Tiga
Tiga
Beberapa hari ini, Drea dan Natra disibukkan urusan persiapan pernikahan. Mereka tidak menggunakan wedding organizer karena acara pernikahan mereka akan sangat sederhana. Undangan hanya sekitar 100 buah, katering pun hanya mengandalkan keluarga yang memiliki koneksi usaha katering. Suvenir ala kadarnya dengan harga tidak sampai 5 ribu perbuah, berupa kipas kecil yang dibubuhi tulisan inisial nama mereka berdua. Untuk lokasi resepsi, mereka sepakat menggunakan halaman belakang rumah Drea yang cukup luas dan sering dipakai untuk acara keluarga.
Drea berdiri di depan cermin, memandang dirinya yang mengenakan gaun pengantin putih berbahan brokat yang ia rancang sendiri. Gaun itu bukan gaun baru. Ia memutuskan memakai kembali gaun itu meski sebelumnya ia menyimpannya dengan rapi di dalam peti berisi barang-barang kenangan yang pernah diberikan Mahesa padanya.
Drea meraba bagian pinggangnya. Mungkin sedikit longgar, tapi bukan masalah. Ukurannya pas, ia memang tidak perlu melakukan fitting ulang. Berarti sejak tiga tahun lalu, berat badannya cenderung stabil, meski ia kerap menghabiskan banyak waktu menangisi Mahesa, rupanya Tuhan tidak menghendaki ukuran tubuhnya menyusut.
Tok tok tok.
"Masuuk!"
Beberapa detik setelah Drea berteriak, Diana sang kakak muncul dari balik pintu. Diana ikut menatap ke arah cermin, termenung. Entah ia merasa kagum atau kasihan.
"Masih pas ya, Dre?"
"Bagus kan, Mbak? Jadi aku nggak perlu fitting lagi." Drea memutar badannya hingga di cermin, aksen pita kecil di bagian punggung bisa terlihat. "Pita di bagian ini lumayan ganggu sih. Aku buka aja nanti."
Diana masih bersedekap sambil memandangi Drea. Mereka pernah sama-sama menangis bahagia saat Drea mencoba gaun itu untuk pertamakalinya. Ia masih mengingat jelas bagaimana bahagianya Drea, tersenyum-senyum mematut penampilannya di depan cermin, lengkap dengan tiara dan Louboutin putih dengan hiasan manik-manik.
Dan seminggu setelahnya, Mahesa berpulang.
Seperti dejavu menyaksikan sang adik dalam balutan gaun yang sama. Bedanya, ekspresi wajah Drea kini tidak lagi tersenyum. Ia menatap pada cermin, mencoba gaun pengantin seperti mencoba blazer kerja yang baru dibeli dari butik. Datar. Kepergian Mahesa seolah menguapkan semua tawa dan senyum dari wajah Drea yang dulu selalu ceria. Ia kini berbeda, dan Diana tahu jika ia tidak boleh marah kepada takdir.
"Natra nggak protes kamu milih make gaun itu lagi?" tanya Diana. Ia kerap memandang Natra dengan tatapan kasihan karena Natra bersedia menikah dengan Drea yang hatinya masih milik Mahesa. Sebaliknya, ia memandang kesal kepada Drea mengapa adiknya itu harus memilih Natra yang gemar bermain perempuan. Tapi Drea dan Natra telah memilih untuk hidup bersama, ia bisa bilang apalagi?
"Dia cuma bilang, aku pake lingerie aja pas akad nikah sama resepsi." Drea menggumam. "Dasar gila."
Diana menutup mulutnya. "Tuh anak memang gila ya? Tapi Mbak salut, cuma dia yang mau settle down sama kamu. Mbak malah mikir dia nggak pernah mau serius sama perempuan."
"Dia sahabat terbaik aku, Mbak. Jadi aku pikir, dia pasti bisa jaga aku dengan baik. Dia bisa bikin aku ketawa. Nertawain setiap kekonyolan dia."
"Apa cuma itu alasan kamu ngajak dia nikah?"
"Apa harus ada alasan lain, Mbak?"
"Cinta?"
"Mbak kan tau, kalau sampai sekarang aku masih...," Drea enggan melanjutkan ucapannya. "Natra bikin aku nyaman, tapi nggak bisa bikin aku cinta sama dia."
"Belum aja, Dre." Diana memeluk Drea dari belakang. "Mbak cuma bisa doakan yang terbaik untuk kalian. Kamu harus bahagia, Dre. Karena kamu pantas untuk bahagia."
***
Natra mendengarkan percakapan antara Drea dan Diana. Ia bukannya sengaja menguping. Kebetulan ia datang untuk menemui Drea karena kata Drea hari itu ia sedang fitting baju. Pakaian yang akan ia pakai saat akad dan resepsi sudah siap dan juga sudah dicobanya di rumah sesuai permintaan Drea. Tapi ia memilih membawanya lagi ke rumah Drea karena ia penasaran bagaimana rupa calon isterinya dalam kebaya dan gaun resepsi.
"Natra bikin aku nyaman, tapi nggak bisa bikin aku cinta sama dia."
Bukan sekali itu saja Drea mengatakan kalimat serupa. Saat bersamanya, Drea selalu menegaskan jika sampai detik ini perasaannya kepada Natra hanya sebatas perasaan seorang sahabat. Dan meskipun Natra telah menyerahkan hati dan hidupnya untuk Drea, di mata Drea ia hanya laki-laki yang bertanggungjawab melindunginya, bukan laki-laki yang pantas dicintai.
Ah, persetan dengan cinta. Drea mau menikah dengannya saja ia sudah sangat bersyukur.
Dengan langkah mantap, ia berjalan mendekati pintu dan mengetuknya.
"Dre. Gue dateng nih. Pintu kamar lo nggak ketutup, gue boleh langsung ma...," Di depan Natra, Diana sudah berdiri sambil memegang daun pintu. "Eh, Mbak Di."
Sejak dulu, kakak Drea ini kerap menasihatinya soal pergaulan. Sejak kabar ia akan menikah dengan Drea, Diana jadi semakin giat mengingatkannya untuk serius dengan Drea.
"Kamu ngapain ke sini? Drea lagi ganti baju."
"Mau ikut fitting, Mbak."
Terdengar suara Drea dari dalam kamar. "Masuk aja, Naat!"
"Kalian belum sah, Magani Winatra!"
"Tapi tadi disuruh masuk?"
Diana bersedekap dan membukakan pintu lebih lebar. Namun ia tidak membiarkan Natra berdua saja dengan Drea karena kini Diana sudah ikut masuk ke dalam kamar dan duduk di kursi rias.
"Lo udah selesai fitting?" tanya Natra sambil meletakkan paper bag berisi jas dan beskap yang ia bawa.
"Kebayanya belum."
"Kebetulan. Gue mau lihat," ucap Natra antusias sambil melepaskan jaket denim yang tidak sempat ia buka.
"Tunggu sampai akad aja, biar surprise," jawab Drea yang sedang merapikan gaun yang tadi tergeletak di atas tempat tidur.
"Yang gaun gue belum lihat."
"Nanti gue send ke WA lo. Tadi sempat difotoin sama mbak Diana," jawab Drea seolah tidak ingin ditanya macam-macam lagi. "Trus lo ngapain bawa-bawa paper bag?"
"Oh. Itu baju akad sama resepsi. Gue mau matching-in sama lo."
"Warnanya kan udah sama, mau dicocokin apalagi?"
Natra melirik cepat ke Diana. "Kan biar gue lebih yakin lagi. Gitu."
Drea membuang napas. Ia terlihat malas dengan permintaan Natra, namun ia terlihat dalam mood yang sedikit baik, jadi ia hanya melemparkan tatapan malas dan beralih ke walk in closet.
"Ya udah. Gue cobain deh kebayanya." Drea sudah meluncur masuk ke dalam walk in closet raksasa miliknya.
Natra melirik lagi kepada Diana. "Aku mau ganti baju, Mbak."
Diana bangkit dari kursi dan mengikuti arah pergi Drea tadi. Natra tanpa sadar membuang napas lega.
Apakah seperti ini tekanan menjadi adik ipar yang tidak diinginkan?
Setelah melepaskan kaus dan jins, Natra mulai memakai celana diikuti beskap yang keduanya sama-sama berwarna putih. Ia merasa geli dengan pecinya, tapi ia tidak punya pilihan. Baju akad nikah sudah satu paket dengan pecinya.
Setelah yakin ia cukup gagah dengan beskap putih tersebut, Natra menunggu sampai Drea keluar dari walk in closet.
Diikuti Diana dari belakang, Drea muncul dengan memakai kebaya putih dan sarung lilit batik berwarna cokelat. Drea memilih kebaya klasik, dengan korset yang menopang dadanya menjadi bentuk yang sangat indah. Drea selalu cantik, tapi dalam balutan kebaya, rasanya kata cantik saja tidak cukup mewakili.
"I'm speechless," gumam Natra. Drea tersenyum manis sekali.
Ya, moodnya memang lagi bagus hari ini.
"Gue ganteng banget kan, Dre? Lo juga speechless kan liat gue?"
Drea menutup mulutnya. "Lo biasa aja."
"Lo memang sulit jujur sama gue."
***
Aku lanjut yang ini lagi :DDDDDDDD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top