladys terlihat menggigil entah karena kedinginan atau bukan, "Dis, bangun! Ada orang ganteng masa lo kagak bangun sih, Dis!" panggil Dita saat membangunkan Gladys.

Tangan Adita tak tinggal diam. Dirinya menepuk-nepuk tangan Gladys agar temannya itu sedikit membuka kelopak matanya. Tapi Gladys masih saja tak mau membuka kelopak matanya itu, "Tadi saya sempat buatkan teh hangat tapi nggak diminum sama dia. Ya jadinya dingin lagi," serunya ke arah Aidan.

Kalau seperti ini. Aidan ikut khawatir melihat Gladys yang terbaring di ranjang dan tak mau bangun. Bagaimana jika besok Gladys tak ke rumahnya untuk mengajar keponakannya? Sudah bisa ditebak, pasti keponakannya itu tak akan mau ditinggal Gladys, "Saya coba cek suhunya ya?" ujarnya seraya mengeluarkan termometer yang kebetulan ia bawa.

"Itu termometer hewan apa termometer manusia Pak?" tanya Adita saat Aidan mengeluarkan alat itu dari kantung jaketnya.

Adita menarik sudut bibirnya seraya menampakkan deretan cengiran kuda di hadapan Aidan saat Aidan tak menjawab pertanyaannya, "Maaf ye Pak, banyak nanya. Takutnya Bapak salah bawa alat."

"Nggak papa," jawab Aidan sembari tersenyum tipis.

Tangan Aidan mulai mendekatkan termometer timpani ke telinga Gladys untuk mencari tahu berapa suhu tubuh Gladys. Selama Aidan memeriksa, Gladys sempat bergumam dan merancau tak jelas.  

"Gladys," panggil Adita pelan.

"Gladys!"

Perempuan itu seperti tak mendengar apapun. Bibirnya lagi-lagi bergumam tak jelas. Tangannya mengepal erat. Dan mata perempuan itu terpejam kuat seraya sesekali mengeluarkan cairan bening yang ada di dalam kelopak matanya, "Arga," panggilnya.

"Papa!"

"Papa!" panggilnya terus.

Aidan menjauhkan termometer tersebut dari telinga Gladys saat nominal angka tiba-tiba muncul, "39,8° suhunya," jawab Aidan ke arah Adita saat dia mengetahui suhu Gladys saat ini.

"Terus gimana?" tanya Adita pada Aidan. Dirinya bingung harus melakukan apa untuk sahabatnya itu.

Tangan Aidan memasukkan termometer itu ke dalam saku jaketnya lagi. Sembari mengeluarkan obat penurun panas yang ia beli di apotek tadi, Aidan mengatakan beberapa kalimatnya ke arah Dita, "Saya bawa obat penurun panas. Sementara kasih ini 3x1. Kalau besok atau lusa masih tinggi demamnya langsung bawa ke rumah sakit Antara Putra," perintahnya pada Dita.

"Kalau Gladys nggak mau gimana Pak bujuknya?" tanya Adita lagi.

"Dibujuk pelan-pelan aja," sahut Aidan.

Tangan Adita terlihat membolak-balikkan tablet yang baru saja diberikan Aidan padanya. Pertanyaan konyol tiba-tiba mencuat di bibir Adita lagi, "Ini beneran Paracetamol yang diminum manusia kan? Bukan Bapak oplos sama obat hewan?" tanyanya tanpa menyaring kata-katanya terlebih dahulu.

"Bukan," jawab Aidan seraya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan konyol Dita lagi.

"Doakan aja temenmu cepat sembuh," seru Aidan.

Adita mengangguk cepat sembari tangannya memegang tangan Gladys. Dia sepertinya tak bisa melihat temannya terbaring lemah di atas ranjang. Tak seperti biasanya saat hampir tengah malam seperti ini, Gladys berceloteh panjang lebar tentang harinya. Tapi kali ini? Kondisinya berbeda, "Pasti. Saya nggak bisa lihat dia baring terus Pak."

"Keluarga Gladys juga tinggal di Jakarta?" Aidan mulai membuka pembahasan saat dirinya selesai memeriksa Gladys.

Dan Adita menjawabnya dengan gelengan, "Enggak. Dia sendirian di Jakarta," jawabnya pelan pada Aidan.

Adita menyorotkan matanya untuk menatap Gladys lebih intens. Sedari tadi yang ia dapatkan hanya bayang-bayang lemah dari wajah Gladys. Tangan yang ia genggam juga masih belum sepenuhnya reda suhunya. Dan Adita tak bisa tinggal diam. Dirinya berniat masuk ke dapur untuk mengambil air kompres, "Pak, tunggu dulu ya? Jaga Gladys. Saya mau ambil kompres di dapur," serunya yang kemudian beranjak berdiri.

Aidan mengangguk. Ia mengizinkan Adita untuk mengambil air kompres untuk Gladys. Dan saat Adita keluar dari kamar itu, kini menyisakan Gladys dan Aidan saja.

Menatap mata Gladys yang masih terpejam membuat Aidan semakin merasa bersalah. Tau kah kamu Aidan? Ini bukan salahmu. Usai kamu pergi meninggalkan Gladys waktu itu, Arga yang hampir menyakiti Gladys. Dan sebelum bertemu dengan Aidan, Gladys lebih dulu bertemu dengan Arga lagi. Jadi salah siapa? Ya, anggap saja. Bukan salah siapa-siapa. Karena Arga pun juga pastinya tak mau disalahkan.

"Saya minta ma—"

Ucapan permintaan maaf dari Aidan terpotong seketika oleh gumaman Gladys, "Pa," panggilnya pelan seolah-olah memanggil Sang Papa.

"Pa, Arga ..."

"Arga!" gumamnya lagi seraya meneteskan buliran bening dari kelopak matanya.

Aidan yang melihat Gladys bergumam sontak dengan cekatan berusaha memanggil Gladys untuk memancing respon, "Gladys," panggilnya.

"Gladys capek. Tapi Gladys nggak bisa putus dari Arga. Gladys masih butuh dia," Gladys semakin terisak. Entah lah, dia merasa masih membutuhkan Arga. Jikalau hubungannya terhenti begitu saja. Dia akan  sakit. Namun jika hubungannya diteruskan, Gladys juga akan jauh lebih sakit.

Taukah yang membuat Gladys tak bisa lepas dari Arga? Gladys masih berharap Arga menjadi sosok laki-laki pengganti Papanya. Papanya yang dulunya menjadikan dirinya sebagai satu-satunya Ratu di muka bumi. Lantas ketika Gladys sudah berada di puncak kebahagiaan bersama Papa dan Mamanya, Takdir mengambil Papanya untuk selama-lamanya berpisah dengan Gladys.

Gladys kesepian. Hancur. Depresi. Trauma. Kematian Sang Papa memberi bekas luka yang tak tentu arah. Luka menganga yang begitu dalam di hati Gladys, membuat Gladys trauma sepanjang hidupnya. Gladys masih belum bisa kehilangan sosok laki-laki yang dia cintai itu.

Di sela-sela dirinya menyembuhkan luka, Arga datang membawa ribuan kebahagiaan. Arga datang menutup luka itu perlahan. Sampai Gladys lupa dia pernah memiliki luka yang teramat dalam. Sampai Gladys sadar setiap detiknya selalu membutuhkan Arga untuk menyingkirkan luka.

Dan saat ini ... Arga menanam luka untuknya ... Luka yang jauh menganga ....

Aidan yang melihat Gladys semakin terisak, lantas mengambil tubuh Gladys untuk ia letakkan ke dalam rengkuhannya. Dia tak tega melihat Gladys semakin terisak lagi dan lagi. Dia memang baru mengenal Gladys. Tapi rasanya, tak tega melihat sosok perempuan yang menangis tersedu-sedu memanggil Sang Papa dalam tangisannya itu.

Aidan jadi ikut membayangkan yang tidak-tidak. Pasalnya dia teringat, buku catatan Gladys pernah tertinggal di rumahnya. Dan dia sempat membaca buku itu. Dia membaca hampir setengah dari halaman buku itu. Dia ingat betul, Gladys menyebutkan dalam bukunya, 'Suatu hari nanti jika tabungan Gladys mencukupi, dia akan memperbaiki makam Papanya jauh lebih layak'. Kata-kata itu yang membuat Aidan merasa teriris. Bagaimana jika hal itu terjadi pada Aidan sendiri? Dia tak akan bisa membayangkan orang tua lengkapnya terpisahkan oleh takdir yang menyakitkan. Siap ataupun tidak. Kematian itu akan terjadi pada Aidan juga nantinya.

Dreett ... Dreett ... Dreett ...

Aidan sedikit merogoh ponselnya yang berdering saat dirinya masih dalam posisi memeluk tubuh Gladys. Ternyata Sang Mama, dering ponsel itu menandakan sebuah notifikasi pesan dari Mamanya yang mencuat di layar ponsel milik Aidan.

Mama
Kamu dimana, Sayang? Kok jam segini belum pulang?

Tangan Aidan sedikit kesusahan saat ingin membalas pesan dari perempuan yang sangat ia cintai itu karena posisi Aidan masih memeluk tubuh Gladys yang kian terisak dalam tangisnya.

Beberapa menit belum dibalas, Mamanya spontan menghubungi ponsel Aidan. Hal yang wajar. Ayana memang dari dulu tak pernah absen mengkhawatirkan anak-anaknya termasuk Aidan sendiri. Meskipun anaknya sudah menginjak kepala dua ataupun tiga, Ayana tetaplah Ibu yang mengkhawatirkan anaknya jika anaknya tak bisa dihubungi.

[Mama]

[Panggilan masuk]

Panggilan itu masih belum bisa diangkat oleh Aidan. Sebenarnya Aidan merasa bersalah pada Mamanya karena sempat telat membalas pesan itu. Tapi posisinya, Aidan sulit membalasnya. Dan Gladys semakin kesini semakin menangis tak henti-hentinya. Aidan benar-benar bingung di posisi ini.

"Gladys?"

"Gladys?" panggilnya pelan pada Gladys. Aidan perlahan menguraikan pelukannya. Tapi Gladys malah mempererat pelukan itu dan bergumam memanggilnya dengan sebutan Papa, "Aku masih butuh, Pa! Tolong jangan pergi! Gladys sakit. Gladys butuh Papa. Mama juga pasti kangen sama Papa. Jangan pergi!" isaknya memeluk Aidan.

[Mama]

[Panggilan masuk]

Panggilan dari Ayana kesekian kalinya mencuat di ponsel Aidan. Aidan yang melirik ponsel itu sempat merasa tak enak sendiri. Benar-benar takut jika Sang Mama marah atau salah paham. Dia juga takut membuat Mamanya khawatir karena lupa menghubungi.

Akhirnya Aidan memutuskan untuk merogoh ponselnya lagi dan mengangkat sambungan telepon itu dengan posisi tangan yang masih memeluk tubuh Gladys, "Hallo Ma?" jawabnya pelan.

"Kamu dimana? Kok belum pulang? Di klinik atau dimana? Jangan buat Mama khawatir, Nak! Dari tadi Mama tanya Aviola, katanya kamu udah pulang. Tanya Dokter Selena juga kata dia udah pulang. Mama tanya Azka juga dia nggak tau kamu dimana. Kamu dimana jam segini belum pulang? Mama masih di depan pintu nunggu kamu, kamu bawa jaket kan tadi keluar? Di luar mendung, Mama takut kamu kejebak hujan nanti, Nak!"

Deretan kalimat dari Mamanya membuat Aidan semakin merasa bersalah. Benar kan apa yang ada dibenaknya? Mamanya mengkhawatirkannya saat ini. Bahkan Mamanya bilang masih menunggunya di depan pintu rumah untuk menyambutnya pulang, "Ma, Aidan ... Lagi di—"

Kalimat Aidan terpotong saat Gladys terisak di pelukannya. Jelas sekali, pasti Mamanya mendengar tangisan dari bibir Gladys, "Dan? Suara siapa itu? Suara perempuan nangis? Aidan? Aidan kamu dimana? Jawab Mama, Nak! Kamu lagi dimana itu? Sama Dokter Selena? Siapa yang nangis?" tanya Mamanya dalam sambungan telepon itu.

Aidan bingung menjawab apa, "Ma, Aidan lagi ...."

Bersambung ....

Besok lagi ya... Kemarin gak bisa triple update soalnya lagi banyak acara dari hari Minggu sampai hari Kamis. Jadi kalau bisa sih besok aku update lagi Minggu update lagi. Pas kan triple update. Asal rame aja banyak yang baca. Aku update terus-terusan wkwkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top