Dan Aku....
Taman hiburan sudah dipenuhi banyak orang ketika Shaw dan (name) tiba, mungkin karena akhir pekan.
"Ramai juga, ya." Gadis itu menghela napas. Dikelilingi banyak orang merupakan salah satu hal yang membuatnya sering merasa tidak nyaman.
Jemarinya diraih Shaw, digenggam dengan begitu erat. "Jangan lepaskan tanganku. Nanti kau tersesat." Ia terdiam sejenak, kemudian menyuguhkan senyum jahil. "Kau 'kan buta arah, nanti malah lupa arah jalan pulang."
(Name) tersenyum, memukul bahu Shaw dengan lembut. "Kalau itu sih tidak akan terjadi!" protesnya.
Shaw tertawa. Sudah lama rasanya ia tidak menjahili sahabatnya itu, entah apa alasannya. Mungkin ia takut (name) merasa tersinggung, atau mungkin karena ada rasa lain yang menguasai pikirannya.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan? Naik wahana? Atau makan hingga kenyang?" Pemuda itu menunjuk antrean panjang di sebelah kirinya.
"Satu foto saja sudah cukup, setelah itu kita bebas ke mana saja." Sang gadis melihat sekitar, menemukan sebuah kios kecil yang menjual gulali. Ia menarik Shaw, menyerobot kerumunan yang sedang sibuk melihat atraksi badut berkaki panjang di dekat salah satu wahana.
Shaw mengikuti dengan langkah besar, kemudian duduk di bangku. Dedaunan rindang menghalangi cahaya matahari menjamah kulitnya.
Baru saja (name) hendak pergi, Shaw menahan lengannya, melemparkan jaket yang tadi ia kenakan.
(Name) menangkap dengan cekatan, memeriksa jaket tersebut, seolah sedang mencari kamera tersembunyi atau penyadap suara. "Untuk apa ini?"
Shaw menutup sebagian wajahnya dengan tangan kanan. Pemuda berambut gelap itu berdeham singkat. "Bajumu terlalu tipis," tukasnya. "Apakah kau berencana menggoda lelaki hari ini?"
Sang gadis segera mengenakan jaket tersebut, wajahnya bersemu merah. "Tidak sama sekali." Ia berteriak, menutupi tubuh dengan kedua lengan. "Jangan-jangan dari tadi kau sengaja tidak memberitahuku!" tuduhnya penuh dengan emosi.
Tawa Shaw kembali terdengar. Ia segera berdiri, mengusap kepala (name), kemudian mengantre untuk mendapatkan gulali.
"Kalian tampak sangat serasi. Apakah kalian sepasang kekasih?" Sang pemilik kios mengulas senyum, kedua tangannya sibuk membuat camilan manis itu menjadi bentuk yang beraneka ragam.
"Tentu sa--"
"Tidak." (Name) buru-buru menyela, kemudian melanjutkan dengan sangat berhati-hati, "Kami hanya sahabat, sudah kenal semenjak SMA."
Pria dengan senyum ramah tersebut menyerahkan gulali berbentuk hati kepada Shaw. "Semoga ke depannya hubungan kalian akan semakin baik, ya."
Shaw memberikan bayaran, sengaja melebihkan sebagai uang tip kepada sang penjual. Ia memberikan permen kapas tersebut kepada sang gadis, tak berniat memakannya sama sekali.
"Nah, sekarang ayo berfoto!" (Name) mengangkat gulali tersebut hingga setinggi bahu Shaw, kemudian memotret lagi dengan begitu ahli.
Ia lantas menghabiskan sekian menit untuk memberi detil tambahan pada foto tersebut, mengatur kecerahan dan saturasi agar tampak apik ketika diunggah nanti.
"Shaw tidak memakannya?" (Name) menyimpan kembali ponselnya, menyadari pemuda di sebelahnya masih memegangi permen kapas dengan mata terpejam.
Shaw menggeleng. Ia menyodorkan gulali tersebut kepada (name), masih dengan mata yang terpejam.
Memutuskan untuk tidak banyak bertanya, gadis itu mencomot camilan tersebut dengan jarinya, lantas menyumpalkan gumpalan berwarna merah muda itu ke dalam mulut Shaw. "Makanlah bersamaku. Aku tidak mau diabetes sendirian."
Terkejut, pemuda berusia 20 tahun itu menutup mulut dengan punggung tangan. Ia bergeser sedikit, memberikan tatapan heran kepada (name).
"Manis, 'kan?"
Iris kuning yang sedari tadi terfokus pada sang gadis langsung mengarah ke bawah. Tiada rasa manis yang dapat dirasakan oleh lidahnya yang kelu. Hanya pahit yang menguasai, baik di hati maupun pengecapnya.
"Iya manis, sama sepertimu."
(Name) termangu, wajahnya lagi-lagi bersemu merah, tetapi ia segera berpaling ke arah lain. "Apa-apaan itu!"
Shaw tergelak. Ia menjulurkan lidahnya. "Bercanda, kok!"
Gadis itu menggembungkan pipi, kesal dengan tingkah laku sahabatnya itu. "Berhentilah menjadi usil seperti itu!" Ia menghentakkan kedua kaki.
Shaw mengusap dagu, memiringkan kepalanya sedikit ke arah kanan. "Kau harus melihat wajahmu sendiri ketika tertawa, mungkin akan viral jika diunggah ke internet." Ia menutupi mulutnya dengan tangan, sebisa mungkin menahan keinginan untuk meneruskan kejahilannya.
(Name) menyilangkan tangan di depan dada, pura-pura merajuk.
Shaw berhenti setelah terkekeh sekian menit. Menyadari gadis itu sudah merasa muak dengan semua ejekan yang diberikan, sang pemuda langsung melirik sekitar. "Ikut aku," ujarnya, berjalan terlebih dahulu menerobos kerumunan.
"Untuk apa?"
"Kita sudah membayar untuk masuk ke sini. Setidaknya kita harus bersenang-senang." Ia mengedarkan pandangan, menyadari bahwa hampir seluruh wahana penuh oleh lautan manusia,
Butuh waktu lima menit bagi Shaw untuk menghapus belasan opsi yang muncul di pikirannya. Ia berjalan terus, menggandeng (name) dengan tangannya agar tidak terpisah.
"Sebenarnya kita mau apa, Shaw?" Gadis itu mulai bertanya-tanya, tetapi tak kunjung diberikan jawaban.
Mereka berhenti berjalan ketika sampai ke sebuah wahana yang tidak begitu terurus, beberapa bagian catnya sudah terkelupas.
"Komidi putar?" (Name) menaikkan sebelah alis. "Dari sekian banyak wahana, kau memilih ini?"
"Hanya ini yang sepi."
Perempatan siku imajiner muncul di dahi (name). Ia mengulas senyum masam, menyadari bahwa wahana yang dipilih Shaw sudah tidak dioperasikan lagi. "Kau ingin membodohiku?" Aura gelap menguar dari gadis tersebut.
Shaw menempelkan jari telunjuk di bibir, kemudian memberi isyarat kepada (name) untuk pergi terlebih dahulu menuju komidi putar tersebut.
(Name) menurut, meski dirinya sempat ragu dengan keputusan sendiri.
Tak lama kemudian, komidi putar mulai bergerak. Sedikit suara berderik mengganggu pendengaran gadis tersebut. Akan tetapi, bunyi yang tidak nyaman tersebut hilang semenit kemudian.
Lampu-lampu di sekitar wahana tersebut berkedip dengan samar, beberapa lainnya mati total karena sudah lama tidak digunakan.
Shaw melompat naik, memosisikan diri di sebelah (name). "Duduklah." Ia menunjuk kepada salah satu kuda-kudaan berwarna putih dengan dekorasi warna merah muda yang sedikit memudar di beberapa bagian.
"Apakah ini legal?" Alis (name) tertaut.
"Selama tidak ketahuan. Apabila ketahuan sekalipun, kita tinggal lari secepat kilat." Shaw mengangkat bahu, duduk di salah satu kuda, wajahnya menghadap lawan bicaranya.
(Name) tidak lagi berbicara. Tangannya mencengkeram tiang yang menyokong wahana tersebut, pandangannya diarahkan ke bawah.
"Masih memikirkan Gavin?"
Suara tersebut membuat sang gadis tersentak. Ia buru-buru menggeleng, berusaha menutupi kegugupan yang menguasai.
Shaw berdecak. "Tingkah lakumu menunjukkan segalanya." Jari telunjuknya menyentuh pipi kanan (name). "Jangan menyembunyikan perasaanmu. Itu akan membuatmu semakin menderita."
(Name) menurunkan tangan Shaw dari wajahnya. "Kau tidak mengerti, Shaw!" Maniknya berkaca-kaca ketika mulai berbicara. "Rasa sakit yang kualami ini.... Mana mungkin kau bisa paham!"
Shaw menggigit bibir bawahnya, mengalihkan pandangan dari sang gadis. "Aku mengerti, kok." Ia berhenti sejenak untuk membuang napas kasar. "Sangat mengerti," imbuhnya dengan penuh penekanan.
"Shaw mencintai seseorang...?"
Pemuda itu bangkit berdiri, meraih pergelangan tangan sang gadis dengan terburu-buru. "Ayo lari kalau kau tidak ingin tertangkap!" Ia berseru, mulai melangkah dengan cepat.
"Hei! Kau belum menjawab pertanyaanku!" (Name) tergopoh-gopoh, berusaha mengimbangi kecepatan pemuda di depannya.
Shaw tidak menatap ke arah gadis itu. Ia terus berlari, berharap rasa letih akan mengangkat semua rasa yang mendiami dadanya seharian itu.
Seberapa besar pun keinginannya untuk memberitahu (name) mengenai cintanya, Shaw tidak akan pernah bisa.
Bukan karena terjebak dalam zona pertemanan atau semacamnya, tetapi Shaw takut perasaannya akan berakhir sia-sia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top