Spoiler [36]
Ah ... bicara mengenai ibunya, Lavi mendadak rindu. Ia letakkan kepalanya persis di sisi lengan Pras. "Bu ... kangen," lirihnya pelan. "Di sana Ibu baik-baik saja, kan?"
Meski tak ada jawaban, tapi Lavi yakin ibunya bisa mendengar ucapannya kali ini.
"Aku sendirian sekarang, Bu. Enggak ada temannya."
"Kata siapa?"
Sebentar. Ini ... ada suara lain yang menyahutinya? Siapa?
Segera saja ia mendongak dan mendapati Pras yang tampak mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
"Abang!" pekik Lavi kegirangan. "Abang sudah sadar? Aku panggilkan dokter dulu, ya."
"Nanti dulu," cegah Pras segera sebelum Lavi beranjak menjauh. "Di sini dulu."
"Tapi Abang harus dicek dulu kondirinya," Lavi tak mau kalah. "Sebentar aja, kok."
"Di sini, Neng."
Entah sihir apa yang Pras punya. Tiap kali bibirnya memanggil 'Neng', ada sesuatu yang mendorong Lavi untuk menurutinya. Termasuk sekarang. Alih-alih beranjak memanggil dokter, justru ia semakin mendekat. Tangan yang semula terkulai lemah itu menghampiri wajah Lavi. Memberi usapan lembut di sana. Yang mana Lavi respon dengan memejam dan ikut menyentuh tangan itu.
"Abang bikin aku khawatir," kata Lavi di mana tanpa sadar, air matanya menetes. Lagi. Entah sudah berapa kali ia menangisi Pras. Terdengar konyol tapi itu yang terjadi padanya. Tak bisa ia pungkiri rasa khawatirnya kian hari kian besar lantaran Pras tak kunjung sadar juga.
Arron dan Jerou sering menanyakan mengenai keadaan Pras tapi tak lama. Sekiranya sudah tau bosnya dalam keadaan stabil, mereka pergi lagi. Lavi tak terlalu ingin tau apa yang mereka kerjakan.
"Sekarang masih khawatir?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top