[13] Tari Kembali

Satu-satunya hal yang sangat Lavi gemari di kamar Pras adalah berendam. Bathup yang cukup besar di mana saat ia penuhi dengan sebagian air dan busa, bisa menenggelamkan dirinya sampai sebatas leher. Lavi bisa habiskan satu sampai dua jam sekadar untuk mandi saja. Setelah itu, ia membantu Uti atau bicara santai bersama Anne di salah satu sudut rumah Pras.

Namun karena sang pemilik kembali, Lavi mana berani masuk ke dalam bathup lagi. Meski ia ingin sekali berendam sekadar menghilangkan debar yang sejak tadi dirasakannya. Memikirkan jikalau Pras mendobrak pintu ini lalu ... tidak-tidak. Lavi jangan sampai memikirkan hal buruk lainnya. ia ingin mandi tanpa gangguan dan tanpa rasa takut.

Berkali-kali ia mencuci tangannya, berusaha membersihkan sisa kegiatan mereka yang mana masih terbayang dalam benak Lavi. Padahal kalau ditelisik, tangannya sudah bersih dan wangi. Tak ada lagi aroma khas Pras di sana. Tapi ...

"Jangan gemetar, Neng," kata Pras dengan seringai tipis. "Hanya seperti ini gue yakin lo bisa."

"Ta-tapi," Lavi melotot tak percaya pada apa yang kini ia hadapi. Pras benar-benar menurunkan celana dan membuat telapak tangan Lavi menyentuh apa yang seharusnya belum boleh ia sentuh. "E-enggak. Gue enggak mau!"

"Jangan bantah," peringat Pras. Sekali lagi dituntunnya pelan tangan sehalus sutera itu menyentuh miliknya. Ucapan barusan membuat Lavi terpejam penuh paksa. Ada rasa yang asing merayapi tiap syaraf tangannya. Belum lagi saat ada setitik kelembapan di sana. ingin rasanya Lavi tampik keras semua paksaan dari Pras namun ... "Pelan-pelan, Neng."

Naluriah, ia mengendurkan genggam tangannya.

"Nah!" Pras memejam. "Lanjutkan."

Tuhan!

Pras pantas dijuluki preman bajingan berotak selangkangan.

Semua itu belum seberapa dibanding saat pria yang ada di atas Lavi menemui ujung yang ditunggu. Cairan itu memenuhi tangan Lavi. Segera saja gadis itu menyingkirkan Pras yang malah menertawakannya.

"Enggak mau gantian?" tanya Pras yang masih bisa Lavi dengar.

Sebelum gadis itu masuk ke dalam toilet, ia pun berteriak. "Dasar gila!!!"

"Pras gila!!!" maki Lavi di bawah guyuran shower yang sengaja ia setel cukup deras. "Sinting!!!" Sekali lagi ia menekan sabun yang ada di dekatnya. Dicuci lagi tangan yang mulai keriput kulitnya saking sejak tadi sudah ia gosok berulang-ulang.

"Argh!!! Preman sialan!!!"

Suara gedoran di pintu membuat Lavi terperanjat. Jantungnya hampir lepas dari cangkangnya. Ia berdiri kaku di sana. Membiarkan guyuran shower itu mengenai sebagian tubuhnya.

"Yang lo maki ada di sini, Neng," kata Pras dengan tawa yang lepas sekali. "Lo ... enggak terbayang pengin mainan punya gue lagi, kan?"

"Gila!!!"

Pras terbahak makin keras. Tapi tak lama juga, pintu itu diketuk kembali. Kali ini jauh lebih keras ketimbang sebelumnya. "Sudah empat puluh lima menit lo di kamar mandi. Keluar sekarang."

"Lo yang keluar."

"Ini kamar gue, Neng."

Lavi menggeram kesal. Tuas shower itu langsung ia kembalikan pada posisi semula.

"Cepat. Gue juga mau mandi."

Lavi memilih menyambar handuknya saja.

"Oh ... lo enggak jawab? Atau lo sengaja mengizinkan gue dobrak pintu ini? Mandi bersama?"

Pintu itu langsung dibuka Lavi. Mata gadis itu menatap Pras dengan tatapan kesal. Ia sudah berpakaian meski rambutnya belum kering sepenuhnya. "Silakan, Bos," kata Lavi pelan.

Ucapan itu membuat Pras mengerutkan kening tapi kemudian terkekeh. Sebelum gadis itu benar-benar pergi dari hadapannya, ia mencekalnya. Membuat Lavi hampir kehilangan keseimbangan. Matanya yang mendelik kea rah Pras, diabaikan begitu saja. yang ada, pras menyudutkan Lavi dengan sedikit paksaan. "Panggil gue apa tadi?"

Lavi mengerjap pelan. Ia lupa, semarah apa pun ia seharusnya bisa mengendalikan diri untuk tak menumpahkannya langsung di depan Pras. pria ini singa jantan yang terkuat. Di mana saat ditemukan titik lemahnya, ia menunduk patuh. Tapi saat kekejaman dan kekejiannya timbul, tak ada keraguan di sana untuk melukai dan menghabisi.

"B-bos," cicit Lavi dengan suara gemetar. Padahal tadi, rasa takut, terintimidasi, gemetar karena tindakan Pras di waktu sebelumnya, gelisah karena eksitensi Pras di sekitar Lavi, sudah bisa ia atasi. Bahkan Lavi bisa memaki Pras tanpa beban.

"Gue enggak suka," kata Pras setengah berbisik. "Itu panggilan untuk anak buah gue." Ia pun menarik ujung telinga Lavi menggunakan mulutnya. Mengulum dengan gerak teramat lembut. Menimbulkan gelanyar aneh yang segera saja membuat bulu kuduk Lavi meremang hebat. Belum lagi embus napas Pras yang menjalari tengkuknya kini. "Panggil gue ..." Puas memainkan ujung telinga Lavi, Pras pun mendaratkan kecupan tepat di tengkuk Lavi. Beberapa kali ia labuhkan di sana sampai perlahan, ujung lidahnya bermain memutari area yang tadi ia kecup.

Lavi benar-benar tak bisa berkutik. Tubuhnya dikukung dengan tangan Pras yang tak bisa begitu saja ia lepaskan. Karena tindakan Pras ini juga, napasnya makin lama makin tak beraturan. Degup jantungnya ribut sekali. terutama saat Pras mulai turun dari tengkuknya ke sekitar tulang selangkanya. Makin jadi Lavi dibuat merinding oleh Pras.

"Panggil gue," Pras mendongak hanya lewat tatapan matanya. Ingin sekali menangkap bagaimana respon Lavi atas perbuatannya ini. Mempermainkan Lavi seperti ini adalah kesenangan yang sangat ia damba beberapa hari belakangan. Membuatnya beringsut takut juga menjadi mood booster tersendiri di antara tekanan politik Bagian Selatan yang tengah ia perankan.

Ujung jemarinya melepas dua kancing kemeja sang gadis. Aroma sabun yang Lavi kenakan, segera saja memenuhi penciuman Pras. Wangi. Gumamnya dalam hati. bagian yang masih terbungkus dengan penutup itu mulai memperlihatkan rupanya. Putih bersih sama seperti kulit yang Lavi miliki. satu hal yang berbeda. Tanda yang Pras buat untuk sang gadis.

"Panggil apa?" tanya Lavi dengan penuh gemetar. Lagi-lagi ada ketakutan yang mulai merasukinya. Juga ... sesuatu yang janggal sekali ia rasa terutama saat ujung lidah Pras mulai memutari belahan dadanya. Ketimbang ia seperti menikmati apa yang Pras perbuat, lebih baik ia alihkan dengan pertanyaan lain.

"Abang," sahut Pras cepat. "Dan jangan ganggu gue kalau seperti ini."

Lavi menahan napasnya begitu ia merasa ada satu isapan cukup kuat di dadanya. Tangannya mengepal kuat. Bibirnya ia gigit untuk menahan desah yang entah kenapa ingin sekali ia keluarkan.

"Panggil gue dengan benar, Neng," kata Pras yang hanya menatap Lavi sekilas. Bisa ia rasakan bagaimana degup jantung sang gadis ia pacu hanya dengan sentuhannya. "Atau ... gue telanjangi? Mandi sekali lagi sama gue?"

Segera Lavi menggeleng dan berkata, "Abang."

"Ah." Pras menghentikan gerak mulutnya. "Padahal yang satu lagi belum."

Gadis itu menatap Pras dengan sorot campur aduk. Tak keruan rasa hatinya sekarang; antara kesal dan ... menikmati? Sialan, Pras!!! Tidak. Lavi tak menikmati sama sekali. Ia dipaksa. Iya, kan?

Kesenangan Pras harus terjeda begitu mendengar suara pintu yang digedor paksa. Lengkap dengan teriakan cukup histeris dari suara yang Pras kenali. Oh ... Lavi juga kenal suara yang mendadak terdengar makin kencang di sana.

"Buka pintunya!!!"

"Lo dilarang ganggu bos," kata salah satu penjaga.

"Buka gue bilang!" Tari melotot garang. Tangannya sudah siap ia layangkan untuk memukul salah satu anak buah Pras. ia kenal dan terkadang bicara meski hanya basa basi belaka. Di rumah ini, seorang Anatari Jovanka merasa berkuasa. Ia tak butuh sokongan orang lain karena merasa, ada Pras di sisinya. Pras membutuhkannya. Pras menyukainya.

Orang yang ditemui Pras pertama kali adalah dirinya.

Tiga tahun ia ada di posisi dan diperlakukan seperti itu. Tak peduli berapa banyak perempuan baru yang masuk dalam hidup Pras, tapi Tari selalu yakin, sang penguasa klan Naga Kembar pasti kembali padanya.

"Enggak bisa."

"Buka!!!"

Keributan itu dimanfaatkan Lavi dengan sangat baik. Ia pun melepaskan diri, segera mengancingi satu demi satu kancing yang tadi dilepaskan Pras tanpa izin darinya. Bersungut pelan lalu berkata, "Lo dicariin. Gue ... gue mau ke Mbak Uti aja."

"Di sini," perintah Pras mutlak. "Jangan pernah ada niat pergi dari kamar ini tanpa izin gue."

Suara Tari kembali terdengar.

"Lo urus dulu pacar lo. Gue bantu Mbak Uti."

Pras berdecak. Ia tahan sekali amarah yang mendadak membuat kepalanya berasap. "Apa yang mau lo lakuin sama Uti?"

Lavi kebingungan. Apa yang akan ia lakukan nanti? "Ehm ... pokoknya gue di sana."

"Pras!!! Buka pintunya!"

"Berengsek!" maki Pras. "Buka pintunya, Pong," perintah Pras yang mana segera terdengar tuas pintu yang sedikit tertarik. Sosok wanita yang sejak tadi berteriak macam orang gila, muncul di sana. Setengah berlari, sosok itu pun mendekat pada Pras. Memeluknya erat mirip bayi koala. Pras sampai memundurkan langkahnya karena tindakan Tari barusan.

"Pras," rengek Tari penuh manja. "Kangen."

"Minggir," kata Pras sembari berusaha melepaskan diri. Tapi Tari makin erat memberinya pelukan.

Tak peduli kalau Pras sejak tadi masih memperhatikannya, kesempatan tak datang dua kali, kan? Hal ini dimanfaatkan Lavi dengan sangat baik. Ia kabur. Tak peduli apa yang akan Pras lakukan bersama Tari. Justru mungkin ini salah satu doa terbaiknya.

Sementara itu, Tari menyeringai puas. Bagus gadis itu tau diri. Segera pergi tanpa perlu ia usir. Ini kamar Pras. Kamar yang harusnya ia tempati bersama sang penguasa. Berbagi malam panas serta banyak candaan bersama. Tak akan ia biarkan ada orang lain di dekat Pras selain dirinya.

Hanya ia yang setia pada Pras.

"Lo ke mana aja," tanya Tari dengan nada sesensual mungkin. Geraknya juga mulai menggoda Pras di sana. ia tau, pria ini butuh dihibur dengan kegiatan yang menggelora. Memacu segala syaraf yang ada di tiap inchi tubuhnya. Jemarinya yang lentik berpemulas merah ini pun ia gunakan untuk meraba dada Pras dengan hati-hati.

"Berhenti," perintah Pras telak. Tangan itu ia cekal dengan cukup kuat. "Gue enggak mau lo sentuh."

Tari terbeliak kaget. "Pras?"

"Lo ganggu gue." Pras bicara dengan nada sepelan mungkin tapi sungguh, aura di dalam kamar ini berubah. Seolah ada angin yang sangat dingin yang langsung menguasai kamar yang cukup luas ini. Padahal cahaya matahari pagi yang masuk sudah memberi sedikit kehangatan tapi ucapan barusan membuat keadaan berbeda. "Pergi," kata Pras tanpa mengurangi intensitas suaranya.

Ia berusaha sekali untuk tak menggunakan kekerasan di depan Tari. Biar bagaimana pun, ada banyak hal yang harus Pras ingat mengenai kebaikan Tari dalam hidupnya.

"Enggak. Gue enggak mau pergi!" Tari berkata dengan lantangnya. "Gue ke sini karena lo, Pras!"

Agak lama mereka beradu pandang, namun Pras lebih dulu menggunting tatapan mereka. Ia memilih untuk keluar dan membiarkan Tari melakukan apa pun di kamar ini. Ia tak peduli. Namun langkahnya tertahan saat mendengar Tari berkata, "Jangan lupa, Pras, lo berhutang nyawa sama gue."

Pras tak akan lupa saat itu.

Belum juga Pras ingin menimpali ucapan Tari, Arron sudah lebih dulu menghampirinya. "Bos, lo ditunggu Kombes Ferdinan."

Kening Pras berkerut. "Ferdi? Ke sini?"

"Iya, Bos. Gue rasa urgent banget. Dia juga bahas tentang 303 C."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top