24 (1)
24 (1)
Drea merasakan kecupan singkat di bibirnya serasa seperti sengatan listrik. Ia terkejut namun secepat itu pula ia berusaha menguasai keadaan. Mencoba untuk tidak panik. Dan mencoba untuk tidak melayangkan tangannya ke wajah Natra.
Natra.
Bagaimana mungkin ia melakukan hal tersebut di depan umum?
"Dre."
Natra memanggil namanya saat mereka sama-sama berada di eskalator. Drea memilih diam sampai eskalator tersebut mengantarkan mereka ke lantai bawah.
Ia melirik Natra, lalu melangkahkan kaki menuju ke eskalator berikutnya.
"Lo marah?"
Begitu pertanyaan Natra saat Natra berhasil menjajarinya. Natra masih menggandeng tangannya, suatu hal yang ia tidak sadari sejak turun dari eskalator tadi.
"Gue nggak harus selalu marah sama lo, Nat." Drea memberikan jawaban yang ia rasa cukup untuk Natra mengerti. Ia memang tidak marah, ia hanya kaget.
Wait. Ia tidak marah?
Bukankah seharusnya ia marah karena Natra menciumnya tanpa persetujuan? Di depan umum pula?
Seharusnya ia menampar Natra dan meneriakinya dengan kata-kata kasar.
Tapi mengapa ia malah memberikan respon yang jauh berbeda dengan respon ideal yang semestinya ia berikan kepada Natra?
Apakah ia memang sedang dalam kondisi baik-baik saja?
"Gue nggak tau kenapa gue...," Natra memotong ucapannya sendiri, mungkin merasa takut salah bicara.
Drea menghela napas dan menghembuskannya ringan. "Gue nggak apa-apa, kalo itu yang lo mau tau."
Natra masih menggandengnya terus berjalan menuju ke basement tempat mobil Natra terparkir. Drea memang merasa baik-baik saja. Meskipun jika diingat-ingat lagi, seharusnya ia memang marah kepada Natra.
Seharusnya.
Natra berjalan mendahuluinya dan membukakan pintu. Drea tanpa bicara apa-apa lagi, langsung masuk ke dalam mobil setelah mengambil kantung plastik berisi buku dari tangan Natra.
"Gue lupa balik buat beli ayam goreng," ucap Natra setelah mobil keluar dari barisan parkiran.
"Singgah aja nanti."
Natra mengiyakan. "Hmm, iya. Nanti gue singgah."
Mereka lalu sama-sama terdiam. Drea sendiri tidak memiliki bahan untuk dibicarakan. Biasanya, memang Natra yang selalu memulai obrolan di antara mereka.
"Ini bukan terakhir kalinya kan gue sama lo jalan?"
Drea berpikir sejenak lalu mengangguk. "Gue baik-baik aja, Nat. Soal yang tadi lupain aja."
Natra menolehnya.
"Gue cuma nggak mau lo nabrak gara-gara mikirin gue marah atau nggak soal yang tadi," sambung Drea.
"Kalo gitu, apa gue masih punya kesempatan untuk..." Natra kembali memotong ucapannya sendiri. "Yaa, mungkin memang sebaiknya gue lupain aja. Gue memang payah."
Drea memandang keluar jendela.
Jika Natra melakukannya lagi, ia mungkin benar-benar akan menamparnya.
"Minggirin mobilnya dulu deh, Nat. Mendingan."
Natra menolehnya dengan durasi sedikit lebih lama. "Kenapa?"
"Gue benar-benar kuatir lo bakal nabrak," ucap Drea.
"Gue nggak bakal nabrak."
"Lo bakal nabrak kalo lo nggak konsentrasi. Atau lo mau gue yang nyetir?" Kali ini Drea mengeraskan suara.
Natra membuang napas dan menuruti permintaan Drea. Ia meminggirkan mobil setelah menemukan area bebas parkir di dekat sebuah usaha tambal ban.
"Kayaknya gue terdistraksi sama warna lipstick lo." Natra terdengar aneh saat mengucapkan kata lipstick tadi.
"Warna lipstick gue nggak terang, kalo-kalo lo lupa." Drea jadi tidak mengerti sebenarnya Natra ini sedang membicarakan dirinya atau ia memang sedang melantur.
"Karena gue memang ingin nyium lo." Natra mengetukkan jarinya di atas kemudi. "Gue jujur, Dre. Gue memang sudah pengen nyium lo saat lo beliin gue baju."
Drea menghela napas.
"Oke. Alasan utamanya karena gue memang ngerasa kalo gue harus nyium lo, Dre."
"Lo terlalu jujur."
"Trus apa gue salah?" tanya Natra. "Apa gue salah sama keinginan gue?"
Drea membuang napas lebih panjang lagi. "Gue udah terlalu lama nutup diri gue dari dunia. Dari lo yang gue tau sayang banget sama gue."
Natra memusatkan perhatiannya kepada Drea. "Gue cuma mau lo selalu bahagia, Dre."
"Lo udah lama abisin waktu lo buat gue, Nat. Pelan-pelan gue sadar kalo seharusnya gue selama ini nggak bersikap seburuk ini ke lo."
Natra terdiam, karena menurutnya ucapan Drea kali ini jauh di luar pemikirannya. Jauh di luar ekspektasinya. Mungkin ia sudah terlalu nyaman dengan Drea yang bersikap semaunya dan tidak mempermasalahkan sekalipun Drea memperlakukannya buruk.
"Lo terlalu baik buat gue," Suara Drea terdengar bergetar. "Lo pantas dapat perempuan yang lebih baik dari gue."
"Lo ngomong apa, Dre?" Natra mengeraskan suara.
Drea tidak menjawab. Pandangannya menerawang keluar jendela.
"Kalo lo udah ngerasa lebih baik, sebaiknya kita pulang sekarang."
"Gue sukanya cuma sama lo, Dre."
Drea tersenyum tipis. "Makasih, Nat."
"Nggak, Dre. Gue yang makasih."
Natra melepaskan seatbelt dan tanpa ragu menjangkau wajah Drea, lalu beralih membukakan seatbeltnya. Drea tertegun di hadapannya.
"Lo seharusnya nyetir sekarang," ucap Drea.
Natra menggumam. "Gue nggak butuh nyetir. Gue cuma butuh lo."
Drea menunduk, mengikuti ke mana tatapan Natra jatuh. Mereka sama-sama menarik napas, dan sedetik kemudian, Natra menyatukan bibir mereka dalam satu gerakan lembut yang sejenak melumpuhkan pikirannya.
"Aku cinta kamu, Adreanna."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top