Prepossess - 14
Seringkali aku harus membuka mata untuk sekadar berusaha percaya.
Atau berkedip ketika harus bersungguh-sungguh merasa.
Tapi baru saja aku tersesat di kabut dengan hati yang berbunga.
Padahal mataku tertutup, juga tanganku terjerat.
Kabut tebal itu bernama, yang membuatku tersentak ketika berhasil kueja.
Sedang apa kamu di dalam sana juga?
🔥
Ps. Suka sekali quote part ini hehe 😂
Selamat membaca 😘💜💜💜💜💜
🔥
Bella cukup sadar untuk bisa mendengar dengan jelas kalimat Romeo tadi yang begitu dekat di telinganya. Tapi tidak cukup kuat untuk tidak terkejut setelahnya. Bukan hanya itu, tubuhnya yang kaku juga disebabkan karena rangkulan Romeo yang membuat mereka sangat dekat.
Namun bagi Robert, kalimat Romeo mungkin terdengar seperti lelucon membuat laki-laki itu mendengus tidak senang. "Kekasih? Kurasa saat ini kau sudah tertidur hingga sekarang sedang bermimpi."
"Ya," Romeo menusuk pipinya dengan telunjuk. "Dia memang seperti mimpi indah yang tiba-tiba terwujud."
Bella merasakan sesuatu di dadanya berdetak semakin gila.
"Bella, kembalilah padaku," Robert masih berusaha membujuknya. "Kau tentu tidak mungkin berakhir pada orang seperti dia."
Melihat Robert yang hendak maju meraihnya, membuat Bella merapatkan diri pada tubuh Romeo. Napas laki-laki itu menerpa puncak kepalanya. "Aku juga tidak ingin berakhir denganmu. K-kaulah yang harusnya menjauh."
"Bisakah kau mencoba memikirkan hubungan yang sudah kita jalin selama ini? Jangan hanya karena hal sepele lalu kau bisa dengan mudah pergi ke pelukan laki-laki lain. Kau lupa cincin yang kusematkan di jarimu?"
Sepele? Sejak kapan perselingkuhan menjadi hal sepele? Bisa-bisanya Robert berkata seolah Bella yang bersalah atas kandasnya hubungan mereka.
"Dan kau," telunjuk Robert mengarah pada Romeo. "Kau pikir aku percaya kata-katamu?"
"Aku tidak peduli apa yang kau percayai." Romeo mengeratkan rangkulan. "Hanya saja kau tiba-tiba muncul dan membuat wanitaku kesal."
Robert jelas marah, dengan bukti gerakan menyisir rambut ke belakang yang kasar. "Kau tidak boleh bersama laki-laki lain, Bella! Tidak ada yang bisa membahagiakanmu selain aku!" Robert bersikeras.
"Membahagiakannya?" Romeo melepas Bella hanya untuk maju menghampiri Robert. "Mungkin yang kau maksud adalah mengkhianatinya hingga membuatnya berjalan sendirian di malam hari dengan kaki telanjang juga wajah menyedihkan?"
"Kau tidak tahu apa-apa! Sebaiknya kau menutup mulut besarmu sebelum aku memanggil orang-orang untuk merobeknya."
Bella tahu Robert tidak sekadar menggertak, laki-laki itu memiliki banyak tangan bantuan berbayar. Oleh karenanya ia menarik lengan Romeo mundur. Ia terkejut menemukan tangan Romeo terkepal sekeras batu. Seolah tengah menahan amarah, seolah sedang mengendalikan emosi.
Tapi ketika Bella menggenggam tangan Romeo, laki-laki itu membuang napas kasar lalu kemudian kepalan tangannya melonggar.
"Pergilah, Robert." Pinta Bella. "Aku sudah menyelesaikan apapun persoalan di antara kita. Aku pergi darimu adalah cara terbaik untukku menyelamatkan diriku. Setidaknya aku tidak akan menjadi penghalang bagimu untuk bersama wanita yang kau inginkan."
Belum pernah Bella melihat tatapan Robert setajam itu. Bahkan ketika Bella memaksa ingjn memilih menu ketika makan malam atau meminta untuk ditemani memasak, Robert masih memiliki mata yang ramah. Tapi sekarang laki-laki itu berubah dingin begitu pula ketika memandang Romeo.
Dan sepertinya rasa kesal terhadap Robert menjadi tidak terlalu penting baginya sekarang. Bella lebih takut jika Romeo harus berurusan dengan Robert. Karena itu tidak akan berakhir baik.
"Setidaknya kau bisa mencari seseorang yang lebih pantas untukmu, Bella." Ucap Robert selanjutnya.
"Lalu kau pantas?" Romeo menyela.
"Kau yakin menanyakan hal itu?" Robert bersidekap. "Aku mempunyai pekerjaan paling layak daripada orang lain di seluruh kota. Gedung tertinggi di kota ini adalah perusahaanku," Robert memperbaiki letak dasinya sehabis dibanting Romeo tadi. "Juga tabungan yang lebih daripada cukup untuk membahagiakan Bella." Robert memperhatikan Romeo dari atas sampai bawah. "Apa yang bisa dimiliki orang sepertimu?"
Ucapan Robert sangat tidak pantas dan kasar. Meremehkan seseorang karena pekerjaannya adalah keterlaluan. Setiap orang punya pengorbanan masing-masing dalam hidupnya.
Romeo memang tidak mengenakan setelan jas, tapi bukan berarti t-shirt hitamnya menjadi terlihat biasa. Di mata Bella saat ini, dengan tato yang mengintip keluar di lengan pendeknya, dengan cara yang sulit dijelaskan, Romeo justru terlihat lebih hangat.
Kecuali ucapan Romeo di rofftop tadi yang membakar harapannya. Bella kira Romeo akan terpancing, tapi jawaban laki-laki itu malah di luar dugaannya.
"Tidak bermaksud membuatmu terkejut, tapi seperti yang kau dengar tadi," Romeo melihat ke arahnya. "Aku memiliki Bella. Dia sudah memenuhi segala hal yang aku butuhkan."
Robert menertawakan kalimat Romeo. Mungkin jika dalam keadaan lain, kalimat itu akan menjadi sangat romantis untuk Bella. Mungkin jika itu didengarnya di waktu berbeda, akan membuat wajahnya sepanas oven.
Mungkin akan menyenangkan jika seandainya itu adalah nyata. Bukan sikap refleks sandiwara di depan mantan tunangannya.
"Berhenti mengatakan omong kosong! Kau pikir bisa menipuku dengan mudah. Aku sangat mengenal Bella. Dia tidak bisa dengan mudah jatuh cinta dalam waktu singkat. Aku tidak tahu siapa kau dan apa maumu tapi segeralah pergi dan berhenti menyentuhnya!"
"Maksudmu, kau ingin aku membuktikannya?" Amarah yang tadi Bella lihat pada Romeo benar-benar lenyap ketika laki-laki itu menatapnya.
Tunggu.
Apa yang barusan dikatakannya?
"Bajingan sialan!" Robert mengunpat. "Jika kau ingin menciumnya di hadapanku, itu akan menjadi sangat murahan!"
Apa? Tidak mungkin Romeo melakukannya!
Romeo menelusupkan lengannya di leher Bella. Menggoda anting bunga kamomilnya dengan sentuhan lembut sekaligus merapatkan tubuh mereka seolah memang itulah yang sudah sering mereka lakukan.
"Setidaknya aku tidak melakukannya sembunyi-sembunyi..." ujar Romeo, menyindir Robert sangat telak.
Tatapan Romeo turun ke arah Bella. Wajah laki-laki itu perlahan mendekati telinganya dengan bisikan rendah yang hanya bisa didengar Bella. "Haruskah aku menciummu?"
Ketika wajah Romeo menjauh dan kali ini berada tepat di hadapannya, Bella hanya sanggup menahan napas sementara telapak tangannya berkeringat. Sepasang mata indah saat ini sedang memerangkapnya.
Ketika Bella benar-benar sudah berpikir akan menyerah, menyerah pada Romeo, laki-laki itu justru memalingkan wajah dan menatap Robert.
"Tentu saja aku tidak akan mencium Bella hanya untuk pembuktian padamu. Kau bahkan tidak sepenting itu," Romeo kembali menatapnya, masih mengelus ringan antingnya membuat Bella tidak bisa mengalihkan mata dari laki-laki itu.
"Aku menyentuh Bella hanya jika dia menginginkannya. Hanya jika itu berasal dari permintaannya. Hanya jika itu membuatnya merasa lebih baik," jari yang mengelus antingnya bergerak menuju ujung bibir Bella. "Hanya jika itu bisa membuatnya tersenyum."
Baru saja Bella merutuki perasaannya yang terlalu cepat pada Romeo. Baru saja ia menyesal karena meletakkan pengharapan pada laki-laki itu. Baru saja ia ingin menjauhi Romeo agar tidak perlu repot mengurusi hatinya.
Tapi hanya dengan sentuhan lembut, juga kalimat manis yang membelainya kali ini membuat Bella hampir mempercayai jika Romeo juga menyimpan perasaan yang sama dengannya. Bella tanpa sadar mencengkram t-shirt hitam laki-laki itu.
"Jadi," dengan nada angkuh yang tidak dibuat-buat Romeo menunjuk Robert. "Jangan menunggu untuk sebuah pertunjukkan. Lebih baik kau pulang selagi kakimu masih bisa kau gunakan."
Setelah mengatakan itu Romeo membawanya masuk ke apartemen Bella. Dan menutup pintu di belakang laki-laki itu. Hanya lampu di atas merea yang menyala. Keduanya diam. Saling menatap seolah kata tertelan di antara mereka. Jika saja boleh, Bella ingin menghentikan waktu sebentar saja. Agar ia bisa menikmati sedikit lebih lama terhanyut dalam kabut tebal bernama Romeo.
Tapi tentu saja itu tidak bisa. Keberadaan laki-laki itu di apartemennya saja sudah membuatnya meremang. Bella bingung. Ia seperti memasuki ruangan gelap tanpa cahaya dan tidak tahu harus bagaimana. Romeo sudah mengatakan dengan jelas jika tidak ada harapan untuk sebuah hubungan romantis di antara mereka.
Romeo mematahkan tatapan mereka dengan menuju ke lemari pendingin dan mengeluarkan es batu dari sana. Membungkus balok es kecil itu dengan handuk di atas wastafel dan membawa Bella duduk di kursi dapur.
Sedikit aneh, melihat betapa lembut Romeo menempelkan handuk dingin itu ke pergelangan tangannya, padahal beberapa waktu yang lalu laki-laki itu baru saja menghajar seseorang.
"Kenapa kau melakukan itu?" tanya Bella memecah sunyi.
"Dia menyakitimu dan aku memukulnya."
"Kau pasti tahu apa yang kumaksudkan."
Romeo membuang napas kasar. "Supaya si brengsek itu tidak mengganggumu lagi."
"Dengan cara berpura-pura sebagai kekasihku?"
"Kau keberatan?"
Bella hampir tertawa. "Beberapa menit yang lalu, kau sendiri yang mengatakan jika tidak mungkin ada hubungan serius di antara kita. Lalu kau datang bersikap seperti pahlawan untuk membantuku yang mana aku sendiri tidak butuh bantuanmu!"
"Mungkin kau lupa jika aku tidak ada di sana, Robert mungkin sudah menyeretmu dari sini. Entah dengan cara apa tapi sudah pasti dia tidak peduli jika harus menyakitimu."
"Itu bukan urusanmu."
"Itu adalah urusanku."
Bella mendesah seraya mengusap wajahnya. "Berhenti membuatku bingung, Romeo. Apa yang kau inginkan dariku?"
Romeo menatapnya. Sorot keputus-asaan nampak di sepasang mata tajamnya. "Aku ingin berada di sampingmu."
"Untuk apa?"
"Apakah harus ada alasannya?"
Apakah mungkin tidak ada alasan atas keinginan untuk dekat dengan seseorang?
"Kau boleh menggunakanku sebagai pelampiasanmu," kata Romeo tertunduk lirih.
Namun kalimat itu begitu menghantam Bella.
"Kau boleh memintaku melakukan apa saja. Aku bisa menjadi apa pun yang kau butuhkan. Aku akan menjagamu, membuatkanmu teh kapan saja. Apapun itu, asalkan aku boleh berada di dekatmu."
Bukan hubungan seperti itu yang Bella mau.
"Hanya satu hal yang kuminta," Romeo mengangkat tatapannya. Menjadikan salah satu sisi hatinya nyeri karena sorot mata laki-laki itu diliputi kesedihan tak terjelaskan.
"Jangan pernah mencintaiku." katanya.
🔥
Halool...
Apa kabar kamu dariku yang selalu mengharapkan kamu bukan hanya sekedar baik-baik saja tapi juga bahagia.
Cukup dengan bahagia kecil yang sederhana seperti, bisa makan mie instan tengah malam tanpa rasa penyesalan, atau bisa nonton film favorit tanpa gangguan, atau dibuatin makanan kesukaan sama orang tua, atau karena cerita ini akhirnya update setelah ratusan purnama.
Bahagia kadang banyak di sekitar kita. Cuma kadang karena terlalu jauh melihat ke depan komplek jadi nggak keliatan. 🤣
Terima kasih ya sudah menunggu dan membaca cerita ini. 💜💜💜
"Selamat malam." Kata Romeo menutup pintu setelah sebelumnya berhasil menusuk pipimu dengan telunjuk.
Faradita
Penulis amatir yang tahu akan ada komen bilang part ini sedikit bangettt nggak berasa banyakin dong kalo update udah lama juga hahahha iyaiya sabar yah sayang memang gitu penulisnya lelet 😂🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top