[10] Keluarga Quassano


Gerald memainkan cerutu yang ada di tangannya. Matanya sesekali menatap lurus pada lapangan hijau yang luas. Pohon yang mengelilingi area di mana sejauh mata memandang hanya disuguhi pemandangan yang menyejukkan, ranting serta dahannya bergoyang pelan. Pertanda angin semilir sebagai pelengkap suasana yang cukup membuat kedamaian tersendiri di dalam jiwa.

Sayangnya, Gerald bukan tipe orang yang senang dilingkupi rasa damai seperti ini.

Kalau bukan kepentingannya bertemu pria tua yang asyik memainkan stik golf, Gerald tak akan mau ada di sini.

"Lima menit lagi Pak Alfred menyelesaikan sesinya," info Paul yang terlihat berbisik pada Gerald. Cerutu yang sejak tadi dimainkan sang pemimping Sayap Elang, ia hentikan perlahan. Sebagai respon informasi dari Paul, Gerald mengangguk.

"Tapi, Bos, ada satu hal yang meski Anda tau."

Kening Gerald berkerut, membuat lipatan di dahinya tampak nyata.

"Pras juga datang ke sini."

Bertepatan dengan ucapan barusan, sosok yang disebut Paul datang. Berjalan dengan langkah tegap penuh percaya diri. Ada dua orang yang mendampinginya seperti biasa. Di depan Pras, ada satu anak buah Alfred yang selalu berjaga di pintu utama.

Sudah lama sejak mereka bertemu, saling berseteru dalam diam, dan saling mengamati tiap pergerakan masing-masing pihak.

Suasana di ruang terbuka di mana beberapa pengawal Alfred serta anggota Sayap Elang menunggu, segera saja menjadi waspada. Pras yang sedari awal menginjakkan kakinya di sini, menyeringai tipis. "Lama enggak bertemu, Pak Tua," sapanya.

Gerald menyandarkan punggungnya di sofa. Cerutu yang masih tersisa di selipan jemarinya, ia isap kuat. Kepul asap yang keluar dari mulutnya segera saja memnuhi ruangan. Tak ada yang terganggu oleh sikap Gerald barusan. Sekali saja menampilkan wajah tak suka, sama saja seperti menyetorkan batang lehernya untuk diremukkan.

"Sengaja menemui gue, Pras?" tanya Gerald penuh intimidasi.

"Di sini?" tanya Pras sembari duduk di salah satu sofa yang ada. Tepat berada di depan Gerald. Tangannya saling tertaut. Matanya tajam menatap Gerald tanpa rasa takut. "Kurang kerjaan!" decihnya. Tatapan setajam elang itu mendapat balas tak kalah tajam dari pihak lawan. Pras kemudian memilih bersandar seperti yang Gerald lakukan. Arron mengeluarkan bungkus rokok kesukaan Pras; Surya 16. Yang mana Pras ambil satu batang, termasuk juga ia terima Dom yang menyalakan pemantik di dekatnya.

Tindakan itu mendapat kekehan sinis dari Gerald. Benak Gerald belum lupa, bagaimana tampang bocah yang dulu pernah mengacungkan samurai padanya. Tepat di hari kematian kedua orang tua sang bocah. Ucapan penuh bual itu lah yang membuat Gerald membenci Pras. Sangat membencinya.

"Kau yang membunuh orang tuaku," kata bocah yang mengenakan pakaian serba hitam. Matanya memerah. Bahunya masih menahan isak yang cukup kuat di sana.

"Jangan membuat tuduhan sembarangan," kata Gerald masih dengan nada santai. "Apa aku terlihat seperti pembunuh?"

Yang Gerald tak siap, ternyata pedang itu diayun dengan kekuatan penuh. Meski hanya satu tebasan, tapi membuat luka yang cukup panjang di tangannya.

Kala itu, meski Pras masih berusia delapan tahun, tapi anak seorang pimpinan klan yang sangat disegani pada masanya. Bahkan Sayap Elang sendiri tak banyak berkutik di bawah perintahnya. Maka saat kedua orang tuanya meninggal, seluruh wilayah kekuasaan mereka jatuh pada Pras. Termasuk di dalamnya, bisnis yang membuat Klas Sayap Elang dan Naga Kembar sepakati.

Gerald tak menyangka kalau hal ini terjadi. Ia pikir, orang kepercayaan sang penguasa lah yang akan mengambil alih untuk sementara waktu. Di mana orang tersebut juga berada di pihaknya. Tak sudi pria itu tunduk pada ucapan bocah berusia delapan tahun. Sejak saat itu, hubungan yang memang tak terlalu harmonis semakin renggang.

Persaiangan di antara keduanya semakin jadi. Meski Pras saat itu harus membuat pernyataan di depan umum lantaran tuduhan serta tindakannya terhadap Gerald, tapi bocah itu meyakini apa yang hatinya katakan. sosok Gerald Hasolomone ada di balik peristiwa kematian orang tuanya.

Tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Meski terlihat Gerald maupun Pras menikmati batang nikotin yang terbakar perlahan, tapi mereka tau, keduanya dalam sikap yang sangat waspada. Senjata yang tersembunyi di balik jas mereka pun sudah dipersiapkan. Pun Arron dan Dom.

"Tuan Alfred meminta kalian berdua untuk menemuinya di restoran untuk makan siang bersama." Salah satu di antara pengawal Alfred bicara. Agak takut memang mengingat siapa yang ia ajak bicara; dua pimpinan yang kini menatapnya lekat-lekat.

Pras yang lebih dulu bangkit, diikuti oleh kedua orang kepercayaannya. "Bagus lah. Kebetulan gue lapar," kata Pras disertai tawa yang meremehkan. Sementara Gerald berdecih pelan. Mereka mengikuti arahan yang diberikan sang pengawal. Sampai tiba lah mereka di ruangan yang mana sudah tersaji aneka makanan lezat. Aromanya saja sudah membuat selera makan bangkit seratus persen.

"Ah, kalian sudah datang rupanya?" sapa Alfred penuh basa basi. "Silakan."

"Selamat siang, Tuan Alfred." Gerald berjalan menghampiri orang yang memuluskan langkahnya selama ini. Menjadi bagian Alfred Quassano memang menguntungkan meski ada beberapa hal yang Gerald tak suka. Namun ia tak bisa terlalu banyak protes. Kalau tidak, banyak kendala yang akan ia hadapi. Sokongan Quassano pada Klan Sayap Elang tak main-main. Sektor penting bisa dikuasai Gerald dengan mudahnya.

"Jangan tersinggung kalau kau menungguku lama, Gerald."

Pria yang mengenakan jubah hitam itu tertawa. "Apa wajahku mengatakan hal itu?"

Interaksi di antara keduanya menurut Pras sangat menjijikkan. Ia memilih untuk duduk di tempat yang sudah disediakan. Ia ikuti alur yang ada demi satu tujuan.

"Lama tak bertemu denganmu, Pras," kata Alfred dengan kekehan kecil. "Kau semakin dewasa kelihatannya. Bukan lagi bocah delapan tahun."

"Waktu terus berputar, Tuan Alfred. Tapi sepertinya, waktu berhenti di sekitar Anda. Anda masih sama seperti saat saya kecil," kata Pras dengan santainya sembari memotong steak bagiannya. Mengunyah dengan lahap tak peduli kalau dirinya mendadak menjadi pusat perhatian. "Maafkan aku, Tuan. Yang kau sajikan memang enak. Mendadak aku kelaparan."

Alfred menanggapi ucapan Pras dengan seringai lebar. "Nikmatilah selama kau bisa menikmati." Ia membasahi tenggorokannya dengan cairan berwarna merah pekat. "Kau juga, Gerald. Ini semua disediakan untuk tamuku. Siapa pun itu."

"Baik, Tuan," sahut Gerald pelan.

Hanya bunyi denting sendok dan garpu sebagai latar makan siang mereka. Tak ada yang bicara satu pun di mana mata mereka saling mengawasi satu sama lain. Berhubung Pras yang lebih dulu menghabiskan santap, kembali ia tarik satu batang rokok miliknya. Asap yang keluar dari mulutnya tak ia pedulikan, apakah mengganggu atau tidak orang di sekitarnya.

"Aku penasaran," Ucapan Alfred disertai tatapan yang mengarah pada Pras, membuat pria itu sedikit menegakkan punggung. "Apa keperluanmu, Pras."

Yang ditanya, hanya terkekeh sembari mematikan sisa rokoknya. "Apa Anda sudah menyelesaikan santap ini? saya takut, apa yang saya ingin tau membuat selera makan Anda hilang."

Alfred tersenyum tipis. "Apa yang ingin kau tau?"

Pras hanya melirik ke arah Arron yang mengeluarkan satu kotak hitam. Disodorkan perlahan pada Alfred yang mengerutkan kening. Begitu kotak itu ada di depan Alfred, mata tua itu bolak balik menatap Pras lalu Gerald.

"Apa ini?"

"Short gun Tipe 303 C, buatan Rusia. Barang langka dan hanya dimiliki kalangan tertentu. Penyebaran di Bagian Utara dan Selatan diawasi sangat ketat," jelas Pras yang mana kotak itu ia buka perlahan. "Anda ... mengenalnya?"

***

"An," panggil Lavi dengan wajah penuh senyum riang. Di tangannya terdapat satu piring berisi cupcake yang berhasil ia buat setelah memaksa Uti membiarkannya ada di dapur. Meski ada dua orang yang selalu mengawasi, setidaknya Lavi tak melulu di kamar yang makin lama makin ia benci.

"Kamu buat apa hari ini?" Anne mendekat pada Lavi yang masih ada di ambang pintu. Ruangan tempat Anne bekerja memang agak pengap dan gelap. Tak ada yang boleh memasuki ruang itu tanpa izin dari Pras. Itu pun Lavi sudah dicegah untuk melangkah lebih jauh.

"Cupcake. Makan, ya. Semoga suka." Lavi tak jadi soal hanya bisa bertemu secepat ini. toh, Anne kadang menemuinya di dapur. Ia sudah sangat senang berkegiatan di rumah ini. Meski banyak orang yang tak ia kenali, bertampang sangar, juga menyeramkan karena tubuhnya dipenuhi tattoo, tapi setidaknya Lavi keluar dari ruangan yang mana disebut kamar Pras.

Lavi tak peduli selama apa Pras tak kembali ke rumah besarnya ini. justru ia merasa senang. Tak ada ketakutan yang menghinggapinya. Tak ada kekhawatiran lagi kalau Pras akan berbuat yang tidak-tidak padanya. Ia berusaha sebisa mungkin menyingkirkan bayang Pras yang seenaknya kala itu.

"Non," panggil salah satu yang biasa mengekori Lavi. "Non harus balik ke kamar sekarang juga."

Ucapan itu membuat Lavi mengerutkan kening. Piring berisi cupcake juga baru saja diterima Anne. Hal itu pun menciptakan tanya di benak Anne.

"Iangan bilang," Anne tak sempat menyelesaikan ucapannya karena Lavi keburu ditarik paksa.

"Lepas!"

"Non, jangan bikin masalah! Jangan bikin kita terkena murkanya Bos!"

Seketika Lavi merinding. Kala ia menoleh pada Anne yang menatapnya dengan sorot yang tak bisa Lavi pahami.

"Bos Pras dalam perjalanan pulang. Bos mau Non ada di kamarnya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top