Empat

"Ngapain gue harus ngomong sesuatu yang nggak sesuai fakta?" Drea berbalik. "Udah. Lo udah liat gue pake kebaya ini kan? Lo pulang aja sana."

"Wah emang lo bener-bener ya? Tega lo ngusir calon suami lo sendiri?" Natra geleng-geleng kepala. Jika Drea enggan memuji dirinya, Natra malah dengan sukacita menilai kecantikan Drea. "Gue belum puas ngeliat lo pakai kebaya itu, jadi lo jangan ngusir gue dulu."

"Apa sih, Nat?" Drea tertawa.

Natra ikut tertawa sambil mendekati Drea yang masih nampak tertawa. Drea berdiri menghadap ke depan cermin sambil memutar badannya hingga menunjukkan sedikit bagian punggungnya.

"Coba lo gini terus. Tertawa." Natra mengulurkan tangan untuk meraih jemari Drea yang segera ditepis Drea karena merasa risih.

"Kenapa gue harus ketawa terus? Lo mau bikin gue kayak orang gila, ketawa nggak jelas?" tanya Drea. Ia menatap pantulan dirinya lalu beralih melihat Natra.

"Setiap bersama gue, lo cuma perlu ketawa sama senyum."

Drea mendengarkan ucapan Natra sepintas lalu. Natra tidak pernah berhenti mengingatkannya untuk selalu melupakan kesedihan dan lebih banyak tertawa.

"Karena bersama gue, lo harus bahagia."

Diana ikut mendengarkan percakapan mereka sejak tadi. Ia hanya diam saja, meski tatapan matanya tidak pernah lepas dari mereka berdua.

"Udah ah. Lo pulang sana."

***

Sepulang dari rumah Drea, Natra langsung menuju ke rumah orangtuanya. Ia masih sesekali bermalam di sana, meski ia telah memutuskan tinggal di apartemen. Saat tiba di sana, rumah dalam keadaan sepi. Hanya tersisa bik Rum yang tengah menyiram tanaman sore hari itu. Natra terus berjalan masuk ke dalam rumah, mengecek keberadaan orangtuanya.

"Papa sama mama ke mana, bik?" Natra bertanya ketika ia kembali lagi ke taman.

Bik Rum menjawab sambil tetap memegangi selang air menyirami perdu. "Lagi jalan-jalan aja, Den. Nyonya bilangnya gitu tadi sebelum berangkat."

"Oh."

Bik Rum mengangguk. "Den mau Bibik buatin minum?"

"Nggak usah, Bik. Nanti saya ambil sendiri aja." Natra menjawab. Ia lantas bermaksud mengambil alih tugas menyiram tanaman. "Biar saya aja yang nyiram bunganya."

"Yah, Den. Bibik juga baru mau mulai nyiram."

"Ya udah, mumpung bibik belum terlalu capek, saya bantuin. Bibik duduk-duduk aja atau nonton tivi."

"Aduh, Den. Jangan deh."

Natra tetap mengambil selang setengah memaksa dari tangan bik Rum. "Udah, biar saya saja. Pak Din ke mana, Bik? Kok bibik yang nyiram tanaman?" Natra menyebut nama tukang kebun yang biasanya ada di taman setiap sore begini.

"Pak Din lagi nggak enak badan, jadi saya bantuin. Di dapur ada Rini yang lagi masak, jadi bibik aja yang nyiram tanaman."

Setelah mendengarkan penjelasan bik Rum, Natra mempersilahkan bik Rum masuk ke dalam rumah, karena beliau lebih memilih masuk dapur daripada tinggal duduk santai di teras. Dedikasi beliau terhadap pekerjaan tidak perlu diragukan lagi. Bik Rum tidak akan bisa bersantai sampai semua pekerjaannya selesai.

Selang air berisi pancuran air yang baru saja disetelnya menjadi lebih kencang diarahkan Natra ke pohon-pohon perdu yang berukuran lebih besar. Sambil menyiram tanaman, ia sesekali memerhatikan keadaan taman yang sangat terawat. Keadaan halaman rumah yang rindang dan asri menjadi nilai lebih dari hunian yang seringkali sepi itu.

Sejak kecil, ia selalu senang mengerjakan pekerjaan apa saja yang biasa dikerjakan asisten rumahtangga dan tukang kebun. Terlebih jika pekerjaan itu berurusan dengan air, karena sejak kecil pula ia senang bermain air. Jika sedang sibuk bekerja dan berakhir berbasah-basahan, mama akan datang mengomeli sambil membawakan handuk. Mahesa sesekali bergabung dengannya berbuat kejahatan, tapi selebihnya Mahesa menjadi anak manis yang lebih senang belajar atau merakit lego daripada menghabiskan waktu bersamanya.

"Natra??"

Suara mama terdengar dari arah gerbang. Mama bahkan masih berada di dalam mobil saat berteriak girang saat melihatnya.

Natra memutar keran sampai aliran air benar-benar berhenti dan menunggu sampai mobil yang dikendarai papa berhenti di halaman. Ia melangkah cepat dan segera membukakan pintu untuk mama.

"Kamu kapan datang?"

"Baru aja, Ma." Natra menerima ciuman di pipi kiri dan kanannya.

"Dari mana?" tanya mama lagi.

"Dari rumah Drea. Habis lihat kebaya yang mau dia pake untuk akad nikah, Ma."

Mama tersenyum tipis. "Oh, gitu."

Papa baru saja turun dari mobil dan ikut merangkul Natra. Bedanya, papa malah menghadiahi tinju di lengan Natra.

"Kamu kenapa baru datang? Kayak nggak tau jalan pulang."

"Lagi sibuk nyiapin acara kan, Pa? Perasaan Natra udah bilang dari kemarin-kemarin."

Papa melirik mamanya. "Anak mama serius mau nikah, ternyata."

"Iyalah, Pa." Mama membalas sambil mencubit pipi Natra. "Ayo masuk."

"Mm, aku mau beresin kerjaan dulu, Ma. Dikit lagi kelar nyiram tanaman."

Papa mengangkat alis. "Iya. Jangan lama-lama. Ntar kamu main air lagi." Papa mengingatkan kebiasaan kecil Natra sambil menepuk-nepuk bahu Natra. "Papa tunggu di dalam. Nginap kan?"

"Iya, Pa."

Mama tertawa. "Alhamdulillah."

Papa senang. "Papa ada teman main catur lagi. Kamu harus temenin Papa main catur ya?"

"Beres, Pa." Natra merangkul kedua orangtua yang telah ia anggap seperti orangtua kandung. Mereka membuatnya menyadari bahwa masih ada manusia berhati malaikat di dunia ini di antara banyak manusia yang menyia-nyiakan anaknya sendiri untuk berbagai alasan. Satu hal yang ia pahami pula, jika tidak perlu hubungan darah bagi seseorang untuk menganggap manusia lain sebagai bagian dari keluarga.

***

Drea mendapatkan informasi dari Natra jika malam itu Natra menginap di rumah orangtuanya. Drea batal menghubungi Natra karena ia tidak ingin mengganggu waktu kebersamaan Natra dan kedua orangtuanya.

Oom Gilang dan Tante Naira, calon mertuanya. Ia masih terus menjalin hubungan baik dengan mereka meski dulu pernikahannya dengan Mahesa batal. Dan kini kabar baiknya, silaturahmi di antara mereka tidak akan terputus setelah ia membuat keputusan mengejutkan dengan rencana pernikahannya bersama Natra. Drea masih mengingat reaksi mereka, saat ia datang bersama Natra dan membicarakan rencana pernikahan. Tidak ada respon berlebihan. Sebaliknya penerimaan mereka terkesan sangat biasa. Mungkin mereka sendiri masih belum yakin dengan rencana yang terkesan mendadak tersebut. Atau mungkin mereka tidak yakin ia telah benar-benar mengikhlaskan kepergian Mahesa?

Mungkin hanya perasaannya saja. Ia sendiri masih cukup percaya diri jika Oom Gilang dan tante Naira mau mengizinkan Natra menikah dengannya karena mereka percaya saja akan pilihan Natra. Toh, selama ini mereka tahu jika hubungannya dengan Natra sangat dekat.

Jadi, seharusnya tidak ada masalah, bukan?

Ya, sekalipun ia tidak mencintai Natra.

Mungkin belum.

Persetan dengan omongan Diana jika ia hanya belum menyadari jika ia mencintai Natra.

Tidak mungkin.

_________________________________________________

Setelah mikir2 mesti lanjut cerita yang mana, ketimbang nggak ada yang lanjut sama sekali, aku mutusin lanjut nulis yang ini. Jangan tanyain dulu ya lanjutan cerita yang lain, aku ngumpulin ide dulu biar nafas nulisnya panjang lagi :)

Soal karakter, aku harap kalian bisa ngerasain benci sama Drea dan cinta sama Natra :DDDDD kalo moodnya lancar, kalian bakal nemuin sosok cewek nyebelin lagi dah :DDDD

Karakter lain yang punya peran penting juga akan segera muncul.

14 Agustus 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top