Lima Belas

Lima Belas


Drea tidak mau naik perahu angsa. Ia hanya ingin pulang. Lagian apa menariknya naik perahu sambil mengayuh dengan payah? Meskipun dulu ia begitu menyukai hal tersebut, tapi kini tidak lagi.

"Gue kangen lo yang dulu."

Saat Drea akhirnya tidak mengiyakan ajakan Natra, laki-laki itu justru menggumamkan kalimat tersebut.

Sebaliknya, ia tidak pernah merindukan dirinya yang dulu. Untuk apa merindukan masa lalu jika saat ini semuanya telah berubah?

"Lupain," sahut Drea. Lalu ia mengulang, kali ini lebih jelas. "Lupain aja. Gue nggak kangen gue yang dulu, kalo lo mau tau."

"Tapi, kenapa, Dre? Kenapa? Lo berubah drastis dan gue kayak nggak kenal lo lagi sekarang." Natra terdengar frustrasi. Ia mungkin sudah lupa soal ajakan naik perahu angsa.

"Semua orang juga pasti berubah." Drea mengembus kuat-kuat.

"Tapi gue nggak. Gue nggak harus berubah sekalipun mungkin semua orang di sekeliling gue berubah."

Drea merasa bosan mendengarnya. "Ya terserah lo."

Natra kembali melanjutkan. "Dre. Gue cuma mau lo bahagia."

"Trus? Gue bakal bahagia dengan naik perahu angsa? Gue bakal bahagia dengan jadi diri gue yang dulu? Nggak akan bisa, Nat. Lo ngomong apa juga nggak bakal ngaruh ke gue."

Natra mengangguk-angguk. "Oke. Nggak usah lo pikirin omongan gue. Jadi sekarang lo mau ke mana abis ini? Gue ikutin."

Drea sebetulnya masih ingin duduk-duduk di taman. Tapi, jika pembicaraan mereka jadi semakin panjang soal perubahannya, ia lebih memilih menjauh dari Natra.

Natra ini memang nggak tahu diuntung. Masih bagus kan ia mau ikut ke Ragunan? Seharusnya Natra jadi nggak perlu bawel.

"Gue mau liat-liat gajah. Abis itu gue mau pulang," tandas Drea.

***

Natra gagal mengajak Drea naik perahu angsa. Dari raut wajah Drea, gestur tubuhnya, semua sama sekali tidak bersahabat.

Apakah Drea masih pantas disebut seorang sahabat?

Ya, andaikata Drea adalah Drea yang dulu. Gadis periang dan easy going. Ramah, manja, dan tentu saja cantik.

Sayangnya, tidak ada mesin waktu yang bisa ia gunakan untuk mengembalikan segala keceriaan yang sudah lenyap seakan tak berbekas. Dengan mesin waktu juga, mungkin ia bisa menemukan cara untuk mencegah kematian Mahesa.

Lalu semuanya akan baik-baik saja hingga hari ini.

Drea meminjam kameranya untuk memotret gajah. Hanya beberapa foto sampai Drea mengembalikan kamera itu kepadanya. Natra memilih memotret para pengunjung, sekadar membunuh waktu. Ia sadar jika ia harus mengunci mulutnya sampai suasana kembali kondusif.

Adreanna-nya tersayang yang sangat jutek entah kapan akan berubah menjadi tidak jutek lagi.

***

"Kasih gue alasan deh, Nat. Yang paling masuk akal. Kenapa lo mau bertahan sama Drea?"

"Ya, karena gue cinta. Memangnya harus ada alasan lain?"

Anggi duduk bersamanya makan soto Betawi sebagai menu makan siang. Hari Jumat, Anggi akan balik ke Jogja, sehingga ia meneror Natra untuk menemaninya makan dan jalan-jalan selama beberapa hari ini. Natra mau saja, asal Anggi mentraktir. Dan Anggi tidak keberatan. Sebagai gantinya, Natra harus mau mengantarnya ke mana-mana. Mereka membuat kesepakatan jika Natra mau menemaninya makan dan jalan jika Drea mengijinkan. Dan sesuai dugaan Natra, Drea tidak melarang.

"Ngapain lo ijin ke gue. Lagian gue juga sibuk di kantor, nggak bakal punya waktu sama lo."

Oh, Tuhan. Tidak bisakah Drea berbaik hati sedikit saja dengan melarangnya bepergian dengan perempuan lain? Drea juga nampaknya tidak peduli perempuan mana yang jalan bersamanya. Anggi pun hanya bisa menertawakan Natra –sekali lagi- untuk kebodohannya yang menurut Anggi sudah sangat akut.

"Cinta sih cinta, tapi nggak begini juga. Nat, sebagai sahabat lo, gue cuma pengen liat lo bahagia." Anggi menyeruput kuah sotonya dengan ribut. "Kalo lo mau, gue ada teman. Kakaknya teman S2 gue. Nggak kalah cantik dari Drea. Orangnya baiik banget dan dia juga lagi single."

Natra tertawa. "Mana ada yang mau sama PK kayak gue?"

"Iya, tapi lo kan baik hati. Ya ampun, kenapa gue jadi muji lo. Haha." Anggi buru-buru menutup mulutnya sebelum kuah soto di mulutnya menyembur ke mana-mana karena ia tertawa sambil membuka mulut lebar-lebar. "Masa depan lo masih panjang, Nat. Dan lo pantas bahagia. Masak udah jadi anak angkat nggak ada bahagia-bahagianya?"

"Trus lo gimana? Lo kapan nikah?" Natra mengalihkan pembicaraan.

"Gampang soal itu." Anggi mengibaskan tangan, menganggap soal jodoh itu sepele. "Lo urusin aja dulu tuh pernikahan lo yang absurd trus kalo lo udah dapet cewek yang beresan dikit, nanti deh gue nyusul lo."

"For God's sake, Nggi. Kenapa lo ngebully isteri gue terus?"

"Iya, karena cewek macam dia pantas dibully."

Natra menyeka sudut bibirnya dari sisa kuah soto, lalu kembali bersiap menyuapkan sesendok soto ke mulutnya. Pembicaraan dengan Anggi akan selalu dimenangkan oleh Anggi, mengingat betapa tajam dan sarkasnya Anggi, yang anehnya selalu saja benar.

"Itu jadi semakin ngebuktiin kalo lo itu queen of bullying."

"Bodo! Gue ngebully orang yang pantes dibully." Anggi menurunkan nada dan volume suaranya. "Gue kasihan aja sama lo, Nat. Dan semestinya lo juga kasihan sama diri lo sendiri."

Natra mengangkat bahu. "Gue udah lama ngasihani diri gue sendiri, Nggi. Sejak kecil. Sejak gue sadar kalo gue ternyata cuma anak angkat. Nasib kita sama. Meskipun, kita akhirnya dipertemukan sama malaikat-malaikat di bumi yang mau mengangkat kita jadi anak."

Anggi mendesah, antara kepedasan dan sikap pasrah. "Bener banget."

"Lo kepedesan, Nggi?"

"Ssh, iya."

"Makanya kalo lo ngasih sambel jangan sambil ngomong. Ilang fokus kan lo?"

"Bawel."

***

Drea memijat-mijat bahunya kiri dan kanan secara bergantian. Sesekali ia meluruskan kedua tangannya, melakukan semacam olahraga ringan.

Jam dinding bulat putih di dinding ruang kerjanya telah menunjukkan pukul 17.11.

Seharusnya ia sudah pulang setengah jam atau sejam lalu, jadi ia bisa sampai di rumah sebelum Magrib.

Ia belum sempat merealisasikan keinginan untuk tinggal di apartemen milik Natra yang hanya butuh sekitar 15 menit berkendara. Padahal jika ia fokus pada rencana awal, tepat setelah menikah, ia sudah bisa tinggal di apartemen Natra. Kini apartemen itu sudah jarang ditinggali karena Natra sendiri juga tinggal bersamanya di rumah mereka. Rumah miliknya, lebih tepat. Natra, selain memiliki apartemen, ia juga memiliki rumah sendiri, yang masih dalam tahap renovasi. Jadi sejak menikah, mereka tinggal bersama di rumah, bukan di apartemen.

Ngomong-ngomong soal Natra, baru saja chat dari Natra masuk ke WA, menanyakan apakah ia ingin dijemput atau tidak. Drea belum mengetikkan balasan. Meski pagi tadi Natra mengantarnya ke kantor karena Audi yang biasa Drea pakai harus masuk bengkel. Ada masalah pada mesinnya, kata Natra.

Drea meraih ponsel dengan tangan kiri sementara tangan kanan masih memijat pelipis. Sepertinya gejala masuk angin karena ia juga merasakan mual meski tidak sampai muntah. Lambungnya bermasalah sejak pagi karena ia langsung menyambar kopi tanpa memakan nasi goreng yang dibuat Natra. Iya, Natra memasak nasi goreng pagi-pagi sekali. Nasi gorengnya lumayan enak, hanya saja pagi itu Drea memang sedang tidak ingin makan nasi. Ia hanya makan roti yang dibelikan sekretarisnya, dan memang perutnya masih lumayan sakit sampai sekarang. Makan siang tadi, ia hanya makan roti dan sedikit salad.

Dre, gue lg nongkrong sama Anggi. Lo chat aja kalo mau gue jemput.

Drea menghela napas panjang, lalu mulai mengetik.

Maag gue kambuh, Nat. Lo jemput gue skrg

Ok, gue ke situ.

Drea bahkan belum sempat berkedip ketika balasan super kilat dari Natra muncul. Natra memang selalu bisa diandalkan.

***

Natra meninggalkan Anggi begitu saja di mall, setelah menjelaskan jika ia harus segera menjemput Drea. Anggi ngomel-ngomel, tentu saja.

"Tadi bilangnya nggak usah dijemput." Anggi mengingatkan sambil buru-buru menyandangkan tas ke bahu kanannya.

"Kayaknya Drea sakit. Maagnya kambuh."

"Maag doang, Nat. Cengeng."

"Maagnya udah akut, Nggi." Natra berjalan memasuki lift dengan Anggi yang ikut masuk dan berdiri di sampingnya.

"Jadi, gue mau lo drop di mana?"

"Ya kalo lo mau ikut gue ke kantor Drea dulu. Gue anter Drea pulang dulu, trus gue anter lo pulang."

Anggi menggeleng. "Dodol. Gue pulang sendiri aja kalo gitu. Tapi gue ikut lo dulu, nanti gue turun di tempat biasa gue nunggu ojek."

"Lo nggak pa-pa nggak gue anter pulang."

Anggi menepuk bahu Natra keras-keras. "Tenang aja. Yang penting lo urusin baik-baik isteri durhaka lo itu."

Natra hanya nyengir, tapi ia malas menanggapi.

Setelah menurunkan Anggi di pangkalan ojek, dan memastikan ojek yang dipilih Anggi memang dikenal Anggi, Natra pun melanjutkan perjalanan menuju kantor Drea. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai ke kantor Drea, dan butuh waktu lebih dari setengah jam untuk sampai di rumah.

"Dre?"

Natra turun dari mobil dan menemukan Drea duduk di lobi dekat meja resepsionis. Drea duduk setengah berbaring. Begitu melihatnya, Drea langsung menegakkan badan.

"Obat lo bawa kan tadi?" tanya Natra sekali lagi untuk memastikan.

"Bawa, tapi udah terlanjur sakit." Drea mengemasi hand bag yang langsung diambil alih Natra.

"Lo bisa jalan?"

Drea mengangguk lemah. "Bisalah. Lo pikir gue lagi stroke?"

Natra mengabaikan jawaban Drea yang untuk ukuran orang sakit masih saja judes.

"Ya udah. Lo mau ke dokter?"

"Nggak usah. Gue mau langsung pulang aja istirahat."

"Atau kita singgah ke apotik?"

Drea terlihat menurut saat Natra membantunya naik ke mobil. Drea tidak menjawab karena sibuk menutup mulutnya saat serangan mual datang lagi.

"Kayaknya gue harus manggil dokter ke rumah." Drea mengaduk tas dan mengambil ponsel. Ia mencari-cari sejenak di daftar kontak, baru kemudian melakukan panggilan kepada dokter keluarga mereka.

***

Natra mengantar dokter Tyas sampai ke halaman. Menurut diagnosa, kondisi lambung Drea yang sudah terlalu asam diperparah dengan kebiasaan minum kopi dan mengabaikan sarapan. Dokter juga sudah memberi obat dan menganjurkan Drea untuk beristirahat, tidak lupa menjaga pola hidup sehat.

Masuk kembali ke dalam kamar, Natra mendapati Drea malah sibuk dengan ponselnya.

"Istirahat dulu, Dre. Jangan main ponsel." Natra menyarankan Drea untuk menyingkirkan ponselnya karena menurutnya, ponsel itu bisa menghalangi Drea untuk beristirahat.

"Dikit lagi. Gue lagi chat."

Natra setengah merebut ponsel di tangan Drea dan memasukkan ke dalam laci nakas. "Gue masakin bubur dulu buat lo."

Drea mengiyakan dengan anggukan. Ia tidak banyak berkomentar sejak tadi, mungkin karena kondisi fisiknya yang lemah. Dalam hati, Natra kesal karena Drea tidak pernah mau mendengarkan anjurannya untuk memerhatikan kondisi tubuhnya. Sudah tau punya riwayat maag, masih juga cuek.

***

Bubur yang dibuat Natra ia sajikan di dalam mangkuk lengkap dengan telur rebus dan cacahan daun seledri. Soal memasak, ia sudah terbiasa karena sejak dulu ia memang membiasakan diri untuk hidup mandiri. Kali ini juga bukan kali pertama ia memasakkan bubur untuk Drea. Jika Drea sakit, ia kerap mengunjunginya, meski saat itu Drea sudah berstatus pacar Mahesa.

Karena baginya, Drea tetap cewek manja yang selalu butuh perhatian.

"Mau gue suapin?" tanya Natra setelah nampan berisi bubur ia letakkan di nakas.

Drea melirik bubur yang dibuat Natra. "Biar gue makan sendiri. Gue masih bisa."

Natra mengangguk. Ia lalu mengulurkan sendok sampai Drea mau memegangnya.

"Dre, lo perhatiin bener deh pola hidup lo dari sekarang. Kondisi lambung lo udah parah banget tau nggak?"

Drea menyendok bubur seujung sendok. "Iya, gue ngerti. Lain kali gue bakal lebih jaga kesehatan. Gue bakal sarapan, makan siang dengan teratur."

"Konsisten."

"Iya, bawel lo." Drea mengerutkan kening saat bubur itu berhasil masuk melewati kerongkongan. "Mm, makasih."

Natra menoleh kepada Drea. Drea bilang terimakasih? Ia pasti salah dengar. Tapi ia tidak mau mengganggu konsentrasi Drea saat makan, jadi Natra memilih diam saja. Ia memerhatikan Drea makan, sampai Drea menyuruhnya pergi karena merasa terganggu sedang makan di bawah tatapan Natra.

"Udah lo pergi aja. Nonton kek, apa kek." Drea berhenti makan sejenak.

"Tapi harus lo abisin buburnya."

"Gue usahain."

Setelah mendengar jawaban Drea, Natra beranjak dari duduk dan memilih keluar dari kamar.

***

Sejak insiden sakit kemarin, Drea jadi lebih memerhatikan soal makanan. Pagi itu, ia bersama Natra duduk bersama di meja makan, menyantap oatmeal dan jus buah dan sayur. Sesuai anjuran dokter, Drea harus makan-makanan lunak dan mengonsumsi jus segar.

"Pokoknya hari ini lo istirahat. Ngerti?" Natra mengingatkan. Artinya, ia tidak akan masuk kantor hari ini. Padahal masih awal minggu. Weekend masih beberapa hari lagi.

"Iya, ah. Gue nggak bakal masuk kantor." Drea menjawab. Natra jadi galak sejak ia terkapar karena sakit kemarin. Ia jadi ingin tahu apakah Natra ada rencana keluar rumah. "Lo sendiri, mau kerja?" Drea balik bertanya.

"Nggak. Gue jagain lo."

"Ngapain? Gue nggak perlu dijagain. Lo pergi aja kalo ada urusan."

"Gue mana bisa tenang kalo gue ninggalin lo sendiri?"

Drea memainkan sendok di dalam lautan oatmealnya. "Anter gue ke rumah mama kalo gitu. Trus lo bebas pergi."

"Kan bagus gue temenin lo seharian. Kita nggak pernah punya kesempatan buat ngabisin waktu sama-sama selain weekend."

Natra ini bisa keras kepala juga ya?

"Nat, please. Lo anterin gue ke rumah mama aja."

Drea memohon kepada Natra? Sepertinya efek sakit juga sudah menjalar ke otaknya. Ia tidak pernah memohon, ia hanya memerintah. Nada permohonan itu seolah menyiratkan jika ia sudah menjadi sosok lemah, sekarang. Dari dulu memang ia rapuh, namun tidak pernah kerapuhan itu membuatnya terlihat lemah.

"Oke, kalo lo memohon."

"Gue nggak memohon, tolong ya?"

"Mau marah aja lo masih nggak kuat kan?"

"Bodo!"

***

Diana, kakaknya sedang menunduk di depan tanaman mawar di halaman saat mereka tiba di halaman rumah orangtuanya. Dari dalam mobil, Drea bisa melihat wajah Diana yang sedang tersenyum. Kakak satu-satunya itu bergegas meninggalkan taman mawar dan menunggu mereka di depan teras.

"Tumben datang ke sini hari Selasa. Kamu nggak ngantor, Dre?" tanya Diana setelah Drea membuka pintu dan keluar dari mobil.

"Istirahat dulu, Mbak," jawab Drea pelan. Diana langsung menangkap gelagat Drea yang tidak biasa. "Kamu sakit?" Nada pertanyaan itu lebih mirip pernyataan jika Diana memang tahu jika Drea sedang sakit.

"Maagnya, Mbak." Kali ini Natra yang menjawab. Natra pun menyusul keluar dari mobil.

"Maag? Drea. Pasti kamu bandel lagi soal makan. Pasti nyepelein sarapan lagi. Iya?"

Drea hanya mengangguk. Ia sudah malas mengungkit soal sarapannya yang kadang telat bahkan hanya dilewatkan dengan segelas kopi. Lagipula ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih memerhatikan pola hidup.

"Mbak jangan ikutan ngomel deh kayak Natra," tegur Drea saat Diana terdengar masih mengomelinya soal manfaat sarapan. "Minum susu kunyit kan bisa, Dre? Mbak mau bikinin dulu buat contoh tapi kamu nggak mau."

Aargh, ada apa dengan orang-orang ini? Perhatian sih perhatian, tapi malah jadi berlebihan.

"Cuma maag doang."

"Kamu pikir, maag nggak menyebabkan kematian?" Diana mengatakan sesuatu yang terdengar lebih mengerikan. Siapa yang bilang maag bisa bikin orang mati? Oke, mungkin Drea memang pernah baca, tapi ia masih tidak yakin. Atau tepatnya tidak peduli soal itu.

"Drea balik lagi nih kalo diomelin terus," gerutu Drea. Mereka sudah berada di ruang tengah dan sama-sama duduk.

"Ya udah. Kamu sama Natra di sini dulu. Mbak buatin susu kunyitnya. Natra mau minum apa?"

"Udah tadi di rumah, Mbak."

***

Yak, balik lagi. Kali ini gak ada tebak-tebakan, karena gak tau apa yang mau dijadikan soal tebak-tebakan. Wuihihi. Jadi jelas kan di chapter ini Drea nolak naik perahu angsa. Selamat bagi yang udah jawab benar, kalian mendapatkan ucapan terimakasih :DDDD


Tetap vote comment yaaa bebeh2 :* Ayafluu ol

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top