Lima



Bagi Drea, pernikahan adalah sebuah kesempatan untuk menunjukkan bahwa selain berkarir, ia juga mampu menjadi seorang ibu rumahtangga yang baik. Semula, ia tidak begitu berbakat memasak, namun perlahan-lahan ia belajar memasak dari sang mama. Empat bulan menjelang pernikahan, ia sempat mengambil kursus masak dari seorang ibu yang cukup terkenal di Instagram dengan produk makanan sehat rendah garam dan gula. Ia sempat membuatkan sarapan untuk Mahesa, sesuai menu yang ia pelajari di kelas memasak. Mahesa menyukainya, bukan sekadar memuji. Saat itu menurut Drea, masakannya memang cukup enak dan layak untuk disajikan. Ia bahkan sudah mulai merancang daftar menu makanan sehat selama seminggu sesuai masakan yang bisa ia masak.

Masakan simpel dan sehat.

Masakan yang cocok untuk penderita kelainan jantung bawaan seperti Mahesa.

Penyakit itu pula yang merenggut Mahesa dari kehidupannya. Membawa pergi segala rencana-rencana indah yang telah mereka susun bersama.

Suatu hari, Mahesa mengajaknya keluar untuk makan malam di sebuah food court. Ia memesankan burger untuk mereka berdua. Drea mengatakan jika mereka tidak perlu makan burger. Mahesa bisa memilih salad yang lebih sehat, namun Mahesa menolak.

"Sesekali makan ginian nggak pa-pa, Dre. Aku lagi pengen banget makan burger."

"Tapi jangan diabisin, biar setengah porsi kamu, aku yang makan," usul Drea.

"Salah ya kita nggak ngajak Natra ikutan."

Drea baru teringat soal Natra. Mungkin Natra punya janji dengan cewek yang entah siapa lagi.

"Kenapa harus ngajak dia? Ini kan makan malam khusus untuk kita berdua." Drea mengerutkan kening. Mahesa terlalu sayang dengan adiknya itu sampai-sampai jalan berdua pun Mahesa kerap menyinggung tentang Natra. Merusak momen romantis saja.

"Biar dia jadi seksi pembasmi makanan," Mahesa lalu tertawa. Mula-mula Drea memasang tampang bingung, sampai kemudian ia ikut tertawa. "Jahat ya? Masa kamu ngeledek adik kamu sendiri? Padahal iya juga sih."

"Yang aku tau, selain orang paling bahagia sedunia, menurut aku Natra itu juga nggak susah dibikin bahagia. Kasih makanan aja, udah."

Drea tersenyum. Disandarkannya kepalanya sejenak di bahu Mahesa. "Udah ah. Mending ngomongin rencana pernikahan kita."

Mahesa mengangguk setelah Drea tidak lagi menyandarkan kepala di bahunya. "Ayo. Kamu mau konsep yang kayak gimana?"

"Yang simpel aja. Bisa nggak sih nggak pake siraman segala macam gitu?"

Mahesa tersenyum. "Kenapa?"

"Ya, nggak mau ribet aja, Sayang."

"Jangan dong. Itu namanya tradisi, Sayang. Lagian nikah itu kan cuma sekali seumur hidup. Ribet sekali kan nggak masalah? Mama kamu sama mama aku kan udah negasin jauh-jauh hari, kalo semua tatacara adat harus dilaksanakan."

Drea terhenyak. Kenapa juga keluarganya dan keluarga Mahesa harus memegang teguh segala hal merepotkan berkaitan dengan acara pernikahan? Orangtuanya mungkin sedikit fleksibel soal itu, tapi Oom Gilang dan tante Naira beda lagi. Apalagi tante Naira, yang selalu menekankan bahwa sudah seharusnya adat istiadat dilestarikan. Sementara Drea berpikir akan lebih baik jika mereka mengefisienkan waktu. Lagipula resepsi akan digelar besar-besaran, mengakomodir keluarga besar mereka. Apakah hal itu belum cukup juga?

"Terserah kamu deh." Drea tersenyum tipis.

"Dre, jangan ngambek gitu dong, Sayang."

"Nggak ngambek kok. Aku yang nggak suka ribet memang sesekali mesti ngerasain gimana ribetnya jadi calon mempelai wanita."

Mahesa tersenyum. "Nah gitu dong."

"Tapi, barter Hermes Kelly ya?"

"Aduh, Dre. Kamu jadi makin pinter malak ya sekarang?"

Drea menyenggol lengan Mahesa dan kembali menyandarkan kepala ke bahu Mahesa. "Malak itu tanda sayang, tau!!"

Berakhir.

Semua kisah manisnya bersama Mahesa berakhir begitu saja.

Tuhan seolah mempermainkan takdirnya. Tuhan hanya ingin melihatnya menderita.

Berkali-kali kalimat-kalimat penghakiman itu ia ucapkan. Lalu terkadang ia menantang Tuhan, mengapa Dia tidak memanggilnya juga, sehingga ia tidak perlu merasakan kehilangan sosok Mahesa. Laki-laki yang ia cintai dengan sepenuh hatinya. Laki-laki baik yang pergi begitu cepat saat mereka belum diberi kesempatan untuk membina sebuah rumahtangga.

Airmatanya kembali jatuh. Luruh di permukaan kedua pipinya.

Ia tidak akan pernah mengikhlaskan kepergian Mahesa. Tidak akan pernah.

***

Natra menghela napas panjang.

Sore itu ia mendapat kabar dari Diana jika Drea pingsan di dekat makam Mahesa. Diana tidak tahu jika Drea menjenguk Mahesa karena sebelumnya Drea hanya mengatakan jika ia masih ada urusan di kantor. Ternyata sekitar pukul empat sore, dari kantor, Drea langsung mengarahkan mobilnya ke kompleks pemakaman keluarga.

Di sampingnya, Drea masih terbaring lemah. Matanya terbuka. Airmatanya sudah kering, namun Natra bisa melihat jejak airmata itu membentuk jalur di permukaan kulit Drea yang tersaput kosmetik.

"Lo pulang aja, Nat," ucapnya lirih.

"Gue mau jagain lo," jawab Natra. Calon isterinya ini sudah gila jika berpikir ia akan meninggalkannya dalam keadaan seperti ini.

"Bersama lo, gue cuma boleh ketawa sama senyum kan? Sori, hari ini lo nggak beruntung," kata Drea tanpa pernah menatapnya. Tatapan itu menerawang ke arah dinding putih kamarnya.

Natra meraih tangan kanan Drea dan membungkusnya dalam genggaman.

"Gue bisa bikin lo ketawa lagi, Dre. Lo mau denger cerita konyol gue?"

Drea berusaha menarik tangannya, namun Natra semakin mengeratkan genggaman.

"Nat, gue benci lo. Kenapa lo nggak pergi aja?"

"Drea, Sayang. Lo denger gue ya? Dengerin cerita gue."

Natra mulai bercerita tentang cerita lucu Mukidi. Cerita yang tentu saja ia dapatkan melalui bantuan mbah Google. Cerita singkat tentang Mukidi dan isterinya, Markonah. Sampai kisah lucu itu berakhir, genggaman tangan mereka masih terjalin namun Drea tidak kunjung tertawa atau sekadar tersenyum. Natra tahu usahanya sia-sia, namun ia akan mencobanya lagi jika Drea mau memberi kesempatan.

"Nggak lucu ya, Dre? Tenang aja, gue masih punya banyak stok cerita lucu. Ada sih beberapa yang agak garing, tapi masih bisa ditertawain kok. Tenang aja."

Drea menggeleng. "Seharusnya gue nggak ke sana, Nat."

Natra tersenyum karena akhirnya Drea mau bicara lagi. "Trus lo kenapa ke sana, hmm?"

"Gue kangen."

"Lo kangen sama gue aja. Gue nyata kok."

Drea memejamkan mata. "Lo memang nyata, Nat. Tapi gue nggak kangen sama lo. Karena gue kangen sama yang gue cintai. Sekalipun dia udah nggak ada. Kenapa, Nat? Kenapa Tuhan ngambil Mahesa dari gue?"

Natra menarik napas lebih panjang. "Tuhan sayang sama abang, Dre. Tuhan nggak mau abang ngerasain sakit terus. Bang Hesa orang baik, semua orang sayang sama dia, tapi Tuhan lebih sayang sama dia."

Drea kembali menangis, kali ini sambil menggenggam erat tangan Natra. Natra merasakan tangannya memutih oleh tekanan kuat dari jemari Drea.

Jika ia mampu menyerap semua kesedihan itu seketika dari Drea, akan ia lakukan seperti seorang penyihir. Tapi ia manusia biasa. Ia punya keterbatasan. Hanya sekadar penghiburan yang bisa ia lakukan. Semoga hal itu cukup untuk Drea.

***

Kelar satu chapter lagii :)))) pendek ya? Iya pendek. Aku nggak bisa ngepost panjang2 dalam satu chapter. Aku usahain next lebih banyakan wordsnya :)

Apakah udah kerasa feel ceritanya? Atau malah biasa aja? Butuh tanggapan kalian nih :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top