Tetapi Tidak Bisa

Tidak ada telepon dari (name) sejak hari itu. Pesan yang dahulu mengiringi hari-hari Shaw pun lenyap begitu saja, seakan sang pengirim tidak ingin lagi menjalin hubungan.

Mungkin memang seperti itu keadaannya.

Selepas penolakan yang diutarakan satu minggu lalu, (name) tak pernah lagi menghubungi sang pemuda, seolah keberadaannya ditelan oleh semesta.

Apa sebenarnya selama itu sang gadis menjalin hubungan untuk kepentingan pribadinya?

Spekulasi yang buruk menyerang Shaw dari segala arah.

Ia berharap semua pikiran yang muncul tidaklah benar. (Name) yang dikenalnya bertahun-tahun bukanlah seseorang yang hanya memanfaatkan--gadis itu benar-benar tulus.

Namun, mengapa tiba-tiba menghilang tanpa kabar? Apakah gadis itu kecewa karena ditolak oleh Shaw?

Sang pemuda menghela napas, mengistirahatkan kepala pada meja makan sembari menunggu sang kakak yang sedang menyiapkan sajian sederhana.

"Sepertinya beberapa hari ini kau sering di rumah, ya." Gavin meletakkan piring berisi makanan instan yang baru dipanaskannya. "Di mana kekasihmu? Apa kalian bertengkar?"

Mendengar hal tersebut, Shaw menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit menghantam dada tanpa ampun, membuatnya kehilangan selera dan tenaga. "Kami bukan kekasih. Dia hanya temanku."

Alis cokelat Gavin terangkat sebelah. Ia mengambil segelas air, memberikannya kepada sang adik. "Kalian terlihat begitu mesra. Aku sering melihat unggahannya."

Shaw memejamkan mata. Tentu saja mereka terlihat begitu mesra. Semua ini merupakan rencana (name) untuk membuat Gavin menyesal karena menolak perasaannya.

"Sulit menjelaskannya, tetapi yang penting kami hanyalah teman."

Tangan pemuda itu terkepal erat, setiap kata dilontarkan dengan penuh penekanan, seakan Gavin tidak dapat mendengarkan dengan baik.

Gavin mengusap dagu, mengingat kembali setiap unggahan penuh cinta dari (name) di akun media sosialnya. "Tapi kupikir dia menyukaimu. Matanya itu jelas merefleksikan ketulusan."

Shaw mendesah, ia meninggalkan ruang makan dengan langkah gusar. Ketulusan, katanya. Andai saja semua tatapan itu memang tertuju padanya, mungkin Shaw akan menjadi lelaki paling bahagia di muka bumi.

Namun, semua itu juga palsu, 'kan?

"Ketulusan apanya?" Ia melemparkan ponsel dengan kasar, menghantam ranjang dengan kecepatan tinggi--untuk tidak ada kerusakan yang terjadi. Ia bersandar pada dinding, menatap lurus-lurus ke atas dengan kedua netra yang sedikit berkaca.

Seandainya ia dan gadis itu bertemu pada tempat yang berbeda dan situasi yang berbeda, apakah Shaw punya kesempatan?

Jika ia memiliki kesempatan sekalipun, ia tidak dapat mengubah apa yang sudah terjadi. Semua sandiwara yang sudah ia setujui sejak awal ini jelas membuat hubungannya retak perlahan.

Alih-alih menjadi kekasih (name), Shaw kini harus menderita karena kehilangan kontak dengan gadis itu.

Hati pemuda itu serasa diremas, kenangan selama bersama sang gadis kembali mendatangi pikiran. Semua memori yang ujungnya menyakitkan seperti ini, mengapa ia masih menganggapnya manis?

"Ada yang salah dengan pikiranku."

Shaw tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti.

Jika ada satu hal yang diyakininya, pasti hal itu adalah kenyataan bahwa ia mencintai gadis cantik tersebut.

Gadis yang menjadi pujaan hatinya semenjak mata pertama kali bertemu.

Namun kini, tidak ada (name) di sisinya. Ia kembali sendirian, seperti hari-hari biasanya. Tiada subjek yang bisa diusilinya lagi.

Menyadari hal tersebut, rasanya amat menyakitkan.

Dering telepon sekali lagi memutus pemikiran Shaw, pemuda itu menengok ke arah ponsel yang layarnya menghadap bawah, berharap cemas di dalam hati.

Ia meraih ponsel, mengumpulkan keberanian untuk membaca nama yang tertera, lantas mengangkatnya dengan terburu-buru ketika mendapati nama (name) di sana.

Rasa cintanya yang begitu besar meluluhlantakkan ketegaran hati. Ia tetap saja tidak bisa berpindah hati dengan mudahnya.

"Halo, Shaw? Bisakah kita bertemu sebentar?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top