Enam



Menikahi Drea adalah sebuah rencana yang sempat tertunda dan kini terealisasi. Rencana itu bermula ketika Natra menyadari jika gadis yang dikenalnya sejak bangku SMP itu telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang cantik dan cerdas. Meski sejak dulu, Drea memiliki karakter yang sepintas lalu dapat diartikan orang lain sebagai sifat angkuh, jutek tapi sebenarnya Drea baik jika tahu cara mengambil hatinya. Selain harus banyak mengalah kepada Drea, Natra juga sanggup menghibur Drea dengan humor receh. Entah, mengapa Drea mau saja membuang waktu dengannya demi cerita-cerita konyol dan tidak masuk akal. Namun mungkin memang hal itu yang dibutuhkan seorang Adreanna Arundari untuk menetralkan karakternya yang keras kepala.

Kayaknya gue jatuh cinta sama dia, dan kayaknya lucu aja kalo gue bisa nikah sama dia.

Rencana itu bisa dikatakan cita-cita yang ingin ia wujudkan kelak ketika mereka telah sama-sama dewasa. Drea menyukainya karena ia bisa menghibur. Bukankah kebanyakan perempuan suka dengan laki-laki humoris?

Semua rencananya berjalan lancar, sampai Mahesa masuk dalam lingkar pertemanan mereka saat mereka masuk SMA dan Mahesa melanjutkan kuliah di Bandung. Mahesa mengatakan jika ia menyukai Drea, dan selang satu minggu kemudian, Drea bilang, ia dan Mahesa sudah jadian. Kabar itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan karena Natra telah melihat sinyal-sinyal percintaan dua orang yang begitu dekat dengannya itu, meski Drea dan Mahesa juga tidak menunjukkan secara terang-terangan.

Sejak Drea dan Mahesa menjalin hubungan serius, Natra menemukan pelariannya. Cewek. Bukan hanya satu, tapi bisa dua atau tiga sekaligus. Ia ingin menunjukkan pada diri sendiri jika ia juga layak disukai cewek, meski ia lebih dikenal sebagai petualang ketimbang serius pada satu wanita.

Jika bukan dengan Drea, ia tidak akan serius.

Ia mencintai Drea, dan rasanya bodoh jika ia melepaskan perasaan itu. Meski kenyataannya cinta Drea bukan untuknya.

Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Jika ia mau bersabar, Drea akan berbalik mencintainya.

***

Acara pernikahan mereka berlangsung sesuai rencana. Sore hari menjadi pilihan untuk pelaksanaan akad nikah berlanjut acara resepsi di malam hari. Sebelumnya, baik ia maupun Drea sepakat tidak melaksanakan akad di pagi hari dan acara siang karena Drea memang lebih suka resepsinya digelar malam, jadi setelahnya ia bisa langsung tidur tanpa memusingkan ramah tamah dengan keluarga di siang hari. Drea menciptakan konsep pernikahan mereka sesimpel dan sesepi mungkin, sementara ada pasangan lain yang menginginkan konsep pernikahan seramai dan sespektakuler mungkin. Namun tidak boleh ada keluhan, lagipula bagi Natra yang terpenting adalah status mereka telah sah sebagai suami isteri. Soal perayaan dan segala macamnya hanya formalitas belaka.

Beberapa hari menjelang hari pernikahan, Drea terlihat cukup stabil. Sejak pingsan di makam Mahesa, Drea tidak pernah lagi pergi ke sana sendiri, karena Natra berjanji tidak akan membiarkan kejadian itu terulang kembali. Mereka sempat mengunjungi makam itu seminggu sebelum menikah, dan Drea nampak lebih tegar. Drea hanya sekali mengusap airmatanya, berpamitan dan memilih menunggu di mobil sampai Natra selesai menjenguk Mahesa.

"Ada yang bisa gue bantu?" tawar Natra ketika melihat Drea membereskan gaun pengantin putih yang tadi dipakainya. Natra beralih menatap ke sekeliling kamar. Dekorasi kamar yang didominasi sentuhan mawar merah dan putih tertata begitu apik. Rasanya tidak tega merusak dekorasi itu keesokan harinya.

Tadinya, Drea masuk ke kamar pengantin lebih dulu untuk berganti pakaian, sementara Natra menyusul sejam kemudian. Perkiraannya, Drea sudah selesai karena mbak Ria, penata rias yang menangani Drea selama acara pernikahan mereka sudah keluar dari kamar pengantin sejak sepuluh menit yang lalu.

"Nggak ada. Lo ganti baju aja, nanti baju kotor lo taruh aja di keranjang ini," kata Drea sambil menunjuk keranjang cucian kotor tempat ia memasukkan gaun dan pakaian kotor lainnya.

Drea beralih menuju kamar mandi dan berdiam diri di dalam sana selama sekitar dua puluh menit. Natra menggunakan waktu yang ada untuk membereskan pakaian kotor dan merapikan tempat tidur.

Malam pertama.

Apa yang akan mereka lakukan di malam yang diceritakan di film-film itu begitu romantis?

Sepertinya tidak ada momen romantis malam ini. Ia dan Drea tidak akan melakukan kontak fisik apapun malam ini karena ia tahu jika Drea tidak menginginkannya.

Mereka hanya butuh waktu.

Drea nggak harus melupakan bayangan Mahesa saat mereka sedang bercinta. Mungkin mereka bisa bernegosiasi.

"Udah mau tidur, Dre?" tanya Natra setelah Drea menghempaskan badannya ke atas tempat tidur.

"Hmm," gumam Drea sambil mengambil guling dan memunggunginya.

"Nonton aja gimana?" usul Natra.

"Nggak ah. Gue ngantuk."

Natra membuang napas dan bangkit dari tempat tidur. Drea lebih memilih tidur daripada bercengkrama dengannya sebentar saja.

Dipandanginya punggung Drea. Dalam balutan piama kuning, Drea memulai istirahat. Rambutnya dicepol seadanya, anak-anak rambut bergelantungan di sekitar tengkuknya.

Natra tersenyum memandang punggung itu sambil membayangkan memeluknya.

Adreanna, isteri gue. Selamat malam.

***

Drea terbangun saat keadaan kamar masih temaram. Ia mengingat-ingat di mana ia menyimpan ponselnya semalam. Karena dekorasi kamar yang dipenuhi hiasan kain, pita, dan bunga, ia jadi tidak bisa menemukan di mana letak jam. Jam meja yang biasanya ada di nakas pun tidak ada.

"Dre. Udah bangun?"

Rasanya asing mendengar suara orang lain di dalam kamarnya. Suara laki-laki pula. Dan ketika Drea menyadari jika suara itu adalah milik Natra, ia langsung membuang napas panjang.

"Udah jam berapa?" Drea malah balik bertanya. Ia masih mencari-cari ponsel. "Di mana sih ponsel gue?"

Natra terdengar menguap dan sesaat hening sampai suara Natra terdengar lagi. "Baru jam 2."

Drea memandangi Natra dalam temaram lampu tidur, lalu kembali mengistirahatkan badannya.

"Lo butuh sesuatu?" tanya Natra.

"Nggak. Gue cuma butuh tidur."

"Gue mau ngambil minum. Lo mau sekalian nitip?" Natra mengibaskan selimut dan bergerak turun dari tempat tidur, menimbulkan goncangan kecil pada permukaan kasur.

"Nggak," Drea menjawab singkat, namun kemudian ia berubah pikiran, saat menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Gue ikut."

Natra baru saja menyalakan lampu kamar dan Drea buru-buru meninggalkan kamar, menyusul Natra yang sedang menyusuri lorong menuju tangga. Mereka berjalan bersisian sampai tiba di ujung tangga, Natra mendahuluinya.

Drea mengambil gelas untuk mereka berdua, dan menunggu sampai Natra datang membawa seliter susu dan sebotol air dingin.

Drea mengamati Natra mengisi air dingin ke gelasnya sendiri, sementara ia memilih susu cair murni untuk dituangkan ke gelasnya.

"Mama sama papa nggak bakal ikut gabung juga kan?" Mama papa yang dimaksud Natra adalah kedua orangtua Drea.

"Udah tidur palingan." Drea meneguk susu dinginnya. "Mbak Diana malah nginap di rumah Tera." Drea menyebut salah seorang sepupunya.

Natra beranjak dari kursi untuk mengambil sisa wedding cake di dalam kulkas. Setelah acara, kue pengantin minimalis bersusun dua tersebut sudah habis dibagi-bagi keluarga dekatnya, tentunya setelah menyisihkan sebagian di dalam kulkas. Drea malah mengira kue berbahan dasar lemon cake tersebut sudah habis.

"Nggak nyangka ya kita udah nikah?" gumam Drea. Ia tidak berminat mencoba cake lemon tersebut, namun Natra berbaik hati mengambilkan satu potong untuknya.

"Kayak mimpi, Dre," timpal Natra. Mereka saling melempar senyum tipis sampai Drea yang lebih dulu memutus kontak mata dan mulai memotong kue dengan sendok kecil.

"Semoga gue nggak sering nyusahin lo ya, Nat?"

Natra tersenyum. "Disusahin sama lo sama aja disayangi versi lo."

Drea mengunyah potongan cake. Natra ini adalah tipe laki-laki baik yang diharapkan banyak perempuan untuk dijadikan teman hidup, bukan sekadar sahabat. Kini ia menjadikan Natra sebagai teman hidup, meski ia tidak cukup yakin, jika Natra ini mampu menjadi suami yang bertanggungjawab. Entahlah, ia menganggap Natra belum cukup dewasa dalam berpikir. Jika Natra cukup dewasa dan pintar, ia tidak akan menghabiskan hidupnya mengurusi perempuan yang hatinya masih milik orang lain, yang adalah dirinya sendiri.

"Asal lo bahagia, gue pasti bahagia."

Kalimat Natra itu jadi terdengar bodoh ketimbang realistis.

***

Kece kaaan ngepostnya pas 17 Agustus :)))) #mujidirisendiri :D :D :D

Thanks buat kalian yang baca, vote dan comment. See you soon

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top