Prepossess - 12
Seperti waktu yang menjelmakanmu di mataku
Seperti tidak ada yang pantas ditunggu
Seperti menjatuhkanku di sini adalah pesan itu
Bahwa sejak pertama, aku sudah merindukanmu
🔥
Bella memiringkan kepala menilik ke luar jendela. Bangunan itu berlantai tiga, ditutupi cat putih gading yang menonjolkan pepohonan di sekitarnya. Sebuah papan yang tertancap di bagian depan pagar betonnya membuat Bella menimang pertanyaan di kepala.
Pintu mobil yang terbuka membuyarkan pengamatan Bella. Rupanya Romeo sudah turun dari mobil terlebih dulu. Bella hendak turun, dan tangan Romeo terjulur di atas puncak kepalanya yang melewati atap mobil.
"Senang sekali kau mau bergabung, Bella." ujar Ronald yang juga turun dari mobil dengan membawa kotak persegi berisi kopi dan kue dari kafe. Ronald dan Jack yang masing-masing juga membawa kotak mendahuluinya masuk.
Romeo yang juga mengikuti berhenti dan berbalik menatap Bella. "Masuk."
Bella bermaksud ingin membantu dengan mengambil alih beberapa paper bag di tangan Romeo karena laki-laki itu juga membawa dua kotak sekaligus. Namun laki-laki itu mengangkatnya lebih tinggi dari jangkauan Bella. "Jangan coba-coba."
Bella tidak mendebat. Mengekor langkah Romeo memasuki rumah. "Untuk apa kita datang ke sini?"
"Membuat kopi," katanya santai.
"Di panti jompo?"
"Memangnya kenapa?"
"Ti-dak," Bella mengejar langkah panjang Romeo. "Hanya saja ini tidak biasa."
Romeo berbalik untuk mendorong pintu dengan punggungnya. "Menurutku kau akan menyukainya."
Baru saja mereka melewati pintu, Bella sudah bisa mendengar suara ramai dari dalam. Lorong masuk dihiasi dengan banyak foto-foto di dindingnya. Juga lemari berisi banyak piala-piala. Bella tidak sempat meneliti lebih jauh karena mengikuti langkah Romeo yang berbelok ke sebuah ruangan.
Semua orang di sana bersorak karena melihat Romeo.
"Kau di sana rupanya."
"Hi, Romeo. Aku menunggumu."
"Kemana saja kau?"
"Ada apa dengan wajahmu? Kau berkelahi lagi?"
"Kemari-kemari biarkan aku memelukmu?"
Romeo mendatangi meja bundar di dekat perapian. Melipat satu kakinya sehingga sejajar dengan wanita tua itu dan bisa mendekap kepalanya.
Ada lima meja bundar di ruangan itu dengan diisi tiga orang di setiap mejanya. Semuanya lansia, yang memiliki ciri khas serupa dengan rambut memutih juga dibalut pakaian hangat. Yang tampak begitu gembira menyambut kedatangan Romeo. Seolah laki-laki itu adalah anak mereka.
"Bukan hanya Romeo yang datang hari ini," gerutu Jack. "Kenapa aku tidak disambut seramai itu?"
"Kau selalu menggerutu, Jack. Perbaiki penampilanmu itu. Aku tidak suka melihat kemejamu kusut begitu. Kau bukan anak jalanan." ujar seorang wanita tua lain, yang tidak jauh dari tempat Jack berdiri.
"Kalau begitu aku saja yang memelukmu," Jack menunduk dan memeluk wanita itu erat meski dihadiahi pukulan lemah di punggungnya.
Ronald berada di ujung ruang tengah mengeluarkan barang-barang yang tadi mereka bawa. Romeo meletakkan kotak yang tadi juga dibawanya di sana.
"Hari ini kami juga membawa seorang teman baru," Romeo menoleh ke arahnya. "Namanya Bella. Dan dia memiliki tangan ajaib."
Seketika seluruh pasang mata di ruangan itu melihat ke tempat Bella berdiri. Bella tersenyum kikuk, tidak siap atas perkenalan tiba-tiba itu. Romeo menghampirinya, dan menggandeng tangan Bella. Ia merasakan ada sesuatu mengganjal di sana, tapi tetap mengikuti tarikan laki-laki itu mendekati sebuah meja.
"Tidak ada yang memiliki tangan ajaib, Romeo. Kau mengira aku anak kecil?"
"Tidak, Mary, " Romeo mengusap bahu wanita itu. "Ulurkan tanganmu agar aku bisa membuktikannya."
Wanita itu mengulurkan tangan menghadap ke atas. Lalu Romeo melepaskan genggaman mereka dan meletakkan tangan Bella menggenggam tangan wanita itu.
"Kau bisa merasakannya, Mary?" tanya Romeo.
Semula wanita tua itu mengernyitkan dahi, lalu meremas tangan Bella sedikit lebih kencang. Seketika senyuman terbit di wajah keriput yang menularkan senyuman bahagia.
Wanita itu lalu menatap Bella. "Senang melihatmu, Bella."
"A-aku juga. Senang mengenalmu, Mary." ketika genggaman tangan mereka terlepas, ada sebuah cokelat berbentuk persegi kecil di tangan Mary. Cokelat itu tadi yang diselipkan Romeo ke tangannya sebelum bersalaman dengan wanita itu.
Mary langsung menyimpan cokelat itu di saku baju hangatnya. Wanita itu masih sempat meremas tangannya dengan senyuman hangat sebelum Romeo membawanya bergabung dengan Ronald dan Jack yang sedang menyiapkan kopi.
Romeo langsung mengambil alih mesin espresso setelah sebelumnya menggulung lengan kemejanya lebih dulu. Ronald bicara dan tertawa dengan para lansia. Jack juga menyajikan kopi-kopi yang sudah siap ke meja. Bella mempersiapkan kue-kue yang ada di dalam kotak untuk dipindahkan ke piring.
"Mary sangat suka cokelat. Tapi harus mengontrol jumlah konsumsinya karena masalah kesehatan," Romeo menjelaskan. "Aku membawakannya sedikit setiap berkunjung kemari."
"Kalian sering berkunjung dan menyajikan kopi?"
Romeo mengangguk. "Kopi sangat dianjurkan untuk lansia. Bisa memberikan energi untuk mereka yang tidak sekuat dulu." Romeo meletakkan dua cangkir kopi yang baru di buatnya di atas meja. Laki-laki itu berdiri di sebelah Bella. "Aromanya juga bisa membangkitkan gairah."
Ronald datang dengan nampan kosong. "Mary memanggilmu, Romeo."
Romeo membawa beberapa cangkir kopi yang sudah dibuatnya dan menghampiri Mary. Wanita tua itu terlihat bersemangat bercerita dan Romeo mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Rasanya aneh, melihat Romeo berada di tengah-tengah orang-orang ini. Dari berberapa selentingan cerita tentang laki-laki itu, tentang kemisteriusannya dan hal berbahaya apa yang dilakukannya, menjabat tangan keriput seorang wanita tua dengan kelembutan sama sekali tidak terlintas di benar Bella.
"Ya, dia memang sulit untuk tidak diperhatikan, bukan?"
Bella tersentak dari lamunannya, juga ketidaksadarannya memperhatikan Romeo sejak tadi. "Si-siapa?"
Ronald tersenyum. "Walaupun sulit aku akui, tapi Romeo memang memiliki daya tarik seperti itu. Lihat saja semua orang di sini menyukainya. Yah, meski sedikit bicara, tapi tidak ada yang membencinya karena itu. Sejak dulu dia selalu menjadi magnet tersendiri yang membuat siapa saja akan berpaling hanya untuk sekedar mengecek tinggi badannya,"
Bella menyetujui itu dalam hati. "Sepertinya kau lama sudah mengenalnya."
"Pertama kali aku melihat Romeo saat hari pertama di sekolah. Dia datang dengan pakaian yang lembab, dan juga ransel yang basah. Guru kami menanyainya karena dia juga datang terlambat. Kau tau apa jawabn Romeo? Dia bilang sebelum pergi ke sekolah dia harus menyuci mobil agar mendapat upah untuk bisa membayar bus."
Bella tertegun.
"Guru kami tidak percaya. Entah apa yang membuatnya berpikir Romeo berbohong. Tapi kurasa karena wajah laki-laki itu yang tidak terlihat seperti anak dari keluarga berekonomi sulit. Akhirnya dia dihukum membersihkan seluruh toilet di gedung. Aku membawakannya minum di saat istirahat dan disitulah aku dan Romeo mulai sering berjalan di koridor bersama. Wah, aku baru menyadarinya sudah mengenal Romeo selama itu."
"Dia sudah bekerja sejak itu?"
"Setahuku begitu. Dia tidak suka bicara banyak. Tapi yang bisa kuingat, dia melakukan banyak pekerjaan untuk mendapatkan uang. Aku senang bisa bekerja dengannya di kafe. Walau pun aku seperti bicara dengan dinding saat bersamanya, tapi aku tahu dia memiliki hati yang tulus. Contohnya saja tempat ini."
"Ada apa dengan tempat ini?"
Ronald menyesap kopinya. "Setelah dikeluarkan dari panti asuhan, Romeo tinggal di sini."
Apa? Bella mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam kepala.
"Romeo mengusulkan untuk bisa membuatkan kopi untuk para lansia di panti ini. Awalnya dia menawarkan untuk memotong dari gajinya tiap bulan sebagai ganti biayanya. Tentu saja aku tidak sekejam itu."
Pandangan Bella tertuju pada Romeo yang sekarang menuntun Mary berdiri. Wanita itu berpegangan pada lengan Romeo dan berjalan tertatih menuju jendela untuk melihat taman di samping rumah.
"Jadi karena ini adalah kegiatan amal tanpa bayaran, maka aku juga tidak bisa menambahkan bonus untukmu."
Bella tersenyum. "Tidak masalah," Bella tersenyum melihat lansia lainnya yang juga ingin digandeng oleh Romeo. "Ini sangat menarik. Karena biasanya aku hanya di dapur."
"Kalau kafe sudah selesai diperbaiki, kau boleh membantu Romeo di mesin kasir."
Bella teringat sebuah petanyaan. "Kenapa orang-orang yang datang menghancurkan kafe itu tidak ditangkap? Kita bisa menelpon polisi dan menyerahkannya pada mereka."
Ronald menggaruk salah satu alisnya. "Andai saja masalahnya sesederhana itu."
"Maksudmu?"
"Apa yang bisa mereka dapatkan dari sebuah kafe kecil, Bella?" Ronald tertawa. "Orang yang datang kemarin bukan ingin merampok. Mereka datang untuk memaksaku menjual tempat itu pada bos mereka. Seperti yang kau lihat, kafe itu berdiri diapit oleh pertokoan mewah. Sangat tidak serasi dan tentu saja seperti berdiri di tempat yang salah. Mereka sudah sering datang, tapi aku selalu menolak untuk menjualnya. Mungkin karena kesal, cara mereka pun menjadi sedikit lebih memaksa."
Bella mulai mengerti sekarang. "Tetap saja cara itu merugikan. Lagipula mereka tidak bisa memaksa jika kau tidak menginginkannya."
"Sayangnya, tidak ada kata 'tidak' bagi bos mereka."
"Siapa bos mereka?"
Ronald memutar cangkir kopi yang tadi disisihkannya untuknya sendiri. Menyentuh pinggirian cangkir dengan telunjuknya. "Seseorang yang...," Ronald menatapnya lagi, kini dengan senyum. "Lebih baik tidak perlu kau ketahui."
Jack datang dengan wajah cemberut. "Aku sepertinya tidak dibutuhkan di sini. Kenapa semuanya ingin melihat Romeo saja. Lihat aku! Aku setampan Romeo."
"Benar," Ronald mengangat cangkirnya. "Hanya sedikit lebih pendek dan tidak berotot." sambungnya.
Jack mengangkat nampang kosong dan memukulnya ke wajah Ronald. Hal itu menyulut pertengkaran mulut kembali di antara keduanya. Para lansia di meja di dekat sana menegur dan menyuruh keduanya berdamai.
Jack menolak, dan akibat keributannya dua orang lansia berdiri dan memukul kaki Jack dengan tongkat yang dimilikinya masing-masing. Ronald tertawa. Berlindung di balik bahu bungkuk seorang wanita tua lainnya.
Di sudut lainnya, Romeo tengah memijat bahu Mary. Sesekali Mary mendongak dengan senyum lebar sembari menepuk-nepuk punggung tangan laki-laki itu.
Seseorang yang duduk di dekat sana memanggil Bella dengan lambaian tangan.
"Kau yang membuat kue ini?" tanya wanita dengan kacamata yang melorot di hidung.
Bella mengangguk.
"Ini sangat enak," ucapnya bahagia lalu menggenggam tangan Bella. "Terima kasih karena memberikanku kesempatan mencicipinya di hidupku yang mungkin tidak banyak lagi ini."
Bella terenyuh. "Aku akan membuatkan kue yang enak untukmu nanti. Jadi kau harus terus sehat dan menungguku."
Sesuatu menjalari hati Bella. Semuanya tampak hangat. Ruangan berukuran tidak terlalu besar ini seperti sebuah rumah yang akan selalu diimpikan banyak orang. Seperti sebuah perapian yang dibutuhkan ketika musim dingin menyerang. Seperti sebuah pelukan yang dibutuhkan jika sedang tidak baik-baik saja.
Seperti sebuah tempat yang tepat untuk menangis, tanpa ada seorang pun yang akan menyalahkan apapun keputusanmu.
🔥
Sepanjang perjalanan pulang dari panti jompo, pikiran Bella berpusat pada laki-laki yang tengah mengendalikan setir mobil dengan santai itu. Ia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana kesulitan hidup Romeo seperti yang diceritakan Ronald tadi.
Dan rupanya Romeo cukup peka. Ketika menekan tombol lift dan pintu mulai tertutup, laki-laki itu bertanya. "Ada yang ingin kau katakan padaku, Bella?"
"Tidak," Bella memandangi angka yang berubah di atas pintu. "Aku hanya senang. Terima kasih sudah mengajakku ke sana." Dan ia menyadari jika lift tidak berhenti di lantai apartemen mereka. "Kau menekan nomor lantai yang salah?"
"Tidak," sahut Romeo.
Lift berhenti di lantai paling atas gedung. Ketika membuka pintu yang menghubungkan dengan rooftop, hembusan angin malam langsung menerpa rambut Bella.
Di sana tidak terlalu berantakan karena barang-barang serta penyimpanan air di letakkan ke satu sisi. Meninggalkan sisi lainnya lapang. Yang paling memikat adalah hamparan langit luas yang bisa dilihat jelas dari sini. Gedung-gedung pencakar langit terlihat jelas dari sini. Ada satu gedung yang paling tinggi, berhadapan langsung dengan apratemen ini, Menjadikannya seperti tonggak besar berkelip indah yang seolah menyatu dengan langit. Lalu lampu-lampu di sekitarnya menyelimuti bagaikan selimut menyala yang memukau Bella.
Angin malam yang cukup kencang menyingkap rambutnya. Romeo mundur dua langkah hingga laki-laki itu di sebelah Bella. Membuat terpaan angin tidak mengenai tubuhnya.
"Di sini indah," Bella mendongak. "Kau sering datang ke sini?"
"Hanya sekedar melihat-lihat."
"Andai saja bintang juga bisa terlihat dari sini."
"Kenapa kau tersenyum padaku?" tanya Romeo tiba-tiba.
"Hah?"
Romeo menoleh padanya. "Kenapa kau tersenyum padaku?" ulangnya. Dengan intonasi yang sama persis seperti sebelumnya.
Jujur saja, Bella sendiri tidak menyadari jika ia sedang tersenyum. "Kurasa aku punya hak untuk tersenyum atau tidak. Kenapa kau jadi mempermasalahkan itu?"
"Sebelumnya kau tidak tersenyum seperti itu di hadapanku?"
"Seperti apa?"
Romeo menghadapnya. "Seperti kau menyukainu."
Sial. Apakah terlihat begitu jelas. Bella membuang tatapannya. "Itu hanya perasaanmu."
"Perasaanku tidak pernah salah." Kini angin malam benar-benar terhalang oleh tubuh laki-laki itu. "Apakah Ronald mengatakan sesuatu padamu?"
"Kalau pun Ronald mengatakan sesuatu, itu juga bukan urusanmu." ada apa dengan laki-laki ini sekarang?
Romeo melangkah maju. Membuat jarak di antara mereka menipis. Bella tidak mundur, yang membuat ujung sepatu keduanya bersentuhan. Bella harus sedikit mendongak agar bisa menatap wajah laki-laki itu.
"Sekarang kau tidak menghindariku lagi. Kau juga membalas tatapanku," Romeo memiringkan wajahnya. "Kau menyukaiku, Bella?"
"A-aku..."
"Kenapa?" Romeo menyentuh rambutnya yang menjuntai di bahu dengan punggung jari.
"A-aku tidak tahu."
"Tidak mungkin. Kau pasti tahu apa yang kau rasakan."
Benar. Dan perasaannya untuk Romeo membuncah melebihi apa yang Bella kira.
"Aku... mungkin..."
"Di sini," Romeo memaksa Bella mundur hingga pinggangnya menyentuh pagar pembatas. "Tidak ada yang bisa mendengarmu berteriak."
Mata Bella melebar. Ketika Romeo menarik turun tasnya hingga tergeletak di samping kakinya.
Dengan punggung jari pula, Romeo mendorong dagu Bella mendongak, menyejajarkan tatapan mereka. "Kau lupa apa yang kukatakan, Bella?"
Yang mana?
Romeo mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Bella. "Kalau kau harus tetap takut padaku. Aku bisa saja melakukan sesuatu padamu sekarang. Dan tidak akan ada yang tahu."
"A-pa ada yang salah dengan kepalamu?" Bella membersihkan tenggorokannya. "Kau mendekatiku dengan perhatian-perhatian kecil itu. Tapi kau juga memintaku untuk takut padamu. Apa maksudmu sebenarnya?"
"Karena hanya dengan itu aku berani berada sedekat ini denganmu." Romeo mendekatkan dirinya pada Bella. "Aku tidak butuh perasaan melankolis. Aku hanya ingin berada di dekatmu. Menghirup aroma tubuhmu. Mendengar suaramu. Merasakan kau benar-benar nyata."
Seperti sebuah bel berdentang nyaring di kepala Bella ketika ia menyadari ini. "Maksudmu... kau menginginkan hubungan tanpa status? Kau ingin mendekatiku, bersenang-senang denganku tapi tidak ingin serius?"
Romeo menatapnya dalam diam. Tidak membantah sama sekali disaat Bella ingin sekali mendengar laki-laki itu mengatakan jika tuduhannya salah.
Bella meremas tangannya sendiri. "Itukah yang juga kau lakukan bersama Petty? Kalian bersama hanya sebatas bermain-main saja. Yang saat bosan bisa dengan bebas melenggang pergi mencari orang baru?"
Angin malam semakin mengamukkan rambut Bella. Romeo mengulurkan tangan ingin merapikan rambutnya tapi Bella menjauhkan diri. Ia tidak bisa menerima gagasan yang ditawarkan Romeo padanya.
"Semua orang melakukan itu." sahut Romeo datar. "Mereka bisa bercumbu tanpa harus saling terikat."
Bella membuang napas kasar. "Kalau begitu aku tidak termasuk salah satunya." ia menunduk mengambil tasnya dan langsung pergi dari sana. Tanpa menoleh sedikit pun.
🔥
Selamat malam 🥰
Di sini jam 12.53, hehe telat yah updatenya
Tapi yang penting jadi update uwuu
Apa kabar kalian semua?
Semoga kalian dan keluarga tetap sehat dan bahagia.
Setelah baca ini, langsung tidur yah.
Part depan semoga bisa lebih cepet lagi hehe
Ada yang nanya, "kak, ada adegan hawt Bella sama Romeo, nggak?"
Mau ya gimana? 🤣🤣🤣
Faradita
Penulis amatir
Seperti inilah kira-kira rooftopnya.
Revisi : 23 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top