Menolak
Dua minggu, satu bulan, setengah tahun.
Hari berganti dengan begitu cepat, membuat Shaw nyaris lupa bahwa semua ini hanyalah sandiwara semata.
Hubungannya dengan (name) terasa begitu nyata. Pergi ke bioskop, menyaksikan film, melewati akhir pekan bersama, dan saling berbincang, seperti sepasang kekasih sesungguhnya.
Sayangnya, semua itu terlalu indah untuk dijadikan kenyataan.
Dengan atau tidaknya hubungan maya tersebut, statusnya tidak akan berubah--teman baik (name) sepanjang masa.
Shaw tahu, ia seharusnya tidak bertahan lebih lama lagi di dalam hubungan ambigu seperti itu. Ia harus mengambil tindakan: membiarkan hatinya menderita atau membuat sang gadis menderita.
Ia tahu bahwa semua kesenangan ini akan berakhir selagi mereka bergandengan tangan menuju garis selesai. Namun, ia tidak tahu di manakah garis tersebut akan menyapanya.
"Shaw, mengapa kau melamun?" Tangan (name) berada tujuh sentimeter dari wajah pemuda tersebut. Ia menggerakkan jemari, berusaha untuk mendapatkan perhatian Shaw.
Pemuda itu menggeleng, lantas melihat malam yang kian menggelap. "Aku akan mengantarmu pulang." Ia menarik lengan gadis itu cepat, menyadari bahwa pasar malam sudah semakin sepi seiring jam bergulir.
"Tunggu! Satu foto lagi untuk mengenang hari ini."
Dengan pemandangan pasar malam yang masih penuh dengan lampu bercahayanya, gadis itu memotret, memberikan senyuman terbaiknya pada kamera.
"Nah, ayo!"
Shaw terdiam, lantas melemparkan helm dan jaketnya kepada sang gadis. "Pakailah supaya tidak kedinginan. Dan lain kali jangan menggunakan baju yang terlalu tipis."
(Name) tertunduk, tidak memberikan jawaban.
"Ah, kau ini lama sekali!" Shaw menggerutu, mengambil kembali jaket miliknya, kemudian memakaikannya kepada sang gadis. Tak lupa, pemuda itu turut memasang helm di kepala (name). Ia mengetuk helm tersebut beberapa kali. "Seperti ini lebih baik," ujarnya, lantas naik ke atas motor.
(Name) beringsut ke atas motor, masih dengan tatapan kosong dan mulut terkatup rapat.
Tiba-tiba, Shaw menarik tangan kanannya. "Pegangan padaku. Aku akan sedikit mempercepat kelajuan berhubung hari sudah malam." Ia memperingati, memastikan kedua tangan (name) memegangi pinggangnya dengan erat agar tidak terjatuh.
(Name) menyandarkan kepalanya pada bahu Shaw, menghela napas dalam-dalam selagi memandang ke bentangan jalan yang sudah sangat sepi.
Ada perasaan aneh yang hadir di hatinya, sesuatu yang membuat debaran jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya.
Perlahan, gadis itu jatuh terlelap, kesadarannya dilahap oleh rasa kantuk.
Menyadari hal tersebut, Shaw langsung berhenti. Ia melirik sekilas ke arah belakang, memandangi sang gadis dengan begitu dalam.
Ia membelai wajah (name) pelan, memutuskan untuk membangunkan gadis tersebut akan perjalanan dapat diteruskan. Tangannya bergerak, menyentuh ujung rambut sang gadis, memilinnya perlahan.
"Hei, bangun. Kau berada di motor, bukan hotel." Sebuah cubitan pelan mendarat di pangkal hidung sang gadis, membuatnya langsung terbangun. "Apakah bahuku senyaman itu?" Shaw melanjutkan sambil tertawa kecil.
Wajahnya bersemu merah. Ia mencubit pinggang Shaw, lantas menenggelamkan wajah di bahu bidang pemuda itu. Ada aroma khas dari Shaw yang menyapa penciuman gadis tersebut. "Cepat jalan," gumamnya, masih enggan melepaskan cubitan.
"Kalau aku jalan sekarang, kita berdua bisa mati tertabrak," ujar Shaw dengan sarkas.
Cubitan tersebut akhirnya dilepaskan setelah dua menit berlalu. Shaw meneruskan perjalanan, memutuskan untuk membuang semua perasaan yang mengganjal hati.
Lima belas menit bergulir, membawa (name) dan Shaw di depan sebuah apartemen dengan beberapa jendela yang masih berpendar terang. "Masuklah." Ia segera memerintahkan.
(Name) melepas jaket berwarna ungu muda yang ia kenakan, lantas segera diserahkan kepada sang empunya. Tak lupa, gadis itu segera mengembalikan helm yang dipinjamkan. "Terima kasih untuk hari ini," ujarnya.
Pemuda itu mengangguk. "Tak masalah."
Hening menyelimuti, tetapi (name) enggan melangkah masuk, begitu pula dengan Shaw.
"Apakah kau masih menaruh harapan pada kakakku?" Suara dingin itu mengakhiri sesi berdiam yang sudah lama berlangsung.
(Name) mengangkat kepala. Ia tidak mampu memberikan jawaban yang pasti, sebab hatinya pun meragu dengan perasaan sendiri. Ia berdiam sekian menit, membiarkan pertanyaan itu melayang sejenak di udara yang menusuk kulit.
"S-sepertinya begitu." Ada kesangsian yang amat berlimpah, memahat setiap kata dengan erat.
Shaw hanya menghela napas, menyalakan kembali kendaraan yang sempat dimatikan mesinnya, bersiap untuk melaju menuju kediamannya.
"Tunggu sebentar, Shaw." Suara gadis itu kembali menyapa. "Besok temani aku menonton film yang baru tayang, ya!"
Tidak ada jawaban. Pemuda itu hanya berdecak, tetap fokus kepada jalanan yang terbentang di hadapannya. Tangannya mencengkeram erat pegangan motor, berusaha melawan keinginan untuk menerima ajakan tersebut.
"Aku tidak bisa." Ia bergumam, melirik gadis tersebut dari sudut matanya. "Dan aku tidak mau terlibat dengan sandiwara seperti ini lagi."
Dengan tolakan tersebut, Shaw langsung memacu kecepatan, tidak berani melihat ekspresi (name). Sebab hatinya belum siap memberikan jawaban seperti itu, tetapi logikanya mendesak.
Ia sudah muak dengan hubungan palsu tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top