Yang Menyakitkan

Sesungguhnya, Shaw ingin sekali menolak ajakan sandiwara tersebut. Ada dua hal yang mendasari keinginan tersebut: ia tidak suka berpura-pura dan ia tidak ingin disakiti lagi. Akan tetapi, pemuda itu pada akhirnya tidak bisa menampik tawaran yang hadir.

Ia ingin gadisnya bahagia. 

Ia tidak rela melihat seseorang yang teramat dicintainya berlarut dalam duka lantaran ditinggal oleh seseorang.

Cintanya terlalu besar, mengalahkan logika yang semestinya berjalan mulus.

Jika ini adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk membuat sang gadis tersenyum, maka Shaw bersedia untuk mengikuti drama mini yang dibuat (name).

Ia hanya perlu menyembunyikan perasaan, berusaha terlihat tetap normal seperti biasanya.

Dering telepon menuntaskan renungan Shaw. Pemuda itu segera menjawab, menyadari bahwa panggilan tersebut berasal dari (name).

"Ayo ke taman hiburan! Banyak hal yang bisa kita lakukan di sana."

Shaw tersenyum. Sudah lama sekali ia tidak mendengarkan sang gadis dengan intonasi ceria seperti itu.

Pemuda itu segera bersiap, kemudian menemui sang gadis di stasiun kereta api.

"Di sini, Shaw!" (Name) melambaikan tangan. Ia mengenakan blus dengan model ruffle--lipatan yang menumpuk--dan celana jins berwarna agak gelap. Tas selempang kecil berwarna hitam menggantung dari bahunya.

Pemuda itu mendekat, jantungnya sedikit berdebar. "Maaf membuatmu menunggu." Ia mengusap tengkuk--entah mengapa merasa agak panas.

(Name) mengeluarkan ponsel, membuka kamera dengan cekatan. "Mendekatlah!" Ia mengaitkan tangan dengan lengan pemuda itu, memiringkan wajah ke kanan. "Ayo berikan senyum terbaikmu."

Untuk sesaat, Shaw berpikir, apakah ia masih bisa tersenyum ketika tahu bahwa semua ini hanyalah pura-pura?

Jika saja bisa, pemuda itu ingin berteriak sejadi-jadinya. 

Akan tetapi, gadis di hadapannya membuat Shaw setulus hati memberikan senyum. 

Sebuah foto yang sempurna disimpan (name) di dalam galeri, hendak diunggah petang nanti. "Nanti di sana kita berfoto, ya. Setelah itu, kau bebas melakukan apa pun. Mau pulang pun tidak apa-apa."

Tidak ada jawaban.

Adik laki-laki Gavin itu tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Hubungan sesaat yang bisa putus saja seperti ini ... haruskah ia bersyukur atau justru mengeluh?

Logika dan hatinya jelas bertentangan, tak ingin mengalah satu sama lain.

"(Name), apakah kau masih menyukai Gavin?" Shaw memutuskan untuk bertanya ketika di dalam kereta api. Akibat kendaraan yang penuh, pemuda itu terpaksa berdiri--memberikan bangku terakhir kepada (name).

Sebuah helaan napas jengah terdengar jelas. (Name) mengetukkan ujung kukunya pada kursi, menimbulkan suara kecil yang entah mengapa membuatnya lebih tenang dari sebelumya. "Kalau kujawab iya, apa aku akan terlihat sangat bodoh?" Ia berhenti, memandang kedua netra Shaw yang membara bagai api. "Apakah salah jika aku masih menaruh harap pada seseorang yang bahkan enggan melirikku sekali saja?"

Bibir gadis itu bergetar. Shaw tahu persis bahwa (name) masih mencintai kakaknya dengan sepenuh hati. Ketulusan gadis itu memang tidak perlu diragukan lagi, apalagi kesetiaannya.

"Tidak. Itu menunjukkan ketulusanmu." Ada rasa sakit yang menggerayapi batin pemuda itu, sesuatu yang menekannya secara emosional. "Kau adalah orang yang sangat baik, (name)."

(Name) mengulas senyum tersipu, mungkin saat ini sedang membayangkan sosok Gavin dalam imajinasi kecilnya. "Apakah cinta membuat seseorang menjadi bodoh? Ini jelas adalah tolakan, tetapi aku bahkan enggan mundur, masih berharap suatu saat dia memilihku ketimbang gadis lain."

Shaw tidak menjawab. Ia tahu persis mengapa Gavin memilih untuk mencari gadis lain ketimbang (name) yang sebenarnya amat ideal untuknya.

Gavin tahu perasaan Shaw. Ia jelas paham bahwa rasa sayang adiknya terhadap (name) begitu besar, hingga rela mengorbankan perasaan sendiri demi melihat gadis itu tersenyum.

Dan dalam kamus Gavin, jalan cinta sang adik tidak boleh diganggu gugat, begitu pula sebaliknya.

Shaw mengulurkan tangan, menyentuh pipi (name) yang sedikit basah. Diusapnya air mata gadis tersebut. "Kau pasti akan mendapatkan lelaki yang terbaik suatu saat nanti. Perasaanmu tidak akan sia-sia." 

(Name) tertawa sarkas. "Tetapi orang yang kuanggap terbaik sudah tak bisa kudapatkan lagi, Shaw," ujarnya.

Pemuda itu mengangkat bahu. "Mungkin dia bukan yang terbaik untukmu. Atau mungkin belum saatnya kau bersama dia nanti."

(Name) mengepalkan tangan kanan, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. "Kalau begitu aku akan pastikan dia melirikku suatu hari nanti." Ia berseru, berusaha tetap terlihat riang.

Shaw kembali membisu. Tangannya kini kembali ke dalam saku celana, mencengkeram potongan kain tersebut dengan perasaan yang campur aduk.

'Jangan berharap banyak, Shaw.'

Ia memperingati diri sendiri.

Shaw tidak ingin sandiwara kecil-kecilan ini membuat hubungannya dengan (name) retak. Ia tidak boleh terbawa oleh perasaannya sendiri.

Pemuda itu tersenyum.

"Sebelum dia melirikmu, sebaiknya kau menghapus riasan yang luntur. Atau nanti kakakku akan terkejut hingga pingsan." Ia tertawa lepas, membekap kepedihan yang ingin menguasai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top