Sembilan

"Kenapa nggak mau?" Natra bertanya sambil mengerling kepada Drea. Ia masih tidak kehabisan akal untuk memastikan Drea mau memakan ketoprak yang ia bawa. Ia sudah memakan seporsi ketoprak lengkap dengan bakwan dan telur dadar sebagai menu sarapan, dan ia tidak yakin akan melalui makan siang dengan makanan yang sama.

"Ya karena gue nggak mau."

Natra menarik lepas ujung styrofoam tepat di hadapan Drea. Aroma khas ketoprak berlumur saus kacang dan kecap seharusnya menggiurkan bagi siapa saja yang melewatkan sarapan dengan menu seadanya.

"Dimakan dululah. Biasanya lo suka ketoprak."

Drea mengangkat wajahnya dari katalog produk bulan lalu, menatap tajam kepada Natra yang baru saja mengganggu konsentrasinya bekerja.

"Lo ganggu gue, Nat."

Natra malah tergelak. "Lo kalo lagi galak nyeremin, Dre. Padahal lo cantik."

Drea urung kembali memasang tampang galaknya sebelum Natra semakin memperdengarkan tawa mengesalkan seperti tadi.

Cantik. Natra nggak bosan ya mengatakan hal yang sama?

"Jadi?" Natra masih membukakan kotak styrofoam tersebut. Tanpa bicara, Drea mengambil sendok plastik di atas ketoprak sementara di saat yang sama, Natra mengangkat kotak putih tersebut agar Drea bisa mulai makan.

"Lain kali jangan pake styrofoam." Drea berucap setelah sesendok ketoprak turun melewati kerongkongannya.

"Iya, tadi itu memang nggak ada pilihan. Gue juga nggak kepikiran bawa rantangan atau Tupperware." Natra serius memerhatikan Drea makan. "Kalo mau, besok gue bawain sarapan lagi."

"Nggak usah."

"Dre. Lo mana bisa kerja kalo perutnya nggak keisi dengan bener?"

"Natra bawel deh." Drea menyanggah. Ia tidak habis pikir kenapa sekarang Natra jadi harus ikut campur soal sarapan. Ia sudah menghabiskan waktu setiap pagi dengan sarapan sesuka hatinya dan ia tetap bisa bekerja maksimal. Kalau maagnya kambuh, ia bisa minum obat.

"Gue nggak mau lo tepar gara-gara maag lo yang kambuh."

"Kan ada obat?" Drea masih mencoba mendebat Natra.

"Dengerin gue, Dre. Obat itu cuma buat keadaan darurat. Kalo lo bisa hidup tanpa obat maag dengan mengatur pola makan, kenapa nggak?"

"Lo beneran tambah bawel deh sekarang, Nat." Drea berhenti makan sejenak untuk mengaduk tasnya, mencari tissue. Saat bersamaan, Natra  meletakkan tempat tissue yang tadinya berada di atas meja tamu ke hadapannya. Natra menarikkan satu helai tissue dan menyelipkan ke tangan Drea.

"Gue berasa kayak emak-emak dibilang bawel." Natra tersenyum. Kombinasi antara Drea yang sedang ngomel dan menatapnya tajam menjadi hiburan yang menyenangkan. Iya, katakan saja pikirannya sedang absurd. Drea mau ngapain saja, ia selalu suka.

"Kurleb." Drea menyeka mulutnya dengan tissue. Kembali Natra mengambilkan sebotol air mineral berikut sedotan yang tadi ia bungkus bersama ketoprak tersebut.

Drea tidak bertanya mengapa sampai air mineral pun, Natra harus repot membawakan. Keadaan mereka terbalik, biasanya isteri yang membawakan makanan untuk suaminya. Tapi sekarang, malah ia yang membawakan sarapan untuk Drea. Rasanya perhatian seperti ini membuat mood Natra pagi itu jauh lebih baik. Drea bahkan mau memakan ketoprak setelah sebelumnya menolak.

Alasan itu sudah cukup menjadi alasan bagi Natra untuk terus tersenyum.

***

Setelah Drea selesai makan, ia membereskan wadah makanan beserta botol air mineral dan membungkusnya kembali dalam plastik dan meletakkan di bawah meja.

Natra sedang berdiri menghadap jendela yang menyajikan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di sekitar kantor itu. Drea kerap melakukan ritual itu setiap saat, jika ia merasa suntuk dengan pekerjaan. Momen paling favorit yaitu jika malam tiba. Jika ia memilih lembur. Lampu-lampu yang berasal dari gedung-gedung dan kendaraan di jalan raya terlihat seperti langit berbintang.

"Lo nggak bosen kerja kantoran, Dre?" tanya Natra setelah puas memandangi pemandangan  di luar sana. Ia kembali duduk di kursi, di hadapan Drea sambil meletakkan kedua lengan di atas meja.

Pagi itu Natra mengenakan kemeja abu-abu tua yang digulung sebatas siku. Drea bersyukur karena Natra tidak memadankan kemeja itu dengan dasi dan celana kain. Ia akan terlihat seperti eksekutif gagal. Entah, Natra terlihat lebih cocok dengan jins, seperti yang ia kenakan sekarang. Diperhatikannya juga, rahang Natra terlihat licin, seperti habis shaving. Seingatnya kemarin, dagu dan rahang Natra tidak semulus ini. Natra memang sesekali memanjangkan rambut di area itu, dan Drea sering mengingatkan jika Natra lebih baik dengan wajah klimis tanpa janggut apalagi kumis. Sama seperti Mahesa.

"Kenapa? Lo udah nggak sabar gantiin posisi gue?" Drea balik memberikan pertanyaan. Ia hanya ingin tahu apakah Natra memang berminat dengan tawaran papa setelah menimbang-nimbang prospek bekerja di perusahaan.

Lagipula ia tidak perlu menjawab pertanyaan soal apakah ia bosan dengan pekerjaan sebagai eksekutif. Tidak sama sekali karena ia sangat mencintai pekerjaannya.

"Haha. Kenapa lo balik nanya? Lo takut gue setuju sama tawaran papa buat gantiin posisi lo?" Natra malah tertawa seolah menganggap hal ini bahan bercandaan.

"Lo mau?" Drea menaikkan volume suaranya. Jika Natra mau, ia harus melupakannya detik itu juga. Ia tidak akan sudi membiarkan Natra mengambil posisi yang susah payah ia capai. Dan ia yakin Natra tidak akan mampu bekerja sebaik dirinya.

Penilaian itu tidak akan pernah berubah.

"Gue penasaran." Natra mengambil salah satu katalog. "Gue penasaran. Misal nih ya, Dre. Gue jadi presdir, lo jadi sekretaris gue."

"Najis!" Drea langsung mengumpat. Ia  menarik katalog yang belum sempat Natra buka. "Lo urusin aja bengkel lo."

"Lo beneran takut gue gantiin posisi lo?"

"Nggak mungkinlah, Nat. Lo emangnya bisa apa?"

Natra mengetukkan jari-jarinya ke meja. "Itu masalahnya. Lo selalu ngeraguin gue."

"Iya karena lo memang pantas buat diraguin."

Natra tersenyum. "Mau ngetes?"

"Ngetes?"

"Iya ngetes. Ngetes dari kualitas gue di atas ranjang dulu."

Ih Natra ngomong apa sih?

"Kok wajah lo merah, Dre?"

Argh sialan nih orang!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top