[2] Harga Lavi
Meski kamar di rumah Lavi juga tak besar, tapi setidaknya tak mengerikan seperti ini. Penerangannya tak lebih buruk dari ruang yang pertama kali Lavi singgahi. Ia sempat beberapa kali menoleh ke arah pintu yang dibiarkan terbuka itu. akan ia ingat di dalam hatinya, kalau bisa, ruangan itu dilenyapkan dari hidupnya entah bagaimana caranya.
Ruang di mana pertama kalinya ia mengenai rasa takut berlebih, serta sakit yang semakin membuat gigilnya makin jadi. Namun kesakitan itu tak ingin ia keluhkan. Kalau sampai ada yang mendengarnya menangis, ia kalah. Tak akan ia biarkan itu terjadi.
Ingatannya diseret pada beberapa jam sebelum ia ada di sini. Di saat dirinya baru saja pulang dari kegiatannya di kampus. Padahal selama bercengkerama akrab dengan dua temannya, ia begitu bahagia. Seolah tak memiliki beban padahal di pundaknya Lavi tau, kalau beban itu tak gampang terangkat. Terutama masalah ekonomi.
Ia hanya anak tunggal dari pria paruh baya yang kasar; hobi berjudi, mabuk-mabukan, pulang hanya untuk meminta uang pada Lavi lalu pergi begitu saja. Tak pernah Lavi ditanya bagaimana kabarnya, apa sudah makan belum, bagaimana Lavi memiliki uang seperti yang sering kali diminta.
Mana pernah ada pertanyaan itu sampai ke telingan Lavi terutama dari bibir pria yang ia panggil 'Ayah'.
Keseharian Lavi membantu berjualan di kedai nasi uduk di pagi hari. Serta malam hari di sebuah restoran nasi padang untuk mencuci piring. Dari sana lah ia mendapatkan uang untuk hidupnya yang lebih sering menahan lapar dan banyak keinginan selayaknya gadis seusianya. Beruntung kampus tempatnya berkuliah, bisa menerima Lavi yang notabene adalah mahasiswi yang cemerlang serta berasal dari kalangan tak mampu. Beasiswa penuh diberikan untuk Lavi sampai ia lulus nanti.
Tak akan ia sia-siakan kesempatan ini, kan?
Namun naas, sepertinya mimpi Lavi menjadi sarjana harus terhenti begitu empat orang masuk ke dalam rumah kontrakannya. Mengacak dengan beringas mencari barang berharga yang Lavi sendiri ragu kalau ditemukan di sini. Apa yang ada di rumah tiga petak yang hanya berisi banyak perabot dan barang usang?
"Sebenarnya mau apa kalian?" tanya Lavi tanpa takut. Bukan sekali dua kali mereka berempat datang ke rumahnya. Pernah tengah malam menggedor tanpa tau diri hanya untuk menagih hutang. Katanya sang ayah meminjam uang untuk berjudi. Lavi rasa, kedatangan kali ini pun sama.
"Bapak lo sialan, Gadis Cantik!" kata salah satu di antara mereka dengan seringainya yang licik. Ia berhenti mengacak isi lemari yang semula rapi. Padahal Lavi sudah melarangnya tapi percuma, empat orang tadi benar-benar tak tau malu.
Preman berengsek! Begitu maki Lavi di dalam hati.
Mendengar nama panggilan Gadis Cantik, Lavi rasanya mau muntah. Diputarnya bola mata Lavi dengan jengahnya. Ia juga tak gentar saat orang yang tadi bicara, sudah ada di depannya. Matanya terus menatap lekat pria bertubuh tegap serta memiliki tato di lengan kanannya.
"Dia punya utang banyak tapi enggak dibayar," tukasnya masih dengan seringai liciknya. "Kita lagi tunggu, apa Bapak lo berani datang ke sini atau enggak."
Lavi berdecih sinis. "Kalian tunggu aja sampai busuk. Dia enggak bakalan pulang."
Empat orang tadi saling menoleh satu sama lain, lalu menyemburkan tawa yang begitu konyol dan meremehkan. Bahkan salah seorang di antaranya bertepuk tangan seolah apa yang Lavi katakan sebuah lelucon yang mengocok perut. Gadis itu tak peduli. Ia memilih menyingkir membebas preman yang sukar diusir ini. Belum juga ia meraih handle pintu kontrakan yang catnya sudah banyak mengelups, tiga orang sudah ada di depannya termasuk ...
"Lavi," panggil pelan sosok pria yang sangat Lavi kenali.
Ayahnya.
Wajahnya lebam di mana-mana, sudut bibirnya robek, pelipisnya luka cukup dalam dan mengucurkan darah yang agak mengering. Belum lagi pakaiannya yang compang camping karena di pukuli; terdapat noda kotor di bagian dada serta celananya yang sobek di beberapa bagian.
Apa Lavi jatuh iba?
Sama sekali tidak. Bagi Lavi, sosok ayahnya telah lama mati. Sama seperti kematian ibunya karena sakit sepuluh tahun lalu. Di matanya juga, Warto, nama sang ayah, tak ubahnya benalu yang sering kali menyusahkan hidupnya.
"Lavi, tolong Ayah, Nak."
Lavi bergerak menjauh, karena ayahnya mendadak datang memeluk setelah dilepaskan dua orang tadi. Salah satunya, sejak awal kedatangannya sudah menatap Lavi penuh minat. Seolah Lavi adalah makanan yang sangat lezat yang siap ia santap kapan pun diinginkan. Tapi Lavi juga tak memedulikannya.
Ia hanya kembali untuk mengambil tas yang ada di salah satu sudut ruangan. Memilih pergi karena tau, urusan hutang piutang ayahnya selalu dengan preman bertato naga di tangannya ini. ia tak akan mau membereskan. Memangnya Lavi ini gudang uang?
"Mau ke mana, Nak?" tanya Warto dengan sorot terkejut karena putrinya, harapan satu-satunya terbebas dari preman ini, justru melangkah menjauh. "Kamu mau tinggalkan Ayah? Begitu?"
"Urus urusanmu sendiri," kata Lavi pelan. Langkahnya juga tak ada gentar sama sekali. Bukan sekali dua kali ayahnya berulah seperti ini. Mau sampai kapan Lavi dijadikan tumpuan? Kalau hanya sekali lalu sang ayah menemukan pertobatannya, kerja yang benar, tak banyak tingkah, mungkin Lavi tak segan untuk memberi perlawanan.
Tapi ayahnya?
Astaga! Bahkan kalau dipukuli di depannya mungkin Lavi sudah mati rasa.
"Minggir," kata Lavi yang langkahnya tertahan karena ada tangan kekar yang menghalangi. Saat gadis berambut panjang itu menoleh, mata mereka bertemu di udara. Meski hanya sepersekian detik, tapi Lavi tau, sorot mata itu tak ingin dibantah. Memiliki aura intimidasi yang sangat besar. Juga sepertinya dial ah sang kepala preman; Prasetyo.
"Lo enggak bisa pergi," katanya dengan suara pelan, tapi sungguh membuat aura di sekitarnya berubah mencekam. Lavi sendiri tak lagi terlalu berani menatapnya karena ada rasa mencekik lehernya padahal tak ada tangan yang menghampirinya. "Lo dengar ucapan bapak lo ini."
"Enggak penting. Urusan kalian bukan urusan gue."
Sang pria, Pras, menderaikan tawanya. Heboh sekali. Tapi tak ada satu pun yang ikut tertawa, justru menunduk dalam. Apakah ini tanda bahaya? Tapi karena apa?
"Bicara, Bangsat!" hardik Pras sembari menarik tubuh Warto. "Cukup basa basinya. Waktu gue terbuang banyak ngurus lo aja, Anjing!"
"Ayah berhutang sampai seratus juta, Lavi," kata Warto dengan nada penuh gemetar. Sementara Lavi masih menampilkan ekspresi dingin. Memangnya uang itu dirinya pakai barang sepeser? Tidak. Lalu kenapa ayahnya bicara seolah dirinya pembayar utang itu? Enak sekali.
Yang mana Lavi yakin sekali uang itu sudah berikut dengan bunga yang tak masuk akal. Memang preman berkedok rentenir ini harusnya musnah dari muka bumi saja. Kenapa masih eksis sampai sekarang?
"Lavi ada uang untuk bayar, kan, Nak?"
Lavi menoleh sekilas pada ayahnya yang tampak menyorotinya penuh harap. Sesekali ada ringisan keluar dan terdengar oleh telinga sang gadis. Mungkin saking kesal dan kecewanya Lavi akan sikap Warto selama ini, gadis itu hanya menampilkan senyum setipis mungkin. "Enggak ada."
"Pasti di tas kamu!" teriak Warto dengan gugupnya. Ia tak peduli kalau ada drama lanjutan semisal dirinya dimaki-maki Lavi. Yang ia pedulikan, hari ini ia bisa terbebas dari Pras dan anak buahnya.
"Apa-apaan, sih, Yah?" pekik Lavi tak terima. Ia pun menarik kembali tas yang sejak tadi ada di bahunya. Adegan itu hanya diperhatikan oleh preman yang sejak tadi menonton drama keluarga ini. "Lepas!!!" hardik Lavi tak kalah kuat.
"Ada di tas ini, Pras. saya yakin banget anak saya simpan uang di sini!"
"Lepas!!!" Lavi terus mempertahankan tasnya.
Agak lama Pras biarkan mereka saking berebut tas usang berwarna merah itu. Namun ia memang tak bisa terlalu lama di sini. Ia pun bertindak cepat. Merebut tas yang sejak tadi dijadikan tarik menarik oleh anak dan bapak ini.
"Hei!!!" Lavi melotot tak terima.
Tas yang ada di tangan Pras kini, ia longok isinya. Tak ada apa pun kecuali buku serta beberapa alat tulis dan jaket? Entah lah, ia tak peduli. Melihat hal itu, ia langsung membanting tas beserta isinya ke lantai. "Buang-buang waktu gue!" teriaknya dengan suara keras. Lalu dicengkeramnya wajah Lavi dengan kuat. "Lo ... gue kasih waktu satu hari untuk adakan uang yang gue mau."
Lavi meludahi wajah Pras telak. "Enggak sudi! Bukan utang gue. Lo bawa pak tua ini untuk bertanggung jawab."
Apa Pras marah?
Sama sekali tidak. Sejak pertama kali melihat Lavi, ada sesuatu yang berbeda dari gadis yang kini ia tatap lekat. Sorot mata sehitam jelaga yang ternyata jauh lebih indah ditatap dalam jarak sedekat ini, membangkitkan sesuatu yang sangat membuatnya penasaran. Rasanya Pras ingin mengurung dan menghukum gadis ini sendiri. Tanpa ada orang lain yang tau hukuman apa yang ia berikan.
"Baik-baik kalau bicara dengan gue, Neng." Pras jarang sekali memanggil nama seseorang dengan panggilan yang terdngar dekat, tapi di depan Lavi entah kenapa bibirnya justru mengucapkan hal ini. Ia ingin banyak berpikir tapi dirinya diburu oleh waktu. "Lo jaminan hutang kalau lo mau tau. gue kasih satu kali dua puluh empat jam untuk bebas. Tapi kalau sampai waktu itu habis, lo untuk gue, Neng."
"Bajingan!"
"Mulut lo memang minta dihukum, ya," Pras ingin sekali melukai bibir yang baru saja memakinya. Satu gores luka di sudut bibir gadis itu bukan hal yang sukar untuk ia lakukan tapi, Pras tak lakukan. "Tunggu balasan gue, Neng. Gue buat bibir lo ngerti bahasa hukuman!"
Lalu pria bertubuh tegap itu pergi begitu saja. Diikuti dengan para anak buahnya yang menatap Lavi dengan sorot garang dan meremehkan. Meski hati Lavi ketar ketir, tapi ia mencoba untuk tak peduli. Amarah yang sejak tadi sudah menguasai hatinya, ia luapkan pada sang ayah. Alhasil, keributan mereka berdua sampai dilerai oleh tetangga sekitar.
Lavi pikir, ancaman itu hanya bualan sampai saat dirinya pulang dari kampus, para preman itu kembali menghadang. Bertanya mengenai uang yang mereka minta. Lavi mana ada uang segitu banyak. Ia juga tak terima kalau uang yang dikumpulkan hanya untuk membayar hutang ayahnya. Tak akan pernah sudi.
Benar, kan? itu hanya sebatas ancaman. Mobil mereka segera pergi setelah Lavi bersikeras tak mau membayar utang ayahnya. Lavi juga abaikan ancaman di mana ia dijadikan jaminan hutang.
Namun ... ancaman itu nyata terjadi. Malam harinya, Lavi ditarik paksa keluar dari kontrakannya. Sang ayah hanya bisa melihatnya tanpa bisa menolongnya. Tak peduli berapa banyak Lavi memaki, berteriak minta tolong, juga bersumpah kalau ia tak akan memaafkan perbuatan ayahnya, ia tetap ditarik oleh para preman.
Yang sekarang, di sini lah tempatnya.
Ia usap air mata yang mendadak menetes. Rasa nyeri yang dirasakan pada bagian dada, tak sebanding dengan rasa kecewa dan marah yang ia miliki. Lavi sendiri tak tau jam berapa sekarang. Ada rasa kantuk yang mulai menyerangnya. Ia pun beringsut lambat ke sudut yang mana tersedia kasur lantai yang bisa ia pergunakan sekadar menutup matanya meski sejenak.
Baru saja ia merebahkan diri, disertai ringisan dan gerak hati-hati agar bagian dadanya yang masih terasa panas tak terlalu bergesekan dengan kain, pintu ruangan itu terbuka dengan lebarnya. Cahaya terang dari luar ruangan langsung masuk dan membuat mata Lavi agak menyipit. Ia juga segera bangkit dari rebahnya. Setelah berhasil menguasai keadaan, Lavi mulai memfokuskan matanya pada sosok yang berdiri di ambang pintu.
"Merindukanku, Neng?"
Lavi langsung melangkah dengan lebarnya. Tangannya mengepal kuat dan siap sekali dilayangkan pada wajah sang pria, namun ... gerak tangannya ditahan begitu saja. Kuat sekali cekalan tangan itu.
"Wow! Abang suka cewek agresif!"
"Berengsek!"
"Jangan lupakan bahasa makian ini dipergunakan berbarengan dengan desahan." Pras berkata lengkap dengan seringainya. Ia pun melangkah mendekat yang mana membuat Lavi mundur beberapa langkah. Ia juga meronta agar cekalan tangan itu dilepaskan.
Apa Pras lakukan?
Tentu saja tidak.
"Ikut gue!" perintahnya tanpa bisa dibantah.
"Lepas, Berengsek!"
Pras tak peduli.
"Sialan! Preman Gila!"
Pras menikmati cacian itu tapi terus menarik Lavi dengan kuatnya. Seperti tahanan yang siap ia siksa kapan pun ia inginkan.
"Lepas, Bajingan!"
"Gue sudah cukup sabar, ya, Neng. Kalau sampai lo maki gue sekali lagi, jangan sesali kalau malam ini gue kasar sama lo!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top