26
"Iya, Pak. Nanti dibicarakan lagi. Saya juga nggak lama lagi sampai di kantor. "
Natra tidak tahu dengan siapa Drea tengah berbicara. Tapi dari caranya berkomunikasi dengan lawan bicaranya, Drea terdengar cukup formil. Yang jelas bukan dengan bawahannya. Mungkin si bapak adalah partner bisnis atau mungkin juga bagian dari direksi?
"Dre, hari ini kita bisa makan siang bareng?" tanya Natra. Drea pernah menerima ajakannya makan siang bersama tapi seingatnya sudah lama. Dua atau tiga minggu lalu, ia tidak ingat persis.
"Gue nggak bisa mastiin," jawab Drea sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas. "Tapi nanti gue hubungin gue bisa atau nggak."
"Oke."
Natra memelankan mobil sebelum berbelok memasuki halaman kantor. Sesekali ia mengantar Drea sampai ke ruangannya, namun akhir-akhir ini ia lebih sering menurunkan Drea di depan lobi sesuai permintaan Drea. Ia enggan bertanya apakah Drea mau diantar sampai ke atas karena ia sudah bertanya soal makan siang tadi. Ia kuatir mood Drea pagi itu jadi buruk karena ia terlalu banyak bertanya.
"Gue turun," Drea mengucapkannya dengan intonasi seolah sedang pamit tapi Natra tidak terlalu yakin. Drea dan kata pamit sulit untuk dipertemukan dalam satu kalimat.
"Jangan terlalu stres soal kerjaan," ucap Natra dan detik itu juga ia langsung menyesali ucapannya yang terbilang spontan tersebut.
Drea hanya tersenyum tipis dan kini membuka pintu di sampingnya. Natra memerhatikan sampai Drea berjalan menuju pintu. Natra melambaikan tangan yang dibalas Drea dengan mengangkat satu tangan dan menurunkan secepat mungkin.
Hari ini, respon Drea kepadanya tidaklah terlampau buruk.
Setelah dari kantor Drea, Natra mengendarai mobil menuju bengkel. Sesampainya di sana, ia melihat sebuah BMW terparkir di halaman bengkel, menunggu antrian untuk dikerjakan. Sesosok perempuan semampai memakai jins dan kaus putih ketat, berambut pendek di atas bahu dan memakai kacamata hitam. Saat melihatnya, perempuan cantik berkulit putih mulus itu tersenyum. Bibirnya yang dipulas lipstick merah darah sejenak mendistraksi pikirannya.
"Hai, Natra." Perempuan itu membuka kacamata dan langsung menyapanya.
Ia seperti mengenali wajah itu.
"Sharon?"
"Gue kira lo udah lupa sama gue." Sharon tersenyum.
Natra tidak mungkin lupa. Ingatannya terlalu tajam menyangkut perempuan yang pernah singgah di hatinya. Meskipun hubungan mereka cukup singkat dan telah lama berakhir bertahun-tahun lalu. Hanya bertahan 3 bulan, dan putus karena Natra mengaku tidak bisa menjalin suatu hubungan dalam waktu lama. Saat itu Sharon sempat marah kepadanya, tapi kemudian Sharon bisa mengerti dan akhirnya mereka putus secara baik-baik.
"Mobil lo ada masalah?" tanya Natra.
"Nggak."
"Trus?"
"Gue mau main aja ke sini." Sharon bersedekap dan memandang ke sekeliling. "Lo nggak lagi sibuk kan?"
"Gue baru aja sampe ke sini jadi gue nggak tau bakal sibuk atau nggak."
"Kalo gitu, lo ada waktu ngobrol dong."
"Ini kan gue sama lo lagi ngobrol."
"Ampun deh. Lo tuh ya? Ngobrol di mana gitu biar nyaman."
Natra melihat jam tangan yang menunjukkan jam 9 pagi. Masih jam 9 pagi. Masih ada waktu beberapa jam sebelum makan siang. Rasanya mungkin sedikit janggal ketika ia dan Sharon baru saja bertemu namun mereka mulai mengatur tempat di luar untuk mengobrol.
"Tapi gue harus kerja."
"Bengkel ini kan punya lo, harusnya lo nggak usah kerja kan?"
Natra tertawa. "Ya udah. Lo maunya ngobrol di mana?"
***
Drea memijit-mijit area di antara kedua matanya. Kepalanya lumayan pening, tapi hal itu bukan masalah besar baginya. Ia hanya butuh minum obat lalu beristirahat sebentar.
"Udah mau jam 12. Harusnya gue makan dulu," gumam Drea saat melihat jam tangan. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan mulai mengarahkan telunjuknya ke daftar kontak.
Serius, ia mau menghubungi Natra untuk makan siang bersama?
Tapi ia tidak menahan telunjuknya untuk menghubungi nomer ponsel Natra. Pada deringan kedua, Natra mengangkat panggilan.
Sekitar setengah jam kemudian, Natra muncul. Drea memilih menunggu di lobi untuk efisiensi waktu. Ia telah menyebutkan nama sebuah kafe yang terletak tidak begitu jauh dari kantor jadi Natra tidak lagi bertanya mereka akan makan di mana.
"Masih agak kenyang, jadi aku pesan burger aja." Natra mengucapkannya setelah pesanan mereka datang. Drea sendiri memesan nasi putih dan sup buntut. Burger yang dipesan Natra berupa burger ayam yang digoreng crispy lengkap dengan bahan-bahan isian burger pada umumnya.
"Lo udah makan?"
"Sekitar jam sepuluh tadi. Soto betawi." Natra menjawab sambil menuangkan saus sambal sebagai cocolan french fries yang ia pesan bersama burger tadi.
"Lo mungkin masih bisa bantu gue ngabisin sup buntut," kata Drea.
"Porsinya banyak juga ya?" Natra memerhatikan mangkuk sup yang masih terus mengepulkan asap.
"Makanya gue minta porsi nasinya dikurangin."
"Kamu harus makan yang banyak biar gemukan dikit."
"Gue kurusan?"
"Hmm. Dulunya kan pipi kamu lebih berisi. Sekarang jadi tambah tirus."
"Lo merhatiin?"
"Karena setiap hari ketemu sama kamu, mau nggak mau pasti aku perhatiin." Natra tersenyum.
Drea mengangkat bahu. "Gue emang kurusan. Tapi enaknya badan jadi kerasa lebih ringan."
"Mau kurus atau gemuk, kamu tetap cantik."
Natra memang sering memujinya, namun tetap saja Drea selalu merasakan pipinya memanas setiap Natra menyebutkan kata itu. Apalagi Natra selalu melakukannya sambil menatapnya dalam-dalam.
"Gue mau cepet-cepet nyelesain makan, jadi mending lo jangan ganggu konsentrasi gue lagi makan," ucap Drea saat Natra dengan sengaja menatapnya terus-menerus sambil mengunyah kentang goreng.
"Tumben grogi, biasanya juga nggak." Natra malah tersenyum-senyum. "Aku jadi bertanya-tanya, gimana rasanya jadi sendok yang lagi kamu pakai. Menang banyak kan dia?"
Drea mendesah dan berusaha melanjutkan lagi makannya. Ucapan Natra semakin membuat perutnya mulas. Bukan dalam arti ia akan mengeluarkan makanan itu dari dalam perutnya, tapi rasanya ia memang jadi semakin grogi seperti yang dikatakan Natra.
"Mau dibantu abisin kan?" Natra mengulurkan tangan hendak mengambil sendok yang tadi dipakai Drea, tapi Drea segera menarik tangannya. "Lo kan punya garpu sendiri?"
"Garpu nggak bisa dipakai nyendok nasi." Natra beralasan.
"Gue bisa abisin sendiri."
"Tadi kan kamu bilang mau dibantuin." Natra makin tersenyum lebar, dan dengan santainya ia menempelkan ibu jari di sudut bibir Drea.
"Ada butiran nasi yang nempel."
"Nggak mungkin." Drea buru-buru menepis jari Natra dan mengambil lembaran tisu. "Ngapain sih? Lagian gue bisa bersihin sendiri."
"Biar romantis kaya di film-film."
Drea mendengus. Wajah kesalnya membuat senyum Natra jadi semakin lebar. Ia sudah bermasa bodoh jika Drea mau menamparnya.
"Nggak usah aneh deh." Drea benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekesalan. "Lo udah bikin gue marah."
"Marah kamu seksi. Itu yang aku suka."
"Terserah!"
***
Haiii...aku lanjut lagi :DDDD mungkin kalian udah bisa nebak mau gimana konfliknya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top