Chapter 34
Chapter 34 yg sebelumnya akan diunpublish. Baca yang ini aja yaa
"Gue nggak bilang gue mau," Drea mengucapkannya sebelum Natra menutup mulutnya dengan satu ciuman panjang dan dalam.
Natra benar-benar tidak membiarkannya berlama-lama mengemukakan argumennya. Ia bisa saja menolak lebih keras atau berteriak di hadapan Natra, tapi Natra jelas lebih tahu cara mendiamkan mulutnya.
Ia tidak bilang ia suka cara Natra, apalagi menikmati. Hanya saja, ia sendiri tidak tahu bagaimana menerjemahkan perasaannya.
"Dari tadi kamu juga nggak nolak kan?" ucap Natra singkat, lalu beralih mengecup leher Drea.
"Nggak berarti aku mau."
Natra menatapnya dalam-dalam. Begitu lekat. Drea tidak berani menatapnya karena ia tahu, ia bisa terhipnotis dan mungkin saja nasibnya berakhir di atas tempat tidur seperti keinginan Natra.
Tuhan. Mengapa jadi ia yang kepikiran?
***
"Aku nggak tau mesti ngomong ke siapa lagi selain ke mbak."
Beberapa hari ini, Drea menahan diri untuk tidak bercerita kepada siapapun tentang kegundahan yang ia rasakan. Rasanya semakin sulit menyimpan beban pikirannya sendiri. Mungkin bukan ide terbaik berbicara kepada Diana karena Diana sendiri belum menikah dan tidak ada pengalaman tentang kehidupan berumahtangga. Namun satu-satunya nama yang terpikirkan di benaknya untuk bercerita hanya Diana. Drea berharap Diana bisa mengerti alasannya bercerita.
"Mbak bisa nemenin kamu konsultasi ke dokter."
Drea menggeleng. "Aku nggak mau lagi ke dokter."
"Jadi pilihan satu-satunya ya, kamu harus ngomong ke Natra. Menurut Mbak, hal semacam ini hanya dokter dan kalian yang bisa menyelesaikannya. Atau kamu dan Natra bisa sama-sama ke dokter untuk berkonsultasi?"
Drea masih menggeleng.
"Dre. Jangan lagi menutup hati kamu."
"Aku udah berusaha, Mbak. Aku rasa sejauh ini berhasil. Tapi aku masih terlalu takut. "
"Kamu harus ngomong ke Natra. Kamu hanya butuh jujur kepada Natra tentang ketakutan kamu. Apa kamu takut saat dia menyentuh kamu. Atau kamu merasa tidak nyaman?"
Drea terdiam.
"Atau kamu masih kepikiran soal Mahesa?"
Drea mengangguk pelan. Lalu ia menggeleng. "Tapi tidak separah sebelumnya. Aku mulai merasa nyaman sama Natra. Cuma...,"
Diana meraih kedua tangan Drea dan membawa ke pangkuannya.
"Cuma kamu takut kalau hubungan kalian tidak akan berhasil?"
Anggukan Drea terlihat kaku. "Aku kaya, belum bisa ngasih semuanya sama Natra."
"Kamu butuh diyakinkan, Dre. Dan yang bisa kamu lakukan adalah ngomong sama Natra. Mbak yakin dia tau apa yang bisa dia lakukan untuk kamu. Dulunya Mbak memang pesimis kamu menikah sama dia yang Mbak tau sangat berbeda dengan Mahesa. Tapi yang Mbak lihat dia sangat perhatian dan baik sama kamu. Kalian juga sudah kenal lama ya kan?"
Diana melanjutkan. "Kalau komunikasi kalian tidak berhasil, tidak ada jalan lain. Kamu harus konsultasi ke dokter."
***
"Kamu sakit?" tanya Natra kepada Drea saat mobil yang ia kemudikan berhenti di halaman rumah.
"Nggak. Cuma kecapean aja." Drea memijat dahinya setelah melepaskan seatbelt. Ia turun dari mobil tanpa berkata apa-apa.
Natra membuang napas, lalu mengarahkan mobil masuk ke dalam garasi. Setelah memastikan mesin mobil mati dan pintu mobil terkunci, ia menyusul Drea masuk ke dalam rumah.
Ia mengira Drea ada di dalam kamar, dan ternyata Drea ada di pantri, mengambil air minum dan duduk di kursi makan.
Sepertinya Drea membutuhkan waktu untuk sendiri. Natra melihat Drea sebentar dan akhirnya ia memilih masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap mandi.
Selesai mandi dan berpakaian, Natra mencari Drea. Ia mencari ke sekitar ruang makan dan pantri, tetapi Drea tidak ada di sana.
"Dre."
Drea juga tidak ada di ruang tamu.
Langkah Natra diteruskan ke halaman rumah, tapi tidak ada tanda-tanda Drea di sana. Ia kembali masuk ke dalam rumah, terus menuju ke kamar dan membuka pintu walk in closet. Natra menghirup napas lega saat melihat Drea tengah berlutut membuka dua buah laci di bagian bawah lemari.
"Aku sampai nyari kamu ke halaman." Suara Natra masih terdengar terengah-engah.
"Gue dari tadi di sini waktu lo lagi mandi."
Drea menutup kedua laci yang ia sudah buka tadi. Ia melangkah keluar dari walk in closet, mengambil handuk.
***
"Ng...Nat. Gue mau ngomong."
Mereka tengah duduk menikmati pizza yang tadi dibeli dalam perjalanan pulang. Sekotak besar pizza yang cukup untuk 4 orang.
"Soal?"
Drea menyelesaikan kunyahannya, lalu menarik napas.
"Soal rasa takut gue."
"Takut?"
"Gue nggak tau."
Natra menyeka mulut dengan tissue dan langsung memfokuskan dirinya kepada Drea.
"Kamu ngomong aja, biar aku bantu cari solusinya."
"Gue pengen nggak ada...gue nggak mau kaya gini terus."
Natra memajukan tubuhnya dan mengusap-usap punggung Drea dengan lembut.
Drea tiba-tiba terisak. "Gue nggak mau kaya gini."
Kali ini Natra mengusap rambut Drea dan memeluk Drea, sambil terus mengusap-usap punggungnya.
"Nangis aja, Dre. Jangan ada yang kamu tahan-tahan lagi."
Suara isakan Drea semakin terdengar jelas.
"Kamu ngomong aja semua yang mau diomongin. Aku dengerin."
"Gue...ngerasa gue...selalu ngerasa takut."
"Takut?" Natra terdengar bingung.
"Takut."
Natra melonggarkan pelukannya, khawatir Drea akan sesak napas.
"Rasa takut itu normal, Dre. Semua orang punya rasa takut. Tapi, rasa takut itu bisa dikendalikan."
"Rasa takut lo apa?"
"Aku takut...kehilangan kamu."
"Lo takut kehilangan gue?" Drea menggumam.
***
"Ya. Aku takut kehilangan kamu."
Drea memejamkan mata. Dulu ia juga memiliki ketakutan yang sama. Ia takut kehilangan Mahesa. Ia takut ia akan sendiri. Saat Mahesa benar-benar pergi, ia tahu bahwa ketakutannya telah menjadi kenyataan. Ia ditinggalkan oleh orang yang sangat ia sayangi. Rasa kehilangan telah membuatnya kehilangan kepercayaan diri. Merasa dipecundangi oleh kenyataan.
"Lo takut kehilangan gue?" ulang Drea.
Kamu takut kehilangan aku, Dre?
Ucapan Mahesa itu terngiang di telinganya.
Bagaimana jika ia merasakan hal yang sama. Kepada Natra?
"Makanya aku nggak mau melewatkan waktu berlama-lama tanpa melihat kamu." Natra masih memeluk Drea saat mengatakannya. "Aku selalu berpikir bagaimana rasanya kalau aku nggak melihat kamu lagi."
Drea melepaskan pelukan Natra. "Maksud kamu apa?"
"Aku takut kehilangan kamu, tapi apa kamu juga ngerasain hal yang sama?"
Sejenak Drea melupakan bahwa fokus pembicaraan mereka kali ini adalah dirinya. Ia tergelitik dengan pertanyaan Natra.
"Bukan. Maksud gue, kenapa lo bilang, lo berpikir gimana rasanya nggak ngeliat gue lagi. Lo ngomong seolah-olah lo mau mati."
"Semua orang kan bakal mati, Dre?" Natra tersenyum tipis. "Makanya aku selalu mikir, kenapa seseorang harus menyia-nyiakan hidupnya dengan memikirkan hal-hal yang nggak bisa bikin dia bahagia?"
Mungkin itu alasan mengapa Natra terlihat sangat menikmati hidupnya. Ia menyimpan kisah hidup yang tidak mulus, tapi ia menjalani hidupnya dengan bahagia.
"Bukannya hal itu bisa bikin hidup jadi terasa lebih singkat?"
Drea mendengarkannya baik-baik.
"Aku nggak berniat mengajari kamu soal hidup, Dre. Tapi gimana kalau kamu berusaha menerima kenyataan? Bukan melupakan masa lalu yang udah terjadi, tapi gimana bisa bikin hidup kamu yang sekarang dan nanti terasa bahagia?"
Drea terdiam. Dulu, ia akan marah jika ada yang menasehatinya soal kehidupan. Tapi sekarang, ucapan Natra terdengar sangat realistis dan Natra seperti bisa membaca isi hati dan pikirannya.
"Nggak perlu terburu-buru. Pelan-pelan saja. Jangan memaksakan kalau kamu belum siap."
Drea mengangguk pelan. "Gue mengerti."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top