[1] Wanita Pras
Lavi menggigil bukan lantaran dingin yang menyapa permukaan kulitnya. Tapi karena sakit yang menderanya di sekitaran dada. Rasa ngilunya membuat hampir seluruh tubuhnya terbakar. Ia bahkan tak berani sekadar melirik pada bagian luka yang terasa perih serta sakit sekali ini.
"Kurang ajar!" desisnya tak terima. Tangannya terus mengepal untuk membantunya melenyapkan rasa benci yang semakin membumbung tinggi pada sosok pria yang meninggalkan begitu saja di ruangan pengap penuh dengan asap rokok itu. Pria yang sudah ia ikrarkan untuk dibenci sepanjang usianya.
Sekali lagi ia meringis kesakitan.
Tak lama setelah ditinggalkan tadi, ada seorang wanita bertampang dingin dan kaku menghampirinya. Jangankan sekadar menyapa apa yang Lavi rasakan, malah ia mendapatkan satu jambakan kuat yang Lavi rasa banyak helaian rambutnya lepas karena cengkeraman kuat si perempuan tadi.
Ia menahan segala sakit yang dirasakan sekarang. Jangan sampai ada jeritan meminta belas kasih karena Lavi yakin, semua orang yang ada di tempat ini tak memiliki hati.
"Gue bisa jalan sendiri!" hardik Lavi tak terima. Berusaha melepaskan diri tapi kekuatan wanita itu cukup kuat. Apa dia wanita jelmaan pria? Tapi tidak. wajahnya dirias dengan make up yang cukup tebal. Pemilihan waran merah pada bibirnya semakin mempertegas kalau wanita ini tak ingin berurusan dengan Lavi. Apa Lavi ingin bertemu wanita ini? Mana mungkin!
"Jangan banyak omong! Ikut aja!"
"Lepas!!!" Lavi mencekal tangan yang masih menjambak rambutnya itu. Si wanita tadi, melirik sekilas lalu menyeringai tipis. Dalam sekali tarikan, ia sedikit membuat Lavi terhuyung dan terjatuh menubruk tembok yang ada di samping kanannya.
"Sudah gue lepas," katanya dengan kekehan.
Lavi menatap si wanita dengan sorot tajam dan ia ingat baik-baik wajah yang kini berjalan dengan angkuhnya. Suatu saat nanti akan ia balas perlakuan kasar wanita ini. Dari gerak jemarinya yang terkesan meremehkan, ia ingin agar Lavi mengikutinya. Lavi pun segera bangkit dan berjalan meski gemetaran karena sakit yang mendera dadanya semakin terasa.
Sementara wanita tadi, Tari namanya, berjalan dengan dengkusan kesal. Ia tak menyangka kalau ada wanita baru di rumah besar yang dijadikan markas Naga Kembar. Rumah milik sang penguasa Bagian Selatan, pemilik klan Naga Kembar, Galang Prasetyo, atau yang lebih senang dipanggil 'Pras'. Sang pemimpin yang dikenal kejam, tak peduli apa yang menghalangi kalau tujuannya sudah ia tetapkan maka kemenangan harus ada di tangannya. Pemimpin Bagian Selatan yang disegani baik kawan juga lawan. Menguasai wilayah yang cukup luas di Bagian Selatan ini.
Semua kegiatan dunia penuh dengan kegelapan; narkoba, perjudian, prostitusi, klab malam, korupsi dengan banyak pihak untuk melancarkan urusan, pembunuh bayaran, pengawal bayaran, serta banyak lagi yang lainnya, dipimpin oleh Pras langsung. Ia bahkan tak segan untuk turun tangan begitu ada masalah yang melibatkan Bagian Selatan.
Tari membenci gadis yang berjalan di belakangnya meski tak ia kenali namanya. Ia tak sudi berjabat tangan dengan gadis ini. Bahkan nantinya akan ia tunjukkan siapa yang berkuasa di rumah besar ini. Terutama karena Tari adalah wanita yang paling dekat dengan Pras saat ini. Keadaan itu berjalan sudah hampir dua tahun lamanya. Tari bisa merasakan banyak keuntungan berada di dekat Pras terutama dalam hal kuasa.
Siapa yang tak mengenal Tari? Wanita dari Pras yang disegani? Pras tak pernah berkunjung ke ruangan lain selain milik Tari. Wanita yang ada di rumah ini ada beberapa tapi semuanya patuh pada perintah Tari. Namun ia merasa kedatangan gadis yang tadi ia temui, sangat mengganggunya.
Bagaimana tidak?
Dua jam sebelum kedatangan Lavi.
Satu demi satu Tari melucuti pakaiannya. Bergerak sesensual mungkin untuk menarik perhatian Pras yang duduk di tepian ranjang. Mata sang penguasa menatapnya lekat. Hal itu juga yang membuat Tari bersemangat untuk terus menggoda Pras. Lagi pula, sudah hampir seminggu Pras tak pulang. Katanya ada urusan di daerah Lebak. Dan orang yang pertama dikunjungi Pras adalah Tari.
Siapa yang tak berbunga-bunga mendapatkan perlakuan sespesial ini dari penguasa yang terkenal namanya sampai penjuru wilayah?
Kimono yang ia kenakan sebagai pelapis terluar dari lingerie yang dikenakan Tari sudah menyapa lantai dengan gerak yang demikian lambat. Sengaja. Meski nantinya Pras bermain dengan kasar tapi Tari menggoda dengan kelembutan yang ia miliki.
Dadanya yang hanya separuh terbungkus kain tipis berwarna merah, tersembul menantang. Tari tau kalau Pras paling suka menyentuh bagian tubuhnya yang kini ia pamerkan itu. bagaimana remasan serta pijatan lembut yang nantinya akan Tari terima dari Pras, sudah membuat hilang akal. Tapi Tari tak ingin segera melempar diri dan langsung menuju inti permainan mereka yang penuh dengan desah nantinya.
Sabar.
Tari masih ingin meliuk penuh godaan tepat di depan Pras. Di bawah pencahayaan lampu kamar yang temaram, justru menambah nilan intim di antara mereka berdua. Sengaja Tari mengusap lengannya dengan sesual mungkin. Kakinya yang jenjang juga ia buat melangkah dengan gerak dramatis sampai akhirnya langkah itu terhenti di depan Pras.
"Aku kangen," kata Tari sembari menunduk, berbisik, dan membiarkan sorot mata Pras jatuh pada belahan dadanya. "Abang kangen kah?"
Tangan pria itu langsung menahan pinggan Tari agar tak banyak bergerak. Sedikit mengangkatnya untuk duduk di pangkuan Pras. Hal ini langsung membuat Tari tersenyum lebar. "Enggak sabar, ya, Bang?"
"Menurut lo aja?" Tangan satunya, Pras gunakan untuk meremas dada yang sejak tadi menantangnya untuk disentuh. "Gerak di atas sini. Jangan diam," perintah Pras. ucapan itu langsung diangguk oleh Tari tadi sebelumnya, jemari lentik Tari berusaha untuk meraih kepala gesper yang menahan jeans yang Pras kenakan.
"Buka dulu, Abang," bisik Tari selembut mungkin.
Pras membiarkan jemari itu melucuti celananya. Tangannya sudah menemukan mainan baru; selain dada Tari yang memang ia sukai untuk dipermainkan, jangan lupakan bokong sintal yang sejak tadi juga sudah menggodanya untuk diremas. Maka itu lah yang ia lakukan.
Begitu usahanya membuahkan hasil, Tari menyeringai. "Sepertinya memang ada yang kangen berat."
"Jangan terlalu banyak bicara. Cepat puaskan." Pras langsung meraup bibir Tari dengan ciuman penuh nafsu. Tak memberi jeda sedikit pun bagi si wanita sekadar untuk mengisi paru-parunya. Ditahannya tengkuk Tari agar bisa ia perdalam ciumnya. Sementara itu di atas pangkuan Pras, Tari mulai bergeliat menggoda. Membuat sesuatu yang sejak tadi sudah menegak, semakin menegang karena gerakan Tari.
Ciuman itu dilepaskan begitu saja. Beruntung untuk Tari yang mana ia pergunakan untuk mengambil udara sebanyak mungkin. Tapi sepertinya Pras hanya memberi sedikit sekali kesempatan untuk Tari bernapas lega. Ketika ujung lidahnya Pras gunakan untuk menyapu permukaan dada Tari, ia merasa sensasi yang begitu didamba. Permainan Pras baru dimulai.
Dan Tari tau berakhir kapan. Sampai mereka berdua benar-benar kelelahan dan bangun esok harinya.
"Abang!" desah Tari begitu salah satu dadanya memenuhi mulut sang pria. Tangannya tak kuasa untuk menahan diri sekadar menyentuh rambut Pras yang ikal tebal ini. Aroma maskulin dari sang pria sudah sejak tadi memenuhi indera penciuman Tari. Serupa candu yang terus membakar Tari agar bisa mengimbangi gerak Pras, Tari semakin bersemangat untuk menggoda sang pria.
Meski mereka belum memasuki satu sama lain, tapi sungguh, ini sudah membuat Tari setengah gila.
Tari menggeram tertahan karena lumatan yang dadanya terima berubah menjadi isapan yang kuat. Seperti seorang bayi yang kelaparan akan makanan dari tubuh sang ibu, maka itu lah yang Pras lakukan. Mengisap sekuat tenaga meski agak sakit tapi memberi sensasi yang membuat Tari semakin pening.
Ia juga sudah tak sabar untuk segera dihujam di bagian bawah sana. tari juga yakin kalau Pras pasti menunggu hal ini. maka sekali lagi jemari lentik itu ia arahkan pada bagian intim yang Pras miliki. Tegang. Mengacung tegak. Kuat. Dan pastinya membuat Tari mendesah hebat. Memenuhi kamarnya ini dengan banyak nama Pras ketika mereka bersatu nanti.
Namun ...
"Bos," pintu terbuka begitu saja. Tari langsung memeluk Pras dan menyembunyikan wajahnya. meski ia rasa tak perlu mengingat semua orang juga tau dengan pasti apa yang mereka lakukan berdua di kamar ini, tapi Tari tetap tak ingin diketahui wajahnya yang dibakar gairah.
"Sejak kapan masuk ke kamar ini tanpa izin?" kata Pras dengan nada tak suka. "Ganggu gue aja!"
"Maaf, Bos." Sejak melihat apa yang bosnya lakukan, si pria tadi menunduk. Dan semakin menunduk karena suara sang bos kentara sekali kemarahannya.
"Ada apa?" Ia tak peduli dengan gangguan yang terjadi. Karena itu lah Pras kembali melanjutkan kegiatannya. "Jangan berhenti bergerak, Tari. Lo tau harus apa."
Tari agak ragu tapi tak mau membantah ucapan Pras. ia pun kembali menggerakkan pinggulnya. Sementara Pras kembali mempermainkan dada Tari juga memelintir ujung putting yang sudah membusung menggoda ini.
"Kami sudah membawa gadis yang Bos incar," kata Abdul, si pesuruh berkepala plontos dengan tindikan di telinga kanannya.
Gerak Pras berhenti begitu saja. tanpa bicara sepatah kata pun, ia menyingkirkan Tari yang ada di pangkuannya. Dengan cepat juga Pras mengancingi kembali celananya. "Di mana dia?"
"Di ruang kerja Bos."
Tanpa pamit, juga tanpa mengatakan apa pun, Pras pergi meninggalkaan Tari dengan ribuan tanya.
Baru lah Tari tau, gadis seperti apa yang dibawa para pesuruh Pras ke sini. Tak akan Tari biarkan gadis ini menjadi ancaman di masa depan. Tak akan. Tangannya mengepal kuat disertai dengan gigi yang beradu pertanda kekesalannya memuncak semakin tinggi. Ia juga tak bisa menemukan Pras di rumah ini. Abdul bilang, Pras menuju Flown Diskotik karena ada urusan.
Andai saja tak ada gangguan dari gadis yang Tari tau masih mengikutinya, pasti lah tadi ia sudah terbang ke nirwana dunia bersama Pras.
Sial sekali!
"Masuk," perintah Tari dengan kasarnya. Menunjuk pada satu kamar yang terletak di lantai dua rumah besar ini. Banyak yang tinggal di lantai dua ini termasuk para wanita simpanan lain yang jarang Pras kunjungi. Termasuk ia tempatkan gadis yang menganggu kesenangannya ini. Sementara ia tinggal di lantai tiga di kamar yang cukup luas dan tertata indah. Di sebelah kamarnya sudah jelas adalah milik Pras.
Lavi menatap wanita itu dengan tatapan menghunus. Ia masih terdiam di belakang sang wanita. Melongok sekilas pada kamar yang akan ia tempati entah sampai kapan. Aroma pengap serta pencahayaannya sangat minim di sini.
"Masuk gue bilang!" Tari menarik Lavi dengan sekali sentak. "Jangan banyak ulah atau lo tau akibatnya!"
Lavi sama sekali tak bicara. Hanya matanya yang terus menatap Tari dengan tajamnya. Hal ini juga membuat kemarahan dalam diri Tari semakin besar. Membuatnya melayangkan tamparan cukup kuat pada wajah Lavi. Tari berharap ada ketakutan di sorot mata Lavi karena tindakannya. Sayangnya hal itu tak terjadi.
Lavi justru semakin menantang Tari. Meski tangannya memegangi wajah yang terasa panas karena tamparan Tari barusan.
"Lo!" tunjuk Tari dengan murkanya. "Berani lo bertingkah di sini, gue enggak akan segan bikin lo tersiksa!"
Satu dorongan kuat Lavi terima sampai ia jatuh terjerembab. Persis sekali dorongan tadi juga mengenai dadanya yang makin terasa ngilu. Lalu pintu itu tertutup begitu saja dengan suara bantingan yang cukup keras. Baginya, pintu itu serupa dengan jalan kebebasannya. Yang kini sudah tak ada lagi cahayanya.
Sama seperti dirinya yang kini memelut kakinya. Menangis memikirkan nasib buruk apa yang akan menimpanya. Entah sampai kapan ia akan berada di sini. rasanya Lavi memilih untuk mati saja.
"Semua ini karena Ayah!" desisnya di antara derai air mata yang sejak tadi menguasainya. "SIALAN!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top