[12] Morning Kiss

Foto yang ada di tangannya berubah menjadi remasan cukup besar. Berulang kali ia meremas foto itu sampai tak lagi berbentuk. "Berengsek!" Lalu dilemparnya ke sembarang arah. Ia juga segera berdiri, menyambar tas yang tersampir di dekatnya. "Pras berengsek!" makinya.

Anatari melangkah gusar. Matanya mendelik marah. Tak peduli kalau sosok pemberi informasi mengikutinya.

"Kak," panggilnya entah sudah berapa kali. Tapi Tari sudah dipenuhi amarah. Tujuannya hanya rumah Pras. sejak penolakannya di Flown Diskotik, Tari memang tak kembali ke sana. ia memilih menepi di salah satu markas singgah milik Pras di tepian Bagian Selatan. Tempat di mana biasanya Pras akan berkunjung dan menemuinya setelah menyelesaikan urusannya di luar sana.

Sialnya, Tari tak menyangka kalau Pras justru mengubah arahnya. Pulang? Bertemu Lavi? Sialan bocah tengil itu! tari tak akan tinggal diam. Enak saja! siapa Lavi? Mau menyingkirkan dirinya dari rumah itu? Dari hidup Pras? Tak semudah itu.

"Kak!"

"Apa?!" sentak Tari tanpa berniat menghentikan langkahnya. Dibukanya dengan kasar pintu utama rumah dua lantai yang cukup asri ini.

"Kak, sabar dulu. Kalau pulang sambil marah begini, Bos pasti enggak suka."

Langkah itu terhenti begitu saja. tak ada yang salah dengan ucapan gadis itu tapi ...

"Gue bisa meredakan marahnya Pras," kata Tari penuh percaya diri. "Lo ikut?"

Agak lama gadis itu berpikir sebelum akhirnya berkata, "Enggak, Kak. Kalau gue balik sekarang apalagi bareng sama lo, Lavi pasti curiga."

Seringai tipis tercipta di sudut bibir Tari. "Lo memang pintar, An."

Tak ada tanggapan dari Anne selain senyumnya yang tipis. Ia biarkan Tari menaiki mobil sedan yang terparkir di sana. Mobil yang memang Pras beri untuk Tari sebagai hadiah. Siapa yang tak mengenal sosok Tari? Banyak yang menganggap kalau Tari adalah wanita yang paling dekat dengan Pras. Hal itu juga yang membuat Tari besar kepala. Seolah berkuasa dan menguasai beberapa hal, yang mana juga, Pras tak pernah melarang.

Kepulangan Pras kemarin cukup membuat Anne terkejut. Biasanya sebagai mata-mata terlatih di Klan Naga Kembar, timnya tau kapan sang bos pulang. Harusnya masih ada satu pertemuan lagi; menemui Menteri Pertahanan yang berada di pihak kepolisian. Sebagai pihak netral, harusnya Pras tak terlalu menemui banyak kendala.

Anne dan timnya menyelidiki kepemilikan senjata yang dipergunakan untuk membunuh Tony. Dua orang mereka curigai sebagai pemilik senjata yang sangat jarang beredar di Bagian Utara atau pun Selatan ini. Namun Pras memutar arahnya. Padahal pengintaian tim Anne bukan perkara mainan. Sukar sekali mendekati Menteri Pertahanan di wilayah Bagian ini.

Gadis itu mengepalkan tangannya. Terasa sia-sia ia bekerja beberapa waktu belakangan ini. Tak tau kah Pras betapa Tony berharga untuknya?

Sementara Tari rasanya ingin memaki jalan yang ia lewati. Apa yang membuat jalanan kali ini macet total? Padahal ia benar-benar ingin segera tiba di rumah utama Pras.

"Enggak bisa lebih cepat lagi?" tanya Tari dengan nada kesal. Sudah hampir setengah jam tapi mobil yang ia tumpangi ini tak bergerak sama sekali. "Ada apaan, sih? Berengsek banget!" makinya.

"Enggak tau, Kak. Kalau kita putar arah, lebih jauh lagi jaraknya. Tapi gue lihat di maps, enggak merah."

"Kenapa lo baru cek maps sekarang? bukan dari tadi?" Tari benar-benar hampir gila rasanya.

"Sorry, Kak."

Sementara di rumah Pras, kala pagi menjelang tadi, sungguh menjadi kecanggungan luar biasa untuk Lavi. Entah jam berapa kantuknya menyerang, yang ia ingat saat membuka mata justru dirinya lah yang memeluk Pras dengan eratnya.

"Lo kebo juga, ya, kalau tidur," kata Pras dengan kekehan usil. Pertama kalinya, ia melihat Lavi benar-benar polos menatapnya. Tak ada rasa kesal, marah, benci, serta tatapan takut. Yang ada hanya manik mata yang hitam, bulat sempurna, juga membuatnya tertarik demikian dalam.

Lavi mengerjap pelan. Seolah ia baru saja berkelana di dimensi lain; kenapa Pras ada di sampingnya. Namun kesadarannya mulai kembali saat ia ketakutan, dirinya dijatuhkan lalu diperangkap, lalu ... hampir sepanjang malam mengamati Pras?! Benar kah! Astaga, Tuhan! Lavi pasti sudah gila.

Gadis itu sudah terlanjur malu. Didorongnya dengan cukup keras Pras yang hanya bergeser sedikit.

"Sakit, Neng. Tega banget. Bangun tidur pagi itu diucapkan selamat pagi. Atau apa gitu."

"Ngimpi!!!" maki Lavi. Ia pun bergegas beranjak dari ranjangnya namun sayangnya, Pras sudah lebih dulu memerangkapnya. Membuat mata Lavi terbeliak kaget. Melotot disertai ketakutan yang kembali menderanya.

"Kalau lo enggak mau berikan gue ucapan selamat pagi, bagaimana kalau gue yang memulai?"

Lavi menggeleng tegas.

"Penolakan lo itu kebalikannya, Neng."

"Enggak! Jangan sentuh gue!"

Pras terkekeh. Matanya tak teralih ke mana-mana selain pada Lavi yang kian memberontak di bawahnya. Tak tau kah gadis ini kalau dirinya tersiksa? Apalagi saat Pras menyadari, kalau gadis ini dengan suka rela masuk ke dalam pelukannya. Mungkin dalam mimpi Lavi, Pras ini guling yang bisa ia jadikan teman tidur. "Lupa semalaman kita tidur bersama dan saling bersentuhan?"

Lavi benar-benar konyol sekarang. Tapi ia tak mungkin menyetujui ucapan preman bajingan ini, kan? "Lepas!" Sekali lagi ia berusaha untuk melepaskan diri.

"Lo tau, Neng," kata Pras pelan. Yang mana nada suara itu justru membuat Lavi mengehntikan rontaannya. Entah kenapa, suara Pras kali ini membuat sekujur tubuh Lavi kaku. Ada aura kelam sekali di sana. "Kalau lo terus bergerak seperti tadi, lo bangunin gue."

"A-apa maksud lo?"

Pras menyeringai. Ia juga perlahan merangkak merangkak naik. Sengaja membuka kaki Lavi dengan pangkal lututnya. Sengaja juga ia menggerakkan area pangkal pahanya tepat di sekitar paha Lavi. "Sudah bangun, kan?"

Mata Lavi semakin membulat. "Ja-jangan sentuh gue! Jangan sentuh gue tanpa izin!!!"

"Ehm ... tapi lo harus beri gue ucapan selamat pagi."

Lavi yang ketakutan, mulai gemetar tapi juga kebingungan. Apa maksud Pras sebenarnya. Tubuhnya dibuat merinding lantaran Pras dengan sengaja menciptakan gesekan di bawah sana. Ia terpejam bukan lantaran menikmati, tapi berdoa semoga ada hal yang membuat Pras pergi dari dirinya. Apa mungkin? Ia tak tau.

"Lo enggak jawab sengaja, Neng? Mengulur waktu biar gue benar-benar gila karena lo?"

Gadis itu makin bergidik ngeri. Terutama saat Pras semakin menunduk. Bicara tepat di atas bibirnya. "Lepasin gue," lirih Lavi dengan sisa tenaganya menahan agar dada Pras tak semakin mendekat.

"Lo harus ingat cara memberi ucapan selamat pagi untuk gue," kata Pras dengan seringai di sudut bibirnya. "Atau ... jangan salahkan gue menyentuh lo tanpa izin." Kembali bibir mereka Pras pertemukan. Mencium Lavi dengan penuh kelembutan seperti yang semalam ia lakukan. Mengabsen senti demi senti permukaan bibir Lavi. Pun sedikit memberi lumatan juga isapan di sana.

Pras buat Lavi serileks mungkin. Yang semula tubuhnya kaku juga penuh penolakan, perlahan mengendur. Juga ciuman Pras pun perlahan mendapat balas tak kalah lembut. Sama seperti semalam di mana mereka habiskan banyak waktu untuk saling bercumbu bibir.

Gerak yang Pras lakukan memang sangat lihai. Lavi yang sepanjang dua puluh satu usianya belum pernah berhubungan seintim ini dengan lawan jenis, sungguh terbuai. Ia tak sadar mulai bergerak gelisah di bawah kukungan Pras yang tak jua dikendurkan. Sementara Pras semakin bersemangat menggerakkan pinggulnya, sekadar menggeser miliknya yang masih terbungkus jeans di paha Lavi. Tersiksa memang, tapi dari pada ia harus menjauh?

Entah kenapa, untuk Lavi dirinya bisa berlaku lembut seperti ini. Mungkin karena pikirnya, semua yang Lavi miliki jangan sampai terluka dan harus ia jaga. Dan justru dengan kelembutan ini, Pras mendapatkan balas, kan? Ah ... gadis di bawahnya ini memang pecinta kelembutan ternyata. Akan Pras beri. Sampai apa tadi yang Lavi katakan? Jangan menyentuhnya tanpa izin?

Lewat kelembutan dan penuh kehati-hatian ini, Pras akan pastikan, Lavi yang memasrahkan dirinya untuk disentuh nantinya. Tak apa. Pras bisa menunggu.

Meski ...

"Neng," kata Pras yang sebenarnya tak ingin memutus tautan bibir mereka. Mata mereka kembali saling menatap. "Jangan bergerak seperti tadi."

Kening gadis itu berkerut.

"Jangan juga menampilkan wajah seperti ini ke gue."

"Kenapa?" tanya Lavi dengan sedikit tersengal. Masih bisa ia rasakan bagaimana Pras memperlakukannya. Ia juga merasa belum sepenuhnya menyadari kalau Pras benar-benar menguasai akal sehatnya.

Pertanyaan itu hanya Pras tanggapi dengan senyum tipis sekali. Namun senyum itu membuat Lavi mengerjap pelan. Senyum yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Senyum yang mana terasa hangat dan penuh simpati. Senyum yang ... berbahaya. Yang mana menggerakkan tangan Lavi untuk menyentuh wajah yang tadi memberikannya senyum itu.

Pras terpejam pelan kala lembutnya tangan Lavi menyentuh wajahnya. "Lo ingat baik-baik," katanya masih dengan terpejam. "Yang tadi itu ... ucapan selamat pagi. Yang akan gue tagih setiap hari. Paham?"

Lavi menelan ludah pelan. Tangannya masih ada di wajah Pras di mana ia rasa beberapa permukaan kulit yang kasar. Ingin sekali Lavi bertanya tapi sepertinya, bisa menimbulkan kekacauan tersendiri.

"Paham, Neng?"

"Paham," sahut Lavi pelan. "Seperti ini, kan?" Tangan itu dibawa pada bagian belakang kepala Pras. Meminta pria itu untuk menunduk menghampiri bibirnya lebih dekat. Mengulang cium penuh lembut yang tadi mereka lakukan bersama. Seolah tak mengenal kata puas karena lembut yang Lavi rasakan sungguh membuatnya kecanduan.

Sama halnya seperti Pras.

"Gue enggak tahan, Neng," putus Pras begitu saja. Matanya berkabut akan gairah karena Lavi sungguh membuatnya gila. "Lo harus tanggung jawab."

Mata Lavi terbeliak. Jantungnya rasa berhenti begitu saja saat Pras membuka kepala gesper celananya. Lalu melepas jeans biru yang sejak semalam dikenakan pria itu. Menyisakan celana pendek yang membuat gadis itu gelisah bercampur takut.

"Ja-jangan," cicit Lavi.

"Lo tenang saja. Gue enggak akan menyentuh lo sekarang. Lo bilang, gue harus minta izin, kan? Iya. Gue turuti mau lo."

Apa Lavi percaya begitu saja? Tentu saja tidak. Tipe pria berengsek seperti Pras ini tak bisa ia percaya ucapannya.

"Tapi lo bantu gue."

"Ya?"

Tangan Lavi yang mencengkeram sprey sekadar mencari pegangan, ditarik Pras dengan agak paksa. Ia bawa tangan yang sempat menyentuh wajahnya—selama ini tak pernah ada wanita di ranjangnya yang diperbolehkan menyentuh wajah Pras. apa pun keadaannya. Pras masih bisa mengontrol dirinya. Tapi Lavi? Ia tak bisa menolak sama sekali. Betapa beruntungnya Pras tak menepis tangan itu menyentuh wajahnya. lembut dan halus sekali. fantasinya berkenala bagaimana kalau tangan itu menyentuh miliknya?

"Gue enggak mau!" Lavi menarik tangannya dengan cepat namun sayangnya, tenaga Pras jauh lebih besar.

"Hari ini pakai tangan dulu. Kalau sudah mahir, pergunakan mulut lo."

Ucapan itu membuat Lavi melotot. Lalu ia terpekik karena tangannya menyentuh apa yang Pras miliki. Manik mata Lavi makin tak percaya atas apa yang harus ia hadapi ini.

"Jangan sampai gue ingkari apa yang tadi gue katakan." Pras sedikit membungkuk lalu berbisik lirih. "Gue enggak bisa menahan diri untuk menyentuh lo terlalu lama. Jadi ... pergunakan tangan lo dengan baik pagi ini."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top