[11] Tidur bersama
Kaki Lavi gemetar hebat. Duduknya juga sudah tak lagi tenang. Dua orang yang terus menerus mengawasinya, berdiri tak jauh darinya. Mata Lavi sering sekali mengarah pada pintu yang terbuka lebar. Seolah memang menunggu untuk sang pemilik memasuki ruang miliknya ini.
Padahal hari ini ia berencana selain membuat cupcake, juga belajar masak ikan bakar bumbu taliwang. Beberapa hari lalu, Uti menyajikan menu tersebut padanya. Tapi sayang, angan itu harus berhenti lantaran kabar mengenai kepulangan Pras. Doa apalagi yang harus ia panjatkan agar terbebas dari situasi yang cukup mencekam untuknya kali ini?
Tak mungkin ia berharap ada kabar buruk yang datang. Selama dirinya diperbolehkan keluar dari kamar itu, selintingan mengenai sosok yang tewas karena ditembak, sampai ke telinga Lavi. Meski ia tak tau pasti sosok Tony bagaimana, sepertinya pria itu cukup baik dan dikenal di lingkungan rumah ini. Tapi kalau dipikir-pikr, bukan kan memang seharusnya mereka saling mengenal satu sama lain?
Mereka ... satu kelompok, kan? Genk pembuat onar? Harus kompak dan tak terpisahkan, kan?
"Bos," sapa dua orang yang ditugasi menjaga Lavi. Hal itu juga yang membuat Lavi berjengit kaget begitu mendongak, sosok Pras sudah memenuhi netranya.
"Pras," cicitnya pelan. Lavi langsung bangkit begitu saja. Berusaha untuk menjauh dari Pras yang tanpa ragu mendekat padanya.
"Keluar," perintah Pras yang langsung ditanggapi dengan anggukan patuh oleh dua orang tadi. Tak berselang lama juga, suara pintu yang ditutup pun bergema. Makin jadi lah ketakutan yang Lavi punya.
Pras, sejak tau apa yang Lavi lakukan selama ketiadaannya di rumah, tak sabar ingin bertemu. Memastikan sendiri apa benar Lavi melakukan itu? Tawa yang ada di foto yang kini tersimpan rapi di ponselnya, jenis tawa yang belum pernah Pras lihat. Dan karena itu juga, Pras kesal lantaran banyak sekali urusannya di luar. Yang membuatnya tak bisa segera pulang ke rumah.
"Mau apa lo?" tanya Lavi dengan gugupnya. Ia sendiri bingung, pergi ke mana keberaniannya. Apa mungkin karena tindakan Pras terakhir kali, membuat nyalinya lenyap begitu saja? Belum. Lavi belum lupa bagaimana Pras memperlakukannya. Alih-alih memupuk keberanian untuk melawan, justru semua itu membuat Lavi tak berdaya.
"Ehm ..." Pras terkekeh. Langkahnya masih terus mendekat pada Lavi. "Mau apa?" Dibukanya jaket yang masih melekat di tubuhnya. Menyisakan kaus hitam yang cukup ketat memeluk tubuhnya yang kekar. Tato sepanjang lengan kirinya terlihat jelas. Ototnya juga tampak menyembul di sana.
Langkah itu terhenti begitu Lavi tak bisa lagi melarikan diri. Pintu balkon ternyata terkunci padahal Lavi ingat, ia sering membukanya untuk sekadar menikmati angin malam. Apa sengaja? Sial sekali nasibnya kali ini.
"Menurut lo ... gue mau apa?" tanya Pras dengan seringai liciknya.
Lavi menggeleng pelan. Gemetar di kakinya makin jadi. "Tolong ... jangan lakukan itu sama gue," pinta Lavi dengan nada memelas.
"Lakuin apa?" Pras terkekeh. "Memang apa yang sudah gue lakuin sama lo, Neng?"
Entah kenapa ucapan Pras barusan membuat Lavi menggeram kesal. Pras sungguh membuat dirinya seperti wanita murahan! "Berengsek!" maki Lavi. Meski pelan, tapi ucapan itu terdengar jelas sekali bagi Pras.
Ada senyum puas yang tercetak di bibir Pras mendengar makian Lavi kali ini. "Ah ... Neng gue kembali. Memaki gue tanpa tau akibatnya. Atau ... sengaja?" Dalam sekali gerak, tangan Pras langsung mencengkeram pipi Lavi. Membuat wanita itu sedikit mendongak dan sorot sehitam jelaga itu memenuhi indera penglihatan Pras.
Deru napas Lavi jadi megap-megap bukan lantaran cengkeraman yang ia terima di pipi. Melainkan bayang bagaimana nasibnya akan berakkhir sudah menari dalam benak.
"Ampun," kata Lavi pelan. "Jangan sakiti gue."
"Tadi lo pintar memaki gue. Sekarang minta ampun. Lo plin plan banget, Neng." Pras belum puas mempermainkan Lavi. "Dalam dunia yang gue kenal, Neng, jangan pernah ragu bersikap. Gue belum lupa apa yang lo bilang. Lo benci gue, kan? Maka benci gue seumur hidup. Lo pastinya ingin maki-maki gue, kan? Kenapa enggak lo lakuin lagi?"
Lavi menelan ludah agak kesulitan.
"Jangan pernah ragu bertindak." Pras mengendurkan cengkeramannya. "Paham?"
Gadis itu tanpa ragu mengangguk cepat. Meski ada rasa sakit yang wajahnya terima, tapi setidaknya, Lavi terbebas dari Pras. Itu yang ia pikirkan. Yang ia tak persiapkan, saat tangan Pras yang kekar itu menarik pinggulnya dengan cepat. Membuatnya membentur dada Pras tanpa bisa dikendalikan. Lalu Pras menunduk dan menyambar bibir Lavi yang sedikit terbuka.
Bagi Pras, serupa ekstasi yang membuat pemakainya terbang ke nirwana, seperti itu lah saat ia mencium Lavi. Rasa bibir gadis itu sudah merenggut banyak kewarasan yang Pras punya. Entah sudah berapa banyak bibir wanita yang pernah Pras cicipi, tapi Lavi berbeda. Rasa manis serta canggung yang diterima Pras lah, yang membuat pria itu ketagihan.
Untuk kali ini, cium yang Pras beri sangat berbeda. Ada kesan yang membuat Lavi terbeliak saking tak percaya dengan apa yang ia rasakan. Biasanya Pras menciumnya dengan paksaan. Melumatnya dengan ganas tanpa memberi jeda sedikit pun. Mengisap tiap bagian bibirnya tanpa tau kalau Lavi merasakan nyeri yang membuat bibirnya membengkak. Belum lagi belitan lidah yang sengaja Pras mainkan di sana. Semuanya terasa terburu-buru dan penuh intimidasi.
Berbeda dengan kali ini.
Tadinya ... tangan Lavi sudah terkepal kuat untuk memukuli dada Pras. Namun tangan itu hanya bisa tergantung di udara. Betapa cium itu demikian lembut dan penuh perasaan. Sampai rasanya Lavi tak ingin melepaskan Pras begitu saja. Hal itu juga yang tanpa sadar membuat tangan Lavi justru terkalung di leher Pras. Seolah memberi kesan kalau dirinya juga, menunggu perlakuan Pras yang seperti ini.
Lemah lembut memperlakukannya.
Saat ujung lidah Pras mulai membelai belah bibir Lavi, tanpa ia sadari juga, satu desahan meluncur begitu saja. Suara itu juga yang membuat Pras makin menghanyutkan Lavi dalam sentuhannya. Tidak. Tangan Pras belum ingin bergerilya ke mana-mana. Entah kenapa, Pras ingin sekali menikmati moment di mana bibir Lavi memang benar-benar candu untuknya.
Mereka benar-benar hanyut dalam bertukar saliva penuh kelembutan ini.
Pras memutus dengan terpaksa ciuman yang terjalin di antara mereka. Bukan tak ingin melanjutkannya, tapi ia tau, Lavi butuh oksigen ektra. Dan benar saja. Begitu tautan itu terlepas, Lavi menghirup udara sebanyak mungkin. Napasnya tersengal dibuat oleh Pras.
"Menikmati?" tanya Pras dengan seringai tipisnya. Saking tipisnya jarak di antara mereka, kening mereka pun bertemu.
Pertanyaan barusan membuat Lavi memalingkan wajahnya. Tak lagi berani menatap Pras dan ia juga merutuki diri sendiri bagaimana bisa terhanyut dengan perlakuan preman yang seharusnya ia benci ini?
"Ingat peraturan yang gue beri, Neng," kata Pras sembari menarik dagu Lavi. Kali ini ia tak kasar. "Jangan palingkan wajah dari gue saat gue bicara."
"I-Iya," lirih Lavi.
"Ceritain sama gue apa yang lo lakuin selama gue enggak ada."
Mata Lavi mengerjap pelan.
"Lo keluar kamar ini, kan? Apa perintah gue sebelum pergi?"
Mendadak Lavi dipenuhi dengan rasa takut.
"Apa?" tanya Pras dengan nada yang membuat ketakutan yang ada di benak Lavi kian membesar. "Jawab!"
"E-enggak boleh keluar kamar ini."
"Terus? Kenapa lo lakuin?"
"Gu-gue ... gue enggak mungkin menghabiskan waktu di kamar ini terus!" Lavi berusaha sekali mengumpulkan sisa nyalinya. Meski gemetar, tapi ia berhasil membuat jarak dengan Pras. "Gue bisa mati bosan di sini!"
Pras mengangguk pelan. Ia juga bergerak menjauh dari Lavi di mana ia tau, gadis itu menghela napas lega. Pras berjalan ke arah sofa di mana tersedia beberapa botol minuman kesukaannya. Dituangnya minuman itu dalam gelas yang ada. Dinikmati perlahan cairan yang kini membasahi tenggorokannya.
"Duduk sini," perintah Pras sembari menepuk sisi sofa di sampingnya.
Lavi terdiam sejenak. Benaknya menghitung banyak kemungkinan. Kalau ia menolak, pastinya Pras akan memperlakukannya dengan kasar. Kalau ia menuruti ... apa Pras akan bersikap baik? Namun tak ada pilihan yang bisa Lavi ambil, kan? Akhirnya ia pun melangkah mendekat. Duduk di tempat yang Pras tunjuk.
"Minum?"
Lavi menggeleng cepat.
Pras mengedikkan bahu saja. "Lo belum jawab pertanyaan gue. Apa yang lo lakuin selama gue enggak ada?"
"Sudah gue jawab."
Pria itu menoleh dan terbahak mendengar ucapan Lavi. "Itu bukan jawaban!" Nada suara Pras mulai berbeda. Sorot matanya juga menatap Lavi dengan tajam. "Ceritakan apa yang lo lakuin selama keluar dari kamar gue."
"Apa lo harus tau?" Lavi menelan ludah. Sepertinya ia salah bicara.
"Ah ... gue persingkat. Lo mau cerita sambil gue teruskan kegiatan yang kemarin tertunda? Gue siap banget untuk meneruskan kegiatan itu."
***
Lavi sulit tidur.
Ia tak terbiasa, ah ... baru kali ini ia benar-benar tidur dengan orang lain. Selain ibunya tentu saja. Kontrakan yang hanya tiga petak itu membuat Lavi dan ibunya terbiasa berbagi kasur tipis beralas sprey lama. Namun sekarang?
Di sisinya ada Pras. Yang lelap sekali terpejam. Gurat wajahnya menyiratkan lelah yang berlebih. Kadang Lavi perhatikan—coba Lavi ingat-ingat, sudah berapa lama ia memperhatikan wajah Pras yang ada di sampingnya ini. sekitar satu jam? Dua jam? Astaga, Tuhan! Sudah hampir tiga jam Lavi belum jua menemui kantuk—ada kerutan di sekitar dahi Pras.
Entah sudah berapa kali ingin Lavi usap kerutan di sana tapi ragu selalu datang menghampiri. Ia takut, singa yang terlelap memeluknya ini bangun. Lalu mengancamnya. Menerkamnya serta mencabik seluruh tubuh Lavi tanpa sisa.
Pada akhirnya yang bisa Lavi lakukan adalah menatap langit kamar Pras. Yang sangat ia kenali beberapa hari belakangan ini. pembicaraan dengan Pras beberapa jam lalu juga, belum sanggup Lavi singkirkan begitu saja.
"Gue masak bantuin Mbak Uti di dapur," kata Lavi pelan. Sebagai bentuk penjelasan atas apa yang Pras tanyakan.
"Masak?" ulang Pras.
Pelan, Lavi mengangguk. "Gue bosan di sini. Enggak ada kegiatan. Harusnya gue kuliah, kan? Tapi karena gue ada di tempat yang gue sendiri enggak tau ada di bumi bagian mana, gue enggak tau lagi harus berbuat apa." Baru kali ini Lavi bicara panjang lebar pada Pras. Entah pria itu mendengarkan atau tidak, tapi itu semua ungkapan yang memang ada di dalam hatinya.
"Lo masih pengin kuliah?"
Pertanyaan itu jelas membuat Lavi menoleh dan mengerutkan kening.
"Yah ... kali aja otak gue waras nanti memperbolehkan lo kuliah lagi."
Lavi mencibir.
"Selain masak, apalagi yang lo lakuin?"
"Enggak ada," sahut Lavi singkat. "Di dapur juga sudah banyak kegiatannya. Gue bantu Mbak Uti sebelum makan siang. Kadang ngobrol sama Anne."
Ucapan Lavi memang benar adanya. Sebelum Pras bertanya pada gadis yang duduk di sisinya, ia sudah mendapatkan laporan jelas mengenai apa yang Lavi lakukan.
"Enggak nyoba kabur?" tanya Pras sembari kembali menikmati gelas minumnya.
"Gue lupa namanya siapa. Dia bilang sama gue, kalau yang ada di rumah ini berusaha kabur dari lo, enggak susah buat lo nemuin orang yang kabur tadi."
Pras terkekeh.
"Pada akhirnya, gue memang tawanan lo sampai si Tua Bangka itu punya uang, kan?"
"Gue rasa enggak bisa nebus."
"Lo memang preman paling berengsek, paling bajiangan, yang enggak punya hati."
Pras tergelak tapi sejurus kemudian, ia pun mengarah pada lavi. Memerangkap gadis itu tanpa permisi.
"Mau apa lo?" tanya Lavi dengan mata mendelik kaget.
"Menurut lo?"
Lavi berusaha keras untuk membuat jarak dengan Pras. Meski susah, ia berusaha untuk mempertahankan dirinya. Bayang di mana Pras melucutinya kembali terputar. Selayaknya kaset rusak yang sangat ia benci dan ingin disingkirkan dengan segera.
"Jangan mendekat!" pekiknya. Sampai punggungnya terbentur tepian sofa, Pras belum juga menyingkir darinya. "Jangan!"
Apa ucapan Lavi digubris? Sama sekali tidak. Justru dalam sekali gerak, Pras membopongnya. Teriakan Lavi hanya sebagai penghias kamar ini. Sampai Lavi merasa tubuhnya dijatuhkan di ranjang. Saat itu Lavi merasa ada kesempatan untuk melepaskan diri tapi Pras lebih cepat bergerak.
"Lepas!" teriak Lavi sembari memukuli Pras. Apa pun yang bisa dijangkau tangan juga kakinya, ia pergunakan sebaik mungkin. Tak peduli kalau Pras nantinya kesakitan. Toh ... pria itu juga membuatnya seperti ini.
"Diam," kata Pras.
"Lepaskan gue!"
Dalam sekali sentak, tepat di tengah ranjang, tiap gerak Lavi dihentikan begitu saja. Pras setengah menindih tubuh Lavi. Mengunci tangan yang sejak tadi memukuli dadanya. Menahan kaki sang gadis yang beberapa kali mengenai pahanya.
"Gue bilang diam," kata Pras dengan nada penuh intimidasi. Hal itu jelas membuat Lavi semakin ketakutan. Matanya juga sudah berkaca-kaca.
"Lepaskan gue," cicit Lavi dengan lirihnya. "Jangan sentuh gue."
Pras sedikit mengendurkan cekalannya pada tangan Lavi. Sedikit menunduk tapi bukan untuk kembali menyapa bibir sang gadis melainkan memeluk tubuh yang agak gemetaran itu dengan eratnya. Yang mana kemudian, Pras rasakan kekakuan di sana.
"Gue capek, Neng. Temani gue tidur malam ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top